Sabtu, 06 November 2010

Al-Kufru Wat-Takfir

Kufur adalah salah satu hukum syar’i, sebagiamana halnya hukum perbudakan. Yang demikian ini ditinjau dari konsekwensi hukum yang terdapat pada keduannya. perbudakan mempunyai konskwensi sebagaima ia tidak boleh memegang kepemimpinan dan gugurnya sebagian kewajiban yang seharusnya dikerjakan oleh seorang merdeka. Demikian pulah halnya kufur mempunyai konskwensi sebagaimana kewajiban bara’ (berlepas diri) darinya dan halal darahnya. Vonis kafir adalah hak otoritas Allah swt semata sehingga tidak diperkenankan bagi hamba untuk menganggap sesuatu kafir tanpa didasarkan kepada dalil-dalil syr’i. Juga tidak sepantasnya menvonis kafir dikarenakan rasa dendam kepada orang yang lebih dahulu memvonis dirinya kafir. Sebagaimana tidak diperbolehkan membalas seseorang yang menzinahi keluarga kita lantas dibalas dengan menzinahi keluarganya juga.
Secara bahasa al-kufru bermakna sesuatu yang menghalangi dan menutupi. Sedangkan secara bahasa kufur bermakna: kebalikan daripada iman, yaitu tidak adanya keimanan kepada Allah swt dan rasulnya baik diikuti dengan takdzib (pendustaan) atau tidak diikuti dengannya. Bahkan keragu-raguan dan berpalin atau hasad atau kibr (sombong) atau mengikuti sebahagian hawa nafsu yang menghalangi diri untuk mengikuti risalah. Meskipun apabila hal tersebut diiringi dengan takdzib maka hal tersebut lebih besar kekurufannya dari yang lainnya.
Sebagaimana dalam pembahasan iman bahwa ia mencakup qoul dan amal, demikian juga Iman teridiri dari beberapa “syu’bah” bagian, yang masing-masing dari bagian tersebut merupakan bahagian dari iman. Derajat iman yang paling tinggi adalah kalimat laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanana. Diantara sekian bagian ada yang apabila ia hilang maka hilang pulalah keimanan, dan adapula yang dengan hilangnya hanya akan mengurangi keimanan. Demikian pulalah halnya dengan kekafiran mencakup perkataan dan perbuatan. Ia mempunyai cabang-cabang yang mana hal tersebut tercakup dalam seluruh kemaksiatan. Ada yang apabila ia dilakukan akan menyebabkan ia keluar dari islam dan ada juga yang apabila dilakukan hanya sampai kepada batas kufrun duuna kurfin.
Ada sebagian kelompok yang membatasi kekafiran sebatas dengan kekafiran yang bersumber dari hati belaka. Kekafiran ini sering diistilahkan dengan “juhud dan istihlal”. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan riwayat dari para ulama yang tidak membatasi kekafiran hanya dalam hal tersebut. Terlebih lagi bahwa amalan hati adalah perkara yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang itu sendiri dan Allah swt. Bisa jadi seseorang menampakkan sesutu namun apa yang bersemayam di dalam hatinya bertolak belakang dengan apa yang nampak darinya.
Mererka berhujjah dengan perkataan imam at-tahawi “la nukaffiru ahadan min ahlil qiblati bidzanbin yaf’aluhu ma lam yastahilluhu”. Namun pada hakikatnya apa yang diinginkan oleh beliau tidak sebagiaman pemahaman mereka yang membatasi kekafiran hanya dalam bentuk istihlal dan juhud. Karena yang dimasudkan oleh beliau adalah membantah orang-orang khawarij yang mengkafirkan setiap dosa besar. Syaikh abdul akhir al-ghunaimiy :ada sekelompok manusia yang mengatakan kami tidak mengkafirkan ahli qibalat seorangpun. Mereka menafikan takfir terhadap seluruh dosa meskipun pada hakikatnya diantara ahli qibalat ada yang munafiq yang mereka lebih kafir dibanding yahudi dan nasrani menurut kitab dan sunnah dan ijma. Demikian juga tidak ada perselisihan dikalangan kaum muslimin bahwa apabila ada seseorang menampakkan keingkaran terhadap kewajiban yang jelas dan mutawatir dan hal-hal yang diharamkan secara jelas dan mutawatir dan yang semisal dengannya maka mereka dimintai untuk taubat. Kalau mereka menolak maka dibunuh karena kekafiran dan kemurtadannya.
Pandanngan beberapa firqah dalam perkara kemaksiatan
* Khawarij: Menurut khawarij bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka.
* Menurut muktazilah: Mereka berada diantara iman dan kufur, namun diakhirat mereka sefaham dengan khawarij yaitu kekal di dalam neraka.
* Adapun murjiah : Mereka beranggapan bahwa pelaku dosa besar adalah semurna keimanannya.
Adapun menurut ahlus sunnah wal jama’ah bahwa pelaku dosa besar adalah mu’min dengan keimanannya dan pelaku fasiq dengan kemaksiatannya. Dan mereka berada dibawah kehendak allah apabila allah berkehendak maka akan disisksa dan apabila berkehendak akan diampuni.
Awal mula munculnya ketersesatan dalam perkara iniadalah persepsi bahwa iman hannyalah satu tingkatan. Syaikh safar hawali berkata: diatas dasar inilah orang-orang khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak disebut mukmin karena imannya hilang dengan melakukan dosa besar. Kemudian pecahan-pecahan mereka berselisih tentang makna kufur dan konskensi darinya. Kemudian orang-orang mu’tazilah bersepakat denganya akan tetapi ketika mereka menyadari bahwa penyamaan anatara kafir dan murtad dan pelaku zina dan pencuri seakan tidak bisa diterima oleh akal dan syar’i karena kenyataannya allah membedakan hukum masing-masing darinya di dunia dan akhirat maka mereka mengambil sikap “menafikan imannya namun juga tidak berani memasukkannya kedalam kategori kafir. Hingga muncullah istilah “al-manzilah baina manzilataini”. Namun dalah hukum akhirat mereka tetap sepakat degan khawarij.... Adapun murjia’ah, dengan tetap memegang prinsip yang sama (iman hanya satu tingkatan) mereka mendapatkan nash-nash dan logika yang menunjukkan tentang rusaknya pemahaman khawarij dan mu’tazilah.maka seluruh pecahan murjia’h bersepakat untuk mengeluarkan amal dari iman. Sehingga dengan demikian keyakinan bahwa iman hanyalah satu tingkatan tetap terselamatkan.
Bentuk-bentuk dosa yang merupakan kufur akbar
- Kekafiran dengan sebab perkataan dan perbuatan hati.
a. kekafiran dikarenakan perkataan hati.
- Kufur juhud wat takdzib (pengingkaran) sebagaimana firman Allah swt dalam Qs. Al-ankabut, 68.
Ada sedikit perbedaan antara juhud dan takdzib sebagaimana allah membedakannya di dalam firmannya
فإنهم لا يكبونك ولكن الظالمين بأيات الله يجحدون
Perbedaan antara takzib dan juhud adalah dari sisi umum dan khusus yaitu bahwasanya juhud adalah bagian dari takdzib. Juhud berasal lisan sedangkan takdzib bisa secara hati, lisan dan anggota badan. Oleh karena itulah sebagian ulama ada yang membedakan antara kufru takdzib dan kufrul juhud. Dan juga yang menganggap bahwa perbedaan anatara keduanya adalah, juhud merupakan pengingkaran yang disertai dengan perlawanan. Sebagaimana perkataan al-khafaji “perbedaan antara takdzib dan juhud bahwa yang pertama lebih kepada pengingkaran secara umum sedangkan yang kedua adalah pengingkaran setelah ia mengetahui hakikat sesuatu tersebut.
Tentang juhud ini syaikhul islam ibnu taymiyah berkata: barang siapa yang juhud terhadap suatu kewajiban yang jelas dan mutawatir, sebagaimana shalat liima waktu, pausa ramadhan, haji. Atu juhud terhadap pengaharaman perbuatan keji dan dzalim, khamer, judi, zina, dan yang lainnya. Demikian juga yang juhud terhadap sesuatu yang dihalalkan nampak dan mutawatir sebagaimana roti, daging, nikah, maka ia kafir dan murtad dan dimintai taubat. Dan apabila tidak mau bertaubat maka ia dibunuh.
- Kufur istihlal (menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah)
Makna daripada istihlal adalah meyakini sesuatu yang diharamkan oleh allah bahwa hal tersebut tidaklah diharamkan. Atau meyakininya sebagai sesuatu yang mubah. Perbedaannya dengan takdzib bahwa istihlal hanya berkenaan khusus dengan keyakinan dalam perkara penyelisihan sesuatu yang diharamkan dan diyakini sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Sedangkan takdzib lebih umum tidak hanya mencakup perkara i’tiqad dan tidak terkhusus dalam pembahasan menghalalkan sesuatu yang dilarang.
Tentang istihlal ini syaikhul islam ibnu taymiyah berkata: “diantara mereka ada yang istihlal terhadap persaudaraan dengan wanita yang sebenarnya bukan murhim dan berkhalwat dengannya, dengan anggapan bahwa hal tersebut akan mendatangkan berkah dalam perbuatan yang ia lakukan terhadapnya meskipun hal tersebut diharamkan secara syar’i....dst. mereke semua kafir menurut ijama kaum muslimin.
* adapun juhud atau istihlal terhadap sesuatu yang tidak dzahir (tidak jelas dimata orang awam) maka tidak bisa disamakan. Al-allamah ibnu wazir berkata: mutawatir terbagi menjadi dua jenis: mutawatir yang diketahui oleh orang secara umum dan diketahui pula oleh orang-orang khusus sebagaimana kalimat tauhid, rukun islam, maka orang bagi yang juhud terhadapnya dihukumi kafir. Yang/ kedua adalah sesuatu yang kemutawatirannya hanya diketahui oleh orang-orang khusus maka bagi orang awam yang istihlal terhadapnya tidak dianggap kafir dikerenakan hal tersebut belum sampai kepadanya.
- “syak” ragu terhadap salah satu dari hukum Allah swt atau apa yang dikhabarkan oleNya.
Syak yang dimaksud adalah dalam perkara ushuluddin. yaitu adalah keragu-ranguan antara dua kemungkinan. Sebagaiman orang yang tidak percaya terhadap kebenaran rasul dan juga tidak mendustaannya. Namun yang perlu digaris bawahi adalah perbedaan antar syak dan was wasah. Waswas adalah sesuatu yang terbersit dalam hati tanpa di minta-minta dan apabila ia menepisnya maka niscaya imannya akan kembali terang. Sedangkan syak ia sudah meninggalkan iman namun juga tidak mendustakannya.
Sebagaimana seseorang yang ragu akan kebenaran Rasulullah saw atau ragu terhadap hari kebangkitan, atau ragu terhadap kekafiran orang kafir baik yang kafir aslhi sebagai mana yahudi, atau kekafiran orang-orang yang sudah jelas diyakini kekafirannya sebagaimana bathiniyah. Syaikhul islam ibnu taymiyah berkata tentang bathiniyah : barang siapa yang ragu terhadap kekafiran mereka setelah mengetahui perkataan mereka dan memahami diinul islam maka ia kafir sebagaimana halnya orang yang ragu terhadap kekafiran orang-orang yahudi, nashraniy dan musyrikin.
Sebagaiamana firma allah swt Qs. Al-hujurat: 15
- Keyakinan tidak wajibnya mengikuti Nabi saw
- Syirik dalam perkara rububiyah. Seperti meyakini bahwa wali-wali mereka mengetahui perkara ghaib.
- Syirik dalam perkara uluhiyah. Seperti meyakini sesembahan selain allah.
b. kekafiran dikarenakan perbuatan hati.
- Berpaling dari diin Allah tidak mau mempelajarinya dan tidak mau beramal dengannya. Firman allah swt: as-sajadah: 22.
Al-qurtubi berkata bahwa yang dimaksud dengan i’rad adalah bitarkil qabul (tidak mau menerima).
i’radh mencakup tiga hal:
pertama, berkenaan dengan ilmu (qaulul qalbiy) dengan enggan untuk mendengarkan serta cuek terhadapnya.
Kedua, berkenaan dengan amal (amalul qalbiy dan jawarih) amalul qalbiy dengan tidak mau menerima dan patuh, amalul jawarih dengan menolak dan meninggalkan amal serta berpaling dari ketaatan.
Ketiga, berpaling dari hukum Allah dan berhukum kepadanya.
I’radh yang meyebabkan kafir dan i’radh yang tidak menyebabkan kafir.
Iradh yan menyebabkan kafir adalah i’radh terhadap ashlul iman. Baik itu i’radh taam (secar keseluruhan) untuk mempelajari pokok-pokok diin yang sebenarnya ia mampu mempelajarinya. Atau i’radh terhadap amal secara keseluruhan. (jinsul amal) atau berpaling dari hukum allah swt.
- Nifaq i’tiqadiy (Qs. Al-munafiqun, 4)
- Benci (al-bughdu) atau tidak menyukai (al-karahah) terhadap syariat Rasul saw.
Al-bughdu (benci) adalah kebalikan dari mahabbah. Sedangkan mahabbah adalah salah satu syarat lailaalha illallah. Ia adalah asal pondasi yang mendorong setiap amal perbuatan. (Qs. Muhammad: 9)
Bughdu dan Karahah menafikan amalan qalb ditinjau dari 2 sisi:
pertama, ia menghilangkan syarat mahabbah
kedua, meninggalkan qabul, inqiyad dan taslim karena itu semua merupakan buah dari mahabbah.
Namun perlu dibedakan antara mukrih i’tiqadiy dan mukrih tabi’iy. Mukrih i’tiqadiy adalah benci terhadap syariatnya, sebagaimana orang yang benci terhadap syariat Rasul. Adapun mukrih thabi’iy adalah benci karena tabiat kejiwaan sebagaimana qital (kurhun lakum) ikrah disini adalh berangkat dari tabiat manusia memang tidak menyukai sesuatu yang susah. Namun kebencian tersebut bukan terhadap syariatnya.
- Kufur iba’ (menolak) istikbar (sombong) dan imtina’ (menolak)
(qs. Al-Baqarah: 34)
Ini sebagaimana kekafiran iblis dan fir’aun. Menurut ibnul qayyim pada hakikatnya Mereka tidak juhud atau ingkar terhadap perintah Allah, hanya saja mereka menyikapinya dengan penolakan dan kesombongan. Nah, iba’ dan istikbar inilah yang menafikan inqiyad dan istislam yang merupakan asas dari amal qalbiy.
Adapun imtina’ yang tidak dibarengi dengan itstikbar, maka para para ulama mengatakan bahwa mereka wajib diperangi. Syaikhul islam ibnu taimiyah berkata: Ulama kaum muslimin bersepakat bahwa setiap thaifah yang mumtania’ah (menolak) salah satu dari syariat islam, yang dhahir dan mutawatir maka wajib untuk diperangi. Sampai diin ini hanya untuk allah swt semata.
Namun apakah peperangan tersebut didasari oleh kekafiran mereka atau tidak?
Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Adapun syaikhul islam ibnu taymiyah lebih merajihkan memerangi mereka atas dasar murtad. Beliau berkata “adapun para sahabat, mereka tidak bertanya, apakah kamu berikrar atas wajibnya zakat atau apakah kamu juhud? Ini tidak pernah ditanyakan oleh sahabat. Bahkan as-shiddiq berkata “demi Allah kalau saja mereka menolak untuk membayar zakat yang mana mereka menunaikannya pada masa rasulullah saw maka niscaya saya akan membunuh mereka atasnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bolehnya memerangi adalah hanya atas dasar al-man’u (penolakan) tidak mesti harus juhud terhadapnya. Dan telah diriwayatkan pula bahwa sebagian kelompok ada yang berikrar atas kewajibannya namun mereka bakhil terhadapnya. Dengan demikian para khulafa’ur rasyidin mengambil sikap yang sama yaitu memerangi mereka. Dan mencela keturunan mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah, dan bersaksi bahwa merereka adalah penghuni neraka dan memberi julukan kepada mereka dengan julukan “ahlur riddah”.
Ada sebagian ulama yang mencoba untuk membedakan antara thaifah dan fardun (personal). adapun kalau mumtani’ itu adalah personal maka yang shahih adalah ia tidak dikafirkan kecuali yang terus menerus meninggalkan shalat. Kalau personal meninggalkan zakat maka diambil hartanya dengan paksa. Ini sebagaimana pernyataan ibnu rajab al-hambali di dalam jami’ul ulum wal hikam “adapun membunuh seseorang yang mumtani’ maka mayoritas ulama mengatakan ia dibunuh apabila imtina terhadap shalat. Ini adalah pendapat malik syafiiy dan ahmah dan abu ubaid. Adapun membunuh seorang mumtani’ terhadap zakat maka ada dua pendapat. Pertama mereka dibunuh dan ini merupaka pendapat yang masyhur dari imam ahamad. Dan mereka besandar kepada hadits ibnu umar (aku diperintah untuk memerangi manusia) dan pendapat kedua bahwa mereka tidak dibunuh dan ini adalah pendapat malik, syafi’i dan salah satu riwayat dari imam ahmad.
- Syirikul akbar dari perbuatan hati seperti mahabbah, iradhah dan qasdh.
• keterkaitan antara nawaqidh i’tiqadiyah dzhir. Perkara hati adalah sesuatu yang tersembunyi sehingga seseorang tidak bisa menghukumi berdasar kepada hati seseeorang. Namun kita menghukumi dengan dzahirnya. Perilaku dzahir adalah wujud dari apa yang ada di dalam bathin seseorang. Sebagaimana haditas rasulullah saw (إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ).
- kekafiran dengan sebab ucapan lisan
Dinatara ucapan-ucapan yang merupakan kekafiran adalah:
- Ucapan kekafiran dalam masalah tauhid:
a. dalam tauhid rububiyah:
- Perkataan tentang Qadamul Alam. Yaitu keyakinan bahwa tidak ada yang mendahului keberadaan alam. Tidak pula Allah swt, atau arsy dan yang lainnya. alam menurut mereka akan senantiasa kekal seperti apa adanya. Ucapan ini merupakan kekafiran karena berisi pengingkaran terhadap penciptaan allah swt terhadap alam semesta.
- Mencela dan menghina Allah swt dalam hal rububiyah.
b. Dalam tauhid asma’ was-shifat:
- Mengingkari shifat allah dengan ucapan. Seperti penamaan Allah dengan al-laata wal uzza. Juga mengatakan bahwa allah itu faqir, dan menyamakan allah dengan sifat makhluqnya.
c. Dalam tauhid uluhiyah:
- Mengucapkan doa istiqhatsah kepada arwah para wali-wali.
- Ucapan kekafiran dalam masalah nubuwah:
a. Mencela rasulullah saw dan nabi-nabi yang lainnya.
b. Mengaku menjadi nabi.
c. Mengingkari kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi.
- Ucapan kekafiran dalam masalah ghaib:
a. Terhadap malaikat dengan mengingkarinya.
b. Ingkar terhadap hari akhir berkenaan dengan kebangkitan ancaman-ancaman dan yang sejenisnya.
- Mengingkari salah satu dari hukum-hukum yang sudah umum ditenngah masyarakat.
- kekafiran karena sebab perbuatan jawarih (anggota badan)
- Amal kekafiran dalam perkara tauhid:
Yaitu syirik dalam beribadah dengan segala macam bentuknya.
- Berhukum dengan selain hukum Allah:
Hak tasyri’ adalah merupakan kekhususan rububiyah Allah swt. Sesuatu yang halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasulnya dan haram adalah apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya. Allah swt memberikan julukan kepada orang-orang yang berhukum dengan kuffar dengan dzalim dan dengan fasik.
Kapan berhukum dengan selai allah dianggap kafir akbar?
1. Bagi mereka yang membuat syariat selain apa yang diturunkan oleh Allah.
Sebagaimana firman allah swt Qs. As-syura 21, at-taubah 31. orang yan mentaati dengan sukarela disebut musrik ditinjau dari sisi ibadah ketaatan dari apa yang mereka syariatkan.
2. Juhud atau mengingkari hukum selain Allah swt.
Ibnu abbas berkata ketika menafsirkan firman allah swt Qs. A-maidah: 44 “barang siapa yang juhud terhadap apa yang diturunkan oleh allah adalah kafir. Dan pendapat ini dibenarkan oleh ibnu jarir at-thabari di dalam tafsir beliau. Juhud, baik itu disertai dengan berhukum dengan hukum selain allah swt atau sekedar juhud namun tidak disertai dengannya tetap dianggap kafir. Ini ditinjau dari sisi pengingkaran terhadap sesuatu perkara diin yang umum diketahui oleh seluruh kaum muslimin.
3. Mengutamakan hukum thagut diatas hukum Allah swt. (Qs. Al-maidah 5)
4. Menyamakan antara hukum allah dengan hukum thagut. (al-baqarah 22)
5. Memperbolehkan berhukum dengan sesuatu yang menyelisihi hukum allah dan rasulnya. atau menyakini bahawa berhukum kepada allah tidaklah wajib atau boleh memilihnya.
6. Tidak berhukum dengan hukum allah dengan iba’ dan imtina’.
7. Berhukum dengan hukum campuran dari berbagai sumber sebagaimana ilyasiq.
8. Orang yang menerima hukum tersebut dengan ridha. (Qs. An-Nisa 60-61)
Kapan berhukum kepada hukum selain allah dikatakan kufur asghar?
Yaitu ketika seorang qadhi behukum dengan selain hukum allah dalam kasus-kasus tertentu saja denan tetap meyakini bahwa berhukum kepada hukum allah adalah wajib. Dalam keadaan demikian maka mereka dinilai sebagai pelaku maksiat. Ibnu taymiyah berkata : “adapun bagi mereka yang beriltizam dengan hukum allah secara dzahir dan bathin akan tetapi ia bermaksiat dan mengikuti hawa nafsunya maka ini disamakan dengan orang yang melakukan kemaskiatan. Ibnul qayyim berkata “apabila ia meyakini kewajiban berhukum dengan hukum allah dalam perkata ini namun ia menyeleweng darinya karena kemaksiatan dengan tetap meyakini bahwa dirinya berhak mendapatkan hukuman maka hal ini disebut kufur asghar.
- I’radh taam dari agama allah tidak mempelajari dan mengamalkannya.
Yang dimaksud disini adalah i’rad tam (berpaling secara sempurna) terhadap jinsul amal. Adapun i’rad terhadap kewajiban secara parsial maka tidak semuanya bikafirkan.
- Membantu orang musrik dalam menghancurkan kaum muslimin.
Pembahasan ini berkaitan erat dengan al-wala wal bara’. Sebagaimana firma allah swt Qs. Al-maidah 83-84
- Amal kekafiran dalam masalah nubuwat.
Ini sebagaiman orang yang menghinakan mushaf.
Hal yang diperselisihkan dalam qauliyah dan amaliyah tentang kekafirannya.
- Mencela sahabat.
Ini diperselisihkan kerena mencela sahabat tidaklah dalam satu tingkatan. Namun bertingkat-tingkat. Yang dianggap mengkafirkan adalah:
1. Istihlal terhadap pencelaan sahabat. Karena ulama sepakat adalah adalah mereka.
2. Mencela seluruh sahabat atau mayoritas mereka. Dalam hal keagamaan dan adalah mereka. Sebagaiman memberikan julukan kafir, fasiq.
3. Mencela sahabat yang secara mutawatir diakui keutamaannya. Ini ditinjau dari sisi pengingkaran terhadap riwayat yang mutawatir. Ini sebagaimana orang-orang rafidhah yang mencela syaikhoin. Dalam perkara ini terjadi perselisihan dikalangan para ulama. Nash sebagian para ulama tidak mengkafirkan sebagaiman imam ahmad yang mengatakan bahwa ia dicambuk. Namun yang benar adalah perlu adanya perincian. Yang dimaksud tidak kafir adalah mencela bukan pada diin dan adalahnya namun pada perilakunya. Sebagaiman kasus khalif bin walid dan abdurrahman bina auf yang kemudian rasulullah mengingakan kepada khalid “لا تسبوا أصحابي
4. Qadzaf terhadap ummul mukminin aisyah, dan yang lainnya. Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan إن الذين يرمون المحضنات المؤمنات “ulama bersepakat bahwa orang yang mencelanya setelah turun ayat ini maka ia kafir karen menentang al-qur’an.
* secara umum mencela sahabat dianggap kafir karena beberapa alasan. 1, mendustakan al-qur’an 2, mencela sahabat sama dengan menganggap Allah Jahil, 3, mencela sahabat sama dengan mencela Rasulullah 4, mencela sahabat adalh mencela agama 5, mencela sahabat sama dengan mencela ummat muhammad padahal mereka adalah orang-orang terbaik dari ummat ini.
- Istihza kepada ulama dan orang-orang shaleh.
Ini terbagi menjadi 2 mencela karen bentuk tubuh atau akhlaqnya dan mencela karena kapasitas dirinya sebagai ulama. Yang pertama adalah kekafiran sedangkan kedua masuk dalam firma allah swt ( la yashkhar Qs. Al-hujurat: 11)
- Meninggalkan shalat.
Yang menjadi perselisihan dalam masalah ini adalah meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan. Imam ahmad menganggapnya kafir sedangkana abu hanifah, malik dan syafiie menganggapnya tidak kafir.
- Sihir.
Terjadi perselisihan di dalam masalah ini. Menurut imam abu hanifah, malik dan ahmad mereka kafir. Keculai sebagian dari pengikut hanafi ada yang membedakan kalau ia belajar untuk menjaga diri darinya bukan untuk meyakininya maka tidak kafir. Adapun menurut imam syafii beliau bependapat bahwa ada yang kafir dan ada yang tidak kafir. Yang kafir adalah apabila yang diucapkan adalah kekafiran yang sharih. Adapun apabila ucapannya tidak diketahui dan tidak berbahaya terhadap orang lain maka ia tidak kafir. Tapi kalau ternyata perbuatannya itu menyebabkan orang lain mati maka ia diqishas. Dari sini nampak kalau sebenarnya tidak ada perselisihan anatara mereka. Karena apa yang dikatakan oleh imama syafi’i sihir yang tidak mengakafirkan pelakunya pada hakikatnya bukan sihir sebagaimana pengertian ulama pada umumnya.

Dhawabitut takfir
Takfir terbagi menjadi dua yaitu takfir mutlaq dan takfir muayyan. Takfir mutlaq adalah menghukumi secara umum terhadap perbuatan terntentu yang merupakan kekafiran. Sedangkan takfi muayyan adalah menvonis secara pesonel orang-orang yang melakukan melakukan kakafiran. Dalam memvonis seseorang dengan kakafiran perlu memperhatikan rambu-rambu sebagai berikut:
1. Menghukumi sesuatu secara dzahir.
Maknanya seeorang tidak boleh menghukumi dengan prasangka sebagai mana yang dilakukan oleh sahabat usamah bin zaid yang membunuh orang mengucapkan syahadat. Dalam perkara ini rasulullah marah dan mengatakan “apakah engkau tidak belah dadanya sampai engkau ketahui ia benar-benar tulus mengucapkanny atau tidak”.
2. Berhati-hati dalam menta’yin kafir atas seseorang
Maknanya manhaj ahlus sunnah dalam takfir berada dalam posisi tengah-tengah dan adil antara belebih-lebihan yang dimotori oleh khawarij atau terlalu meremehkan sebagaimana murjiah.
3. iqamatul hujjah.
Maknanya bahwa tidak diperkenankan untuk mengkafirkan seseorang keculai hujjah telah ditegakkan atasnya. Qiyamul hujjah bagi orang kafir adalah kehadiran seorang rasul dan memungkinkan bagi mereka untuk mendengarkan seruannya. Sedangkan qiyamul hujjah bagi kaum muslimin adalah sampainya khabar tentang syariat yang dibawa oleh Rasul saw. Dan disyaratkan dalam qiyamul hujjah penjelasan yang sejelas-jelasnya. Namun ini bukan pada setiap perkara disyaratkan adanya qiyamul hujjah. Ia hanya disyaratkan pada persoalan yang bersifat khafiy (tersembunyi). Namun pada persoalan yang dzahir umum diketahui oleh kaum muslimin maka tidak disyaratkan qiyamul hujjah atasnya. Syaikh muhammad bin abdil wahhab berkata “adapaun persoalan takfir muayyan maka ia merupakan persoalan yang ma’lum diketahui. Ada perkataan-perkataan yang apabila diucapkan akan meyebabkan kafir. Maka bagi yang mengatakannya dihukumi kafir. Namun ada orang-orang tertentu yang apabila melakukan hal tersebut maka tidak bisa langsung divonis kafir hingga hujjah ditegakkan diatas mereka. Dan ini harus dilakukan pada perkara-perkara khafiyah yang dalilanya tidak diketahui oleh sebagian manusia... adapun kalau itu terjadi pada persoalan yang dhahir dan nampak atau sesuatu yang sudah umum diketahui oleh manusia maka kita tidak boleh tawaqquf dalam mengkafikannya.
Dan qiyamul hujjah mempunyai dua pengertian. Pertama, Sampainya hujjah secara umum tentang pokok-pokok ajaran islam. Kedua, sampainya hujjah secara tafshil terperinci. Maka seseorang tidak dapat dikafirkan sampai hujjah dalam perrsoalan yang terperinci itu sampai kepada dia.
Kamudian juga qiyamul hujjah berbeda-beda sesuai dengan tempat dan kondisi karena bisa jadi suatu masyakat belum tahu terhadap suatu perkara-perkara tertentu.
Diantara para ulama ada yan membedakan antara qiyamul hujjah dan fahmul hujjah. Yang menjadi syarat adalah qiyamul hujjah bukan fahmul hujjah. Orang-orang kafir tidak akan faham terhadap hujjah karen merka disifati (tuli bisu buta dan mereka tidak dan tidak berakal) namun demikian meski merek tidak bisa memahami kebenaran mereka tetap dikafirkan. Ini sebagaimana pendapat kebanyakan para ulama termasuk syaikh utsaimin dalam syarh kasyfus syubhat.
Syaikh muhammad bin abdil wahhab berkata “dan pokok peremasalahan adalah kalian tidak bisa membedakan antara qiyamul hujjah dan fahmul hujjah. Karena kebanyakan orang-orang kafir dan munafiq tidak memahami hujjah allah swt meskipun hujjah tersebut sudah tegak diatas mereka.
Namun perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan fahmul hujjah disini adalah timbulkan keyakinan akan benarnya syariat allah dan salahnya hujjah mereka. Sebagaiman pemahaman abu bakar dan umar ketika mendapatkan ayat-ayat allah. Karena pada hakikatnya orang-orang kafir dan munafiq ada yang tidak mungkin memahamai karena hatinya telah tertutup.
4. Hilangnya mawani’ takfir.
Apabila terdapat mawani takfir pada diri seseorang maka ia tidak bisa dikafirkan.
Mawaniut-takfir adalah sebagai berikut:
1. Al-jahlu.
Yang dimaksud dengan jahlu adalah kosongnya diri seseorang dari ilmu. Dan yang dimasud dengan udzur bil jahli dalam takfir adalah ketidak tahuan seseorang terhadap perkara yang ia lakukan. Pijakan dari udzur jahl ini adalah firman Allah swt Qs. Al-isra’ ayat ke 15 dan beberapa hadits Rasulullah saw diantarnya tentang seseorang yang berpesan kepada keluarganya agar mereka membakar jazahnya. Dengan harapan kelak Allah tidak akan mampu mengumpulkan jasadnya yang tercecer. Sebagian para sahabat juga ada yang jahil terhadap hukum tertentu sebagaiman mereka yang meminta untuk dibuatkan dzatu anwath namun demikian mereka tidak dikafirkan karena mereka belum mengetahui kalau hal tersebut adalah perbuatan kafir.
Ada sebagian ulama yang tidak menerima udzur bil jahli dalam perkara ushuluddin terutama kesyirikan. Diantara dalil yang mereka jadikan hujjah adalah firman Allah swt tentnag mitsaq Qs. Al-a’raf 172-173. Mereka juga berhujjah dengan hadits Rasulullah saw:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ فَيَقُولُ نَعَمْ فَيَقُولُ أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ أَنْ لَا تُشْرِكَ بِي شَيْئًا فَأَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي (رواه البخاري)
Mererka juga berhujjah dengan perkataan yang mereka anggap sebagai pernyataan tidak diterimanya udzur jahl dalam masalah takfir.
Jawaban bagi mereka yang menolak udzur bil jahli bahwa hujjah dalam ayat tersebut bukanlah hujjah mustaqillah, namun ia bersifat naqishah. Karena fungsi dari Rasul adal penyempurna dalam menegakkan hujjah yang bersifat naqishah tersebut. Dan di ayat lain Allah menjelaskan bahwa seorang tidak akan dihukum sampai tegak hujjah atasnya. Kalau tidak demikian apalah fungsinya rasul diutus?
Adapun mereka menukil pendapat para ulama kebanyak sesuatu yang bersifat (muhtamal) multi tafsir. Karena kalau kita mencermati pendapat ulama yang mengatakan tidak ada uzur jahl tenyata dipembahasan lain ulama tersebut justru menganggap udzur bil jahli sebagai mawani takfir. Ini sebagaiman syaikh muhmmad bin abdil wahab yang dianggap menolak udzur jahil. Padahal di dalam ad-dhurar as-tsunniyah beliau tidak mengakafirkan sebagian oran yang menyembah kuburan karena kejahilan mereka.
Dan udzul bil jahl ini bersifat relativ sesuai dengang keadaan orang yang ia berada di dalamnya.
2. Al- kahta’
Yang dimaksud dengan khata’ disini adalah kesalahan seseorang dalam malakukan suatu kekafiran tanpa disengaja. Ini sebagaiman kisah seoran musafir yang kehilangan onta. Saat ia telah putus asa onta itu kembali dengan seperti sedia kala. Karena begit gembiranya ia maka ia berkata “allahumma anta abdiy wa ana rabbuka”. Dalam keadaan demikian maka tidak boleh seseorang divonis kafir.
Allah swt berfirman:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا (البقرة 286)
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجة)
3. At-takwil
Takwil adalah memalingkan makna dari yang dzahir kepada makna lain yang tekandung dalam lafadz tersebut karena adanya dalil yang menunjukkan akan hal itu dan adanya qarinah yang kurang memungkinkan untuk dibawa kepada makna yang sebenarnya.
Yang dimaksud dengan takwil dalam mawani takfir ini adalah terceburnya diri seseorang kepada kekufuran dikarena kerancuan dalam memahami hal tersebut dan tidak ada niatan dalam hatinya untuk menceburkan diri kepada kakafiran. Ini dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap nash-nash syar’i dengan tidak ada maksud untuk menyelisihi akan tetapi ia benar-benar yakin kalau sikapnya tersebut adalah suatu kebenaran.
Syaikhul islam ibnu taymiyah berkata “akan tetapi tidak setipa orang yang mukhti’ dikafirkan. Diantaranya apabila ia salah dalam takwil atau taqlid”.
Namun tidak semua takwil dapat dikategorikan sebagai mawani’ dalam takfir. Apabila kesalahan dalam takwil tersebut adalah persoalan yang ashluddin yaitu beribadah kepada allah swt dan menerima syariatnya karena hal ini merupakan inti dari syahadatain. Dan tidak akan diterima syahadat seseorang apabila ia terjerumus dalam kerancuan dalam masalah ini. Inilah sebabnya mengapa para ulama sepakat atas kafirnya orang-orang bathiniyah dan takwilnya tidak dianggap. Karena ushul madzhab mereka adalah kafir terhadap allah swt dan tidak beribadah kepada allah dan mencampakkan syariat islam.
4. Al-ikrah
Ikrah terbagi menjadi dua:
a. Ikrah mulji’
Ikrah mulji adalah ancaman berupa pembunuhan atau menciderai anggota tubuhnya atau dipukul yang akan membinasakannya atau menghancurkan semua hartanya yang mana ia tidak mempunyai pilihan lain untuk menyeamatkan dirinya.
b. Ikrah ghairu mulji’
Ikrah ghairu mulji’ adalah ancaman selain pada diri atau anggota badan sebagaiman seseorang diancam akan diikat, atau sebagian hartanya akan diambil. Ini hanya mengorbankan keridhaan akan tetapi ia masih ada pilihan untuk memilih sabar.
Syarat-syarat ikrah adalah sebagai berikut:
- Pengancam mempunyai kemampuan untuk melakukan ancamannya dan yang diancam tidak mampu untuk membela diri meski melarikan diri.
- MENURUT persangkaan kuat yang dipaksa apabila ia menolak ia benar-banar akan mendapatkan ancaman tersebut.
- Susutu yang diancam tersebut akan delakukan dengan segera atau waktu yang sangat dekat sekali. Atau sang pengancam sebagaimana kebiasaan dia pasti akan akan melakukan ancaman teerebut.
- Tidak ada kemungkinan bagi ornag yang diancam untuk menghindari dari hal tersebut.
Dalil ikarah adalah firman Allah swt dalam Qs. An-nahl: 106
Dalam ayat tersebut menjelaskan kasus seorang yang dipaksa untuk melakukan kekafiran dengan ucapan. Lantas apakan perbuatan juga mendapatkan udzur dalam ikrah?
Perbuatan jawarih sama halnya dengan ucapan atas keumaman ayat tentang ikarah. Adapun amalan hati maka tidak ada yang bisa memaksa hati untuk melakukan sesuatu, sehingga tidak ada udzur ikarah pada amalan hati.
5. Taqlid
Dalam hal ini ibnul qayyim berkata “adapun ahli bid’ah dari kalangan ummat islam namun mereka menyelisihi dalam sebagian perkara ushul maka mereka bermacam-macam. Pertama, jahil yang muqallid yang tidak memiliki bashirah maka mereka ini tidak bis dikafirkan tidak difasiqqan tidak ditolak persaksiannya apabial tidak memungkinkan bagi dirinya untuk mempelajari petunjuk. Mereka dihukumi sama denga firman allah:
المستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلاً فأولئك عسى الله أن يعفو عنهم وكان الله عفوّاً غفوراً“
Referensi:
Nawaqidul iman al-qauliyah wal-amaliyah, abdul aziz bin Muhammad bin aliy alu abdul lathif.
Kitabut tauhid, syaikh shaleh fauzan
Majmu’ fatawa ibnu taymiyah, Abdurrahman bin qasin al-ashimiy
Al-minhah al-ilahiah, abdul akhir ahmad al-ghunaimiy
Dzahiratul irja. DR. Safar bin abdirrahman al hawaliy
Nawaqidul iman al-I’tiqadiyah wa dhawabitu takfir inda ahlis sunnah
Turuqul hakimiyah karya ibnu qayyim
manhaj ibnu taymiyah fi mas’alati takfir, DR abdul majid bin salim bin abdullah al-masy abiy.
Dhawabitu takfir inda ahlis sunnah wal jama’ah, abdullah bin muhammad al-qarniy
Syarh kasyfus syubhat, syaikh shalih al-utsaimin

1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu