Jumat, 20 November 2009

RISALAH UDHIYAH

Udhiyah artinya hewan ternak yang disembelih karena datangnya hari iedul adha dengan tujuan untuk bertaqarrub kepada Allah dengan syarat dan ketentuan tertentu.

MASYRUIYAH
Udhiyah disyariatkan berdasar dengan firman Allah dalam surat al-kautsar : 02 juga dalam surat 22 : 34
Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah menyembelih dengan tangan beliau sendiri dua ekor kabsy (kambing) yang gemuk, menyebut asma’ Allah dan bertakbir dan kedua kaki beliau diantara dua shahaf si kambing (al-bukhari dan muslim)
Abdullah bin Umar menuturkan “Nabi tinggal di madinah selama 10 tahun dan selalu menyembelih udhiyah (ahmad dan tirmidzi)
HUKUM UDHIYAH
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hokum udhiyah adalah sunah muakadah bagi yang mampu. Ini adalah pendapat Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin al-Khattab, Bilal, Said bin al-Musayyib, Malik, Asy-Syafi’ie, Ahmad, Ibnu Hazm dan lainnya.
Menurut sebagian ahlu ilmi hukumnya adalah wajib meskipun masih adanya perselisihan juga tentang siapakah yang terkena kewajiban tersebut. Abu Hanifah menyatakan bahwa yang diwajibkan adalah bagi orang yang muqim dan mampu (al-Mufashal Fi Ahkamil Udhiyyah, DR Husammudin ‘Afadzir)

KEUTAMAAN UDHIYYAH
Dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda “tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari idul adha yang lebih dicintai Allah dari menyembelih hewan udhiyah. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan dating beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah maka beruntunglah kalian semua dengan pahala udhiyyah itu” (at-tirmidzi)

WAKTU PENYEMBELIHAN
Waktu yang telah disepakati untuk berkurban adalah dilakukan pagi hari setelah menunaikan shalat ied hingga hari tasyrik. Tidak sah melaksanakan kurban sebelum shalat ied.
Imam muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa nabi bersabda “barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka telah sempurna ibadahnya dan bersesuaian dengan sunnah kaum muslimin” (HR Muslim)

BEBERAPA HAL BERKAITAN DENGAN HEWAN KURBAN
Adapun kriterian hewan yang boleh dijadikan sebagai kurban mencakup lima hal :
1. Merupakan hewan ternak
Makna al-an’am sesuai dengan makna lughawi dan kultur arab adalah hewan ternak yang berupa unta, sapid an domba. (lisanul arab 14/212-213) hal ini juga serupa dengan ungkapan dari syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumthi’ 7/273). Jadi jenis yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapid an domba.
Sedangkan kerbau menurut beberapa ulama’ seperti syaikh shalih al-fauzan, syaikh al-Utsaimin dan lainnya hukumnya boleh karena termasuk dalam kategori sapi.
2. Cukup Umur
Ketentuan tentang umur telah ditentukan oleh syar’i. Rasulullah bersabda “janganlah kamu menyembelih kurban kecuali musinnah kecuali kamu kesulitan, maka boleh kamu menyembelih domba jadha’ah” (muslim, 2797)
Musinnah atau biasa disebut dengan istilah tsaniyyah adalah setiap binatang piaraan (onta, sapi atau kambing) yang telah gugur salah satu gigi depannya yang berjumlah empat (dua di bagian atas dan dua di bagian bawah). Adapun dikatakan onta yang musinnah biasanya onta tersebut telah berumur 5 tahun sempurna, sapi yng musinnah adalah sapi yang telah berumur 2 tahun sempurna dan disebut kambing yang musinnah biasanya kambing tersebut satu tahun sempurna. Sedangkan domba jadha’ah yaitu domba yang belum genap berumur 1 tahun. (talkhish kitab ahkam al-udhiyyah wadh-dhakah, oleh syaikh Ibnu Utsaimin, Fiqh as-sunah 2/34 dan al-mu’jam al-wasith 101-102)
3. Tidak Cacat
Rasulullah pernah bersabda mengenai keadaan hewan yang layak untuk kurban “ada empat (yang harus dihindari) yaitu pincang yang benar-benar jelas pincangnya, buta sebelah yang jelas-jelas butanya, sakit yang jelas-jelas lemah atau kurusnya” (HR Abu Daud 2802, at-Tirmidzi 1541, an-nasa’I 7/214, Ibnu Majah 3144, dan dishahihkan al-Albani dalam misykat al-Mshabih 1465)
Yang termasuk cacat adalah pincang, sebelah matanya buta bukan sekedar juling, sakit yang menyebabkan lemah, lemah atau kurus akibat terlalu tua, gila dan terpotong sebagian telinga dan cacat lain yang lebih parah.
Ahli fiqh memakruhkan al-adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), al-Mudaabirah (putus telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), al-kahrqaa (sobek telinganya), al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), al-batraa (yang tidak memiliki ekor), al-Musyayyah (yang lemah) dan al-mushfarah (terputus telinganya)
4. Disembelih pada waktunya
5. Milik pribadi, hewan tersebut tidak terkaid dengan hak orang lain

JENIS KELAMIN HEWAN QURBAN
Ketentuan jenis kelamin hewan kurban tidak paten harus jantan akan tetapi diperbolehkan juga betina. Hal ini sesuai hadits-hadits Nabi yang bersifat umum mencakup kebolehan berkurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin. (sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)

PATUNGAN UNTUK KURBAN
Diperbolehkan patungan atau pengatasnamaan satu hewan kurban untuk beberapa orang dengan ketentuan sebagai berikut :
1. kambing untuk satu orang atau keluarga
Atha’ bin Yasar berkata “Aku bertanya kepada abu Ayyub al-Anshari bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah, beliau menjawab : jika seseorang berkurban seekor kambing maka untuk dia dan keluarganya kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, al-Baihaqi dengan sanad hasan)
2. sapi untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang
Dari Ibnu Abbas dia berkata “Kami bersama Nabi dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapid an sepuluh orang pada seekor unta” (HR at-tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-albani dalam shahih sunan at-tirmidzi no : 1213)
3. pengatasnamaan satu hewan melebihi jumlah diatas tidak ada dasar yang shahih. Misalnya patungan satu RT, membeli satu kambing dengan atas nama orang satu RT. Ini tidak dinamakan kurban meskipun sembelihan tetap sah jika dilakukan sesuai syariat.

PEMANFAATAN DAGING KURBAN
Allah telah berfirman “…Maka makanlah sebagian daripadanya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yng sengsara lagi fakir” (QS al-Hajj : 28)
Para ulama’ berkata bahwa sebaiknya 1/3 dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan kepada orang fakir miskin dan 1/3 sisanya dihadiahkan kepada kerabat. Selain itu daging kurban juga boleh dikirim ke kampong lain yang membutuhkannya. Namun tidak boleh di jual meskipun hanya kulit dan kakinya.

LARANGAN MENJUAL KULIT ATAU LAINNYA
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib mengatakan “Rasulullah memerintahkan aku untuk mengurusi penyembalihan onta kurbannya. Beliau juga memerintahkan aku untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan aku tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang menjual kulit hewan kurbannya maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya” (HR al-Hakim 2/390 dan al-Baihaqi. Syaikh al-Albani mengatakan hasan)
Terkadang masih didapatkan sebagian panitia kurban menjual kulit kurban karena memang enggan untuk mengurusinya sehingga mereka jual dan ditukarkan dengan daging. Hal ini tentu dilarang oleh syar’I sehingga solusi yang mungkin dilakukan oleh panitia adalah dengan menyerahkan terlebih dahulu kulit tersebut kepada beberapa orang fakir lalu membantu mereka menjualkannya jika memang mereka ingin menjualnya.

TIDAK MENGUPAH JAGAL DARI DAGING KURBAN
Syaikh Abdullah al-Bassam menuturkan “tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan dengan kesepakatan para ulama’. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika ia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…” (Taudhihul Ahkam , 4/464)

MENGAMBIL SATU KAMBING UNTUK MAKAN PANITIA
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan kurban adalah sebagai wakil dari shohibul kurban dan bukan amil. Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia kurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan kurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan kurban.

MEMBERIKAN DAGING KURBAN UNTUK ORANG KAFIR
Ulama’ Madzhab Malikiah berpendapat makruhnya memberikan daing kurban kepada orang kafir. Imam Malik berkata “diberikan kepada selain mereka lebih aku sukai”
Syafi’iyah berpendapat “haram untuk kurban yang wajib seperti kurban nadzar dan makruh untuk kurban yang sunah. (fatwa Syabakan Islamiyah : 29843)
Fatwa lajnah daimah menyatakan bahwa dibolehkan memberikan diging kurban kepada kafir mu’ahid, orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Hokum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah (fatwa lajnah dai’imah : 1997)

SUNAH BAGI ORANG YANG HENDAK BERKURBAN
Termasuk petunjuk nabi bagi orang yang hendak menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut dan kukunya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama bulan dzulhijjah (nailul author 5/200-203)
Dalam riwayat Abu Daud, Muslim dan an-Nasa’I disebutkan “barangsiapa mempunyai sembelihan hewan udhiyah yang akan disembelihnya maka jika telah terbit bulan tsabit dari dzulhijjah maka janganlah memotong dari rambut dan kukunya sampai dia menyembelih”
An-Nawawi berkata “yang dimaksud larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku atau memecahkannya atau selainnya. Dan larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu (campuran tertentu untuk menghilangkan rambut) atau selainnya. Sama saja apakah itu rambut ketiak, kumis, rambut kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang ada ditubuhnya” (syarhu Muslim 13/139-139)
Larangan ini hanya berlaku bagi orang yang hendak berkurban saja dan tidak untuk keluarganya (syarhul mumti’ : 7/529)
Kedua : disunahkan membaca takbir dan basmalah ketika menyembelih hewan udhiyah. Sebagaimana riwayat anas bahwa ia berkata “Nabi berkurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangannya, dengan mengucapkan basmalah dan takbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di kedua domba… tersebut” (Bukhari 5558, muslim 1966 dan abu daud 279
Ketiga : disunahkan bagi orang yang berkurban, untuk memakan daging kurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang kafir dan menghadiahkan kepada karib kerabatnya. Nabi bersabda “makanlah daging kurban itu, dan berikanlah kepada fakir miskin dan simpanlah (HR Ibnu Majah dan at-Trirmidzi hadits shahih)
Berdasarkan hadits itu pemanfaatan daging kurban dilakukan menjadi tiga bagian atau cara : yaitu makanlah, berikanlah kepada fakir miskin dan simpanlah. Namun pembagian ini tidak bersifat wajib akan tetapi mubah (lihat Ibnu Rusyd bidayatul mujtahid 1/352. figh sunah sayid sabiq)

ARISAN KURBAN
Mengadakan arisan dalam rangka berkurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk kurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama’ menganjurkan untuk berkurban meskipun dengan hutang. Diantaranya adalah imam abu hatim sebagaimana yang dinukil oleh ibnu katsir dari sufyan at-tsauri (tafsir ibnu katsir, surat al-haj : 36). Demikian pula imam ahmad dalam masalah aqiqah.
Sebagian ulama’ yang lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada berkurban. Diantaranya adalah syaikh Utsaimin dan ulama’ tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan DR Abdullah faqih (lihat fatwa syabakah islamiyah no : 7198 dan 28826 ). Syaikh Utsaimin mengatakan “jika orang yang punya hutang maka selayakanya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berkurban. (syarhul mumti’ : 7/455)
Barangkali jika dikompromikan dengan yang membolehkan hutang untuk erkurban adalah jika hutangnya ringan. Sedangkan yang diharuskan mendahulukan hutang jika hutangnya dibutuhkan dan juga memberikan bagi si penghutang.

KAPANKAH KURBAN MENJADI WAJIB ?
Syaikh Utsaimin menjelaskan berkurban menjadi wajib bagi seseorang ketika :
1. Dia menyatakan bahwa ternak ini adalah udhiyah. Maka pada saat itu ia wajib menyembelih hewan tersebut pada saat idul adha dating nanti.
2. Membeli hewan dengan niat untuk udhiyah. Tapi ini hanya berlaku jika dia membeli dalam posisi mengganti hewan yang akan dia kurbankan namun karena suatu hal hewan tersebut mati atau hilang.
Catatan :
1. Hewan tersebut tidak boleh dijual dihibahkan atau digadaikan. Kecuali jika diganti dengan yang lebih baik. Itupun harusa karena motivasi demi kebaikan udhiyah. Bukan karena ada tendensi pribadi semisal kambing tersebut adalah kambing kesayangan lalu ia ingin mengganti agar kambing itu tidak disembelih. Sebab sama saja ia ingin mengembalikan sesuatu yang sudah ia keluarkan untuk Allah
2. Jika pemilik hewan wafat setelah hewan itu berubah statusnya menjadi wajib untuk disembelih maka ahli warisnya harus menyembelihnya
3. Sebaiknya hewan tersebut tidak diberdayakan untuk membajak dinaiki, diperah, diambil bulunya dan sebagainya
4. Jika status hewan tersebut menajdi wajib untuk dikurbankan lalu ditengah perjalanan ternyata terjadi kecelakaan yang membuat hewan tersebut cacat maka ada dua kondisi :
• Jika kecelakaan tersebut karena factor kesengajaan atau keteledorannya maka orang yang berkurban harus mengganti hewan tersebut dengan minimal yang semisal. Lalu hewan yang cacat itu menjadi miliknya
• Jika cacat tersebut karena sesuatu yang tidak disengaja dan bukan karena keteledorannya dalam menjaganya, maka hewan tersebut tetap dijadikan udhiyah dan tidak menggantinya. Kecuali jika sebelum status hewan tersebut menjadi wajib, dia memang sudah memiliki kewajiban untuk berkurban. Misalnya saya bernadzar untuk berkurban tahun ini. Lalu dia membeli kambing status kambing pun jadi wajib dikurbankan. Lalu terjadilah kecelakaan yang membuat kambing itu cacat. Maka dia harus tetap mengganti untuk kemudian disembelih guna memenuhi nadzarnya. Dan jika hewan penggantinya lebih jelek kualitasnya, ia harus bersedekah al-arsy yaitu harga yang merupakan selisih antara harga kambing yang diganti dengan penggantinya. Hokum ini juga berlaku jika hewan tersebut dicuri atau hilang.
• Jika hewan tersebut rusak ada tiga kondisi pertama ; jika rusaknya bukan karena factor manusia seperti sakit, atau bencana atau ulah si hewan sendiri lalu dia mati maka tidak wajib mengganti. Kedua ; jika matinya karena ulah pemiliknya maka ia harus mengganti . ketiga ; jika matinya karena orang lain dan masih dimungkinkan orang tersebut mengganti, maka ia diminta untuk menggantinya, kecuali jika pemiliknya memaafkan dan bersedia mengganti.
5. Jika hewan tersebut melahirkan setelah statusnya menjadi wajib untuk disembelih maka anak hewan itu harus disembelih pula.
6. jika setelah disembelih dagingnya dicuri, jika karena keteledorannya ia harus mengganti dengan sedekah yang senilai. (diringkas ahkaul udhiyah wa addzakah pasal kelima karya syaikh al-Utsaimin)





Read More..

Bersyukur dengan udhiyah

Menghitung ni'mat dan karunia Allah swt memang tak ada habisnya. Andai saja air laut yang terhampar dilautan dijadikan sebagai tinta dan seluruh pepohonan sebagai pena, niscaya tak akan cukup untuk menghitungnya. Limpahan ni'mat dan karunia ini mejadikan manusia tidak akan pernah mampu untuk berbalas budi kepada Allah meski haruh mengabdikan diri dengan menghabiskan seluruh usianya. Namun, bukan berarti kita tidak perlu berbalas budi. Sebagai hamba kita seharusnya tau diri dihadapan Allah subhanahu wata'ala dengan menta'ati apa yang diperintahkan dan dianjurkan olehNya. Seorang karyawan yang bekerja disebuah perusahaan tentunya akan mentaati setiap perintah yang datang dari atasannya. Meski sebenarnya gaji yang ia dapatkan tidak sebanding degan ni'mat yang Allah berikan kepada kita secara Cuma-Cuma. Lantas pantaskah kita meremehkan perintah yang disyariatkan oleh Allah?Rasulullah saw adalah satu sosok manusia yang paling sempurna dalam mengabdikan diri kepada Allah swt. Sebagai contoh, saat turunnya surah al-kautsar. Ketika itu beliau Shollallohualaihi wasallam tertidur sejenak kemudian mengangkat kepalanya sambil tersenyum, lantas para sahabatpun bertanya: Wahai Rosululloh mengapa engkau tersenyum? Ia pun bersabda: "Sesungguhnya baru saja turun kepadaku ayat: (Sesungguhnya aku telah memberikan kepadamu Al-kautsar, maka sholatlah dan menyembelihlah)". Rasulullah saw dan para sahabatnya dengan penuh ketaatan dan rasa syukur terhadap karunia besar yang dijanjikan tersebut, segera melaksanakan udhiyah. Bahkan rasululallah mengancam bagai mereka yang mempunya keluasan harta namun enggan untuk berudhiyah untuk tidak mendekati tempat shalat beliau. "barang siapa yang mempunyai keluasan harta namun tidak berudhiyah maka jangan sekali-kali mendekat tempat shalat kami". (Hr. Tabrani)
Dengan demikian, Udhiyah merupakan salah satu bukti ungkapan rasa syukur terhadap karunia Allah dan mencontoh apa yang telah disunnahkan oleh rasulullah. Sebagai muslim yang baik, dengan keluasan harta yang diberikan oleh Allah swt, tentunya kita tidak akan ketinggalan untuk turut melaksanakan amalan yang sangat mulia ini. Wallahu a'lam bis shawab





Read More..

Antara Kebangkitan Islam Dan Radikalisme

(Tela’ah kritis terhadap tulisan “Isy kariman aw mut syahidan Slogan pembangkit militansi Teologi kematian dan Kekuasaan”. Jawa pos 27 sept 2009)
Pasca serangan 11 september 2001 dengan merebaknya issu “pemberantasan terorisme” nampaknya menjadi senjata ampuh bagi amerika “sang teroris sejati” untuk menghancurkan islam. Setelah sekian lama mendapatkan jalan buntu akhirnya mereka mendapatkan jalan baru untuk mewujudkan obsesi mereka selama ini. Dengan issu itulah mereka mengadakan infasi ke Afghanistan dan irak yang merupakan bahagian dari negeri kaum muslimin. Tidak cukup sampai disitu bagi negera-negara islam yang belum memungkinkan bagi mereka untuk dijajah, mereka menyerangnya dengan pemikiran.


Tak dapat dipungkiri bahwa metode baru yang mereka gunakan cukup memberikan pengaruh terhadap ummat islam diseluruh penjuru dunia. Jutaan nyawa kaum muslimin melayang dan lebih ironisnya, sebahagian kaum muslimin tidak perduli terhadap nasib mereka dan dengan tidak sadar justru menyalahkan kaum muslimin dan mendukung kejahatan orang-orang kafir yang dibalut dengan slogan “Pemberantasan Teroris”. Mereka tidak sadar kalau ternyata mereka juga sudah terjajah secara pemikiran oleh musuh-musuh islam sehingga hakikat kebenaran tentutup dari pandangan mereka.
Pernyataan bush pasca serangan WTC “with us or with terrorist” ternyata mampu mengelabui kaum muslimin. Mereka menelan pernyataan dengan mentah-mentah dan tidak menyikapinya secara obyektif yang mengakibatkan mereka terjebak kedalam perangkap musuh. Hingga jangan heran kalau ternyat jutru kaum muslimin sendiri yang turut menghancurkan benih-benih kebangkitan islam yang sering diidentikkan dengan radikalisme.
Berbagai tulisan yang menyudutkan gelora kebangkitan islam tersebar diberbagai media. Sebagai mana sebuah tulisan yang dimuat dalam harian Jawa Pos 27 september 2009 dengan judul “Isy kariman aw mut syahidan Slogan pembangkit militansi Teologi kematian dan Kekuasaan”. Dari opini yang coba dibangun oleh sang penulis memberikan gambaran bahwa gelora kebangkitan islam yang merebak ditengah-tengah ummat bukanlah merupakan satu nilai positif yang perlu dilestarikan. Justru sang penulis menggapnya sebagai suatu kekeliruan yang perlu dibenahi atau diberantas.
Padaha sejatinya, slogan “isy kariman aw mut syahidan” yang penulis anggap sebagai slogan pembangkit Radikalisme adalah cerminan pribadi seorang muslim yang sebenarnya. Kalau beliau mau menyikapi slogan tersebut secar obyektif tentunya beliau akan mengetahui bahwa dengan tampilalnya islam sebagai satu sosok yang mulian, dengan itulah ia akan mampu menjadi khalifah dipermukaan bumi yang akan mampu melestarikan keadilan dan menghancurkan keadilan. Berarti dengan merealisasikan slogan tersebutlah islam akan tampil sebagai rahmatan lil alamin sebagaimana yang dikatakan oleh sang penulis bahwa islam adalah Rahmatan Lil Alamin.
Penulis juga sepertinya rancu dalam memahami istilah “Rahmatan lil alamin” sehingga menganggap bahwa jihad bukanlah bahagian dari rahmatan lil alamin. Satu hal yang harus kita fahami bahwa istilah-istilah syarie seharusnya ditafsirkan dengan perngertian syariw pula. Bukan menafsirkan istilah-istilah syarie hanya berdasarkan kepada akal dan perasaan belaka. Tidak ada yang memungkiri bahawa rasulullah saw adalah satu sosok yang paling mampu merealisasikan istilah Rahmatan lil alamin. Namun sejarah membuktikan bahwa beliau adalah seorang panglima perang yang sering melakukan peperangan yang tentu padanya terdapat korban dan kerusakan meski itu semua tetap berada dalam batasan-batasan syar’ie. Dengan kata lain, ketikan seseorang benar-benar ingin menjadi satu sosok yang tampil sebagai rahmatan lil alamin, maka hendaklah ia melaksanakan setiap syariat islam meskipun hal tersebut terasa asing dan berat bagi dirinya.
Kalau saja sang penulis ingin benara-benar menjadi sosok yang rahmatan lil alamin, seharusnya beliau turut mendukung gelora kebangkitan islam dan bukan jutsru menuduhnya sebagai radikalisme.
By: Uweis Abdullah


Read More..