Sabtu, 21 Juni 2008

Murji'ah

Memahami Aqidah Islam adalah kewajiban dari setiap Muslim. Untuk berhati-hati tentang semua topik-topik Aqidah Islam, dari mula sampai akhir semua berdasarkan pada As Salaf Us Salih adalah sangat penting. Tidak mempunyai pemahaman yang dangkal atau pemahaman yang parsial dari sebuah topik tertentu dalam Aqidah seperti topik tentang Imaan atau Asmaa’ wal Sifaat. Itu baik hanya untuk mempelajari sedikit disini dan disana; tetapi kita harus mempelajarinya secara mendalam. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal bahwa kita tidak pernah belajar semua hal yang Islami dari masa kecil dan kemudian kita tiba-tiba berfikir bahwa kita bisa memahami semua tentang Aqidah saat ini.

Kita harus belajar mulai dari masa kecil, terutama orang-orang yang memutuskan untuk belajar Aqaa’id dari kita tanpa pondasi terlebih dahulu, tidak bersama dengan pemahaman Ulamaa dan pondasi atau tanpa berkonsultasi dengan Ulamaa’.

Apa yang perlu diketahui dari Islam adalah bahwa Dien Islam berdasarkan pada wahyu; bukanlah permasalahan bahwa orang-orang bisa saja mengklaim mereka menemukan wahyu karena wahyu hanya dalam Qur’an dan Sunnah. Itu bukanlah hanya tentang apa yang telah diturunkan selama 23 tahun dalam Qur’an dan perkataan, perbuatan dan persetujuan dari Nabi Muhammad Saw.. Kita harus mengetahui kondisi diturunkannya wahyu. Selanjutnya Nabi Saw. berkata bahwa sunnahnya saja tidak cukup, kita juga harus mengikuti Sunnah para Shahabat.

Telah diketahui dengan baik diantara Ahlul Ilmi bahwa berbohong, merusak dan interpretasi diatributkan oleh golongan yang menyimpang, ahli filsafat dan orang-orang rasionalis. Itu karena mereka adalah Ahlul Bid’ah, perkerjaan mereka adalah menyebarkan bid’ah dan karena mereka mempertahankan pendirian mereka. Mereka pada akhirnya mengarang hadits, atau menginterpretasikan dengan salah agar mereka bisa membenarkan bid’ah mereka.

Maka dalam topik ini terfokus pada sebuah penyakit berbahaya yang menular, penyakit yang paling kotor yang merasuk dalam Ummat Muslim pada hari ini. Itu sangat berbahya dan meracuni seluruh tubuh Ummat, itu menjadi seperti sebuah kanker yang tumbuh setiap hari dan merupakan sebuah kewajiban untuk membongkar penyakit ini. Terutama jika kita mengetahui bahwa penyakit ini mempunyai dampak langsung kepada orang lain secara tegas. Penyakit ini adalah penyakit Al Iraa’.

Al Irjaa’ dalam bahasa Arab adalah sebuah kata keterangan dari kata Arja’a, yang berarti sesuatu. Jika kita membuat Irjaa’ untuk segala sesuatu, kita menunda atau mengeluarkannya.

Irjaa’ diantara Ulama bahasa, berarti “mengeluarkan perbuatan dari atas nama Imaan”. Diantara Murji’ah kita akan menemukan perbuatan perbuatan yang menjadi khusus seperti bahwa pada saat mereka menjelaskan Imaan, bukanlah perbuatan. Hal itu sebagaimana telah diketahui diantara firaq (golongan) bahwa kelompok yang melakukan pemisahan ini adalah Murji’ah; mereka adalah salah satu orang-orang yang mengecualikan (memisahkan) perbuatan dari Imaan. Mereka memisahkan perbuatan mereka dari apa yang mereka yakini dan dengan demikian mereka tidak akan pernah menyebut seseorang (yang melakukan maksiat) dengan sebutan fasiq, tetapi mereka menyerahkan perbuatan tersebut (perhitungannya) sampai hari pengadilan.

Seseorang yang terkena penyakit ini (irjaa’) tidak akan pernah menilai/menjustifikasi seseorang dengan Fasiq, Kafir atau Murtad, mereka menyerahkan hal tersebut kepada Allah, mereka percaya bahwa imaan hanyalah dalam hati dan kemudian mereka selalu mengecualikan semua perbuatan, lisan atau sesuatu yang tampak dari Imaan.

Murji’ah adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah, Rasul, Malaikat, Kitab-kitab, Qada’ dan Qadar dan lainnya hanya dalam hati. Diantara mereka ada orang-orang yang mengatakan bahwa cukup untuk mengimaninya dalam hati kita, atau Imaan adalah yang diucapkan dengan lidah dan yang ada dalam hati, kemudian mereka menjadikan perbuatan adalah sesuatu yang lebih (di luar), atau tidak termasuk dalam Imaan. Mereka mengatakan bahwa itu di luar Imaan, bukan bagian dari Imaan.

Berdasarkan pemahaman yang salah, mereka mengajak pada ajaran yang sangat berbahaya dalam Aqidah. Ini adalah pemahaman yang salah mengenai Imaan dengan mempercayai bahwa semua orang yang mengalihkan (tidak mengerjakan) dari semua perbuatan yang telah diperintahkan oleh Rasulullah Saw. yaitu mereka tidak mempunyai perbuatan sama sekali (tidak melaksanakan) alias mereka tidak memenuhi semua kewajiban Islam, bahwa itu tidak mengeluarkan mereka dari Imaan walaupun mereka bisa untuk melakukannya. Mereka percaya bahwa mereka (pelaku perbuatan tersebut) tidak akan membatalkan imaan mereka tidak juga meninggalkan ikatan Islam.

Kedua, mereka akan percaya bahwa Imaan tidak akan pernah berdampak atau membatalkan apapun oleh semua perbuatan, namun merusaknya kecuali itu dikombinasikan dengan Juhud atau Istihlal dalam hati atau menolak kewajiban dalam hati atau membolehkan larangan dalam hatinya.

Mereka percaya bahwa ‘tidak ada yang bisa membatalkan Tasdiq kecuali Takdzib.’ Ini adalah dua penyimpangan yang mendasar dari Murji’ah. Itu berarti bahwa kita hanya membawa kalimah dalam hati kita tanpa melakukan semua perbuatan atau kewajiban apapun, atau bahwa Imaan kita adalah dalam hati kita dan apakah perbuatan kerusakan, Fusuq, fujur, kufur, kita tidak akan meninggalkan Islam, tetapi kita masih terus Mu’min.

Ada banyak jenis dari Murji’ah : Asyaa’irah, Karramiyyah, Murji’atul Fuqahaa dan sebagainya. Kita bisa mengenali mereka pada saat mereka mengatakan bahwa perbuatan bukanlah pilar Imaan, bahwa itu adalah syarat lebih, dan pada saat mereka mengatakan bahwa tidak ada kufur kecuali pada saat mengkombinasikan dengan Juhud dalam hati atau Istihlal dalam hati.

Inilah mengapa murji’ah memiliki sebuah problem dengan bab-bab murtad dari buku-buku para ulama salaf. Karena mereka mengatakan bahwa kami tidak pernah tahu siapa itu orang-orang yang murtad.

Bahaya kedua dari hal ini adalah secara vitalitas yang Allah telah turunkan dari manusia akan menghilang, vitalitas yang menghubungkan antara bagian dalam dan bagian luar secara bersamaan, bahwa hubungan hati dengan lisan dan perbuatan. Vitalitas ini adalah inti dan mengendalikan kekuatan dibelakang perbuatan, jenis dari pemahaman ini akan membuat imaan hanya sebatas sebuah teori, beku dalam hati. Orang-orang ini akan mempunyai aqidah yang komplit tetapi ‘mati’ dan mereka tidak pernah mempunyai sebuah perbuatan (sebagai akibat langsung dari iman di hati) karena mereka percaya bahwa perbuatan tidak ada hubungan apapun dengan Imaan.

Dengan pemahaman itu, jika kita menjadi Mu’min, kita tidak perlu melakukan semua perbuatan! Mereka tidak melihat kebutuhan untuk melakukan semua perbuatan, pada saat mereka melihat kita berdoa’ atau menyeru kabaikan dan mencegah kemunkaran ; mereka akan berkata ‘Mengapa kamu membuat masalah untuk dirimu sendiri?’

Akhirnya, orang-orang akan mengatakan kekufuran dan melakukan perbuatan kufur (tapi tidak dikatakan kufur), dan mereka akan menyeru orang-orang pada kekufuran, mereka akan menjadi orang-orang yang pertama yang memerangi Islam karena mereka mengklaim bahwa mereka adalah Muslim, dan karena mereka mengatakan laa ilaaha illallah. Ini adalah hal yang sangat berbahaya bagi Aqidah seorang Muslim. Dan kita melihat bahwa mereka semua mempunyai penyakit fundamental yang sama.

Penyakit ini telah muncul dalam Ummat ini sejak abad 4-5 Hijriyyah dan mereka mempunyai interpretasi untuk segala sesuatu. Dengan tujuan untuk menghubungkannya dengan mereka, kita harus melihat secara mendalam bagaimana penyebabnya dan bagaimana itu tersebar.

Jika kita menjelaskan Al Irjaa’, itu adalah seperti mengatakan “kalimat laa ilaaha illallah Muhammadan Rasulullah dan kemudian melempar (membuang, menghina) Mushaf (Al-Qur’an), menghancurkan Ka’bah, mencium salib dan menyeru orang-orang pada kesamaan (persamaan) beragama, untuk menjadi Yahudi atau Nasrani.” Karena semua itu tidak akan berdampak pada imaan kita.

Orang-orang sekuler yang tidak mempunyai dien bergembira dengan irjaa’, tidak menjadi masalah besar bagi mereka, tetapi menjadi masalah bagi orang-orang yang menyeru untuk kebangkitan (aktivis Islam), orang-orang yang secara tampak (zahir) melaksanakan Islam tetapi mereka menyeru untuk irjaa’. Al Irjaa’ cocok dengan orang-orang sekuler, Fasiq Fajir, dan Al Irjaa’ cocok dengan Kuffar tetapi untuk memasukkannya ke dalam ‘darah’ (kelompok) Muslim dan para aktifis, mereka malah menjadi penghalang besar kepada kebangkitan.

Al Imaan mempunyai tiga pilar: mereka menyatu (At-Talazum) bersamaan dan tidak bisa dipisahkan:

1. Al I’tiqaadu bil Qalb – Keyakinan yang kuat dalam hati

2. Al Iqraar bil lisaan – diucapkan dengan lisan

  1. Al Amal al Jawaarih – dilaksanakan dengan ikhlas oleh anggota tubuh

Itulah yang disebut Imaan. Di dalam dan bagian tersembunyi itu adalah beriman dalam hati, sambil Imaan yang tampak adalah mengucapkan dengan lidah dan melaksanakan dengan anggota tubuh. At Talazum (penyatuan) diantara yang tersembunyi dan yang tampak adalah imaan bersamaan.

Segala yang kita katakan atau kita lakukan akan berhubungan dengan keimanan kita. Imaan kita akan meningkat dengan perbuatan baik yang kita kerjakan dan akan menurun dengan perbuatan dosa yang kita kerjakan dan imaan akan batal dengan semua kekufuran yang diucapkan atau dilakukan atau diimaani.

Imaan membatalkan kufur, kita tidak mengatakan bahwa Imaan membatalkan takdzib (berbohong); tetapi As Siddiq membatalkan kebohongan, dimana Imaan adalah lawan dari kufur. Jadi pada saat seseorang mengatakan bahwa saya percaya kepadamu, yang berarti itu adalah lawan dari berbohong padanya.

Mengapa Irjaa’ tersebar? Di masa lampau, orang-orang menjadi Murji’ karena mereka mengutip Hadits dari Abu Hurairah dimana Rasulullah Saw. bersabda,

“Allah memerintahkanku untuk memerangi orang-orang sampai mereka mengucapkan laa ilaaha illallah.”

Kemudian mereka mengatakan bahwa “itu cukup.” Dan mereka mengutip bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

“Jika kamu melihat seseorang mengucapkan laa ilaah illallah dan mengimaninya dalam hati, bersaksi bahwa mereka berada dalam jannah.”

Dan kemudian mengatakan bahwa “itu cukup.” Mereka mengklaim bahwa imaan cukup hanya dengan percaya atau mengucapkan dengan lisan kita bisa bersaksi dengan lidah dan itu cukup. Sebagian ekstrim Murji’ah akan lebih lanjut mengambil semua permasalahan yang diperlukan Tauhid dan mereka akan meninggalkannya dan menyampingkannya, seperti berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan bahkan itu berarti pengertian dari Kalimah, “tidak ada sesuatu pun yang berhak disembah, ditaati, atau diikuti kecuali Allah.”

Mereka salah memahami hal-hal tertentu, ‘Ulama’ mereka mempunyai jalan yang membingungkan dari mengutip sesuatu, dan mereka mengambil hadits diluar konteks, mengambil hujjah diluar konteks. Selanjutnya, ada dua cara untuk mengenali Murji’ah. Jika kita ingin mengekspos Murji’ah, kita ingin mengikuti hujjah yang mereka gunakan, kita akan menemukan mereka tidak menggunakan keseluruhan ayat atau hadits, atau mereka akan mengambil yang diluar konteks, atau kadang-kadang mereka akan menilai sebelum mereka mengakhiri Hadits atau tanpa memeriksa hadits lain. Jika mereka menemukan hadits lain yang berlawanan dengan mereka kemudian mereka tidak akan mengkombinasikan atau berat sebelah terhadap salah satu hadits tersebut, selain mereka akan menyalahkan hadits yang lain atau mereka menyembunyikannya.

Cara kedua untuk mengenali mereka, adalah bahwa mereka selalu merujuk pada hadits yang dha’if atau mauduu’. Itu karena mereka tidak pernah mengecek hadits, orang-orang Asya’ri dan Maturidi tidak memeriksa hadits dan bukan ahlinya. Sebagian dari mereka bahkan mengatakan bahwa mereka mengambil hadits yang lemah dalam fadaa’il ul a’mal, namun mereka akan mengabaikan hadits yang shahih jika itu tidak disetujui dalam mahzab mereka.

Juga, Murji’ah akan mengambil sebuah bagian dari syari’ah tanpa mengatributkannya kepada prinsip yang umum, mereka menuju kepada fari’ (cabang) dan meninggalkan Al-Asl (pokok). Mereka tidak mengetahui bagaimana mengatributkan cabang pada akarnya.

Juga dalam bagian lain bahwa Murji’ah telah menyimpang dengan mendistorsi hujjah dan merubah arti; mereka selalu mencoba untuk mengaplikasikan hujjah pada sebuah realitas yang tidak pernah ada. Mereka tidak mencoba untuk memeriksa realitas hujjah; mereka tidak menelusuri realitas yang lama tidak juga memeriksa realitas yang baru. Mereka akan mengubah semua ayat untuk menyesuaikan dengan keinginan mereka seperti, mereka akan mengutip “penuhilah akad-akad mu” dan kemudian mengatakan “selanjutnya asuransi dibolehkan.” Mereka mengeluarkan manaat-nya. Hal ini berbeda dengan kaidah ushul Ulamaa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang selalu memeriksa realitas (selain hujjah).

Kadang-kadang Murji’ah merujuk pada sebuah hadits dan akan men-generalisirnya pada semua hal, seperti berkata, Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Janganlah membahayakan dirimu…” kemudian “selanjutnya kita harus voting (dalam sistem kufur) dengan kata lain kita akan membahayakan diri kita! (jika tidak voting)”. “Masukkan anak-anak ke sekolah-sekolah kufur dengan kata lain kita akan membahayakan diri kita! (jika tidak demikian)”

Mereka selalu melakukan inovasi (bid’ah), Murji’ah sangat kreatif dalam membuat bid’ah. Mereka ahli innovator, terutama orang-orang Sufi. Sayangnya, penyakit murjiah ini telah dianggap sebagai sesuatu yang Islami, padahal mereka sangat sulit (tidak mau) mengatakan bahwa para thaghut itu telah Kafir, mereka akan meninggalkan masalah ini dan menundanya sampai hari pengadilan (tidak menentukan sikap terhadap kekafiran).

Ketiga, kita perlu merujuk pada apa yang mereka pijak untuk mengekspos mereka. Mereka merujuk pada Imaan sebagai Tashdiq, tetapi imaan tidak demikian, lawan dari imaan adalah kufur, pada saat lawan dari Tashdiq adalah Takdzib. Mereka tidak sama, Imaam Syafi’i berkata,

“Imaan adalah Ismun Syar’i (kata ketuhanan).”

Legislator (Allah swt) menggunakannya untuk menunjuk pada sesuatu tertentu, itu adalah:

“Keseluruhan dari perkataan dan perbuatan yang kita imaani.”

Itu (imaan) bukanlah nama (kata) buatan manusia, itu adalah perkataan, perbuatan dan keyakinan, kita harus mengetahui bahwa jika Syari’ah mendefenisikan sebuah istilah, kita tidak mengikuti pengertian secara bahasa dan tidak dibolehkan untuk memilih perngertian secara bahasanya saja kecuali jika kita tidak mempunyai pengertian syar’i; jadi pada saat mereka mendefenisikan Imaan sebagai Tashdiq, itu benar-bener omong kosong! Karena wahyu menjelaskannya kepada indikasi keseluruhan dari perbuatan dan perbuatan yang kita imani.

Kita perlu mempelajari semua istilah yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti zakat dalam bahasa Arab berarti ‘pananaman’, tetapi kita tidak mengatakan Zakat adalah penanaman, karena zakat mempunyai sebuah pengertian syar’i dalam syari’ah dengan sebuah nisaab tertentu, zakat mempunyai syarat dan pencegahannya, mempunyai perhitungan tertentu dan dibayarkan pada orang tertentu, itu adalah kata benda syar’i.

Sama halnya dengan imaan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, kita tidak bisa hanya merujuk pada pengertian secara bahasa saja. Jika kita mencoba untuk memahami itu secara bahasa, kita tidak akan pernah melakun demikian. Pertama, karena kita tidak akan pernah mempunyai tingkatan yang sama dalam bahasa Arab seperti Shahabat dan kedua karena Qur’an tidak seperti kitab-kitab lain. Pada saat kita melihat semua istilah dari Qur’an, kita harus melihat pada apa pengertiannya, bagaimana kondisi dari wahyu, waktu, tempat; kita harus melihat pemahaman Shahabat. Itu tidak dalam kasus kita hanya merujuk pada semua ahli bahasa untuk menemukan semua pengertiannya, karena kita mempunyai pengertian syar’i.

Masalahnya kemudian adalah bahwa orang-orang mengikuti pengertian secara bahasa dan meninggalkan pengertian syari’ah dan itulah mengapa pada saat kita belajar Usul Fiqih, kita selalu mempelajari pengertian keduanya. Jika pengertian tidak ditemukan dalam syari’ah, kemudian kita merujuk pada pengertian secara bahasa karena Qur’an di turunkan dalam bahasa Arab.

Kemudian kita harus membatasi diri kita pada pemahama Salafus Salih, yang percaya bahwa,

“Imaan adalah sebuah nama syar’i yang digunakan oleh sang Pencipta untuk mengindikasikan sesuatu tertentu, itu gabungan seluruh ucapan, perbuatan dan kayakinan…” [Kitabul Imaan Ibnu Taimiyah]

Imam Syafi’i dalam kitabul Imaan berkata,

“Imaan adalah sebuah istilah syar’i yang mengindikasikan, ucapan, perbuatan dan keyakinan.”

Lebih lanjut, Imaam tidak mengartikan Imaan adalah Tashdiq, bahkan secara bahasa. Jika seseorang berkata kepada kita dalam bahasa Arab kita akan berkata, “Aku percaya kepadamu,” bukan “Aku beriman padamu.”

Kata imaan adalah lawan dari kufur tidak seperti Tashdiq lawan dari Takdzib (bohong), seseorang yang tidak beriman kita katakan dia kafir; kita tidak mengatakan dia adalah kaadzib. Sama halnya seseorang yang mengatakan sebuah kebohongan kita tidak mengatakan bahwa dia kafir, kita mengatakan dia pembohong. Ini sangat penting, pada saat kita berbicara tentang iman dan tahsdiq, kita melihat mereka mempunyai pengertian yang sama, tetapi pada saat mereka datang bersamaan mereka mempunyai sebuah pengetian yang berbeda. Sama halnya dengan Al Imaan dan Al Islam, keduanya mempunyai pengertian yang sama pada saat disebutkan secara terpisah, tetapi pada saat keduanya bertemu mempunyai pengertian yang berbeda.

Al Islam adalah Al Imaan dan Al Imaan adalah Al Islam, keduanya adalah menaati Allah secara tersebunyi atau yang tampak. Tetapi pada saat keduanya datang bersamaan mempunyai pengertian yang berbeda seperti dalam hadits tentang Jibril As, pada saat dia datang pada Rasulullah Saw. dan bertanya tentang Islam dan Imaan, mereka datang dalam teks yang sama dan mempunyai pengertian yang berbeda. Di sini Rasulullah Saw. telah berbicara tentang Islam sebagai sesuatu yang tampak dan imaan adalah perbuatan yang tersembunyi, Islam adalah untuk beriman pada Allah semata dan menaati-Nya kemudian mempunyai Baraa’ terhadap Syirik dan orang-orangnya.

Dalam Hadits Muslim, dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

“Al Imaan mempunyai 70 cabang, yang paling tinggi adalah mengucapkan Laa ilaaha illallah (ucapan) dan yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang berbahaya dari jalan (perbuatan) dan Hayaa’ (malu) adalah (bagian) dari Imaan.”

Maka Imaan adalah perkataan dan perbuatan, yang tersembunyi dan yang tampak, dan imaan bertambah dan berkurang. Allah Swt. berfirman,

“dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka.” (QS Al Anfal, 8: 2)

Umar meriwayatkan bahwa pada saat seorang pria bertanya pada Rasulullah tentang Islam, beliau Saw. menjawab,

“Al Islam adalah menyembah Allah tanpa menyekutukannya, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji ke rumah…” [Muslim]

Semua ini adalah termasuk dalam imaan, seseorang yang kehilangan-nya bukanlah Muslim, dan tidak disebut Islam kecuali dia mempunyai semua ini. Jadi pertanyaan-nya adalah pengertian secara bahasa yang mana dari kata yang bisa membawa semua pengertian ini? Pengertian secara bahasa yang telah dijawab sama seperti Rasulullah dalam hadits ini? Jadi kita tidak mengikuti pengertian secara bahasa dalam semua hal, kita harus merujuk pada syari’ah semata.

0 komentar: