Minggu, 08 Juni 2008

Pilar keberhasilah da'wah

Alhamdulillah, perjalanan dakwah di Indonesia dalam batas-batas tertentu telah mengalami banyak kemajuan dan kesuksesan. Para da’i sudah banyak yang memasuki wilayah-wilayah strategis dalam berbagai lapangan kehidupan. Dan dakwah sekarang ini sudah memasuki mihwar muasasi, yaitu fase di mana dakwah mulai tampil dan mengembangkan aktivitasnya di berbagai macam lembaga, baik lembaga keagamaan, pendidikian, sosial, ekonomi maupun politik. Bahkan dengan eksisnya beberapa partai Islam di pentas nasional, dakwah telah memasuk mihwar dauli, fase mengelola negara.

Kesuksesan dan capaian-capaian dakwah jika diukur dengan realitas masyarakat, khususnya umat Islam, tentu masih jauh. Karena secara umum yang dominan sekarang masih kekufuran dan kemaksiatan. Peradaban masyarakat dunia masih dikuasai oleh negara-negara sekuler dan kufur seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Cina, Hindia dan Korea. Sedangkan kondisi internal umat Islam masih dihadapkan berbagai macam kendala dan tantangan, kendala kebodohan, kemiskinan, dan kelemahan di berbagai macam lapangan kehidupan.

Sehingga, ketika dakwah memasuki fase baru, bukan berarti permasalahan semakin berkurang, tetapi semakin bertambah. Dan pada saat yang sama, berarti dakwah telah memasuki fase yang berat, penuh tantangan dan risiko. Semua problematika dakwah, baik dalam skala individu, keluarga, masyarakat maupun negara harus menjadi konsens dan perhatian juru dakwah. Keberhasilan dan capaian-capaian hasil dari dakwah dari terbukannya dunia baik berupa harta maupun kedudukan harus dikapitalisasikan untuk meningkatkan peran dakwah dalam skala yang lebih luas lagi. Bukan malah menjadi fitnah dan bumerang yang membahayakan perjalanan dakwah dan sekaligus para dai.

Sejarah dan realitas merupakan bukti yang kuat untuk menyatakan bahwa para dai dapat bersabar dan tahan uji ketika menghadapi kesulitan dan kekurangan harta, namun banyak yang jatuh ketika menghadapi kemudahan, gemerlapnya harta dunia, megahnya kedudukan dan manisnya wanita. Sehingga untuk menjaga komitmen para dai terhadap dakwah dibutuhkan kematangan iman dan takwa (sisi ruhiyah) serta kematangan pemahaman dan ilmu (sisi fikriyah). Kemudian menjaga keseimbangan antara kedua sisi tersebut. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (Ali Imran: 102)

Kematangan iman dan takwa hanya dapat diperoleh dengan menempuh proses-prosesnya. Sai’d Hawwa menjelaskan dalam kitabnya Al-Mustakhlash (Mensucikan Jiwa) yang merupakan syarh dari kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Gazali, menyebutkan ada 13 poin untuk menuju kematangan ruhiyah (iman dan takwa). Ke-13 poin itu harus dilaksanakan oleh para dai secara konsisten, yaitu sholat, zakat dan infak, puasa, haji, tilawah Al-Qur’an, dzikir, tafakkur, mengingat kematian dan pendek angan-angan, muraqabah, muhasabah, mujahadah dan mu’aqabah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad, khidmah dan tawadhu, mengetahui pintu-pintu masuk syetan ke dalam jiwa dan menutup jalan-jalannya, dan mengenal penyakit-penyakit hati dan cara melepaskannya.

Sedangkan untuk meraih kematangan pemahaman dan ilmu tidak ada cara lain selain terus belajar dan belajar, membaca dan membaca sampai akhir hayatnya. Etos belajar harus terus ditingkatkan bagi setiap dai muslim sehingga dia mencapai karakteristik rabbani. “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imran: 79)

Sholat adalah pilar utama untuk meraih kematangan iman dan takwa. Maka hendaknya para dai senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas sholatnya. Kualitas sholat seseorang dapat dilihat dari 5 faktor yaitu khusu’, menjaga syarat, rukun dan kesempurnaan pelaksanaan, tepat waktu, berjamaah dan dilaksanakan di masjid (mushola). Begitu juga para dai tidak boleh melupakan sholat-sholat tambahan seperti qiyamul lail, rawatib, dhuha, dan lain-lain. Jika kewajiban sholat telah dilalaikan para dai, maka mereka lebih lalai lagi dalam melaksanakan kewajiban yang lain.

Komitmen dalam menegakkan sholat telah dicontohkan secara sempurna oleh Rasulullah saw. sahabat dan generasi salafu shalih dari umat ini. Hadits Rasulullah saw. menyebutkan: Dari Al-Aswad berkata, saya bertanya kepada ‘Aisyah r.a., “Apa yang dilakukan Rasulullah saw. ketika bersama keluarganya?” Aisyah r.a. menjawab, “Beliau saw. membantu kerjaan keluarganya tetapi jika datang waktu sholat maka bangkit untuk sholat.” (HR Bukhari). Umar bin Khattab r.a. akibat lalai melaksanakan sholat ‘asar berjamaah, maka ia menghukum dirinya sendiri dengan menginfakkan kebunnya yang membuat ia lalai. Begitulah karakteristik generasi terbaik dari umat Islam sebagaimana diceritakan langsung dalam Al-Qur’an.

Seterusnya mereka harus disiplin melaksanakan faktor-faktor lainnya. Zakat dan infak dapat menyembuhkan sifat kikir dan menumbuhkan kedermawanan, shaum sebagai sarana mengendalikan hawa nafsu dan penguat kemauan, haji menumbuhkan jiwa pengorbanan, tilawah Al Qur’an meningkatkan iman dan melembutkan hati, dzikir dan do’a mendekatkan diri kepada Allah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad melatih keberanian, mengenal berbagai macam penyakit hati dan pintu-pintu syetan agar kita tidak jatuh pada maksiat dan kesesatan, tawadhu dan khidmah sebagai sarana penghilang kesombongan, muraqabah, muhasabah, mujahadah, dan mu’aqabah agar tidak tertipu dan lalai serta senantiasa bersungguh-sungguh dalam taat kepada Allah. Tafakkur untuk menajamkan pemikiran dan perasaan dan mengingat kematian supaya tidak cinta dunia dan segala tipuannya. Para dai juga harus waspada terhadap pintu-pintu masuk syetan dan bahaya penyakit hati.

Adapaun untuk mematangkan pemahaman dan ilmu, para dai harus senantiasa belajar dan membaca. Yusuf Qardhawi menyebutkan 6 macam ilmu dan tsaqafah yang harus dipelajari dan dikuasai oleh setiap dai, yaitu Ilmu-ilmu syariah, ilmu sejarah, ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu sain dan teknologi, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan informasi dan berita atau masalah-masalah realitas.

Dakwah adalah suatu pekerjaan yang paling mulia, proyek besar dan warisan para nabi. Sehingga dibutuhkan persiapan dan bekal bagi para dai untuk naik ke puncak kemuliaan. Kerja keras yang dilakukan secara berjamaah dan amal jama’i serta penguasaan realitas kehidupan yang kuat. Sehingga ada tiga kunci untuk meraih kesuksesan dakwah baik dalam sekala individu maupun jamaah, dalam sekala lokal, nasional, regional maupun internasional. Tiga kata kunci itu adalah rabbaniyah, waqi’iyah dan jama’iyah.

1. Rabbaniyah Dakwah

Rabbaniyah adalah kata yang berlawanan dengan madiyah (materialisme) dan juga berlawanan dengan ruhbaniyah (kependetaan). Rabbaniyah berasal dari kata rabb (Allah yang Maha Pencipta dan Pemelihara). Artinya dakwah yang bersumber dari wahyu Allah (Al-Qur’an dan Sunnah) dan berorientasi pada Allah; Dakwah yang mengajak pada Islam dan untuk merealisasikan Islam. Ketika Rib’i bin Amir diutus kepada Rustum, penguasa Parsia, maka dia berkata, “Kami diutus Allah –bagi orang-orang yang mau– untuk membebaskan manusia dari penyembahan pada manusia menuju penyembahan pada Rabb manusia, dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan Islam, dan dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat.

Ungkapan Rib’i ini sangat jelas, jelas dari sisi visi dan misi dakwah. Dan dari ungkapan ini menjelaskan bahwa kesuksesan dakwah sangat terkait dengan rabbaniyah manhaj, rabbaniyah da’i dan rabbaniyah hadaf atau sasaran. Tetapi ketika dakwah menjauh dari nilai-nilai rabbaniyah, dan lebih berorientasi pada materi dan kebendaan, maka Allah tidak akan menolongnya, dan yang berlaku adalah logika matematis dimana semua akan diposisikan sama. Dan inilah yang ditakutkan oleh Umar bin Khattab ra. ketika kader dakwah bermaksiat kepada Allah, maka logika yang berlaku adalah logika matematis, dimana yang akan menang adalah mereka yang memiliki sarana, prasarana dan persenjataan yang lebih lengkap.

Rabbaniyah juga lawan dari Rahbaniyah (kependetaan), yaitu dalam berdakwah tidak berorientasi pada ketaatan pada Allah, tetapi ketaatan pad pendeta atau pemimpin dakwah. Sehingga akan memunculkan kultus pada pemimpin dan berujung pada ketaatan buta yang tidak dilandasi pada kebenaran. Ketaatan pada pemimpin baik benar atau salah. Dan kondisi ini akan memunculkan pemimpin yang diktator, sulit menerima nasehat, kurang aspiratif dan tidak menumbuhkan suasana syuro’. Allah swt. berfirman, “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu mempelajarinya.” (Ali ‘Imran: 79)

Terkait dengan turunnya ayat di atas, Ibnu Abbas berkata, berkata Abu Rafi’ al-Quradhi, “Ketika Pendeta dan Rahib dari Nashrani dan Yahudi Najran berkumpul bersama Rasulullah saw. , maka Rasul saw. mengajak mereka masuk Islam.” Mereka berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau menginginkan kami menyembahmu sebagaimana Nashrani menyembah Isa?” Rasul menjawab, “Maha suci Allah, kami menyembah selain Allah, atau menyuruh menyembah selain Allah. Bukan untuk itu aku diutus dan diperintah”. Maka turunlah ayat tersebut.

Ayat ini berisi larangan penyembahan kepada para nabi dan rasul yang mendapat risalah kenabian. Dan jika larangan ini terkait dengan para nabi, maka larangan kepada selain nabi lebih utama. Berkata al-Hasan al-Bashri, “Tidak layak bagi orang beriman memerintahkan manusia menyembah para da’i dari orang beriman.” Berkata, “Karena dahulu suatu kaum satu sama lain saling menyembah, yaitu bahwa ahli kitab menyembah pendeta dan rahib mereka sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam.” (At-Taubah: 31). Disebutkan dalam al-Musnad bahwa ‘Adi bin Hatim berkata, “Ya Rasulullah kami tidak menyembah mereka.” Rasul saw. bersabda, “Ya, sesungguhnya mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dan ahli kitab mengikutinya. Itulah ibadah ahli kitab kepada pendeta dan rahib.”

Ibnu Abbas berkata, “Jadilah Rabbani, yaitu pemimpin, ulama, dan orang yang santun.” Berkata al-Hasan, “Fuqaha, ahli ibadah dan ahli taqwa.” Berkata ad-Dahak, “Bagi orang yang belajar Al-Qur’an harus faqih yaitu mengetahui maknanya.” Jadi, para rabbani adalah orang yang senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik belajar maupun mengajar. Mereka menyuruh beribadah dan taat pada Allah, bukan taat pada dirinya. Dan kalaupun taat pada dirinya, dalam konteks taat pada Allah swt. Mereka senantiasa berorientasi pada nilai-nilai Islam bukan berorientasi pada materi dan keduniaan.

Rabbani atau rabbaniyah adalah karakterisitik atau sifat dari orang dan lainnya. Maka rabbaniyah harus melekat pada dakwah, manhaj (pedoman), masdar (sumber), hadaf (sasaran), dai, qiyadah, dan jamaah. Dan warna inilah yang harus dominan dalam gerakan dakwah, “Warna (celupan) Allah, siapakah yang paling baik warnanya melebihi warna Allah, dan kami beribadah kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 138)

2. Waqi’iyah

Waqi’iyah yang dimaksud di sini ialah bahwa dakwah harus dapat berjalan dalam raelitas manusia dan tidak menjauh dari realitas manusia. Bahkan dakwah harus dapat menyelesaikan problematika yang dihadapi manusia. Sehingga para dai harus menguasai Fiqhul Waqi’i

Fiqih Waqi adalah ilmu yang membahas tentang pemahaman terhadap suatu kondisi kontemporer, seperti faktor-faktor yang berpengaruh pada masyarakat, kekuatan yang menguasai suatu negara, pemikiran-pemikiran yang ditujukan untuk menggoncang aqidah dan jalan-jalan yang disyariatkan untuk memelihara umat dan ketinggiannya baik pada saat sekarang maupun yang akan datang (Fiqhul Waqi, Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umr).

Jika salah satu fokus yang akan kita bahas itu pemuda dan mahasiswa, maka cakupannya di antaranya: pengetahuan tentang realitas mahasiswa secara keseluruhan dan mahasiswa muslim sekarang, faktor-faktor yang mempengaruhi mereka, kekuatan yang berpengaruh pada mereka, pemikiran-pemikiran yang berkembang di antara mereka dan yang merusak akidah mereka. Dan terakhir, bagaimana solusi untuk memperbaiki mereka dan merubahnya sesuai tuntunan Islam.

Realitas mahasiswa muslim di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan realitas umat Islam di Indonesia. Dan realitas umat Islam di Indonesia merupakan bagian dari realitas umat Islam secara keseluruhan. Oleh karenanya seluruh umat Islam, di dalamnya mahasiswa muslim harus mengetahui realitas itu semua kemudian ikut aktif menyelesaikan problem yang dihadapi dengan selalu mengacu skala prioritas.

Realitas umat Islam sekarang di seluruh dunia hampir memiliki kesamaan. Apalagi dengan semakin majunya teknologi informasi. Realitas itu dapat disimpulkan menjadi dua masalah besar. Pertama, jahlul umat ‘anil Islam (bodohnya umat Islam terhadap Islam). Kedua, saitharotul a’daa (umat Islam dikuasai musuh Islam). Dari realitas besar inilah semua umat Islam yang mengetahui dan sadar akan ajarannya harus memberikan saham dalam menyelesaikan problematika umat. Rasulullah saw. bersabda, dari Hudzaifah Bin Yaman r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang tidak memperhatikan urusan umat Islam, maka bukan golongan mereka.” (At-Tabrani)

Adapun realitas perjuangan umat Islam di seluruh dunia sangat terkait dengan perjuangan umat Islam di Palestina, Timur Tengah, Afghanistan, dan Irak. Nampaknya perubahan peta politik dunia akan sangat dipengaruhi dengan pertarungan gerakan Islam Palestina yang dipimpin Hamas melawan Yahudi Israel, kaum muslimin Afghanistan dan Irak melawan penjajahan Amerika, gerakan Islam di Timur Tengah menghadapi rezim pemerintahan masing-masing, dan gerakan Islam di Pakistan melawan kaum Hindu di India.

Sedangkan realitas Umat Islam di Indonesia tidak terlepas dengan dua masalah besar tersebut, yaitu bodohnya umat akan ajaran Islam dan orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam yang menguasai umat Islam dan kekayaan negerinya. Dua sebab inilah yang menyebabkan semua sistem kehidupan di Indonesia menjadi rusak. Sistem politik sangat sekuler dan dikuasai politikus yang sekuler dan rusak. Ekonomi yang berkembang adalah ekonomi kapitalis yang bersandar pada sistem perbankan ribawi dan pasar bebas yang tidak melindungi kaum yang lemah. Kehidupan sosial sangat buruk jauh dari moral Islam. KKN masih mendominasi sistem kehidupan sosial dan birokrasi pemerintahan. Tingkat kerusakan sosial sangat parah. Narkoba, seks bebas, pornografi, dan bentuk kerusakan sosial selalu menghiasai kehidupan di masyarakat. Sistem pendidikan sangat rapuh dan tidak melahirkan manusia yang bertakwa.

Kondisi sosial politik negara Indonesia dan negara muslim lain dapat digambarkan sebagaimana hadits berikut: Segeralah menuju kematian, jika menemui 6 hal; pemimpin bodoh, banyak polisi, menjual hukum, meremehkan (menumpahkan) darah, memutus persaudaraan dan orang menjadikan Al-Qur’an seruling yang dinyanyikan dan menjadi rujukan walaupun paling minim pemahamannya.” (HR Ahmad)

Jika 6 kondisi tersebut dominan dalam suatu bangsa, maka Rasulullah saw. seolah menganjurkan untuk mati saja. Hadits ini adalah peringatan kepada unsur kebaikan dan reformis dalam suatu bangsa baik ulama, cendikiawan, pemuda dan mahasiswa untuk mencegah terjadinya kerusakan masal dengan melakukan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan perbaikan atau reformasi.

Berbicara tentang reformasi, maka mahasiswa adalah pilar yang senantiasa berada di garda terdepan, dan sejarah telah membuktikannya. Rezim Orde Lama dan Orde Baru jatuh karena tekanan mahasiswa. Walaupun mahasiswa dan mahasiswa muslim di Indonesia masih bagian dari produk keluarga-keluarga mereka dan produk dari masyarakat mereka serta produk dari bangsanya, dan mahasiswa tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial politik masyarakat dan bangsa Indonesia, namun dibanding dengan unsur bangsa lainnya, merekalah yang masih relatif bersih dan komitmen pada agenda reformasi. Oleh karena itu, mereka harus segera menyelesaikan problem internalnya, melakukan konsolidasi kemudian keluar melakukan reformasi secara menyeluruh. Utamanya reformasi terhadap kerusakan yang ada dalam tubuh pemerintahan dan sistemnya. Dan kunci kekuatan kaum pelajar dan mahasiswa adalah idealisme: kecerdasan, sikap kritis, dan kepekaan sosial; keberanian; dan pengorbanan.

Realitas umat Islam sekarang sangat terkait dengan periodisasi kekuasaan yang telah diprediksi oleh Rasulullah, dimana era sekarang adalah era kepemimpinan malikan jabariyan atau kepemimpinan orang-orang yang zhalim dan tidak menerapkan syariat Islam. Oleh karena itu aktivitas yang terpenting dalam era sekarang adalah berdakwah mengembalikan ajaran Islam dalam tataran kehidupan pribadi muslim, keluarga, masyarakat, dan negara.

Agar para dai dan aktivis muslim mengetahui kondisi riil secara nyata, maka mereka harus senantiasa berinterkasi dengan setiap peristiwa yang dihadapinya. Peristiwa dan kejadian setiap saat muncul dan berkembang, maka para dai tidak boleh lalai terhadap hal-hal yang terkait dengan kejadian yang berakibat pada kemajuan dan kemunduran umat dan berupaya menganlisa setiap peristiwa tersebut untuk kemudian berupaya mencari solusinya sesuai dengan fiqih syar’i. Maka fiqih syari’i tidak akan begitu efektif dan menyelesaikan masalah jika tidak menguasai waqi atau realita. Begitu realita yang dihadapi umat harus senantiasa diarahkan agar sesuai dengan fiqih Syar’i.

3. Jama’iyah

Jama’ah (lembaga/organisasi) adalah keniscayaan dalam dakwah dan kesuksesan dakwah. Dan amal jama’i harus menjadi bagian tak terpisah yang dilakukan para dai. Umar bin Khattab r.a. berkata, “Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah, tidak ada imarah kecuali dengan taat dan tidak ada taat kecuali dengan baiat.” Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Islam tanpa ditopang dengan sistem, maka akan dikalahkan oleh kebatilan yang ditopang dengan sistem.” Dan era sekarang adalah era jaringan dan jama’ah.

Amal Jama’i dapat dilakukan dalam dua dimensi. Pertama, amal jama’i antara sesama dai secara perorangan dalam satu gerakan dakwah. Kedua, amal jama’i yang dilakukan antara dua lembaga, dua yayasan, dan dua harakah dakwah atau lebih untuk kemaslahatan Islam dan umat Islam. Amal jama’i dalam bentuk yang pertama sudah biasa dilakukan, tetapi amal jama’i bentuk kedua masih sangat jarang dilakukan.

Jika antar partai dapat berkoalisi untuk tujuan pragmatis, kenapa antar gerakan Islam tidak dapat beramal jama’i untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Dan sesungguhnya di sinilah rahasia kemenangan dakwah dan kunci mendapat rahmat dari Allah. “Kalau Rabbmu menghendaki, maka Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali yang dirahmati oleh Rabbmu.” (Hud: 118). Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak menyatukan umat ini pada kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah.” (Al-Hakim).

Proyek amal jama’i antar harakah itu sangat penting, karena sejatinya setiap harakah memiliki kelebihan masing-masing. Ada yang memiliki kelebihan dalam pendekatan kepada umat yang masih awam dan bergelimang dalam kemaksiatan. Mereka berhasil melakukan tabligh dan membuat banyak umat Islam yang insaf dan menegakkan shalat serta berakhlak mulia. Jama’ah ini sangat banyak dan tersebar keseluruh dunia. Mereka juga sangat bersemangat untuk mendakwahi non muslim di negara-negara barat.

Ada juga harakah lain yang memiliki kelebihan dalam penyebaran fikroh Islam khususnya masalah khilafah Islam. Pemikiran-pemikiran Islam berhasil mereka angkat untuk melawan pemikiran sekuler dan pemikiran barat. Dan karya-karya para pemikir gerakan ini layak untuk jadi kajian pemikiran Islam versus pemikiran sekuler. Sementara ada harakah lain yang memiliki kelebihan dalam ta’shil (menjaga keaslian) akidah dan syariah dari kemusyrikan dan bid’ah.

Amal jama’i itu semuanya terkait dengan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya orang-orang beriman. “Dan Allahlah yang yang menyatukan hati-hati orang beriman. Jika engkau infakkan seluruh kekayaan yang ada di muka bumi, engkau tidak dapat menyatukan hati-hati orang beriman, tetapi Allahlah yang menyatukan hati-hati mereka. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Bijaksana. Wahai Nabi, cukuplah bagimu Allah dan orang-orang yang mengikuti dari orang beriman.” (Al-Anfaal: 33-34). Dan puncak dari kesuksesan dakwah, ketika gerakan Islam berhasil menyatukan umat. Jadi, saat berinteraksi dengan siapapun seorang dai harus selalu ingat bahwa dirinya adalah unsur perekat umat. Bukan pelebar jurang perbedaan. Wallahu a’lam.

0 komentar: