Sabtu, 28 Maret 2009

Fatwa "nyeleneh" seputar tragedy Ghaza Antara pro dan kontra

Oleh: Uwais Abdullah

Peristiwa pembantaian kaum muslimin Ghaza cukup mengundang perhatian seluruh lapisan masyarakat dunia. Dengannya bermunculan berbagai tanggapan serta tawaran solusi untuk menyelesaikan pertikaian tersebut. Satu fihak yang lebih cenderung untuk menempuh jalan perdamaian dan fihak lain yang muak dengan penghianatan pihak yahudi yang selalu ingkar janji.
Dengan banyaknya tanggapan ini, perasaan ragu-ragu dan khawatirpun akhirnya menyelimuti sebahagian mereka yang mempunyai kepedulian yang tinggi untuk turut membantu mereka yang terdzolimi. Misalnya saja salah satu stasiun televisi di arab saudi yang melarang penyebutan syuhada' bagai mereka yang gugur di ghaza. Demikian juga fatwa seorang syaikh yang mengatakan bahwa tindakan kaum muslimin di berbagai belahan dunia yang mengadakan Unjuk rasa untuk palestina adalah perbuatan haram dan merupakan bahagian dari ”al-ifsad fil ardhi" membuat kerusakan dimuka bumi .
Memang apabila demonstrasi belaka tanpa tindak lanjut atau tidak bisa mendatangkan keberuntungan adalah perbuatan sia-sia. Akan tetapi apakah semua demonstrasi itu demikian? Karena pada kenyataannya justru kaum muslimin bisa mengumpulkan dana untuk memabantu mereka.

Menyikapi perbedaan
Beberapa kaedah yang seharusnya dikedepankan dalam menyikapi pro dan kontra seputah fatwa Ghaza, yaitu:

1. Melepaskan diri dari belenggu ta'ashub terhadap tokoh-tokoh tertentu.
Sikap ta'ashub terhadap tokoh-tokoh tertentu akan menjadi belenggu bagi diri kita untuk mendapatkan kebenaran yang mungkin berada di fihak lain. Karena kebenaran sesuatu tidaklah diukur dengan ketokohan yang disandang oleh seseorang. Hal ini sebagaimana sikap aliy radhiallahu anhu ketika datang seseorang kepada beliau sembari bertaya "menurutmu apakah kebenaran berada dirimu dan kebhatilan berada di fihak Thalhal, Zubair, dan Aisyah? (maksudnya adalah permasalahan perang jama). Maka Aliy radhiallohu anhu berkata:
ويلك !! اعرف الحق تعرف أهله , ولا تعرف الحق بالرجال .

"celaka kamu!! Ketahuilah kebenaran niscaya engkau akan tahu ahli kebenaran, dan kebenaran itu tidaklah diketahui melalui ketokohan".
Dari kasus diatas nampa jelasa aliy radhiallahu anhu melarang orang yang bertanya untuk mengukur kebenaran dengan ketokohan dirinya. Akan tetapi hendaknya ia mengukur dengan kebenaran hakiki yaitu al-qur'an dan sunnah. Demikain pula sikap empat imam madzhab berkenaan dengan masalah menimbang kebenaran
Imam Abu hanifah berkata:
إذا قلت قولا يخالف كتاب الله ، وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي .
"bila aku mengeluarkan perkataan yang menyelisihi kitab Allahldan khabar dari rasulullah  maka tinggalkanlah perkataanku".
Imam malik berkata:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب ، فانظروا في رأيي ، فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه ، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه .
"sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa yang mungkin benar dan salah, mak lihatlah telitilah pendapatku, maka setiap apa yang sesuai dengan kitab dan sunnah maka ambilla, sedangkan apa yang tidak sesuai dengannya maka tinggalkanlah".
Imam syafi'i pernah berkata kepada imam ahmad bin hambal:
أنتم أعلم بالحديث والرجال مني ، فإذا كان الحديث صحيحا فأعلموني به حتى أذهب إليه
"engakau lebih mengetahui tentang hadits dan perawi dibangdingkan aku. Maka jika engakau mengetahui hadits yang shahih, beritahulah aku agar aku bisa mengikutinya".
Imam Ahmad bin hambal berkata:
لا تقلدني ، ولا تقلد مالكا ، ولا الشافعي ، ولا الأوزاعي ، ولا الثوري ، وخذ من حيث أخذوا
"janganlah kalian bertaklid kepada diriku, dan malik, dan as-syafi'i, dan al-auza'i, dan ats-tsauriy, akan tetapi ambillah dari sumber yang mereka ambil".

2. Mengambil pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran
Pendapat yang lebih benar tentunya yang lebih jelas dasar pijakannya dari al-qur'an dan sunnah serta penerapan yang tepat sesuai dengan realita yang ada. Demikian juga hendaknya lebih.mengedepankan dalil-dalil yang bersifat muhkam dibandingkan dengan mutasyabih. Karena dalil mutasyabih merupakan celah besar bagi mereka yang mempunyai penyakit dalam hatinya untuk menebar fitnah syubhat. Rasulullah  bersabda:
فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
"apabila engkau mendapati orang yang mengikuti dalil yang mutasyabih maka mereka itulah orang yang di sebutkan oleh Allah l jauhilah mereka"

3. Mengambil fatwa dari para ulama yang lebih kompeten di bidangnya.
Para mujtahid ada beberapa tingkatan diantaranya adalah mujtahid mutlak yang berwewenang untuk berijtihad dalam segala perkara, dan ada juga mujtahid yang (juz'iy) terbatas pada bidang-bidang tertentu. Dan diperbolehkan bagi mereka yang mempunyai keahlian dibidang tertentu untuk berijtihad dalam perkara yang ia berkompeten di dalamnya.
Maka bagi seorang yang ingin meminta fatwa kepada para mujtahid, hendaknya benar-benar melihat kepada keahlian mereka serta memberikan data selengkap-lengkapnya tanpa ada manipulasi. Hal ini sebagaimana para sahabat yang mempunyai keahlian di bidang mereka masing-masing, seperti Dikalangan para sahabat ada yang pakar dalam bidang strategi perang sebagaimana Kholid bin walid, Ahli dalam bidang Tafsir sebagaimana Ibnu Abbas, Ahli dalam hadits sebagimana Abu Hurairoh, ahli dalam bidang ilmu mawaris Muadz bin Jabal. Para sahabat meminta fatwa kepada mereka sesuai dengan keahlian mereka, meski tidak jarang diantara mereka yang ahli dalam beberap permasalahan sekaligus.

Menimbang beberapa fatwa "nyeleneh"

Telah muncul beberapa fatwa aneh yang perlu diteliti ulang seputar tragedi ghaza karena dirasa kurang tepat dan mengusik perasaan kaum muslimin.

1. fatwa hijrah keluar palestina
Dikarenakan kaum muslimin yang berada di palestina tidak mampu untuk mengadakan perlawanan, maka seharusnya mereka berhijrah untuk menghindari korban lebih yang lebih banyak. Hal ini sebagaimana yang pernah dicontohkan pada masa rasulullah .
Beberapa hal yang perlu dicermati berkenaan dengan fatwa ini. Benarkah qiyas (analogi) antara hijrah nabi dan keadaan kaum muslimin pada saat ini bisa diterima? Kalau kita mencermati sebab hijrahnya para sahabat dan rasul  bukan sekedar atas dasar kondisi mereka yang masih lemah, namun lebih dari itu bahwa belum turunnya perintah dari allah  untuk berperang. Dan semenjak turunnya perintah perang rasulullah dengan segenap keterbatasan kekuatan kaum muslimin yang jauh dibawah orang kafir tetap melakukan perlawanan.
Adapun kondisi kaum muslimin pada saat ini, perintah jihad telah turun secara mutlak hingga tidak bisa dianalogikan dengan masa rasulullah  sebelum turunnya perintah jihad. Justru kewajiban bagi mereka untuk mempertahankan diri dengan segenap kemampuan. Allah  berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan sekelompok dari musuh-musuh maka bertahanlah untuk memerangi mereka, dan perbanyaklah mengingat allah swt agar kalian mendapt kemenangan". (Al-Anfal: 45)
Berkata ibnu qudamah: apabila orang-orang kafir menduduki wilayah kaum muslimin, maka kewajiban menjadi fardhu ain bagi penduduknya untuk menyerang dan mengusirnya.
Hal kedua yang perlu di cermati berkenaan dengan fatwa ini adalah, bahwah fatwa seharusnya berdasarkan kepada realita yang ada. Maka suatu persoalan yang berat yang harus diselesaikan atau mungkin mustahil untuk diselesaikan, yaitu kalau saja fatwa itu dapat dibenarkan, maka kemanakah penduduk palestina harus berhijrah? Dari sekian puluh jutak kaum muslimin tersebut daerah manakah yang akan menampungnya?

2. belum saatnya berjihad jihad dipalestina
Seharusnya kaum muslimin yang ada dipalestina bersabar dan tidak melakukan perlawanan yang akan menjatuhkan korban yang lebih banyak. Karena mala petaka yang terjadi disana dikarenakan mereka yan lalai agama Allah . Sehingga mereka lemah dimata orang-orang kafir. Hal yang harus dibangun pada diri mereka pada saat ini adalah kesadaran beragama yang benar, dan belum saatny untuk berjihad.
Pendapat ini sangatlah aneh apabila dicermati dengan realita yang ada. Jutsru ketika kaum muslimin tidak mengadakan perlawanan mereka para musuh lebih leluasa untuk membantai kaum muslimin. Karena pada hakikatnya sebaik-baik pertahanana adalah menyerang. Dan genjatan senjata yang telah berlalupun terbukti selalu dilanggar oleh pihak yahudi sendiri. Dengan demikian serangan balik dalam rangka mempertahankan diri yang dilakukan oleh harakah muqawwahan al-islamiyah adalah langkah tepat dan tidak mau terjebak kedalam lubang penipuan untuk kedua kalinya.
Adapun kalau dengan alasan bahwa mereka perlu membangun keislaman yang baik terlebih dahulu baru melakukan jihad, maka justru perlawanan itulah sebagai usahu untuk membangun keislaman hakiki dan bukan hanya sekedar teori. Tidak didapatkan di dalam buku fiqih peninggalan lama (turats) yang mensyaratkan jihad harus menjadi ulama terlebih dahulu. Sebagai mana hadits bara “Seorang laki-laki dengan baju besi untuk perang datang kepada Nabi. Ia bertanya, Ya Rasulullah saya ikut perang dahulu atau masuk Islam dahulu? Beliau menjawab, Masuklah Islam terlebih dahulu baru kemudian ikut berperang, Laki-laki itu masuk Islam lalu ia ikut berperang hingga terbunuh. Maka Rasulullah bersabda, Ia beramal sedikit namun diberi pahala yang banyak.” (HR Bukhori)
Dari hadits diatas rasulullah  tidak menunggu orang tersebut agar menjadi ulama terlebih dahulu baru pergi berjihad.

3. Jihad kepalestina harus izin kepada ulil amri
Siapakah ulil amri yang mereka maksud? Apabila penguasa yang ada saat ini maka itu sebuah kesalahan. Karena mereka berhukum kepada hukum selain allah  dan menjadikannya sebagai dasar undang-undang. Seorang dikatakan ulil amri ketika ia berhukum kepada hukum allah . Firman allah  : وأولي الأمر منكم (dan pemimpin diatara kalian) maksudnya adalah pemimpin dari kalangan kaum mu'minin. Sementara mereka yang berhukum kepada hokum selain allah dihukumi kafir dan tidak pantas dianggap sebagai amirul ulil amri.
Allah  berfirman: "“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah: 31). Imam At-Tirmidzi, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib)
Dengan demikian jelas bahwa mereka yang berhukum kepada selai allah dihukumi kafir, dan tidak layak dijuluki sebagai ulil amri serta tidak perlu meminta izin kepada mereka dalam rangka menuanikan ibada jihad.
Wallahu a'lam bis shawab
Referensi:
Shahih bukhariy. Karya imam bukhariy
Al-Mughniy. Karya Ibnu Qudamah
Hukmul jihad, karya ibrohim bin abdurrahin al-khudriy
Ahamiyatul jihad, karya aliy bin nafi' al-ulyaniy
Al-khilaf asbabuhu wa adabuhu, maktabah syamilah, karya aidh al-qarniy
Taujihat al-islamiyah li'islahil fardu wal mujtama' maktabah syamilah, karya jamil zainu
www.arrahmah.com
www.ulamasunnah.com







1 komentar:

Mbak Ros mengatakan...

Assalamu'alaikum

Nice posting.

Salam ukhuwah.
Ini Rosi, akh.