Sabtu, 07 Maret 2009

URGENSI ILMU DALAM DA’WAH


Segala puji bagi Alloh  Rabb semesta alam dan yang menguasai hari pembalasan. Shalawat serta salam kepada Rasulullah  sebagai pembawa Risalah diinul islam dengan penuh pengorbanan hingga cahayanya menerangi seantero penjuru dunia.
Da’wah merupakan salah salah satu sarana yang sangat menentukan bagi perubahan suatu masyarakat menuju kekapada yang lebih baik. Sejarah telah mengungkap tentang luasnya kekuasaan islam hingga mengusai sepertiga belahan dunia merupakan bukti keberhasilan da’wah yang merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari pada jihad. Allah  berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada segolongan manusia dari kalian yang menyeru kepada kebaikan dan memerintahkan kepada yang ma’ruf serta mencegah dari yang mungkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imron: 104 )
Kalau kita mencermati ayat diatas Allah  mengaitkan keberuntungan atau kejayaan dengan Da’wah serta amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tentunya lebih menguatkan anggapan bahwa da’wah merupakan sarana yang sangat penting di samping jihad yang dalam merubah keadaan suatu masyarakat. Namun dengan demikian da’wah bukanlah suatu amalan yang bisa dilakukan semau kita dalam artian tanpa dasar ilmu. Akan tetapi Allah  dan Rasulnya  telah memberikan gambaran dengan dalil secara umum yang mengatur tentang tata cara da’wah.
Diantara dalil umum yang menerengkan tata cara da’wah adalah firman Allah  :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah kepada jalan Rabb mu dengan cara Hikmah dan Nasehat yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (Qs. An-Nahl: 125)
Dari ayat di atas kita bisa menyimpulkan tiga cara umum yaitu Hikmah, Mauidzoh Hasanah, Debat dengan cara yang baik.
Hikmah adalah sikap yang tepat, baik dalam perkataan ataupun perbuatan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan hikamh ini akan tercapai salah satunya adalah apabila seseorang melakukan tindakan didasari dengan ilmu. Bahkan ilmu sendiri adalah merupakan bahagian yang tak terpisahkan atau kita sebut dengan Rukun dari pada hikmah.
Berangkat dari hal diatas, maka dalam makalah dengan judul “URGENSI ILMU DALAM DA’WAH” ini, kami akan membahas tentang pentingnya ilmu dalam berda’wah. Dan mungkin dalam makalah ini banyak kekurangan atau bahkan terjadi kekeliruan maka penulis merindukan adanya Islah dari pembaca sekalian.

II. A. Pengertian ilmu
Ilmu secara bahasa berasal dari kata علم – يعلم yang artinya adalah mengetahui hakikat dari sesuatu . Sedangkan secara istilah ilmu adalah ما قام عليه الدليل (sesuatu yang padanya terdapat dalil) . Baik itu dalil Naqli atau dalil yang bersumberdari akal yang sehat.

B. Dalil disayari’atkanya berilmu
1. Dari Al-Qur’an
Allah  berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah maha mengetahui terhadap apa yang engakau kerjakan”. (Qs. Al-Mujadalah: 11)
Dan di ayat lain Allah  berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Ketahuilah, bahwa tidak ada ilah selain Allah niscaya Allah akan menganpuni dosa-dosa kalian dan kaum mu’minin dari golongan laki-laki dan perempuan”. (Qs. Muhammad: 19)
Dan di ayat lain Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguh yang takut kepada Allah hanyalah dari kalangan hambanya yang berilmu” (Qs. Fathir:28)
2. Dalil dari Hadits Rasulullah 
Rasulullah  bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu diwajibkan atas setiap muslim”. (Hr. Ibnu Majah)
Rasulullah  juga bersabda:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Barang siapa yang di kehendaki untuk menjadi baik oleh Allah maka ia akan difahamkan tentang agamanya. Dan sesungguhnya ilmu itu didapat hanya dengan cara belajar” (Hr. Bukhari)
Dan di hadits lain Rasulullah  bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika anak adam telah mati maka seluruh amalannya akan terputus kecualli tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya”. ( Hr. Muslim)
3. Perkataan salaf
Muadz bin jabal rhadiallahu anhu berkata:
تعلموا العلم فإن تعلمه لله خشية وطلبه عبادة ومدارسته تسبيح والبحث عنه جهاد وتعليمه لمن لا يعلمه صدقة
“Pelajarilah ilmu karena mempelajarinya adalah khasyah dan mencarinya adalah ibadah dan mengajarkannya adalah tasbih dan mencarinya adalah jihad dan mengajarkan kepada yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah”
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
تعلموا..تعلموا فإذا علمتم فاعملوا
“Belajarlah..dan belajarlah. Dan apabial engkau telah mengetahuinya maka amalkanlah”.
Berkata al-hasan rahimahullah:
لولا العلم لصار الناس مثل البهائم
“Kalau bukan karena ilmu, maka niscaya manusia itu akan seperti binatang”


III. Urgensi ilmu dalam da’wah

A. Ilmu sebagai landasan amal
Ilmu adalah syarat diterimanya ibadah seseorang. Tanpa ilmu maka sebesar apapun ibadah yang dilakukan dengan penuh keikhlasan maka akan ditolak. Hal ini sebagai mana banyak dijelaskan oleh para ulama bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua. Yaitu Ikhlas dan Mutaba’aturrosul (dilandasi oleh ilmu yang benar). Fudhail bin Iyadh berkata ketika mengomentari firman Allah  :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا.
“Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya ia mengetahui siapakan diantara mereka yang paling baik amalannya” (Qs. Al-Mulk: 2)
العمل إذا خالصا لم يكن صوابا لم يقبل وإذا كان صوابا لم يكن خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا وصوابا , الخالص أن يكون لله والصواب أن يكون على سنة رسول الله
“suatu amalan apabila dikerjakan dengan keikhlasan namun tidak benar maka akan ditolak, dan apabila dikerjakan dengan benar namun tidak ikhlas juga akan ditolak. Sampai suatu amalan tersebut menjadi Ikhlah dan benar. Ikhlas itu adalah hendaknya ia mengerjakannya karena Allah  dan benar adalah hendaknya ia melakukan di atas sunnah Rasulullah .
Allah  berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Ketahuilah, bahwa tidak ada ilah selain Allah niscaya Allah akan menganpuni dosa-dosa kalian dan kaum mu’minin dari golongan laki-laki dan perempuan”. (Qs. Muhammad: 19)
Dari ayat diatas Allah  mengawali perintah untuk berilmu sebelum melakukan sebuah amal. Sufyan bin uyainah berkata:
أَلَمْ تَسْمَع أَنَّهُ بَدَأَ بِهِ فَقَالَ : " اِعْلَمْ " ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَمَلِ ؟
“Apakah engkau tidak mendengar bahwa dia (Allah  ) memulai dengannya (Ilmu) dengan firmannya “ ketahuilah” kemudian baru diperintahkan untuk beramal?
Hal ini memeberikan isyarat bahwa ilmu harus didahulukan sebelum melakukan suatu amal perbuatan. Sehingga Imam Al-Bukhariy menulis bab khusus dalam kitab beliau berkenaan tentang di dahulukannya ilmu sebelum berkata dan berbuat ( العلم قبل القول والعم ).
Oleh karenanya seorang Da’I haruslah mempunyai ilmu yang akan menjadi landasan setiap tidakan yang ia lakukan dalam berda’wah agar tidak menjadi sia-sia dan tidak bernilai di sisi Allah .

B. Ilmu akan mengangkat derajat seorang Da’i
Suatu hal yang lumrah kita ketahui bahwa manusia mempunyai fitroh untuk menghargai orang yang lebih mulia derajatnya dibandingkan dirinya sendiri. Sejauh mana kemuliaan yang dimiliki oleh seseorang maka sejauh itu pula penghargaan yang akan ia dapatkan. Maka seorang da’I yang mempunya kewibawaan dihadapan para mad’u akan lebih mudah untuk diterima perkataanya, dan sebaliknya.
Diantara keutamaan ilmu adalah ia akan mengangkat derajat seseorang diatas yang lainnya. Sebagaimana banyak disebutka dalam Al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah  . Allah  berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah maha mengetahui terhadap apa yang engakau kerjakan”. (Qs. Al-Mujadalah: 11)
Berkata Ibnu hajar al-asqalaniy: kalimat “meninggikan derajat” menunjukkan besarnya karunia, yang berma’na ketinggian secara maknawi di dunia dengan tingginya kedudukan dan sanjungan padanya. Dan ketinggian yang sebenarnya adalah di akherat kelak ia mendapatkan tempat yang tinggi di jannah. Ibnu abbas radhiallahuanhu berkata:
للعلماء درجات فوق المؤمنين بسبعمائة درجة, ما بين درجتين مسيرة خمسما ئة عام
“bagi para ulama mempunyai beberapa derajat di atas orang-orang yang beriman dengan tujuh ratuh derajat. Dan setiap derajat seperti perjalanan lima ratus tahun”.
Allah  berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah, apakan sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui”. (Qs. Az-Zumar: 9)
Rasulullah  bersabda:
فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“keutamaan seorang alim dibandingkan dengan seorang abid adalah laksana bulan purnama dengan seluruh bintang-bintan”. (Hr. Tirmidzi)
Ada sebuah ungkapan yang sangat unik, yaitu jangankan manusia hewanpun ketika ia mempunyai ilmu (kepandaian) maka derajatnya akan berbeda demikian juga dengan harga jualnya di bandingkan dengan hewan yang tidak mempunyai kepandaian. Ini dimisalkan sebagaimana seekor anjing dalam pembahasan ilmu fiqh “bab hasil binatang buruan” para ulama menyimpulkan dari firman Allah  :
قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ
“katakanlah, dihalalkan bagi kalian apa-apa yang baik dan hasil dari anjing-anjing pemburu yang kalian telah latih”. ( Qs. Al-Ma’idah: 4)
Bahwa hasil binatang buruan yang ia mempunyai ilmu dalam artian terlatih halal untuk dimakan dengan syarat-syarat tertentu. Namun apabila binatang pemburu itu tidaklah anjing yang terlatih maka tidak diperbolehkan bagi kita untuk memakannya. Ini sebagai bukti bahwa dengan ilmu seekor hewanpun mempunyai kedudukan yang lebih istimewa dibandingkan yang lainnya.

C. Seorang yang tak berilmu tak akan bisa menyampaikan ilmu
Sudah selayaknya bagi seorang Da’I harus tahu kepada apa para mad’u akan ia seru. Jangan sampai ia menyeru justru kepada kesesatan dikarenakan tidak mengetahui ilmu tentang kebenaran. Dengan demikian maka seharusnyalah seorang Da’I membekali dirinya denga ilmu yang cukup. Ada sebuah ungkapan hikmah:
فاقد الشىء لا يعطى
“seseorang yang tidak mempunyai maka tidak akan bisa memberi”.
Diinul islam adalah agaman yang dibangun atas dasar ilmu yang jelas yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah . Tidak sebagai mana agama lain yang dibangun diatas kebodohan dan taklid belaka. Dan ketika seoran da’I berda’wah tanpa membawa bekal ilmu yang cukup maka justru akan menghasilkan kerusakan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah  :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“sesungguhnya Allah  tidak akan mengankat ilmu secara serentak dari bamba-hambanya. Akan tetapi ia akan terangkat dengan diwafatkannya para ulama. Hingga tidak tersisa lagi seorang alim. Kemudian manusia akan mengangkat seorang pemimpin yang jahil, dan mereka bertanya kepadanya hinggga ia mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu, maka ia pun sesat dan menyesatkan”. ( Hr. Bukhariy)
Rasulullah  pernah marah ketika mendengar kabar bahwa ada seorang sabahabat yang bertanya kepadanya namun di jawab tidak dengan dasar ilmu yang benar. Sebagaiman hadits yang diriwayatkan dari jabir :
خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
“kami sedang berada dalam suatu perjalanan, seorang lelaki dari kami tertimpa batu kemudian kepalanya bocor. Kemudian ia ihtilam lantas bertanya kepada sahabat-sahabatnya seraya berkata: menurutmu apakah aku mendapat rukhshah untuk bertayammum? Mereka berkata: menurut kami engaku tidak mendapatkan rukhsah karena masih bisa mendapatkan air. Maka iapun mandi dan akhirnya mati. Dan ketika kami sampai kepada Rasulullah  dikhabarkan kepada beliau tentang hal itu. Maka beliau bersabda: mereka telah membunuhnya dan semoga Allah membunuh mereka kenapa mereka tidak mau bertanya kalau tidak mengetahui? Sesungguhny obat dari kebodohan adalah bertanya. Dan sebenarnya cukup bagi dia dengan bertayammum. (Hr. Bukhariy)

D. Ilmu akan memudahkan jalan da’wah
Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa da’wah adalah suatu amalan yang bisa dikerjakan begitu saja. Namun ia membutuhkan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana tatacara Rasulullah  berda’wah. Baik dari cara beliau menyampaikan da’wah dan melihat kondisi yang terpat sesuai dengan keadaan orang yang di da’wahinya.
Bahkan ada sebahagian ulama yang mengatakan bahwah maksud firman Allah  :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ
“katakanlah, ini adalah jalanku aku menyeru kepada Allah  dia atas Bashirah”. (Qs. Yunus:8)
Alaa bashiiratin ma’nanya adalah ( على علم ) diatas ilmu. Ini dikarenakan seorang yang berilmu akan tepat dan sesuai dengan keadaan seorang yang akan di da’wahi.
Rasulullah telah banyak mencontohkan sebagai seorang sosok yang paling tepat untuk di tauladani dalam berda’wah dengan memperhatikan situasi dan kondisi para mad’u. Oleh karenanya maka seorang da’I hendaklah mempunyai ilmu yang cukup yang akan memperlancar jalan da’wah.

IV. Kesimpulan
Setelah kita membaca beberapa uraian di atas berkenaan dengan urgensi ilmu dalam berda’wah maka kita bisa menyimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Da’wah merupakan suatu amalah yang sangat urgen dalam kehidupan manusian. Hal ini dikarenakan baik atau tidaknya suatu masyarakat tergantung padanya. Sejauh mana da’wah digencarkan oleh para da’I maka sejauh itu pula kebaikan yang akan dirasakan oleh masyarakat tersebut.
2. Namun bukan berarti da’wah adalah suatu amalan yang bisa dilakukan semau kita tanpa mengenal aturan yang telah di jelaskan oleh Rasulullah . Akan tetapi, da’wah adalah suatu amalah yang telah dijelasakan secara global oleh Allah  dan Rasulullah  diantanya adalah dengan Hikmah.
3. Diantara salah satu komponen yang harus ada di dalam hikmah adalah ilmu.
4. Ilmu mempunya peran yang penting dalam da’wah diantanya adalah, ilmu adalah landasan dari amal da’wah kita, ilmu sebagai bekal yang kita menyeru manusia kepadanya, ilmu akan mengangkat derajat seorang da’I di mata mad’u, dan ilmu akan mempermudah jalan da’wah kita.

V. Referensi
1. Fathul baari, karya Ibnu hajar al asqalani, maktabah syamilah
2. Iqdida’shiratal mustaqim, karya syaikhil islam ibnu taymiyah, maktabah syamilah
3. Mukhtashar minhajul qhasidin, karya ibn qudamah, penerbit Daarul fikr thn. 1987
4. Jawahiru aqdain, karya nuruddin aliy bin abdullah, daarul kutub ilmiyah thn.1995
5. Memburu warisan nabi, anis ahmad kurzun, pustaka syahadah
6. Kamus al-munjid karya louwis ma’luf
7. Al-Hikamah fidda’wah ilallah.





0 komentar: