Senin, 25 Mei 2009

Kehujahan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah

A. Muqodimah
Salah satu keistimewaan tersendiri bagi kaum muslimin yang tidak di dapatkan pada umat selainnya adalah penjagaaan terhadap hadits nabawiyah. Hal itu dikarena para ulama' salaf sangat memperhatikan masalah sanad, mereka tidak akan menerima sebuah hadits kecuali telah mengetahui keadaan pembawa hadits. Apabila ia termasuk orang yang adil maka hadits tadi diterima dan sebaliknya jikalau sang perowi mempunyai kecaatan dalam keadilannya, mereka tidak menerima hadits yang ia bawa. sehingga ada sebuah cabang ilmu yang membahas tentang Jarhu Wa Ta'dil
Berkata Abudulloh ibnu Mubaro' :
اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَ لَوْ لاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَآءَ وَ مَا شَآءَ
“Metode sanad ini adalah (bagian dari) agama. Seandainya tidak ada sanad, maka siapa saja yang berkehendak akan berkata apa saja yang dikehendakinya ”
Ibun sirin berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu sanad ini adalah agama, maka telitilah dari siapakah kalian mengambil agama kalian”.
Beliau juga mengatakan
لم يكونوا يسألون عن الإسناد, فلما وقعت الفتنة, قالوا سموا رجالكم, فينظر الى أهل السنة فيؤخذ حديثهم. وينظر الى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم.
Berkata inbu sirin "Dulu mereka tidak menanyakan masalah isnad. Maka taatkala terjadi fitnah mereka berkata: beritahu kepada kami rijal-rijal (para perowi) kalian. Maka mereka melihat ahli sunah kemudian mengambil haditsnya, dan kepada ahli bid'ah tidak diambil haditsnya.
Pada masa sekarang muncul sebuah kelompok atau pemahaman yang menimbulkan keraguan-keraguan dalam aqidah islam. Mereka membedakan antara hadits mutawatir dan ahad dalam kehujahannya. Mereka tidak mejadikan hadits ahad dalam masalah aqidah.
Maka dalam makalah yang sangat ringkas ini, penulis ingin mencoba mencari kebenaran yang sebenarnya menurut pemahaman salaful ummah. Kami menyadiri akan kekurangan ilmu yang kami miliki, sehingga kami membuka pintu islah selebar-lebarnya untuk kebaikan bersama.
B. Pengertian
 Aqidah
Secara etiomologis ia diambil dari kata Al A'du yang berarti pengikat, keyakinan yang kuat dan tetap, atau sesuatu yang dengannya manusia beragama –mempunyai kepercayaan- baik yang haq atau pun bathil
Sedangkan secara teminologis aqidah adalah kenyakinan yang pasti yang tidak ada keraguan didalam hatinya akan iman kepada Allah  juga apa yang Ia cintai dari tauhid dan iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rosul-Nya, hari akhir dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan juga dari cabang dari pokok keimanan tersebut.

 Hadits Ahad
Secara etiomologis: Al-Ahaad isim jama' dari Ahad yang berarti satu atau sendirian .
Sedangkan secara terminologis para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits ahad. Perbedaan tersebut lebih kepada redaksi tulisan saja, karena secara subtansi keseluruhannya mempunyai maksud yang sama. Diantara perngertian yang diberikan ulama' adalah sebagai berikut:
Muhammad Thohan mendifinisikan hadits ahad sebagai 'hadits yang tidak terkumpul di dalamnya syarat-syarat –hadits- mutawatir
Sementara Muhammad bin Husain bin Hasan mengatakan hadits ahad adalah selain mutawatir yang terangkum didalamnya seluruh hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir.
Sedangkan menurut Hasbi al Shiddiqi, hadits ahad didefinisikan sebagai khobar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tuga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak samai kepada jumlah perawi hadits mutawatir
Pengertian diatas dilatar belakangi bahwa mereka yang membagi hadits menjadi dua, mutawatir dan ahad. Hal ini akan berbeda bagi mereka yang membagi hadits menjadi tiga mutawatir, masyhur dan ahad. Seperti Muhammad 'Ijjaj Al Khotib mendefinisikan hadits ahad dengan mengatakan "ia adalah sebuah hadits yang diriwayatkan satu, dua orang rowi atau lebih yang tidak memenuhi syarat mutawati dan masyhur
Abdul wahab kholaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua arang atau sejumlah orang, akan tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perowi hadits mutawatir. Keadaan perowi ini terjadi sejak perowi pertama sampai perowi terakhir
Pembahasan yang –insya Allah – penulis angkat dalam makalah ini berkenaan dengan kehujahan hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir dalam masalah aqidah.

C. Dasar aqidah dan manhaj salaf dalam menetapkannya
Sebelum membahas masalah kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah, maka perlu dikaji terlebih dahulu tentang landasan-landasan syariat islam dalam menetapkan aqidah islamiyah (mashodirul aqidah).
Sesungguhnya aqidah islam adalah perkara tauqifi yang tidak boleh menetapkan sesuatu darinya kecuali dengan dalil yang datang dari pembuat syare'at dan nabi-Nya, tidak ada pula tempat untuk berijtihad di dalamnya. Sumber-sumber penetapan aqidah hanyalah dilandaskan kepada Al Qur'an dan Sunah nabi muhammad  yang shohih. Hal ini dikarenakan tidak ada yang lebih mengetahui Allah  kecuali Allah  sendiri dan tidak ada yang lebih mengetahui-Nya setelah Allah  daripada Rosul-Nya Muhammad  yang menyampaikan kitab kepada manusia.
Para salafus sholih menerima hadits-hadits shohih dan tidak membedakan antara hadits ahad maupun mutawatir. Mereka tidak membedakan kehujahan dalam masalah amal atau aqidah, nash-nash yang menjadi kehujahan dalam amal bisa juga dijadiakan hujah dalam masalah aqidah. Tidak didapat salah satu dari shohabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in yang menyelisihinya .
Sedangkan Dr Ibrohim bin Muhammad Al Buraikani menambahkan sumber aqidah islam dengan akal yang shohih. Karena akal adalah tabiat yang Allah  ciptakan pada diri manusia untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah. Dengannya pula manusia bisa memahami apa yang terkandung di dalam Al Qur'an dan Sunah.
Mendasarkan kepada Al Qur'an dan As Sunah saja kemudian difahami sendri tanpa merujuk terhadap manhaj salafus sholih dalam memahami sumber-sumber diatas adalah perkara yang salah dan akan menyesatkan pelakunya. Otak manusia sangat banyak, satu dengan yang lainnya berbeda-beda dalam mengistimbatkan hukum, ia akan menafsirkan dalil Al Qur'an dan As Sunah sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran dan hawa nafsu mereka (jika tidak dikembalikan kepada pemahaman salaful ummah)
Sebagai contoh orang-orang khowarij mengkafirkan shohabat Ali  juga menggunakan ayat Al Qur'an. Orang-orang JIL yang sebagiannya menganggap sholat tidak wajib, perempuannya tidak menutup aurot, mereka membela "goyang ngebor" Inul, dan pemahaman nyleneh lainnya, kalau ditanya tentang ayat Al Qur'an atau Hadits yang mendukungnya mereka akan menaburkan beberapa ayat dan hadits. Akan tetapi perlu diingat, ayat atapun hadits yang mereka jadikan hujah dalam perbuatan maksiat itu sesuai dengan pemahaman dan hawa nafsu mereka. Jikalau hadits itu shohih bahkan dirwayatkan dari bukhori dan muslim, maka mereka memalingkan makna dari yang sesungguhnya.
Allah  memerintahkan kita untuk mengikuti jalannya orang-orang yang beriman, bahkan Allah  mengancam dengan kesesatan bagi mereka yang tidak mengikuti manhajnya. Allah  berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An Nisa':115)
Imam Ibnu Jarir At Thobary menafsirkan ayat wayat tabi' ghoiro sabilil mu'minin seraya berkata "Yaitu mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang shidiq dan menapaki manhaj selain manhaj mereka. Dan ini adalah sebuh kekafiran kepada Allah .
Dr Ahmad Sa'id Hamdan menyebutkan ada beberapa manhaj salaf dalam menetapkan aqidah islam yang shohih . Diantara manhaj tersebut adalah:
1. Berhukum dengan Al Qur'an dan As Sunah As Shohihah dalam segala perkara aqidah, dan tidak menolak dari keduanya atau menta'wilkan.
2. Mengambil apa yang datang dari para shohabat dalam menerangkan perkara agama secara umum dan perkara aqidah secara khusus.
3. Tidak terlalu berlebihan di dalam memahami aqidah pada perkara-perkara yang akal tidak sampai untuk memahaminya.
4. Tidak berdebat dengan ahlu bid'ah –yang tidak bisa diharap kebaikannya-
5. Berupaya untuk selalu kosisten terhadap jam'atul muslimin dan menyatukan kalimat mereka.

D. Pembagian Hadits Ahad menurut jumlah perowi.
Ada sebagian ulama’ yang membagi hadits ahad menjadi tiga dan ada pula yang membaginya menjadi empat. Sebenarnya maksud mereka sama. Mereka yang berpendapat tiga, menjadikan khobar mustafid bagian dari khobar masyhur. Sedangkan bagi mereka yang membedakan antara mustfid dan masyhur maka hadits ahad dibagi menjadi empat. Ke empat macam tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masyhur: hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan tiga orang atau lebih disetiap Thobaqot – rangkaian peringkat- sanad dan tidak mencapai batasan hadits mutawatir.
2. Mustafid: diantara atau bahkan kebanyakan para ulama’ menganggapnya sama dengan masyhur . Ada juga yang membedakan diantara keduanya, kalau mustafidz adalah hidits yang diriwayat tiga orang atau lebih sedangkan hadits masyhur adalah sebuah hadits yang masyhur –terkenal- setelah abad kedua atau ketiga yang diriwayatkan oleh para perowi tsiqot yang tidak mungkin bersepakat untuk mengadakan kebohongan.
3. ‘Aziz: yaitu bila ia diriwayatkan oleh dua orang, walaupun itu hanya pada peringkat pertama dari seluruh rangkaian peringkat sanadnya.
4. Ghorib: yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perowi saja, hadits ini juga disebut khobarul wahid. Bila perawi tunggal berada pada seluruh rangkaian sanadnya, maka ia disebut Al Fardul Muthlaq (tunggal mutlak). Tapi bila perawi tunggal itu berada pada peringkat pertama atau kedua dari seluruh rangkaian sanadnya, kemudian ia tersebar dan diriwayatkan oleh lebih dari satu orang pada peringkat selanjutnya, baik sama dengan jumlah perawi mutawatir, masyhur atau mustafidh, maka ia disebut Al Fardun Nisby (tunggal relatif).

E. Keabsahan khobarul wahid setingkat ilmu dan yakin ataukah haya sebatas dzon (sangkaan)?
Ulama' berbeda pendapat dalam keabsahan khobarul ahad, apakah ia setingkat ilmu atau hanya sebatas dzon. Perlu menjadi perhatian, yang kami maksud hadits ahad disini adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat shohih atau dengan kata lain hadits yang shohih. Sedangkan hadits mardud ataupun dhoif, tidak ada perselisihan antara ulama' akan ketidak wajiban dalam amal maupun ilmu.
Dalam masalah ini setidaknya ada tiga pendapat di kalangan ulama'.
Pertama: bahwa khobarul wahid tidak mengatakan keabsahan riwayat setingkat ilmu –hanya dzon- secara menyeluruh baik memiliki qorinah atau tidak. Diantara yang berpendapat seperti ini Ibunu 'Aqil, Ibnul Juazi, Al Qodhi Abu Bakar bin Al Baqolani, Abu Hamid dan kebanyakan ahlu usul.
Kedua: bahwa khobarul wahid mengatakaan keabsahan riwayat setingkat ilmu. Dan ini adalah pendapat jumhur salaf dan kebanyakan muhaditsin dan dari kalangan fuqoha' pengikut empat madzhab , begitu juga dengan Thohir Al Maqdisi, Abu Sulaiman dan Ibnu Hazm di dalam buku Al Ihkam
Ketiga: Khobarul wahid menyatakan keabsahan riwayat setingkat ilmu apabila didukung beberapa qorinah (unsur penguat). Yang berpendapat seperti ini adalah Muafiqudin bin Qudamah, Ibnu Hamdan, Ibnu zaghunii, Fahru Rozi, Al Amidi dan yang lainnya.
Dari sini terjadi perbedaan pendapat kehujuhan khobarul wahid dalam masalah aqidah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa keabsahan hadits ahad tidak setingkat ilmu hanya setingkat dzon, maka mereka menolak hadits ahad sebagai hujah dalam masalah aqidah dan menirima kehujahanya dalam masalah ahkam. Mereka berdalil bahwa aqidah adalah perkara tauqifi yang tidak boleh dilandaskan dengan prasangka belaka.
Sementara bagi mereka yang berpendapat bahwa kehujahan hadits ahad setingkat ilmu, maka ia bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah dan masalah ahkam.

F. Hadits ahad bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah.
Hadits yang diriwatkan oleh perowi-perowi yang adil dari awal hingga akhir, maka para salaf menerima hadits tersebut sebagai hujah dalam segala hal, dan tidak membedakan antara perkara Ahkam maupun Itiqodiya. Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: "sedangkan yang kedua dari macam khobar yaitu (hadits) tidak ada yang meriwayatkannya kecuali satu rowi yang adil dan belum sampai derajat mutawatir secara makna dan lafadz akan tetapi umat menerimanya sebagai dasar amal dan membenarkannya, seperti hadits umar bin khotob "sesungguhnya amalan tergantung pada niatnya" dan hadits ibnu umar " (Rasulullah ) melarang untuk menjual perwalian dan menghadiahkannya"………….. Maka ini semuanya (hadits ahad) menghasilkan ilmu yakin (kepastian) dikalangan umat nabi Muhammad  sejak yang pertama sampai yang terakhir. Sedangkan para salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini -kehujahan hadits ahad dalam aqidah pnj- demikian juga pendapat kebanyakan mereka dari kalangan ulama'-ulama' besar masakini dan ke emapat imam madzhab."
Ibunu Hazm setelah membantah orang yang menolak kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah, beliau mengatakan "Dan jikalau ini semua benar maka bisa ditetapkan secara yakin bahwa khobarul wahid yang diriwayatkan oleh perowi adil sampai kepada rosululloh r, maka bisa dipastikan kebenarannya dan wajib untuk diamalkan dan dan setingkat ilmu secara bersama."
Bahkan ada sebagin ulama' yang mensetarakannya dengan khobar mutawatir. Jashos berkata: "khobar wahid apabila umat menerimanya maka kedudukannya sama dengan mutawatir dan boleh dijadikan pengkhususan dalam Al Quran. Dan ini termasuk sifat dari khobar ini –ahad, penj- karena para shohabat menerimanya dan menggunakannya sebagai hujah.

• Dalil akan wajibnya menerima hadits ahad.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah, baik dari Al Qur'an maupun As Sunah. Dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

 Dari Al Qur'an
1. Allah  berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (At Taubah 122)
Dalam ayat ini Allah  mewajib setiap golangan mengirimkan seseorang untuk belajar tentang agamanya. Mereka juga diwajibkan untuk menerima peringatan dari utusan tersebut. Dan kata thoifah dalam bahasa arab digunakan untuk satu atau lebih
Imam Bukhari berkata : "Satu orang manusia dapat dikatakan golongan (thoifah)" Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya." (QS. Al Hujurat : 9)
Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas.
Jika perkataan seorang dapat diterima dalam masalah agama, maka ini sebagai dalail bahwa berita yang disampaikan juga dapat dijadiakan hujah. Belajar agama meliputi perkara ahkam dan aqidah, sedangkan aqidah lebih diutamakan dari perkara selailnya.
2. Allah  berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al Hujroj: 6)

Maka apabila berita itu dibawa oleh orang yang tsiqoh maka wajib bagi orang muslim untuk menerimanya.
3. Firman Allah  :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa': 59)

Ibnu Qoyim berkata: "Ummat Islam sepakat bahwa maksud raddu ilaihi adalah kembali kepada Rasulullah  tatkala beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu."
 As Sunah
Sedangkan hadits-hadits nabawiyah yang menunjukkan bolehnya berhujah dengan hadits ahad dalam masalah aqidah sangatlah banyak. Diantara hadits-hadits tersebut:
1. Rosululloh  hanya mengirim satu orang yang diutus sebagai delegasi kepada setip raja di setiap negara. Begitu juga beliau  mengirim satu orang kepada sebuah kabilah untuk mendakwahkan islam. Diantara mereka ada Abu Ubaidah ke daerah Najron , Dihyah Al Kalbi dengan membawa surat dari nabi kepada pembesar-pembesar basyroh , sementara Muadz bin Jabal diutus rosululloh ke daerah Yaman.
Dan sudah menjadi maklum bahwa mereka diutus rosululloh kedaerah-daerah tersubut untuk mengajarkan islam kepada penduduknya, dan ajaran yang pertama kali diajarkan adalah tentang aqidah islam. Jikalau hadits ahad tidak bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah tentu Rasulullah  akan mengirim delegasinya sejumlah shahabat yang mencapai jumlah mutawatir, akan tetapi beliau hanya mengirim satu orang delegasinya. Ini mengisyaratkan kepada kita akan kebolehan mengabil khobar yang datang dari satu orang yang terpercanya.
2. Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah  , saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah  , bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam."
3. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata :"Ketika manusia ada di Quba' menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah  Al Qur'an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka'bah, maka mereka menghadap Ka'bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka'bah."
Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk bisa diterima hadits yang disampaikannya dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.

G. Dampak dari penolakan kehujahan hadits ahad.
Sesungguhnya pendapat yang menolak kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah akan mengakibatkan banyak perkara aqidah dalam islam akan hilang. Diantara perkara-perkara aqidah yang ditetapkan dengan hadits ahad adalah sebagai berikut:
1. Keutamaan nabi Muhammad  dibanding dengan seluruh nabi .
2. Syafaat Rosululloh  di padang Mahsyar.
3. Syataat Rosululloh  bagi umatnya yang berbuat dosa besar
4. Seluruh mu’jizat rosululloh  selain Al Qur’an
5. Teknis penciptaan makluq, sifat malaikat dan jin, sifat janah dan neraka yang tidak disebutkan dalam al qur’an
6. pertanyaan malaikat mungkar dan nakir dan siksaan dialam kubur
7. shirotol mustaqim, telaga Al Kautsar dan mizan (neraca) yang memiliki dua sisi
8. keyakinan bahwa allah  telah menulis takdir, bahagia atau celaka, rizkidna ajal seluruh manusia ketika di rahim sang ibu.
9. masuknya tuju puluh ribu umat nabi Muhammad  kedalam surga tanpa hisab.
10. keyakinan bahwa arwah para suhada' berada di tembolok-tembolok burung hijau di surga. Dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan yang jumlahnya hampir ratusan.
Semoga risalah yang singkat ini bisa menjadi rinungan bagi kaum muslimin. Dan kita mohon petunjuk kepada Allah  kepada jalan yang lurus serta keistiqomahan dalam menitinya.


Referensi:
1. Ibnu Qoyyim, Mukhtashor Showa'iq, Maktabah Dhous Salaf, Riyadh, cetakan pertama th 1425 H/ 2004 M
2. Abi Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, Al Ihkam fi Usulul Ahkam, Darul Al Afaq Al Jadiadah, Bairut
3. Ahmad bin Aly bin Hajar al Asyqalany, Fathul Bahri Fi Syarh Shohihul Bukhory, Dar al Fikr, Cet. Ke-1, Beirut, 1420 H
4. Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyiri An Naisyabury, Syarkh Shohih Muslim, Darul Al Kitab Al 'Amiyah, Bairut, cetakan pertama 1421 H/ 2000M
5. muhammad bin husain bin hasan menukil dalam buku Ma'alim Usul Fiqh 'inda Ahli Sunah Wal Jamaah, Daru Ibnul Jauziyah, Riyadh, 1996 M/1416 H
6. Ibrohim bin Muhammad Al Buroikan, Al Madkhol Lid Dirosah Al Aqidah Al Islamiyah,
7. Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, Tashilul Aqidah, Darul As Shomi'I, Th 1424 H/ 2004 M
8. Muhammad Thohan,Taisiri Mustholahul Hadits, Darul Maktabah, Jakarta
9. Ushul Al Hadits ‘Ulumuhu Wa Mushthalakhuhu, Muhammad 'Ajjaj al Khatib, Dar Al Fikr, Cet. Ke-4, Beirut, 1401 H
10. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Usulul Fiqh, Darul Qolam, cet kedua belas th 1398 H/ 1978 M
11. Umar Sulaiman Al Asyqor, Usulul I'tiqod, Darul As Salafiyah, Kuwait, cet ketiga th 1405 H/ 1985M
12. Ibnu Jarir At Thobary, Jamiul Bayan 'an Ta'wili Aiyil Qur'an, Dar Al Fikr, Bairut, cet pertama th1421 H/2001 M
13. Abi Qoshim Habatallah, Syarh Usul I'tiqod Ahlus Sunah Wal Jamaah (ditahqiq oleh Dr Ahmad Sa'id Hamdan), Dar At Thoyyibah, Riyadh
14. Muhammad bin Ali As Saukani, Irsadul Fukhul Ila Tahqiqil Haq Min Ilmi Usul, Darul Kitab Al 'Arobiyah, Bairut, cetakan pertama th 1419 H/1999 M
15. Syaifurrohman, Koreksi Kitabul Iman Himpunan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Putaka Majida
16. Sulaiman bin Sholih bin Abdul Aziz, Aqidah Imam Abdul Bar Fi Tauhid Wa Iman, Dar Al 'Ashimah, Riyadh, cet pertama th 1316 H/1997 M
17. Muhammad Lukman Salfy, Makanatus Sunah, Dar Ad Da'i, cetakan ke dua1420 H/1999 M
18. Muhammad Nur Ichwan, studi ilmu hadits, Rasail Media Group, Cet. Ke-1, Semarang , 2007 M
19. lisanul Arab (Program Maktabah Syamilah )
Read More..

Jangan Katakan "Seandainya"

Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah  merupakan pokok aqidah ahlus sunah wal jamaah. Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah  di Lauhil Mahfud. Allah berfirman:
"مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ" {الحديد 22 }
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." {Al Hadid 22}
Ibnu Abbas mengomentari ayat diatas seraya berkata: "Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi –manusia-(tafsir At Thobary 13/265)
Imam muslim meriwatyat dari Abdillah bin Amr, ia berkata saya mendengar Rusululloh  bersabda :
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
"Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi"(Shohih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qodar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653, )
Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah  sebauh keharusan baginya.
Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah , tatkala kita diberi cobaan oleh Allah  berupa musibah atau yang semisalnya. Mungkin dengannya Allah  ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya. Rosululloh  bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwa sannya Allah  tatkala mencintai sebauah kaum (hambnya) maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridho terhadapnya baginya adalah keridhoan Allah  dan barang siapa yang menolak maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)

Sifat Orang Munafiq
Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah  dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagamana yang Allah  abadikan dalam Al-Qur'an surat Ali Imron:
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا
Mereka –orang-orang munafik- berkata:"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini"(Ali Imron 154).
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata: "dan telah diperlihatkan kepaduku, tatkala rasa takut yang sangat menylinap pada diri kami, Allah  menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah , sesungguhnya saya mendengar perkataan mu'tab bin qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan :"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini, maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat (Ali Imron 154). (fathul majid 2/766)
Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata (اللو) "andai kata" sebagai unkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:
قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ
Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.

Hukum mengatakan (اللو) "seandainya" dan sejenisnya
Sering kita mendegar ucapan "seandainya bigini tentu aku akan begini" atau yang sejinisnya, bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Kalau orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah . Apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?.
Abdurrohman Asy Sya'di di dalam bukunya "qoulu syadid fi syarkh kitabut at tauhid" menerangkan bahwa kata (اللو) seandainya" mempunyai dua keadaan. Pertama tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata: "seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini" atau yang semisalnya. Kedua: boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau haya sebagai sebagai berita.
Sedangkan Syeikh Syeih Utsaimin lebih rinci dalam menjelaskannya. Beliau mengelompokkan penggukaan kata (اللو) "seandainya" menjadi enam kelompok (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:
1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuat syareat Allah swt.
Hal ini sebagai mana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq terkhusus Abdullah bin Ubai. Allah berfirman:
الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا (آل عمران:168)
Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh".(Ali Imron 168)
Imam At Thobari dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Ishaq bahwa ia menafsirkan ayat " لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا " yaitu : kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau –Oranng munafiq- sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hayalah untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal didunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thobary 3/206). Maka hal ini diharomkan Allah .
2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir Allah .
Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan diatas –salah satu sifat orang munafiq-. Maka, ini juga di larang Allah .
3. Sebagai ungkapan penyesalan.
Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas "seandainya tahun ini saya belalajar rajin, saya akan naik kelas" ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir akan tetapi haya sebagai sebatas penyesalan. Maka, Hal ini juga dilarang oleh islam, karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya syaithon untuk menggoda manusia.
4. Berhujah dengan tadir dalam hal kemaksiatan kepada Allah.
Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan "ini adalah takdir Allah . Seandainya Allah  tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya". Allah  menolok hujah orang-orang yang menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah  berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ
Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (Al An'am:148)
5. Digunakan sebagai angan-agan atau cita-cita.
Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada obyek atau apa yang menjadi angan-angannaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik maka hukumnya juga baik. Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana hadits yang panjang tentang empat golongan, salah satu dari mereka berangan-angan "seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal" yaitu dalam ketaatan kepada Allah . Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rosululloh bersabda untuk yang pertama
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
"Dan ia hanya meniatkan maka pahala keduanya sama"
Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
"Dan ia hanya meniatkan maka dosa keduanya sama"
6. Digunakan sebatas berita.
seperti "seandainya ustadz masuk saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau.". Hal ini diperbolehkan oleh islam. Sebab Rosululloh pernah bersabda:
لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ
"Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian"

Penutup
Takdir adalah rahsia Allah  dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rosululloh  bersabda :
"orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah  dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah  -dalam segala urusan-, dan janganlah bersikap lemah. Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan "seandainya saya berbuat begitu, saya akan begini atau begitu" akan tetapi telah ditetapkan Allah  dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) "seandainya" membuka amalan syaithon" (HR muslim)
Dari hadits ini rosululloh memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaang yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan.


Maroji'
• Taisir Al-Aziz Al-Hamid fi Syarh Kitabut Tauhid / Sulaiman bin Abdillah bin Abdul Wahhab /Al Maktab Al Islamy / Beirut / Cet. Ke-6 / 1985 M
• Fathul Majid Li Syarkh Kitabut Tauhid / Abdurrohman bin Hasan bin Muahammad bin Abdulwahab
• Qoulu Al Mufid Fi Syarhi Kitabut Tauhid / Syikh Muhammad Sholih Al Utsaimin /Daru Ibnu Al Jauyi / 1419 H – 1999 M
• Qoulu Syadid Fi Syarkh Kitabut At Tauhid /Abdurrohman Asy Sya'di
• Syarh Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi / Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad Dimsyaqi /Al Maktabah Asy Syamilah
• Jami'ul Al Bayan 'An Ta'wili Ayyil Al Qur'an / Imam Ibnu Jarir Ath Thobary/ Darul Fikr / 1421 H – 2001 M
Read More..

JANGAN MENOLAK ORANG YANG MEMINTA ATAS NAMA ALLAH

Pada hakikatnya meminta adalah perbuatan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dianjurkan bagi seorang muslim menahan dirinya dari meminta sesuatu yang bersifat keduniaan yang ada ditangan orang lain. Hal ini sebagaimana Rasulullah  bersabda:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah  dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu. (Hr. Ibnu majah)
Dan Rasulullah  juga menghabarkan tentang tercelanya orang yang meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Tidaklah seorang lelaki senantiasa meminta-minta hingga pada hari kiamat kelak ia akan datang dan dengan wajah yang tak berdaging”. (Hr. Bukhoriy)
Adapun hukum mengabulkan permintaan orang yang meminta maka hal ini terbagi dalam beberapa keadaan.
1. Seseorang meminta dengan cara umum yang digunakan oleh manusia tanpa mengaitkan dengan Allah .
Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta kepada orang lain dengan mengatakan “wahai fulan berilah saya sesuatu”. Permintaan semacam ini dianjurkan bagi kita untuk memberinya selagi tidak digunakan untuk kema’syiatan seperti meminta uang untuk membeli Khamr. Namun mengabulkan permintaan ini tidak diwajibkan.
2 Meminta dengan mengaitkan permintaannya kepada Allah 
Permintaan semacam ini ada dua jenis:
a. Meminta dengan syari’at Allah 
Hal ini sebagimana seorang fakir yang meminta haknya secara syar’I kepada seorang yang kaya. Seperti meminta zakat, shadaqah dan yang sejenisnya. Hukum mengabulkan permintaan yang semacam ini tergantung keadaannya. Apabila ia adalah orang yang berhak dan sangat membutuhkannya maka wajib bagi kita untuk mengabulkan sekadar apa yang ia butuhkan. Dan apabila ia tidak termasuk orang yang berhak maka kita tidak diwajibkan untuk megabulkannya.
b. Meminta dengan cara menyebut atau bersumpah atas nama Allah 
Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta dengan menggunakan kata-kata ( أسألك بالله ) “saya meminta kepadamu atas nama Allah”. Maka mengabulkan permintaan yang semacam tergantung kepada apa yang diminta. Apabila yang diminta adalah sesuatu yang mubah secara syar’I maka hukumnya adalah wajib untuk dikabulkan. Akan tetapi apabila yang diminta adalah sesuatu yang diharamkan atau membahayakan yang dimintai maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan. Sebagaimana seseorang yang meminta uang atas nama Allah  namun akan digunakan untuk membeli khamr, dan juga orang yang meminta untuk menceritakan rahasia atau aib keluarga, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.
Wajibnya megabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah  ini disandarkan kepada hadits Rasulullah  :
مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Darang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah maka lindungilah ia. Dan barang siapa yang meminta kepada Allah maka berilah ia. Dan barang siapa siapa mengundangmu maka datangilah ia. Dan barang siapa berbuat baik kepadamu maka balaslah kebaikan kepadanya. Dan apabila engkau tidak mendapatkan apa yang cukup untuk membalas kebaikannya maka berdo’alah baginya sampai engkau merasa bahwa engkau telah cukup dalam membalas budinya. (Hr. Abu dawud dan Nasa’i)
Demikian juga dengan hadits Rasulullah :
مَلْعُوْنٌ مَنْ سُئِلَ بِوَجْهِ اللهِ وَمَلْعُوْنٌ مَنْ يُسْأَلُ بِوَجْهِهِ ثُمَ مَنَعَ سَائِلَهُ مَالَمْ يَسْأَلْ هَجْرًا
“Terlaknat orang yang dimintai dengan wajah Allah dan terlaknatlah orang yang dimintai atas nama Allah kemudian ia menolak permintaannya, kecuali permintaan untuk memutuskan hubungan. (Hr. Thabrani, beliau berkata di dalam tanbihul ghafilin bahwa rijal isnadnya shahih kecuali syaikhnya yang bernama yahya bin utsman bin shalih dan kebanyakan ahlu hadits mentsiqahkannya)

Abu hurairah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ الَّذِي يُسْأَلُ بِاللَّهِ وَلَا يُعْطِي بِهِ
“Maukah aku khabarkan kepada kalian seburuk-buruk manusia? mereka (para sahabat) berkata, iya wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda, seorang yang dimintai dengan nama Allah namun ia tidak memberinya” (Hr. Ahmad)
Beberapa hadits diatas sangat jelas mewajibkan untuk mengabulkan pemitaan orang yang meminta atas nama Allah . Ada beberapa alasan tentang diwajibkannya mengabulkan permintaan ini:
 Karena membebaskan sumpah adalah wajib. Maka ketika seseorang bersumpah kepada kita agar kita melakukan sesuatu maka diwajibkan bagi kita untuk melakukannya selagi tidak dalam kema’syiatan. Hal ini sebagai mana hadits Rasulullah terhadap seorang wanita yang di beri hadiah korma namun ia hanya memakan sebahagiannya dan meninggalkan sebahagian yang lain. Maka kemudian sang pemberi hadiah bersumpah kepada wanita tersebut agar memakan sisanya. Namun ia menolak, sehingga Rasulullah bersabda kepadanya:
أَبِرِّيهَا فَإِنَّ الْإِثْمَ عَلَى الْمُحَنِّثِ
“Bebaskanlah ia dari sumpahnya karena akan mendapat dosa bagi orang yang mengingkari sumpahnya” (Hr.Ahmad)
 Sebagai bentuk pengagungan terhadap terhadap nama Allah  yang disebutkan saat meminta.

Referensi:
1. fathul majid, karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
2. qoulul mufid, karya Muhammad bin Sholih al-utsaimin
3. taisirul azizil hamid, karya Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad Bin Abdul Wahhab
4. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar jabir al-jazairiy
Read More..