Senin, 25 Mei 2009

JANGAN MENOLAK ORANG YANG MEMINTA ATAS NAMA ALLAH

Pada hakikatnya meminta adalah perbuatan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dianjurkan bagi seorang muslim menahan dirinya dari meminta sesuatu yang bersifat keduniaan yang ada ditangan orang lain. Hal ini sebagaimana Rasulullah  bersabda:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah  dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu. (Hr. Ibnu majah)
Dan Rasulullah  juga menghabarkan tentang tercelanya orang yang meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Tidaklah seorang lelaki senantiasa meminta-minta hingga pada hari kiamat kelak ia akan datang dan dengan wajah yang tak berdaging”. (Hr. Bukhoriy)
Adapun hukum mengabulkan permintaan orang yang meminta maka hal ini terbagi dalam beberapa keadaan.
1. Seseorang meminta dengan cara umum yang digunakan oleh manusia tanpa mengaitkan dengan Allah .
Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta kepada orang lain dengan mengatakan “wahai fulan berilah saya sesuatu”. Permintaan semacam ini dianjurkan bagi kita untuk memberinya selagi tidak digunakan untuk kema’syiatan seperti meminta uang untuk membeli Khamr. Namun mengabulkan permintaan ini tidak diwajibkan.
2 Meminta dengan mengaitkan permintaannya kepada Allah 
Permintaan semacam ini ada dua jenis:
a. Meminta dengan syari’at Allah 
Hal ini sebagimana seorang fakir yang meminta haknya secara syar’I kepada seorang yang kaya. Seperti meminta zakat, shadaqah dan yang sejenisnya. Hukum mengabulkan permintaan yang semacam ini tergantung keadaannya. Apabila ia adalah orang yang berhak dan sangat membutuhkannya maka wajib bagi kita untuk mengabulkan sekadar apa yang ia butuhkan. Dan apabila ia tidak termasuk orang yang berhak maka kita tidak diwajibkan untuk megabulkannya.
b. Meminta dengan cara menyebut atau bersumpah atas nama Allah 
Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta dengan menggunakan kata-kata ( أسألك بالله ) “saya meminta kepadamu atas nama Allah”. Maka mengabulkan permintaan yang semacam tergantung kepada apa yang diminta. Apabila yang diminta adalah sesuatu yang mubah secara syar’I maka hukumnya adalah wajib untuk dikabulkan. Akan tetapi apabila yang diminta adalah sesuatu yang diharamkan atau membahayakan yang dimintai maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan. Sebagaimana seseorang yang meminta uang atas nama Allah  namun akan digunakan untuk membeli khamr, dan juga orang yang meminta untuk menceritakan rahasia atau aib keluarga, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.
Wajibnya megabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah  ini disandarkan kepada hadits Rasulullah  :
مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Darang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah maka lindungilah ia. Dan barang siapa yang meminta kepada Allah maka berilah ia. Dan barang siapa siapa mengundangmu maka datangilah ia. Dan barang siapa berbuat baik kepadamu maka balaslah kebaikan kepadanya. Dan apabila engkau tidak mendapatkan apa yang cukup untuk membalas kebaikannya maka berdo’alah baginya sampai engkau merasa bahwa engkau telah cukup dalam membalas budinya. (Hr. Abu dawud dan Nasa’i)
Demikian juga dengan hadits Rasulullah :
مَلْعُوْنٌ مَنْ سُئِلَ بِوَجْهِ اللهِ وَمَلْعُوْنٌ مَنْ يُسْأَلُ بِوَجْهِهِ ثُمَ مَنَعَ سَائِلَهُ مَالَمْ يَسْأَلْ هَجْرًا
“Terlaknat orang yang dimintai dengan wajah Allah dan terlaknatlah orang yang dimintai atas nama Allah kemudian ia menolak permintaannya, kecuali permintaan untuk memutuskan hubungan. (Hr. Thabrani, beliau berkata di dalam tanbihul ghafilin bahwa rijal isnadnya shahih kecuali syaikhnya yang bernama yahya bin utsman bin shalih dan kebanyakan ahlu hadits mentsiqahkannya)

Abu hurairah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ الَّذِي يُسْأَلُ بِاللَّهِ وَلَا يُعْطِي بِهِ
“Maukah aku khabarkan kepada kalian seburuk-buruk manusia? mereka (para sahabat) berkata, iya wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda, seorang yang dimintai dengan nama Allah namun ia tidak memberinya” (Hr. Ahmad)
Beberapa hadits diatas sangat jelas mewajibkan untuk mengabulkan pemitaan orang yang meminta atas nama Allah . Ada beberapa alasan tentang diwajibkannya mengabulkan permintaan ini:
 Karena membebaskan sumpah adalah wajib. Maka ketika seseorang bersumpah kepada kita agar kita melakukan sesuatu maka diwajibkan bagi kita untuk melakukannya selagi tidak dalam kema’syiatan. Hal ini sebagai mana hadits Rasulullah terhadap seorang wanita yang di beri hadiah korma namun ia hanya memakan sebahagiannya dan meninggalkan sebahagian yang lain. Maka kemudian sang pemberi hadiah bersumpah kepada wanita tersebut agar memakan sisanya. Namun ia menolak, sehingga Rasulullah bersabda kepadanya:
أَبِرِّيهَا فَإِنَّ الْإِثْمَ عَلَى الْمُحَنِّثِ
“Bebaskanlah ia dari sumpahnya karena akan mendapat dosa bagi orang yang mengingkari sumpahnya” (Hr.Ahmad)
 Sebagai bentuk pengagungan terhadap terhadap nama Allah  yang disebutkan saat meminta.

Referensi:
1. fathul majid, karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
2. qoulul mufid, karya Muhammad bin Sholih al-utsaimin
3. taisirul azizil hamid, karya Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad Bin Abdul Wahhab
4. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar jabir al-jazairiy

0 komentar: