Sabtu, 21 Juni 2008

As Sunnah

As Sunnah

Print

E-mail

Kata As-Sunnah adalah istilah yang terkenal yang biasa dipakai di kalangan umat Islam, yang penggunaannya menunjukkan beberapa arti berikut :

  • At Thoriqoh (metode, jalan kenabian, tradisi)
  • Al Hikmah (perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW)
  • Al Qadla’ (takdir Allah SWT)
  • As-Syariah (tata cara kehidupan)
  • Al Aqidah (keyakinan/keimanan)
  • Ahlul Haq (orang-orang yang benar)
  • Ahlul Islam (orang-orang Muslim)
  • Ahlut Tauhid (orang-orang yang mentauhidkan Allah SWT)
  • An Nafilah (amalan yang sunnah)

Kata-kata di atas hanyalah sebuah daftar dari berbagai penggunaan istilah As-Sunnah. Di kalangan ulama Islam, penggunaan definisi As-Sunnah yang berbeda telah lama terjadi.

As-Sunnah di Kalangan Ulama

Di kalangan Ahli Hadits, sunnah berarti , “Apa yang berhubungan dengan Rosulullah Muhammad SAW ; perkataan, perbuatan, persetujuan, penjelasan dari penampilan atau karakter Beliau, serta biografi beliau baik sebelum kenabian, maupun setelah masa kenabian.”


Definisi sunnah yang diadopsi oleh Ahli Hadits adalah sebuah penjelasan bahwa orang-orang yang beriman meniru Rosulullah SAW bukan hanya dalam aktifitas ibadah, tapi dalam seluruh perbuatan. Oleh karena itu mereka membuat ta’assie (persamaan) terhadap Rosulullah SAW dalam segala hal termasuk cara beliau bergerak, berjalan, makan, duduk, tersenyum, dan sebagainya.

Di kalangan Ahli Ushul, sunnah diartikan, “Apa yang identik (berhubungan) dengan Rosulullah SAW, khususnya dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Al-Qur`an. Sehingga persoalan tersebut disebutkan oleh Rosulullah sebagai penjelas Al-Qur`an.”

Definisi sunnah di kalangan Ahli Ushul menjelaskan bahwa As-Sunnah adalah sumber hukum (berupa wahyu) kedua setelah Al-Qur`an.

Di kalangan Fuqaha Ahnaf (ulama-ulama Hanafi), sunnah berarti, “Sunnah itu segala sesuatu yang telah dibuktikan berasal dari Rosulullah Muhammad SAW, status hukumnya bukan fardhu, bukan pula wajib (untuk dikerjakan).”

Definisi di kalangan ulama Hanafi membatasi As-Sunnah kepada segala perbuatan (amalan) yang menjadi hukum syar’i yang telah dikerjakan oleh Rosulullah SAW.

Ahlus Sunnah dan Ahlus Syi’ah
Dalam penggunaan di bidang politik, sunnah atau ahlus sunnah berarti sekelompok masyarakat (komunitas) yang berlawanan dengan syi’ah. [1][1] Sehingga ketika dikatakan Ahlus Sunnah, kita mengartikannya seseorang yang percaya bahwa khalifah pertama adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman, dan Ali r.a. Sedangkan kelompok Syi’ah Rafidah berbicara tentang 12 imam dan pengetahuan mereka tentang hal ghaib serta kesempurnaan mereka.

Untuk alasan persoalan ini, sesungguhnya ada persoalan yang sangat penting yang membedakan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah Rafidiyyah selain keduanya berada dalam jalan yang berbeda.

Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah
Dalam beberapa keadaan, ketika kita berbicara tentang Ahlus Sunnah, kita mengacu kepada sebuah kelompok yang berlawanan dengan Ahlul Bid’ah, [2][2] contohnya : kelompok sufi yang menyimpang, Murji’ah, Asy’ariah, dan sebagainya.
Imam Muhammad Ibnu Sirin berkata :
“Kaum Muslimin belum pernah sebelumnya membeda-bedakan seorang pun diantara mereka, sampai fitnah terjadi. Mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, sampai terjadi fitnah tentang Al-Qur`an. [3][3] Setelah itu mereka terbiasa berkata : “Katakan kepada kami siapa yang mengabarkan kepadamu? Jika berasal dari Ahlus Sunnah kami akan mengambil haditsmu, jika dari orang Ahli Bid’ah kami akan meninggalkannya.”

Diriwayatkan dalam ad-Darimi ,dia (Muhammad Ibnu Sirin) juga berkata :
“Ketika seseorang mengambil bid’ah, maka dia dapat dipastikan meninggalkan sunnah.”

Imam Ash Shatibi berkata :

“Sunnah adalah lawan dari bid’ah.”


Imam Syafi’i berkata :

“Sunnah adalah apa yang aku ikuti dan aku melihat Ahli Hadits mengikutinya.”

Umar bin Khattab r.a. berkata :

“Hati-hatilah dengan orang yang mengagungkan hawa nafsu, mereka adalah musuh sunnah. Mereka begitu capek (dengan apa yang mereka lakukan) sehingga mereka tidak ingin lagi menghafal hadits. Mereka akan (didefinisikan) menjadi orang yang tersesat.”

Abdullah Ibnu Umar dan Ali bin Abu Thalib r.a. berkata :
“Al Hawa bagi seseorang yang menjadi musuh sunnah, dianggap benar. Bahkan jika kamu mencekik lehernya sekalipun, dia akan tetap berfikir itu adalah pendapat yang benar.” [4][4]

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab berkata :
“Hidup bersama sunnah, lebih baik daripada ijtihad dalam bid’ah.” [5][5]

Abdullah bin Abbas diriwayatkan, telah berkata :

“Akan datang suatu masa, ketika seseorang membuat suatu hal yang baru, mereka membunuh (menghilangkan) satu sunnah, sampai datang waktu ketika semua bid’ah menjadi lazim dan sunnah menjadi jarang.”

Qadi Iyad berkata :

“Saya berteman dengan orang yang terbaik, mereka semua orang sunnah, mereka melarang kemungkaran dan bid’ah.”

Diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Abu Bakar Ayyas berkata :

“Orang-orang akan duduk mendengarkan ceramah ahli bid’ah yang sesungguhnya tidak pantas untuk mereka dengar. Mereka akan duduk mendengar ceramah dari beberapa orang yang berbeda. Tetapi orang Ahlus Sunnah, Allah akan mengangkat derajat dan kehormatannya. Sedangkan ahli bid’ah, tak seorang pun akan mengingatnya.”


Abu Dzar berkata :

“Ada tiga hal yang kamu tidak boleh membiarkan orang mengambilnya darimu, yaitu menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, mengikuti sunnah, dan berjihad untuk mencari ridho Allah SWT.” (Kitab Sunan Ad-Darimi hal. 532)


As-Sunnah Di Dalam Syari’ah
Dalam syari’ah, kata As-Sunnah memiliki banyak konotasi. Beberapa diantaranya, disebutkan sebagai berikut :

  1. As-Sirah dan At-Thariqah
  2. Al-Qadla’
  3. Al-Hikmah
  4. Al-Wahyu
  5. Asy-Syari’ah
  6. An-Naafilah

As-Sirah dan At-Thariqah
As-Sirah secara bahasa berarti jalan atau jejak dan At-Thariqah berarti “tradisi”. Sesungguhnya secara alamiah (sunatullah) ada dua jalan, Sunnatu As-Salaf Al-Mahmudah (sunnah salafus sholeh) dan Sunnatu As-Salaf Al-Mazmumah (sunnah salaf yang tercela).

Sunnatu As-Salaf Al-Mahmudah
Allah SWT berfirman dalam kitab suci Al-Qur`an :
“Allah hendak menerangkan (hukum syariat) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa (4) : 26)

Diriwayatkan dalam kitab Sunan ad-Darimi :

“Sunnah adalah prasyarat segala sesuatu”


Sunnatu As-Salaf Al-Mazmumah
Allah SWT berfirman dalam kitab suci Al-Qur`an :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa Rosul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang Rosulpun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. Demikianlah, Kami memasukkan (rasa ingkar dan memperolok-olokkan itu) ke dalam hati orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir). Mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur`an) dan sesungguhnya telah berlalu sunatullah terhadap orang-orang dahulu.” (QS. Al-Hijr (15) : 10-13)

Allah SWT berfirman :
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu, dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah Allah terhadap orang-orang dahulu.” (QS.Al-Anfal (8) : 38)

Al-Qodla’ (Takdir Allah SWT)
Sunnah dalam syariat juga diketahui sebagai ‘takdir Allah’. Nama lain yang juga dipakai adalah ‘sunatullah’ (ketetapan yang berdasarkan kekuasaan Allah).
Allah SWT berfirman :
“Sebagai suatu sunatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu.” (QS. Al-Fath (48) : 23)

Al-Hikmah
Al-Hikmah biasanya digunakan untuk memberi makna dalam persoalan fiqh (ketetapan hukum). Bagaimanapun juga, ketika Allah SWT menyebut kata Al-Hikmah ini berhubungan dengan kata “Qur`an” atau “Kitab” dan mempunyai arti Sunnah.
Allah SWT berfirman :
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al-Qur`an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah : 129)

Allah SWT berfirman :
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rosul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah : 151)

Allah SWT berfirman :

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al-Qur`an) dan Al Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al Baqarah : 231)

Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali Imran (3) : 164)

“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi sedikitpun mudharat kepadamu. Dan juga karena Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisa (4) : 113)

Dalam tafsirnya, Abdullah Ibnu Abbas berkata :

“Kitab dan Hikmah bermakna Al-Qur`an dan As-Sunnah.”

Al-Wahyu
Di dalam syariat, Sunnah juga bermakna ‘wahyu’ dari Allah SWT. Wahyu terbagi dua macam. Wahyu yang berbentuk Al-Qur`an dan wahyu yang berbentuk Al-Hadits.
Allah SWT menyebutkan keduanya di dalam ayat berikut :
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Ahzab (33) : 34)

Juga dalam firman Allah SWT :

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatnya kepada mereka.” (QS Al Jumu`ah (62) : 2)

Rasulullah SAW bersabda :
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, selama kalian tetap berpegang pada keduanya sepeninggalku, maka kalian tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnahku.” (Muwatta Imam Malik, hal 899 Hadits no. 1395)

Muadz bin Jabal bercerita ketika dia ditugaskan ke Yaman, Rasulullah SAW bersabda :
“Dengan apa engkau menghukumi, bila diajukan kepadamu suatu perkara?” Muadz menjawab : “Saya memutuskan dengan Kitabullah.” Beliau bertanya : “Kalau kamu tidak menemukannya dalam Kitabullah ?” Dia (Muadz) menjawab: “Saya akan memutuskan dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi : “Kalau kamu tidak menemukannya dalam Sunnah Rasulullah ?” Dia menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pendapatku, dengan sekuat tenaga.” (Sunan ad-Darimi, hal 60. Hadits no. 168)

Abdullah bin Umar berkata kepada Jabir :

“Wahai Abu Sha’fah, kamu seorang faqih dari Basra, jangan memberi fatwa kecuali dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Jika kamu mengikuti selain dari itu, maka kamu akan celaka dan kamu juga akan menyesatkan orang lain.”

Diriwayatkan dalam Sunan ad-Darimi, bahwa Abu Salamah berkata kepada Hasan Al-Basri :

“Tidak ada seorangpun dari kota Basra yang ingin saya temui kecuali kamu, tetapi saya berubah fikiran ketika saya mendengar kamu memberi fatwa dari akalmu (menggunakan logika).”

Imam Uzai’i meriwayatkan :

“Jibril as. Biasa turun membawa Sunnah kepada Nabi Muhammad SAW sama dengan cara dia datang kepada Nabi membawa Al-Qur`an.” (Sunan ad-Darimi, Hadits no. 587)

Asy-Syariat

Imam Asy-Syafi’i dan Hasan Al-Basri berkata :
“Asy-Syariat adalah As-Sunnah.”

Syekhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata :

“Sunnah adalah Syariat ; apa yang Allah SWT dan Rasul-Nya tetapkan sebagai hukum dari agama (Islam).”

Lawan Dari Bid’ah
Kami telah menunjukkan bahwa Sunnah diambil untuk menunjukkan lawan bid’ah.
Rasulullah SAW bersabda :
“Berhati-hatilah terhadap perubahan yang baru dalam agama, setiap perubahan yang baru (bid’ah) adalah sesat.” (Shahih Bukhari, Jilid 13, hal 149)

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak didasarkan pada ajaranku, maka perbuatan itu adalah dosa (tertolak).” (HR. Bukhari)

Dalam suatu kesempatan Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah, Beliau berkata dalam khutbahnya :

“Takutlah kepada Allah, dengarkan dan taatilah perintah Amir (pemimpin) walaupun ia berasal dari seorang budak. Sepeninggalku kamu akan melihat beberapa perpecahan dan banyak hal baru yang tidak berasal dariku, berhati-hatilah terhadap perubahan (bid’ah) karena setiap bid’ah adalah kesesatan (dlalalah).” (HR.Tirmidzi, Hadits no. 2600)

Dalam syariat, Sunnah juga ditemukan untuk menunjukkan amalan nafilah. Sebagai contoh, shalat dua raka’at setelah shalat maghrib dikenal sebagai Sunnah Rasul, atau shalat tahajjud yang dilakukan sepertiga terakhir malam, semuanya mengacu pada amalan (Sunnah) sebagai lawan dari amalan fardhu (wajib).

Ushuluddin
Di dalam syariat, Sunnah sering diartikan sebagai “pondasi agama”, yaitu sesuatu yang mengacu kepada Aqidah dan dasar Islam. Seluruh kitab Aqidah untuk Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah disebut kitab As-Sunnah. Di bawah ini adalah contoh-contoh kitab As-Sunnah :
Kitab As-Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal (Wafat 242 H)
Kitab As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad (Wafat 290 H)
Kitab As-Sunnah Abu Bakar bin Al-Athram (Wafat 272 H)
Kitab As-Sunnah, Ibnu Abi Aasim (Wafat 287 H)
Kitab As-Sunnah, Muhammad bin Nasr Al-Marwazi (Wafat 294 H)

Kitab As-Sunnah, Abu Ja’far Al-Tahawi (Wafat 310 H)
Kitab As-Sunnah, Imam Ahmad bin Muhammad (Wafat 311 H)
Kitab Sharh Ushul As-Sunnah, Ibnu Batta Al-Akburi (Wafat 387 H)
Kitab As-Sunnah, Ibnu Abi Zamnin (Wafat 399 H)


[1][1] Kita tidak bicara tentang Syi’ah di masa Imam Ali r.a., mereka dari kalangan Ahlus Sunnah. Kita bicara tentang kelompok Syi’ah Rafidah yang ada sekarang ini.
[1][2] Al Bid’ah diambil dari akar kata bada’a yang mempunyai arti membuat sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya atau juga berarti menemukan sesuatu yang baru. Al-Bid’ah kemudian diartikan sebagai sebuah penemuan baru atau sesuatu yang baru diadakan/dibuat. Dalam syariat, bid’ah didefinisikan sebagai sesuatu yang baru yang dimasukan ke dalam agama Islam, baik itu perkataan atau perbuatan, yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan penekanan pada pengingkaran kepada Allah SWT.
[1][3] Bid’ah mulai terjadi pada masa Imam Ahmad, dimana orang-orang mulai mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah kreasi (makhluk) Allah SWT (Untuk lebih jelas, lihat lampiran)
[1][4] Kitabul Sharh , hal 112

[5][5] Sunan ad Darimi, Jilid 1, hal 72

0 komentar: