Senin, 25 Mei 2009

Jangan Katakan "Seandainya"

Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah  merupakan pokok aqidah ahlus sunah wal jamaah. Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah  di Lauhil Mahfud. Allah berfirman:
"مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ" {الحديد 22 }
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." {Al Hadid 22}
Ibnu Abbas mengomentari ayat diatas seraya berkata: "Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi –manusia-(tafsir At Thobary 13/265)
Imam muslim meriwatyat dari Abdillah bin Amr, ia berkata saya mendengar Rusululloh  bersabda :
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
"Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi"(Shohih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qodar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653, )
Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah  sebauh keharusan baginya.
Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah , tatkala kita diberi cobaan oleh Allah  berupa musibah atau yang semisalnya. Mungkin dengannya Allah  ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya. Rosululloh  bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwa sannya Allah  tatkala mencintai sebauah kaum (hambnya) maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridho terhadapnya baginya adalah keridhoan Allah  dan barang siapa yang menolak maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)

Sifat Orang Munafiq
Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah  dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagamana yang Allah  abadikan dalam Al-Qur'an surat Ali Imron:
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا
Mereka –orang-orang munafik- berkata:"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini"(Ali Imron 154).
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata: "dan telah diperlihatkan kepaduku, tatkala rasa takut yang sangat menylinap pada diri kami, Allah  menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah , sesungguhnya saya mendengar perkataan mu'tab bin qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan :"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini, maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat (Ali Imron 154). (fathul majid 2/766)
Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata (اللو) "andai kata" sebagai unkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:
قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ
Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.

Hukum mengatakan (اللو) "seandainya" dan sejenisnya
Sering kita mendegar ucapan "seandainya bigini tentu aku akan begini" atau yang sejinisnya, bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Kalau orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah . Apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?.
Abdurrohman Asy Sya'di di dalam bukunya "qoulu syadid fi syarkh kitabut at tauhid" menerangkan bahwa kata (اللو) seandainya" mempunyai dua keadaan. Pertama tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata: "seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini" atau yang semisalnya. Kedua: boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau haya sebagai sebagai berita.
Sedangkan Syeikh Syeih Utsaimin lebih rinci dalam menjelaskannya. Beliau mengelompokkan penggukaan kata (اللو) "seandainya" menjadi enam kelompok (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:
1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuat syareat Allah swt.
Hal ini sebagai mana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq terkhusus Abdullah bin Ubai. Allah berfirman:
الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا (آل عمران:168)
Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh".(Ali Imron 168)
Imam At Thobari dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Ishaq bahwa ia menafsirkan ayat " لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا " yaitu : kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau –Oranng munafiq- sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hayalah untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal didunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thobary 3/206). Maka hal ini diharomkan Allah .
2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir Allah .
Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan diatas –salah satu sifat orang munafiq-. Maka, ini juga di larang Allah .
3. Sebagai ungkapan penyesalan.
Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas "seandainya tahun ini saya belalajar rajin, saya akan naik kelas" ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir akan tetapi haya sebagai sebatas penyesalan. Maka, Hal ini juga dilarang oleh islam, karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya syaithon untuk menggoda manusia.
4. Berhujah dengan tadir dalam hal kemaksiatan kepada Allah.
Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan "ini adalah takdir Allah . Seandainya Allah  tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya". Allah  menolok hujah orang-orang yang menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah  berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ
Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (Al An'am:148)
5. Digunakan sebagai angan-agan atau cita-cita.
Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada obyek atau apa yang menjadi angan-angannaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik maka hukumnya juga baik. Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana hadits yang panjang tentang empat golongan, salah satu dari mereka berangan-angan "seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal" yaitu dalam ketaatan kepada Allah . Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rosululloh bersabda untuk yang pertama
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
"Dan ia hanya meniatkan maka pahala keduanya sama"
Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
"Dan ia hanya meniatkan maka dosa keduanya sama"
6. Digunakan sebatas berita.
seperti "seandainya ustadz masuk saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau.". Hal ini diperbolehkan oleh islam. Sebab Rosululloh pernah bersabda:
لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ
"Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian"

Penutup
Takdir adalah rahsia Allah  dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rosululloh  bersabda :
"orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah  dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah  -dalam segala urusan-, dan janganlah bersikap lemah. Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan "seandainya saya berbuat begitu, saya akan begini atau begitu" akan tetapi telah ditetapkan Allah  dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) "seandainya" membuka amalan syaithon" (HR muslim)
Dari hadits ini rosululloh memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaang yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan.


Maroji'
• Taisir Al-Aziz Al-Hamid fi Syarh Kitabut Tauhid / Sulaiman bin Abdillah bin Abdul Wahhab /Al Maktab Al Islamy / Beirut / Cet. Ke-6 / 1985 M
• Fathul Majid Li Syarkh Kitabut Tauhid / Abdurrohman bin Hasan bin Muahammad bin Abdulwahab
• Qoulu Al Mufid Fi Syarhi Kitabut Tauhid / Syikh Muhammad Sholih Al Utsaimin /Daru Ibnu Al Jauyi / 1419 H – 1999 M
• Qoulu Syadid Fi Syarkh Kitabut At Tauhid /Abdurrohman Asy Sya'di
• Syarh Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi / Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad Dimsyaqi /Al Maktabah Asy Syamilah
• Jami'ul Al Bayan 'An Ta'wili Ayyil Al Qur'an / Imam Ibnu Jarir Ath Thobary/ Darul Fikr / 1421 H – 2001 M

0 komentar: