Sabtu, 07 Maret 2009

Tiada Khilafah Tanpa Jihad

Surat Terbuka Untuk HTI

Hizbut Tahrir (HT) membajak persoalan Khilafah (seolah-olah yang bicara dan memperjuangkan Khilafah hanya HT) tetapi mereka bukan satu-satunya yang dakwah dan berjuang untuk mendirikan Khilafah. Bahkan, HT bukanlah kelompok utama berkaitan dengan persoalan Khilafah dewasa ini. Untuk itu, menentang kesalahan HT tidak berarti menentang Khilafah. 1
Mengapa Menulis Surat Terbuka Untuk HTI ?

Pada tanggal 12 Agustus 2007 mendatang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional (KKI). Rencananya KKI akan menghadirkan pembicara dari Eropa, Australia, Palestina, Sudan, Jepang, dan Indonesia, juga tokoh-tokoh nasional dari NU, Muhammadiyah, MUI, Darut Tauhid, Menpora, dan Ormas-ormas Islam. Konferensi ini rencanaya akan digelar di Stadium Utama Gelora Bung Karno Jakarta, dan panitia menargetkan kegiatan ini akan dihadiri oleh 120.000 umat Islam. 2


Islam adalah Nasehat. Sebagaimana hadits Nabi SAW. :
“Ad-dien adalah nasehat, kami katakan: untuk siapa? Beliau bersabda: untuk Allah, Kitab-Nya,Rasul-Nya dan pemimpin-pemimpin muslimin serta muslim umumnya.” (HR Muslim)

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan Imam Al Bukhari dan Imam Muslim :
“Dari Jabir bin Abdillah radliallahu 'anhu berkata: Aku membai’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mendirikan shalat, tegakkan zakat dan menasehati bagi setiap muslim.” (Mutafaq ‘alaih)

Tidak diragukan lagi bahwasanya menerangkan kesalahan-kesalahan dalam urusan ad-dien dan menjelaskan secara terbuka tentang hal tersebut serta memberikan sanggahan terhadapnya adalah merupakan sebesar-besar nasihat bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan seluruh kaum muslimin, sebab dengan mendiamkan kesalahan tersebut agama manusia akan rusak dan seterusnya akan membawa kepada rusaknya dunia mereka dan akhiratnya.

1 Jargon ini dikeluarkan oleh situs www.inside-ht.com yang merupakan situs kumpulan mantan (orang-orang yang keluar atau meninggalkan HT) syabab (anggota) dan petinggi HT dari seluruh dunia.

2 Informasi akan diselenggarakannya KKI tersebar luas di situs-situs resmi HT bahkan diiklankan di beberapa media seperti HU Republika, dan lain-lain.

Untuk alasan di atas, dan atas idzin dan kehendak-Nya pula, surat terbuka untuk HTI ini bisa kami tulis sebagai nasihat dan kritik kepada HTI khususnya dan juga umat Islam secara umum yang bercita-cita mulia menegakkan khilafah Islamiyyah di muka bumi ini. Menurut kami dalam mengemban cita-cita mulia menegakkan khilafah Islamiyyah banyak syubhat dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan HTI terutama dalam masalah pokok dan mendasar, yakni masalah tauhid dan jihad. Padahal, dua masalah pokok tersebut, yakni tauhid dan jihad adalah pilar utama penegakan khilafah Islamiyyah, sebagaimana yang nantinya akan kami jelaskan, Insya Allah.

Kewajiban Menegakkan Khilafah

Kaum muslimin bersepakat atas kewajiban beramal dalam rangka menegakkan Khilafah Rasyidah dan mengangkat pemimpin umum (Imam Al-‘Am) sebagai khalifah yang memimpin kaum muslimin di seluruh dunia.

Rasulullah saw. Bersabda :

“Siapa yang mati sedang tidak ada atasnya imam maka ia mati dengan mati jahiliyah.” (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, Syaikh Nashir berkata dalam At-Takhrij, “Isnadnya Hasan” : 1057).

Beliau saw. Juga bersabda:

“Siapa yang mencabut tangannya dari ketaatan maka dia bertemu Allah di hari kiamat seraya tidak memiliki hujjah, dan siapa yang mati sedang di lehernya tidak ada bai’at maka dia mati dengan mati jahiliyah.” (Muslim)

An Nawawiy berkata dalam syarahnya terhadap shahih Muslim 12/205,

“Mereka bersepakat bahwa wajib atas kaum muslimin untuk mengangkat khalifah.”

Al Mawardy berkata dalam Al Ahkam As Sulthaniyyah,

“Mengangkat imam bagi orang yang mampu menegakkannya di tengah umat adalah wajib dengan berdasarkan ijma.”

Dari sebahagian hujjah di atas menunjukkan kepada kita bahwa menegakan khilafah saat ini begitu penting dan sangat wajib. Kewajiban ini dibebankan kepada semua orang yang dapat mengerahkan segala kekuatan demi tujuan besar ini, dengan catatan, sesuai kemampuannya.

Alhamdulillah, sebagaimana kita ketahui HTI adalah salah satu (bukan satu-satunya) yang mengkonsentrasikan dirinya untuk menegakkan khilafah. Sayangnya, syi’ar khilafah dan khalifah yang diangkat HTI penuh dengan pemahaman yang buruk dan menyimpang yang mana pemahaman tersebut justru menghantarkan kepada kebalikan dari apa yang mereka serukan. Dalam mengangkat syi’ar khilafah HTI tidak meniti jalan-jalan syar’i yang shahih yang memungkinkan mereka dapat menerapkan syai’ar yang besar ini dalam dunia nyata!

Memang, HTI benar-benar mengkonsentrasikan pembicaraan mereka pada topik khilafah dan eksistensinya dalam pelbagai kesempatan. Usaha semacam ini patut didukung, Insya Allah. Akan tetapi, pada saat yang sama mereka (HTI) telah membatasi usaha untuk menegakkan khilafah dengan batasan-batasan, dan syarat-syarat yang tidak ada dalilnya. Sehingga, pada hakikatnya mereka ini sebenarnya tidak menginginkan khilafah ini bisa berdiri. Jadi, percuma saja biarpun diadakan Konferensi Khilafah Internasional berkali-kali, tetap saja khilafah tidak bisa ditegakkan di dunia nyata! Kenapa, karena syarat-syarat yang HTI tetapkan untuk penegakkan khilafah adalah syarat yang rusak dan justru menjadi batu sandungan terhadap setiap usaha yang bertujuan menegakkan Daulahulah Islamiyyah, atau khilafah rasyidah di atas manhaj nubuwwah secara serius.

Di antara syarat-syarat mereka yang rusak adalah peryataan mereka bahwa khilafah itu tidak mungkin bahkan tidak boleh datang kecuali lewat jalan tholabun nushrah (meminta perlindungan), dan siapa saja yang berjuang ke arah khilafah tanpa lewat jalan ini maka perjuangannya adalah batil dan tertolak.

Pendapat ini menghantarkan mereka kepada persyaratan lain mereka yang juga batil, yaitu ucapan mereka yang masyhur : Tidak ada jihad kecuali setelah adanya khilafah, dan jihad apa saja sebelum adanya khilafah maka ia adalah batil dan tidak disyari’atkan.

Selain itu, syubhat dan kebatilan mereka yang juga fatal bagai upaya penegakkan khilafah adalah dalam masalah tauhid. Padahal kita tahu bahwa tamkin, kemenangan, istikhlaf (pemberian kepercayaan untuk memimpin) dan keamanan serta kebaikan yang lain yang kita damba dan kita cari, berdiri di atas satu syarat, yaitu adanya penerapan tauhid yang shahih, yang disepakati salafus sholeh umat ini. Sementara itu HTI dalam upayanya menegakkan khilafah tidak mendasari dirinya dengan tauhid yang shahih, bahkan terjerumus ke dalam pemahaman tauhid yang batil, baik dari pemahaman Jahmiyyah, Asy’ariyyah, bahkan Mu’tazilah yang sesat.

Insya Allah kami akan merinci dan membahas syubhat dan kesalahan-kesalahan HTI dalam dua masalah pokok tersebut, yakni masalah tauhid dan jihad dimana keduanya merupakan pilar utama penegakan khilafah Islamiyyah.
Pertama adalah Tauhid

Penerapan tauhid tergolong sebab paling kuat untuk meraih kemenangan, peneguhan dien ini serta diperolehnya kekuasaan, kebalikannya juga seperti itu, karena diantara sebab terbesar kekalahan, kegagalan dan kehinaan adalah lenyapnya tauhid dan tidak terwujudnya hal tersebut.

Allah swt. berfirman :

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS An Nur : 55)

Ibnu Abbas ra berkata : Ketika Nabi saw. Mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya :

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi sebuah kaum dari kalangan ahlul kitab, maka hendaknya pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah agar mereka mengesakan Allah ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk melaksanakan sholat lima waktu.” (HR. Al Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa tauhid yang diterima dengan cara mengikrarkan dua kalimat syahadat itu adalah kewajiban yang paling pertama, dan sesungguhnya khitob (perintah) yang berupa kewajiban-kewajiban dan syari’at-syari’at tidak terwujud kecuali setelah mengikrarkan keimanan dan tauhid, termasuk amal menegakkan khilafah.

Apakah HTI telah merealisasikan hal tersebut, yakni menerapkan tauhid yang shahih (mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Ku), dalam manhaj pergerakannya, kemudian memohon kepada Allah ta’ala kemenangan, peneguhan dien ini serta kekuasaan ?

Sayangnya, tauhid HTI bertolak belakang dengan tauhid salafus sholeh-ahlus sunnah wal jama’ah, khususnya dalam masalah-masalah penting dan menentukan. Dalam masalah al iman misalnya, HTI berpendapat bahwa iman itu adalah pembenaran yang pasti saja (tasdhiqul jazm), siapa saja yang mendatangkan pembenaran yang pasti maka dia itu muslim mu’min dan tergolong calon ahli surga. Pendapat ini tentu saja bukan berasal dari salafus sholeh-ahlus sunnah wal jama’ah, melainkan berasal dari firqah sesat kaum Jahmiyyah.

Pendapat batil HTI tentang al iman ini berkonsekuensi tidak memungkinkannya untuk bersikap tegas dalam menentukan status para penguasa masa kini di negeri kaum muslimin dan mengakibatkan pula pembelaannya kepada bala tentara toghut pada masa sekarang. Terutama, yang ada di negeri-negeri kaum muslimin, karena masih menganggap mereka islam dan beriman (karena iman hanya pembenaran yang pasti saja), sehingga HTI membantah semua pendapat yang mengkafirkan bala tentara toghut itu.

Pendapat batil ini juga berkonsekuensi pada kesahalan sikap al wala wal bara (kawan dan lawan) yang diterapkan oleh HTI. Padahal sebagaimana kita fahami, masalah al wala wal bara adalah masalah keimanan yang penting dan sangat menentukan dalam Islam, yakni menyangkut prinsip-prinsip yang pasti.

Realita yang terjadi akibat ketidakjelasan prinsip-prinsip al wala wal bara (akibat ketidakjelasan definisi dan penerapan al iman) mengakibatkan HTI akhirnya bekerjasama dengan kaum sekuler maupun moderat dalam memperjuangkan khilafah bahkan dengan orang-orang murtad. Fenomena ini terjadi di mana pun keberadaan mereka, di Inggris, mereka bekerjasama dengan organisasi-organisasi sekuler seperti MCB, IFE, MAB dan sebagainya.

DI negeri ini, banyak pertanyaan dari umat tentang kiprah dan sepak terjang HTI dalam memperjuangkan khilafah terutama ketika HTI bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan kufur dalam aksi-aksi demonstrasi (masiroh) yang banyak mereka lakukan sekarang ini, termasuk mengadakan KKI kali ini. Ketika hal tersebut ditanyakan, maka mereka menjawab bahwa dakwah sudah mencapai langkah-langkah yang lebih maju ke depan, dan hal itu (bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan murtad) merupakan langkah taktis dan strategis dakwah. Syar’i-kah langkah dakwah tersebut ? Pernahkah hal tersebut (berkerjasama atau ber wala dengan partai-partai sekuler dan murtad) dilakukan oleh Nabi saw. dan merupakan manhaj dakwah beliau ? Bukankah HTI selalu mengatakan bahwa dakwah mereka selalu mencontoh dakwah Rasulullah saw. dan tidak bergeser sedikit pun darinya ? Bukankah Allah SWT. berfirman :

“Dan siapa saja yang tawalliy (ber- wala) kepada mereka di antara kalian maka sesungguhnya ia adalah termasuk golongan mereka.” (QS Al Maidah : 51)

Selain masalah di atas, pendapat batil dan bertentangan yang sering dilontarkan oleh HTI adalah penolakannya dalam hadits-hadits ahad dalam masalah keimanan atau aqidah. Hal ini sudah masyhur di kalangan mereka dan banyak pula diketahui ummat, meski sering juga mereka bantah dengan perkataan bahwa mereka sebenarnya tidak menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah atau keimanan, hanya saja keimanan mereka terhadap hal itu tidak sampai pasti (jazm) alias tidak sampai 100 %. Hal ini tentu saja (menolak hadits ahad dalam masalah keyakinan) bukanlah ajaran Islam dan bukan pula darinya, akan tetapi berasal dari firqah Mu’tazilah yang sesat!

Terhadap tauhid asma wa sifhat Allah, HTI melakukan tahrif dan takwil, seperti tangan Allah yang diartikan sebagai kekuatan atau kekuasaan.. Tentu saja pendapat ini juga bukan ajaran Islam dan bukan pula dari Islam, melainkan termasuk pemahaman ahlut ta’thil dan tahrif seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan yang lainnya.

HTI juga mengikuti firqah Asy’ariyyah dalam masalah qadar (takdir), yakni mereka mengatakan bahwa ada dua wilayah bagi perbuatan manusia, yang pertama dalam kontrol manusia dan yang kedua di luar kontrol manusia (karena berada dalam kontrol Allah), Karena itu mereka memiliki elemen Jabariyyah dalam cara berfikir.

Hal-hal di atas adalah sebagian saja dari penyimpangan-penyimpangan HTI dalam masalah tauhid. Tidak pada tempatnya jika diungkapkan secara rinci dan seluruhnya permasalahan tersebut. Dalam hal ini cukuplah pemaparan ringkas di atas menjadi bukti bahwa masalah penerapan tauhid yang merupakan sebab paling kuat untuk meraih kemenangan, peneguhan dien ini serta diperolehnya kekuasaan (QS An Nuur : 55), tidak bisa dipenuhi oleh HTI. Bahkan sebaliknya, prinsip-prinsip dan pandangan HTI dalam masalah-masalah tauhid yang prinsip dan mendasar menyelisihi prinsip dan pandangan salafus sholeh dari umat ini. Dengan demikian, konsekuensinya yang akan didapat HTI bukanlah kemenangan dan kemuliaan, melainkan kekalahan, kegagalan dan kehinaan pada diri ummat, akibat lenyapnya tauhid yang shahih dan tidak terwujudnya hal tersebut. Wallahu’alam!
Thalabun Nusrah dan Jihad

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, HTI telah menggunakan metode tholabun nushrah yang haq namun disimpangkan penerapannya sehingga menjadi sebuah kebatilan. Mereka selalu mengatakan bahwa satu-satunya metode untuk menegakkan khilafah adalah dengan jalan tholabun nushrah (meminta dukungan) yang mana dalil melakukan ini adalah mencontoh perbuatan Nabi saw. yang meminta dukungan untuk dien dan dirinya dari kabilah-kabilah dan para pemuka bangsa Arab.

Bila dikatakan bahwa metode thalabun nushrah itu disyari’atkan, sehingga boleh bagi gerakan Islam melaluinya bila itu mungkin baginya dan mendapatkan jalan untuk itu, maka ini adalah pendapat yang shahih yang tidak ada cacat dan tidak ada perselisihan. Hanya saja, jika dikatakan bahwa thalabun nushrah adalah syarat utama tegaknya khilafah ; yaitu tidak boleh bagi umat menelusuri jalan lain untuk nushrah dien ini dan meninggikan kalimatnya selain jalan thalabun nushrah, maka ini adalah ucapan batil dari HTI dan tidak ada satu nash syar’i shahih pun baik penegasan maupun sindiran yang pernah diturunkan, tidak juga seorang ‘alim mu’tabar dari salaf dan khalaf pun mengatakannya.

Dengan demikian peryataan mereka bahwa khilafah tidak mungkin bahkan tidak boleh datang kecuali lewat jalan tholabun nushrah adalah batil dan tertolak. Bahkan peryataan ini akan menghantarkan kepada kebatilan berikutnya, yakni ucapan masyhur mereka bahwa Tidak ada jihad kecuali setelah adanya khilafah. (Perhatikan peryataan-peryataan HTI ini dalam kitab mereka Manhaj Hizbit Tahrir Fit Taghyir, hal 25, dan lihat juga Majalah Al-wa’ie No. 81 Tahun VII, 1-31 Mei 2007, Rubrik : SOAL-JAWAB).

Apa yang dilakukan Nabi saw. yakni melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan) menunjukkan kebolehan hal tersebut, bukan sebuah kewajiban, apalagi sampai menetapkan sebagai syarat sah untuk menegakkan kehidupan Islam dan Khilafah Rasyidah, sehingga menolak menggunakan jalan atau metode lain, jihad misalnya. Apalagi terbukti bahwa yang mendorong Nabi saw. meminta nushrah dari kabilah-kabilah dan suku-suku Arab adalah karena lemah dan jumlah yang sedikit yang tidak cukup untuk mengemban konsekuensi dan tanggung jawab dien ini.

Tatkala sudah memiliki kemampuan dengan adanya pertolongan dari kaum Anshar kepada Nabi saw. dan diennya, maka tidak dikenal dari Nabi saw. bahwa beliau meminta nushrah setelahnya dari seorang pun selama-lamanya.

Lalu apakah sama kondisi ketika itu yang mendorong Nabi saw. untuk thalabun nushrah dengan kondisi umat ini yang telah mencapai satu milyar muslim ? Atau apakah sama dengan HTI yang anggotanya telah mencapai ratusan ribu bahkan jutaan ? Jika Nabi saw. memiliki ratusan ribu pengikut—sebagaimana yang dimiliki HTI—apakah akan meminta pertolongan dan berupaya mendapatkannya di tengah kabilah-kabilah dan suku-suku Arab ?

Alasan yang selalu digunakan oleh HTI untuk selalu bersembunyi di balik thalabun nusrah adalah bukan karena Rasulullah saw. dan para sahabat tidak mampu melakukan perlawanan secara fisik, tetapi karena beliau berpegang teguh pada perintah dan larangan Allah. Hal ini dikarenakan saat itu belum ada perintah untuk melakukan perlawanan (berperang), hingga sepanjang 13 tahun di Makkah Nabi saw. terus menerus melakukan aktivitas intelektual dan politik. Dan ini dikatakan sebagai karateristik dakwah Rasulullah saw. (lihat Majalah Al-wa’ie No. 81 Tahun VII, 1-31 Mei 2007, Rubrik : SOAL-JAWAB).

Tentu saja alasan HTI di atas menjadi batil dan bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah sempurna turun, terutama tentang wajibnya jihad (apalagi) di zaman fitnah seperti ini. Jihad menjadi prioritas dan seseorang harus ambil bagian untuk memerangi musuh-musuh Islam. Bahkan, dalam beberapa keadaan jihad hukumnya fardhu ‘ain dan orang yang meninggalkan jihad yang berhukum fardhu ‘ain itu adalah dosa besar dan fasiq.

Keadaan-keadaan yang mana pada saat itu jihad fardhu ‘ain itu ada 3 yaitu (Lihat Kitab Kedudukan Tauhid dan Jihad karya Syekh Abdul Qadir Abdul Aziz) :

A. Apabila dua barisan (barisan orang beriman dan barisan orang kafir) saling bertemu dan
dua pasukan saling berhadapan. Hal ini berdasarkan firman Alloh ta’ala yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak bergabung dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Alloh, dan tempatnya adalah Neraka Jahannam dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS Al Anfal : 15-16)

Dan firman Alloh:

ِApabila kalian bertemu dengan musuh maka tetap teguhlah” (QS Al Anfal : 45)

B. Apabila musuh menyerang suatu negeri tertentu, fardlu 'ain hukumnya bagi penduduk
negeri tersebut untuk memerangi musuh yang menyerang tersebut. Dalil atas wajibnya hal ini adalah juga ayat-ayat di atas karena disini juga terjadi pertemuan dengan orang-orang kafir, dan pertemuan dengan sebuah kelompok yang menyerang kaum muslimin.

C. Apabila imam melakukan istinfar (memobilisasi) suatu kaum untuk berangkat berperang, maka mereka wajib berangkat bersamanya. Karena Alloh ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah untuk berperang di jalan Alloh!", kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?”

Hingga firman Alloh ta'ala yang berbunyi:

“Jika kamu tidak berangkat berperang, niscaya Alloh akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih”(QS At Taubah : 38-39)
Dan Sabda Nabi SAW:

“Apabila kalian diperintahkan untuk berangkat berperang maka berangkatlah.” (Muttafaqun ‘alaih).

Inilah kondisi-kondisi di mana pada saat itu jihad hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah. dan anda dapat lihat sendiri bahwa orang-orang yang tidak melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia diancam mendapatkan kemarahan dari Alloh ta’ala dan mendapatkan siksaan, sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh ta’ala:

… sungguh dia mendapat kemarahan dari Alloh dan tempat kembalinya adalah Jahannam…

Dan firman Alloh:
Jika kalian tidak berangkat jihad niscaya Alloh akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih.

Oleh karena di antara tanda-tanda dosa besar itu adalah disebutkannya ancaman di akherat, maka dengan demikian setiap orang yang tidak melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia berdosa besar karena dia diancam dengan siksaan, dan pelaku dosa besar itu adalah fasiq, sedangkan orang yang fasiq gugur sifat 'adalahnya (artinya; dia tidak dapat dipercaya lagi) baik 'adalahtur riwayah (kepercayaan untuk menjadi rowi) maupun 'adalatusy syahadah.

Sayangnya, nash syar’i dan penjelasan yang jelas dan gamblang di atas bagi HTI masih disangkal lagi, dengan argumen syubhatnya yang masyhur bahwa Tidak ada Jihad Kecuali Bersama Khalafah.

Peryataan ini adalah bukti yang kuat tentang syubhat dan penyimpangan HTI dalam masalah jihad. Peryataan ini juga menjadi bukti penolakan HTI terhadap landasan jihad fi sabilillah dan mempersiapkan kekuatan (I’dad) serta celaan mereka terhadap landasan (jihad) Islam, karena berulang-ulang HTI menyatakan bahwa mereka adalah hizbun siyasiyun (partai politik) yang tidak menggunakan senjata dan kekerasan.

Hal ini menunjukkan HTI tidak mengimani kekerasan, dan lontaran-lontaran lainnya yang menunjukkan celaan terhadap jihad dan berlepas diri darinya. Akan tetapi, berlepas diri dari jihad secara terang-terangan dan secara frontal bisa mendatangkan efek negatif terhadap HTI, membuat kaum muslimin yang lurus imannya berang terhadap HTI dan hal ini akan membuka aurat-aurat dan rahasia HTI di hadapan orang lain. Maka dalam penjelasan mereka, mereka tetap meyakini jihad dan mengatakan bahwa hal itu adalah sebuah kewajiban, hanya saja mereka mengatakan untuk jihad ada porsinya sendiri dan saat ini satu-satunya jalan untuk menegakkan khilafah adalah dengan jalan aktivitas intelektual dan politik. (lihat Majalah Al-wa’ie No. 81 Tahun VII, 1-31 Mei 2007, Rubrik : SOAL-JAWAB).Begitulah caranya HTI menolak jihad dengan mengganti hal itu dengan berlepas diri dari kekerasan dan penggunaan kekuatan dan senjata serta segala yang masuk dalam makna-makna dan konsekuensi-konsekuensi jihad secara pasti.

Syubhyat yang tidak kalah pentingnya yang dimiliki HTI dalam masalah jihad dan thalabun nushrah adalah pemutarbalikkan fakta dan memalsukan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah Ibnu Ash Shamit. Padahal, di dalam hadits shahih tersebut telah meriwayatkan Ubadah Ibnu Ash Shamit, ia berkata, Nabi saw. memanggil kami, maka kami membai’atnya di antara apa yang ia ambil janjinya dari kami adalah, ‘Kalian tidak akan merampas kekuasaan dari pemegangnya, kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang di sisi kalian ada bukti di dalamnya dari Allah’.”

Dalam riwayat Muslim, “Mereka berkata, ‘Apa boleh kami memerangi mereka?’ Beliau bersabda, ‘Tidak, selama mereka masih shalat, tidak boleh selagi mereka menegakkan shalat di tengah kalian.’

Hadits di atas secara nyata menunjukkan adanya kewajiban memberontak kepada imamul ‘am atau pemerintah dan memeranginya bila nampak darinya kekafiran yang nyata jelas dan tak terbantahkan, yang tidak mengandung potensi berpalingnya makna dan takwil.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 7/13, “Bila muncul dari penguasa kekafiran yang nyata maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya bagi orang yang mampu.”

Al Qadli ‘Iyadl berkata dalam Syarah Muslim, An Nawawi 12/229, “Ulama bersepakat bahwa kepemimpinan itu tidak sah bagi orang kafir, dan bila muncul padanya kekafiran maka ia lepas (dari satatus pemimpin), dan ia berkata, “begitu juga andaikata ia meninggalkan shalat dan ajakan kepadanya (adzan).

HTI menyadari bahwa hadits ini memiliki landasan dalil yang kuat yang menggugurkan pendapatnya tentang pembatasan jihad dengan syarat adanya khalifah serta menyadari bahwa hal ini akan menyebabkan para pendukung mereka dari kalangan pemuda menjadi sadar akan kewajiban jihad dan akhirnya berlepas diri dari HTI. Maka HTI pun mencoba memutarbalikkan fakta dan memutarbalikkan dalil dengan mengatakan suatu pendapat yang tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari kalangan ulama yang mu’tabar.

HTI mengatakan bahwa hadits ini memberikan keutamaan khuruj (memberontak) dengan kekuatan terhadap penguasa muslim ketika muncul kekafiran yang nyata (kufrun bawwah) padanya. Adapun penguasa kafir yang telah bercokol pemerintahannya di negeri kaum muslimin dan memerintah dengan undang-undang kafir dan kebejatan, maka tidak boleh memberontak dengan kekuatan, dan bentuk penguasa itu tidak dimaksudkan dengan hadits itu.

Mustafa Kemal Attaturk misalnya, sebelum pemerintahan dan kekuasaannya bercokol sehari maka boleh memeranginya. Ada pun setelah sehari atau lebih kekuasaan kafirnya berjalan dan bercokol, maka tidak boleh memberontak terhadapnya dengan kekuatan. Dan hal seperti ini bisa diubah dan dilenyapkan lewat jalan thalabun nushrah saja; yaitu setelah khalifah tegak yang juga datang lewat jalan thalabun nushrah bukan dengan jalan yang lain. (lihat kitab mereka Manhaj Hizbit Tahrir Fit Taghyir hal 25 dan lihat Al Jihad wal Qital karya Doktor Haikal At Tahririy 1/137)

Tentu saja pendapat ini batil dan tertolak. Pendapat ini muhdats (bid’ah) yang tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari para alim mu’tabar, sebuah pemahaman yang aneh yang tidak dikandung oleh makna hadits dan dilalahnya, serta tidak dikatakan seorang alim pun sebelum mereka.

Pemahaman ini berarti pengakuan terhadap sahnya pemerintahan kafir atas kaum muslimin, yakni jika pemerintahan kafir memerintah negeri kaum muslimin dengan undang-undang kafirnya, maka umat Islam tetap tidak boleh memerangi mereka dan melenyapkan fitnahnya dari negeri kaum muslimin. Padahal Allah swt. telah berfirman :

“Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang-orang kafir jalan atas orang-orang mukmin.” (QS An Nisa : 141)

Dengan bahasa lain HTI mengatakan kepada kaum muslimin, “Kalian mesti menjadikan orang-orang kafir menjalankan pemerintahan atas kalian, kalian wajib menahan diri memerangi dan menghabisi mereka, janganlah merintangi kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan kekuatan sampai datang khalifah yang ditunggu lewat jalan thalabun nushrah!

Jadi menurut HTI para penguasa masa kini di negeri kaum muslimin ini sebelumnya tidak pernah atau belum pernah menjadi muslim (walau sebentar) apalagi murtad dari keislamannya sehingga bisa dibawa kepadanya hadits Ubadah Ibnu Ash Shamit yang menunjukkan akan kewajiban memberontak terhadap para pemimpin kafir.

Namun, mereka (para penguasa masa kini di negeri kaum muslimin) telah kafir sejak dilahirkan sampai mereka memegang kekuasaan, dan karena itu hadits Ubadah Ibnu Ash Shamit tidak mencakup mereka. Pendapat HTI yang semacam inilah yang digunakan untuk mempengaruhi umat padahal telah nyata syubhat dan kebatilannya. HTI sendiri bahkan bimbang dan tidak puas dengan pendapat tersebut.

Hal ini dikarenakan (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya) HTI tidak memiliki pendapat yang jelas dan tegas tentang status penguasa negeri kaum muslimin saat ini. Sebaliknya, mereka justru secara tegas membela bala tentara toghut pada masa sekarang, bekerja sama dengan mereka, terutama yang ada di negeri-negeri kaum muslimin. Dengan demikian, bisa dipastikan HTI membantah semua pendapat yang mengkafirkan bala tentara toghut tersebut. Hal ini tidak aneh, dan diakibatkan karena syubhat dan kekeliruan HTI dalam masalah-masalah tauhid yang krusial sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu HTI terlihat lari dari konsekuensi-konsekuensi jihad yang diharuskan hadits ini.

Dengan demikian, metode menegakkan khilafah yang ditawarkan oleh HTI berupa thalabun nushrah adalah kalimat haq yang dipelintir sehingga menjadi sebuah kebatilan. Karena thalabun nushrah menurut HTI adalah pengguguran kewajiban jihad saat ini dan lari dari konsekuensi-konsekuensi dan keharusan-keharusannya.

Untuk itu mari kita tanyakan kepada HTI, seandainya ada orang (dan hal itu tidak sulit bagi Allah) yang memiliki seratus ribu pejuang dan mujahid, pada saat yang sama ia memiliki seluruh sebab-sebab materi dan maknawi yang memungkinkannya untuk mengumumkan penegakan khilafah rasyidah, apakah dikatakan terhadap orang seperti ini, “Anda tidak boleh mengumumkan khilafah Islamiyyah sampai Anda meminta pertolongan dari orang lain dan dari orang yang tidak seagama dengan Anda, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. saat menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab yang musyrik ?

Bila HTI berkata, “Ya” berarti mereka telah menelantarkan kewajiban terbesar—setelah tauhid—padahal mereka mampu dan berkuasa untuk menghidupkan dan menegakkannya, disaat kondisi sangat membutuhkan akan penegakkannya. Pada titik ini, mereka telah menvonis diri mereka sendiri sebagai musuh khilafah, dan mereka pada hakekatnya tidak menginginkan khilafah tegak.

Bila mereka mengatakan, “Tidak disyaratkan baginya meminta nushrah dari orang lain bila ia memiliki kekuatan yang pantas untuk mengumumkan khilafah…”,berarti dengan hal itu mereka telah merobohkan prinsip pokok mereka yang terbesar oleh diri mereka sendiri yang selama ini selalu dibela dengan kebatilan di dalamnya. Jadi HTI bagaimana pun jawabannya terhadap pertanyaan ini, tetap saja jatuh pada kesulitan, sebagai akibat pemikiran mereka sendiri.

Disamping itu, metode thalabuh nushrah saat ini sangat tidak efektif disaat luasnya sistem yang dimiliki oleh dinas intelejen dan spionase yang menginduk kepada pemerintahan internasional, sehingga menjadikan metode ini mustahil dilaksanakan oleh gerakan Islam. Mereka tidak mungkin menawarkan dirinya terhadap individu-individu dan jama’ah-jama’ah (terutama jika individu-individu atau jama’ah-jama’ah ini adalah kafir) dan meminta mereka pertolongan dalam rangka berjuang untuk dien ini dan penegakkan khilafah Islamiyyah, kemudian ia tidak diciduk oleh dinas intelejen dan dilenyapkan selamanya.

Dahulu, pihak yang mana Nabi saw. Mencari nushrah dari mereka adalah para pemilik kekuatan dan kekuasaan dari kalangan kuffar dan musyrikin, dimana beliau saw. meminta dari mereka dukungan dan masuk dalam dien ini secara bersamaan. Maka apakah HTI juga melakukannya seperti ini ?

Menggalang umat dan mengumpulkan mereka terhadap tujuan tertentu seperti penegakkan khilafah tidaklah disebut nushrah dengan makna syar’i yang pernah dilakukan Nabi saw. Dan karenanya sesungguhnya penggalangan, pengumpulan, pengaorganisiran serta penyiapan itu adalah suatu hal, sedangkan thalabun nushrah adalah hal lain.

Jadi, sebagaimana dikatakan jubir HTI sendiri, Ismail Yusanto dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (7/7) bahwa konferensi ini (KKI) sama sekali tidak dimaksudkan untuk unjuk kekuatan atau kebesaran, bukan pula untuk deklarasi partai apalagi deklarasi tegaknya khilafah. “Ini semata-mata sebagai medium bagi umat Islam Indonesia untuk mengokohkan komitmen terhadap syariah dan khilafah,” tegasnya.
Nasehat Untuk HTI

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan masehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
(QS Al ‘Ashr : 1-3)

Akhirnya, sebagaimana telah disampaikan di awal, menjelaskan syubhat dan penyimpangan HTI bukan berarti menentang kewajiban menegakkan khilafah, bahkan cita-cita mulia ini harus didukung penuh oleh seluruh komponen umat. Hanya saja, HTI sejak saat ini harus mulai mengubah metode batil mereka dalam upaya menegakkan khilafah, mengganti manhaj dan pemahaman aqidah mereka yang menyimpang kepada pemahaman tauhid dari salafus sholeh ummat ini. Selain itu, mereka juga harus menerapkan al wala wal bara yang shahih, tidak bekerjasama dan duduk-duduk dengan kelompok sekuler dan kuffar, kalau mereka tidak ingin menjadi “seperti mereka” sebagaimana Allah SWT. telah firmankan dalam Al-Qur’an.

Selanjutnya, mereka harus berani mengakui kesalahan-kesalahan mereka kepada anggota mereka juga kepada umat, dan mengganti syubhat-syubhat dan penyimpangan yang selama ini mereka lakukan dengan membuat peryataan yang jelas tentang hal-hal yang sudah dibahas sebelumnya. Mudah-mudahan Allah SWT. memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada mereka hingga perjuangan menegakkan khilafah akan dilandasi dengan tauhid yang lurus dan tanpa meninggalkan jihad, Insya Allah.





2 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum...
Izin copy... untuk referensi...
Jazakallah khair...

insidewinme mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu