tag:blogger.com,1999:blog-52538264229967749332024-02-20T08:29:40.221-08:00AD-DA'WAH AL-ISLAMIYAHUwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.comBlogger74125tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-52751427063271736722010-11-06T06:55:00.000-07:002010-11-06T06:57:09.615-07:00Penjelasan dan Aplikasi Tentang Hadits Iftiraqul UmmahBerawal dari hadits iftiraqul ummah (perpecahan umat), memunculkan berbagai persepsi dalam menyikapi variansi kelompok yang ada ditengah-tengah kaum muslimin. Diantara mereka ada yang terkesan memaksakan kelompok tertentu sebagai satu-satunya komunitas yang mendapatkan jaminan selamat di antara sekian kelompok yang ada. Kemudian mereka berusaha untuk menyematkan ancaman kecalakaan dan neraka kepada komunitas selainnya. Di sisi lain ada juga yang terlalu longgar dalam memaknai hadits tersebut sehingga menafikan adanya aliran sesat selagi masih menisbatkan dirinya kepada islam meski hanya namanya saja.<br />Untuk mendudukkan hadits tersebut ke dalam realita kehidupan dengan aneka ragam kolompok ini, hendaknya kita menilai tidak hanya dari sudut pandang teks yang tertera di hadits dan kita ma'nai sesuai dengan kehendak kita. Sehingga yang dihasilkan hanyalah jutstifikasi terhap persepsi yang kita simpulkan dan kemudian mencari dalil sebagai penguat. Namun handaknya kita meneliti secara jeli hadits tersebut serta mengidintentifikasi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang maksud daripadanya.<br /><span class="fullpost">Hadits yang menyebutkan tentang iftiraqul ummah menjadi 73 golongan adalah sebagai berikut: <br />إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ<br />"Sesungguhnya bani israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya terancam masuk neraka kecuali satu. Dialah al-jama'ah." <br />Hadits ini atau yang makna dengannya juga tendapat pada beberapa kitab hadits diantaranya dalam Sunan ibnu Majah , Sunan abi Dawud , Musnad Ahmad , Sunan ad-Darimiy , As-syariah milik Al-ajuriy .<br /> Hadits ini merupakan pengakhabaran dari Rasulullah saw tentang perpecahan yang akan terjadi pada tubuh kaum muslimin. Pengguna'an kata "ummah" memancing perbincangan para ulama tentang maknanya. Apakah yang dimaksud adalah ummatud da'wah (termasuk di dalamnya yahudi dan nasrani dan yang lainnya) yang menjadi obyek dakwah Rasulullah saw, atau yang dimaksud adalah ummatul ijabah (ummat islam secara khusus). Imam as-sindiy berkata: "yang dimaksud adalah ummatul ijabah, yaitu ahlul qiblah. Karena istilah ummah dinisbatkan kepada beliau shallalahu alaihi wasallam yang secara langsung dapat difahami sebagai ummatul ijabah. <br /> Sedangkan seorang ulama, DR. Al-Buthiy bependapat bahwa yang dimaksud dengan ummah adalah ummatud da'wah. Ini berdasarkan dengan argumentasi bahwa Rasulullah saw menggunakan kata ummah secara umum. Kalau saja yang dimaksud dengan ummah adalah ummatul ijabah tentunya beliau akan menggunakan isitlah "sataftariqul muslimin". Ini maknanya bahwa yang dimaksud dengan ummah adalah ummatu da'wah. Kesimpulannya bahwa ummat yang di menjadi obyek dakwah rasulullah akan terpecah menjadi 73 agama. Dan jaminan bahwa yang selamat adalah hanya satu agama maknanya adalah agam islam dengan sekian sekte-sektenya. <br />Pendapat yang rajih adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh As-Sindiy dengan beberapa alasan: Pertama, bahwa di hadits yang lain Rasulullah menejelaskan bahwa yahudi dan nasraniy terpecah menjadi 71 golongan dan kemuadian Rasulullah menjelaskan pada waktu yang bersama'an bahwa ummatnya akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Ini maknanya bahwa yang dimaksud dengan ummat di hadits tersebut adalah ummatul ijabah yaitu islam. Alasan ke dua, bahwa hadits tersebut adalah sebagi bentuk pengakhabaran terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan perpecahan yang terjadi pada ummatud dakwah seperti yahudi dan nasrani sudah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dengan demikian yang lebih tepat untuk memaknai ummatiy adalah ummatul ijabah.<br /> Adapun yang dimaksud dengan perpecahan dalam hadits tersebut adalah perpecahan dalam permasalahn yang bersifat ushul dan i'tiqad bukan dalam hal furu' (cabang) dan amaliyah. As-sindiy berkata "yang dimaksud adalah perpecahan mereka dalam perkara ushul dan i'tiqad bukan dalam hal furu' dan amaliyat. Karena dalam perkara furu' islam memberikan toleransi yang lebih luas dan hal tersebut masuk dalam ranah ijtihad para ulama. Sangat banyak kita dapatkan perbeda'an dalam hal furu' dan amaliyat terjadi dikalangan para ulama semenjak pada masa Rasulullah saw hingga saat ini. Di dalam Aunul ma'bud syarh sunan abiy Dawud disebutkan bahwa tidakalah termasuk dalam firaq madzmumah itu mereka yang berselisih dalam perkara cabang fiqih dalam pembahasan halal dan haram, namum yang dimaksud adalah mereka yang menyelisihi ahlulul haq dalam perkara ushul tauhid. <br /> Adapun ma'na yang 72 di neraka bukanlah sebuah kepastian bahwa setiap personal dari mereka akan masuk kedalam neraka dan kekal di dalamnya. Karena 72 puluh dua golongan tersebut tidak keluar dari lingkup islam. Al khattabiy berkata: "(akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan) dalamnya tertadapat penjelasan bahwa kelompok-kelompok ini tidak keluar dari lingkup Diin. Kerena Nabi saw menyebut sebagai ummatnya. Meskipun diantara kaum muslimin ada yang munafiq yang mereka menampakkan islam dan menyembunyikan kekafiran. Atau diantara mereka ada yang menisbatkan diri kepada islam namun praktek amal mereka mengeluarkan mereka dari islam.<br />Jadi, setiap personal dari 72 pecahan tersebut tidak berarti masuk kedalam neraka semuanya. Namun ungkapan tersebut sebagai ancaman akan aqidah-aqidah menyeleweng yang akan menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Diantara mereka ada yang kekal di dalam neraka dan ada juga yang tidak kekal sesuai dengan tingkat kebid'ahan yang mereka lakukan, dan ada juga yang diampuni kesalahannya oleh allah swt. Ini sebagaimana pernyataan ibnu taymiyah: "sebagaimana kalau kita mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah swt (sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan kedzaliman, maka sesungguhnya mereka akan memakan api di dalam perut mereka) Qs. An-nisa': 10. maka tidak selayaknya bagi seseorang untuk mengatakan terhadap orang lain secara ta'yin (personal) bahwa dia di dalam neraka. Hal ini dikarenakan bisa jadi ia diampuni oleh Allah dengan kebaikan-kebaikannya yang mengahapuskan kesalahannya. Atau dengan musibah yang mengikisnya, atau Allah swt sendiri yang mengampuninya atau kemungkinan yang lain. <br /> Lantas pernyataan "wahidah fil jannah" apakah setiap personal dari firqah najiah tidak akan masuk neraka? Syaikh Utsaimin menjawab bahwa diantara merka bisa jadi ada yang masuk neraka namun tadak kekal di dalamnya. Beliau juga memberikan gambaran tentang hal ini bahwa manusia terbagi menjadi empat kelompok: pertama: mubtadi' murni yang tidak mengerjakan sunnah satupun, mereka ini kekal di neraka tanpa dipungkiri lagi. Kedua: mubtadi' yang tercampur (dengan sunnah) maka mereka berhak masuk neraka dan tidak kekal di dalamnya. Ke tiga: seorang sunniy yang murni maka ia tidak berhak masuk neraka, kalaupun ia masuk neraka karena perbuatan maksiat maka mereka tidak kekal di dalamnya. Ke empat: suniiy yang tercampur (dengan bid'ah) "Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk" (Qs. At-Taubah: 102) maka mereka ini berhak masuk neraka namun tidak kekal di dalmnya. <br /> Adapun kelompok yang selamat adalah "jama'ah", atau dalam redaksi hadits lain "ma ana alaihi wa ashabiy". As-Sindiy berkata: "sabdanya (al-jama'ah) adalah mereka yang sesuai dengan jama'ah sahabat dan mengambil aqidah mereka serta berpegang teguh dengan pola fakir mereka." Di dalam aunul ma'bud disebutkan: (al-jama'ah) adalah alhul qur'an dan hadits dan fiqh dan ahlul ilmi yang mereka sejalan dalam mengikuti jejak Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam setiap kondisi. Dan mereka tidak merusak dan merubahnya dan tidak pula menggantinya dengan pemikiran-pemikiran yang rusak. <br /><br />Aplikasi hadits iftiraqul ummah<br />Banyak persepsi yang muncul dalam penerapan hadits iftiraq ini. Diantara mereka ada yang mencoba untuk menyematkan label 72 golongan tersebut kepada kelompok-kelopok tertentu. Dan disisi lain mereka berusaha untuk menggiring opini public bahwa satu-satunya kelompok yang selamat adalah kelompoknya sendiri. Padahal hadits tersebut sama sekali tidak mendukung pernyataan mereka tersebut. Rasulullah saw tidak menghususukan kelompok yang selamat tersebut untuk golongan tertentu dan menafikan kelompok yang lainnya.<br />Untuk mengukur suatu kelompok atau personal apakah ia masuk kedalam golongan yang selamat atau kelompok yang celaka hendaknya menggunakan timbangan al-qur'an dan sunnah. Sedangkan Al-qur'an dan Sunnah menyebutkan Al-Jama'ah atau Ma ana alaihi wa ashabiy sama sekali tidak menghususkan nama kelompok-kelompok tertentu. Maknanya siapa saja dari kaum muslimin yang terpenuhi padanya sifat kelompok tersebut maka ia berhak mendapatkan jaminannya. Bukan lantas memaksakan dalil untuk menghusus jaminan tersebut kepada komunitas tertentu dan menafikan yang lainnya.<br />Syaikhul islam Ibnu Taymiyah berkata tentang golongan yang selamat tersebut "Mereka adalah yang berpegang teguh dengan islam secara murni dan bersih dari penyimpangan. Mereka adalah ahlus sunnah yang tercakup di dalamnya As-Shiddiqun, Asy-syuhada, Ash-Shalihun. Dan termasuk pula di dalmnya para pembawa panji petunjuk, pelita di tengah kegelapan, dan orang-orang yang mempunyai budi pekerti yang luhur dan keutama'an, dan abdal: yaitu para imam yang kaum muslimin bersepakat atas petunjuk dan keilmuan mereka. Mereka adalah thaifah al-manshurah yang disebutkan dalam hadits (akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang senantiasa berada diatas kebenaran dan tidak akan mampu memberikan kecalakaan kepada mereka orang yang menghinakan mereka atau orang yang menyelisihi mereka sampi datangnya hari kiamat). <br />Dengan demikian kelompok yang selamat atau Firqah Najiah tersebut tersebar di kalangan seluruh kaum muslimin yang mereka meniti jejak Rasul dan para sahabatnya. Sehingga nampaklah kebathilan orang-orang yang menganggap bahwa hanya orang-orang yang bergabung bersama kelompoknya saja yang berhak mendapat julukan firqah najiah dan yang selainnya adalah kelompok yang celaka. Fudhail bin Iyadh berkata "seorang bertanya kepada imam malik, wahai abu Abdullah: siapakan Ahlus-Sunnah itu? Beliau menjawab, orang yang tidak memiliki laqob (julukan) yang diketahui. Tidak pula jahmiy, tidak rafidiy, tidak qadariy." <br />Imam Nawawi ketika menerangkan hadits Rasulullah saw (akan senantisa ada segolongan dari ummatku yang mereka berada diatas kebenaran): ini mengandung pengertian bahwa kelompok tersebut terpencar pada setiap komunitas kaum muslimin. Diantara mereka ada para pemberani yang senantiasa berperang, dan dianatara mereka ada fuqaha, demikian pula ahli hadits, dan orang-orang ahli zuhud, dan penyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan termasuk pula di dalamnya orang-orang selain mereka dan para ahli kebaikan". <br />Abdul akhir Hammad al-ghunaimiy pentadzib syarah aqidah thahawiyah, memberikan komentar ketika menyebutkan hadits rasulullah saw (diin ini akan senantiasa tegak dan berperang diatasnya segolongan dari kaum muslimin samapi datangnya hari kiama) sembari berkata: hal ini -wallahu a'lam- memberikan penngertian bahwa para mujahidin di jalan Allah adalah orang yang paling utama untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Oleh karena itulah syaikhul islam ibnu taymiyah berkata tentang Tar-tar dan kewajiban memeranginya (adapun sekelompok kaum muslimin yang berada di syam, dan mesir dan yang selainnya, maka mereka pada saat ini merupakan orang yang paling berhak untuk masuk dalam kategori thaifah manshurah yang disebutkan oleh nabi shallahu alaihi wasallam (akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang senantiasa berada diatak kebenaran dan tidak akan mampu memberikan kecalakaan kepada mereka orang yang menghinakan mereka atau orang yang menyelisihi mereka sampi datangnya hari kiamat) majmu fatawa: 28/ 531). <br /><br />Referensi:<br />- Sunan Ibnu Majah, karya Abu abdillah Muhammad bin Yazid Ar-Rab'iy ibn Majah, penerbit Daarus salamah, cet. Pertama. Tahun 1420 H/ 1999 M.<br />- Sunan abi Dawud, karya Abu Dawud Sulaiman bin Al-asy Ats, As-sajastaniy, Penerbit Daru ibn hazm, cet. Pertama, tahun 1419 H/ 1998 M. <br />- Musnad Ahmad, karya Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, penerbit baitul afkar ad-dawliyah, cet tahun 1419 H/ 1998 M.<br />- Sunan Ad-darimiy, karya Abu Muhammad Abdullah bin Abdur Rahman bin Al Fadhl bin Bahram ad-Darimiy, penerbit Darul mughniy, cet. Pertama, tahun 1421 H/ 2000 M.<br />- Asy-syariah, karya Abu Bakar bin Muhammad bin Al husain Al-ajuriy, penerbit, muassah qurtubah, cet. Pertama, tahun 1416 H/ 1996 M.<br />- Syarah Sunan Ibnu Majah, karya Abul Hasan al-Hanafiy As-Sindiy, penerbit Darul ma'rifah, cet. Pertama, tahun 1416 H/ 1996 M.<br />- http://www.nokhbah.net<br />- Kitab Aunul Ma'bud, karya Muhammad Syamsul Haqqil Adzim Abadiy, penerbit daarul fikr, cet kedua, tahun 1399 H/ 1979 M<br />- Ma'alimus sunan, karya al-Khattabiy, penerbit Muhammad Raghib at-Tabbakh, cet pertama, tahun 1351 H/ 1932 M.<br />- Majmu' fatawa, penyusun Abdurrahman bin Muhammad bin qasim al-ashimiy, tahun cetakan 1418 H/1997 M<br />- http://muntada.islammessage.com<br />- Madarikut Tadrib Wataqribul masalik, karya Fudhail bin Iyadh, maktabah syamilah<br />- Syarah Muslim, karya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy, penerbit daarul kutub al-ilmiyah, cet pertama, thn 1421 H/ 2000 M<br />- Al Minhah al-Ilahiyah fi tahdzibi syarh aqidah at-thahawiyah, karya Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimiy, penerbit darus sahabah, cet. Pertama, tahun 1416 H/ 1995 M<br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-85188201686978211532010-11-06T06:50:00.000-07:002010-11-06T06:52:48.104-07:00Al-Kufru Wat-TakfirKufur adalah salah satu hukum syar’i, sebagiamana halnya hukum perbudakan. Yang demikian ini ditinjau dari konsekwensi hukum yang terdapat pada keduannya. perbudakan mempunyai konskwensi sebagaima ia tidak boleh memegang kepemimpinan dan gugurnya sebagian kewajiban yang seharusnya dikerjakan oleh seorang merdeka. Demikian pulah halnya kufur mempunyai konskwensi sebagaimana kewajiban bara’ (berlepas diri) darinya dan halal darahnya. Vonis kafir adalah hak otoritas Allah swt semata sehingga tidak diperkenankan bagi hamba untuk menganggap sesuatu kafir tanpa didasarkan kepada dalil-dalil syr’i. Juga tidak sepantasnya menvonis kafir dikarenakan rasa dendam kepada orang yang lebih dahulu memvonis dirinya kafir. Sebagaimana tidak diperbolehkan membalas seseorang yang menzinahi keluarga kita lantas dibalas dengan menzinahi keluarganya juga.<br />Secara bahasa al-kufru bermakna sesuatu yang menghalangi dan menutupi. Sedangkan secara bahasa kufur bermakna: kebalikan daripada iman, yaitu tidak adanya keimanan kepada Allah swt dan rasulnya baik diikuti dengan takdzib (pendustaan) atau tidak diikuti dengannya. Bahkan keragu-raguan dan berpalin atau hasad atau kibr (sombong) atau mengikuti sebahagian hawa nafsu yang menghalangi diri untuk mengikuti risalah. Meskipun apabila hal tersebut diiringi dengan takdzib maka hal tersebut lebih besar kekurufannya dari yang lainnya. <br /><span class="fullpost">Sebagaimana dalam pembahasan iman bahwa ia mencakup qoul dan amal, demikian juga Iman teridiri dari beberapa “syu’bah” bagian, yang masing-masing dari bagian tersebut merupakan bahagian dari iman. Derajat iman yang paling tinggi adalah kalimat laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanana. Diantara sekian bagian ada yang apabila ia hilang maka hilang pulalah keimanan, dan adapula yang dengan hilangnya hanya akan mengurangi keimanan. Demikian pulalah halnya dengan kekafiran mencakup perkataan dan perbuatan. Ia mempunyai cabang-cabang yang mana hal tersebut tercakup dalam seluruh kemaksiatan. Ada yang apabila ia dilakukan akan menyebabkan ia keluar dari islam dan ada juga yang apabila dilakukan hanya sampai kepada batas kufrun duuna kurfin.<br />Ada sebagian kelompok yang membatasi kekafiran sebatas dengan kekafiran yang bersumber dari hati belaka. Kekafiran ini sering diistilahkan dengan “juhud dan istihlal”. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan riwayat dari para ulama yang tidak membatasi kekafiran hanya dalam hal tersebut. Terlebih lagi bahwa amalan hati adalah perkara yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang itu sendiri dan Allah swt. Bisa jadi seseorang menampakkan sesutu namun apa yang bersemayam di dalam hatinya bertolak belakang dengan apa yang nampak darinya.<br />Mererka berhujjah dengan perkataan imam at-tahawi “la nukaffiru ahadan min ahlil qiblati bidzanbin yaf’aluhu ma lam yastahilluhu”. Namun pada hakikatnya apa yang diinginkan oleh beliau tidak sebagiaman pemahaman mereka yang membatasi kekafiran hanya dalam bentuk istihlal dan juhud. Karena yang dimasudkan oleh beliau adalah membantah orang-orang khawarij yang mengkafirkan setiap dosa besar. Syaikh abdul akhir al-ghunaimiy :ada sekelompok manusia yang mengatakan kami tidak mengkafirkan ahli qibalat seorangpun. Mereka menafikan takfir terhadap seluruh dosa meskipun pada hakikatnya diantara ahli qibalat ada yang munafiq yang mereka lebih kafir dibanding yahudi dan nasrani menurut kitab dan sunnah dan ijma. Demikian juga tidak ada perselisihan dikalangan kaum muslimin bahwa apabila ada seseorang menampakkan keingkaran terhadap kewajiban yang jelas dan mutawatir dan hal-hal yang diharamkan secara jelas dan mutawatir dan yang semisal dengannya maka mereka dimintai untuk taubat. Kalau mereka menolak maka dibunuh karena kekafiran dan kemurtadannya. <br />Pandanngan beberapa firqah dalam perkara kemaksiatan<br />* Khawarij: Menurut khawarij bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka.<br />* Menurut muktazilah: Mereka berada diantara iman dan kufur, namun diakhirat mereka sefaham dengan khawarij yaitu kekal di dalam neraka.<br />* Adapun murjiah : Mereka beranggapan bahwa pelaku dosa besar adalah semurna keimanannya. <br />Adapun menurut ahlus sunnah wal jama’ah bahwa pelaku dosa besar adalah mu’min dengan keimanannya dan pelaku fasiq dengan kemaksiatannya. Dan mereka berada dibawah kehendak allah apabila allah berkehendak maka akan disisksa dan apabila berkehendak akan diampuni.<br />Awal mula munculnya ketersesatan dalam perkara iniadalah persepsi bahwa iman hannyalah satu tingkatan. Syaikh safar hawali berkata: diatas dasar inilah orang-orang khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak disebut mukmin karena imannya hilang dengan melakukan dosa besar. Kemudian pecahan-pecahan mereka berselisih tentang makna kufur dan konskensi darinya. Kemudian orang-orang mu’tazilah bersepakat denganya akan tetapi ketika mereka menyadari bahwa penyamaan anatara kafir dan murtad dan pelaku zina dan pencuri seakan tidak bisa diterima oleh akal dan syar’i karena kenyataannya allah membedakan hukum masing-masing darinya di dunia dan akhirat maka mereka mengambil sikap “menafikan imannya namun juga tidak berani memasukkannya kedalam kategori kafir. Hingga muncullah istilah “al-manzilah baina manzilataini”. Namun dalah hukum akhirat mereka tetap sepakat degan khawarij.... Adapun murjia’ah, dengan tetap memegang prinsip yang sama (iman hanya satu tingkatan) mereka mendapatkan nash-nash dan logika yang menunjukkan tentang rusaknya pemahaman khawarij dan mu’tazilah.maka seluruh pecahan murjia’h bersepakat untuk mengeluarkan amal dari iman. Sehingga dengan demikian keyakinan bahwa iman hanyalah satu tingkatan tetap terselamatkan. <br />Bentuk-bentuk dosa yang merupakan kufur akbar<br />- Kekafiran dengan sebab perkataan dan perbuatan hati.<br />a. kekafiran dikarenakan perkataan hati.<br />- Kufur juhud wat takdzib (pengingkaran) sebagaimana firman Allah swt dalam Qs. Al-ankabut, 68.<br />Ada sedikit perbedaan antara juhud dan takdzib sebagaimana allah membedakannya di dalam firmannya<br />فإنهم لا يكبونك ولكن الظالمين بأيات الله يجحدون<br />Perbedaan antara takzib dan juhud adalah dari sisi umum dan khusus yaitu bahwasanya juhud adalah bagian dari takdzib. Juhud berasal lisan sedangkan takdzib bisa secara hati, lisan dan anggota badan. Oleh karena itulah sebagian ulama ada yang membedakan antara kufru takdzib dan kufrul juhud. Dan juga yang menganggap bahwa perbedaan anatara keduanya adalah, juhud merupakan pengingkaran yang disertai dengan perlawanan. Sebagaimana perkataan al-khafaji “perbedaan antara takdzib dan juhud bahwa yang pertama lebih kepada pengingkaran secara umum sedangkan yang kedua adalah pengingkaran setelah ia mengetahui hakikat sesuatu tersebut. <br />Tentang juhud ini syaikhul islam ibnu taymiyah berkata: barang siapa yang juhud terhadap suatu kewajiban yang jelas dan mutawatir, sebagaimana shalat liima waktu, pausa ramadhan, haji. Atu juhud terhadap pengaharaman perbuatan keji dan dzalim, khamer, judi, zina, dan yang lainnya. Demikian juga yang juhud terhadap sesuatu yang dihalalkan nampak dan mutawatir sebagaimana roti, daging, nikah, maka ia kafir dan murtad dan dimintai taubat. Dan apabila tidak mau bertaubat maka ia dibunuh. <br />- Kufur istihlal (menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah)<br />Makna daripada istihlal adalah meyakini sesuatu yang diharamkan oleh allah bahwa hal tersebut tidaklah diharamkan. Atau meyakininya sebagai sesuatu yang mubah. Perbedaannya dengan takdzib bahwa istihlal hanya berkenaan khusus dengan keyakinan dalam perkara penyelisihan sesuatu yang diharamkan dan diyakini sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Sedangkan takdzib lebih umum tidak hanya mencakup perkara i’tiqad dan tidak terkhusus dalam pembahasan menghalalkan sesuatu yang dilarang.<br />Tentang istihlal ini syaikhul islam ibnu taymiyah berkata: “diantara mereka ada yang istihlal terhadap persaudaraan dengan wanita yang sebenarnya bukan murhim dan berkhalwat dengannya, dengan anggapan bahwa hal tersebut akan mendatangkan berkah dalam perbuatan yang ia lakukan terhadapnya meskipun hal tersebut diharamkan secara syar’i....dst. mereke semua kafir menurut ijama kaum muslimin. <br />* adapun juhud atau istihlal terhadap sesuatu yang tidak dzahir (tidak jelas dimata orang awam) maka tidak bisa disamakan. Al-allamah ibnu wazir berkata: mutawatir terbagi menjadi dua jenis: mutawatir yang diketahui oleh orang secara umum dan diketahui pula oleh orang-orang khusus sebagaimana kalimat tauhid, rukun islam, maka orang bagi yang juhud terhadapnya dihukumi kafir. Yang/ kedua adalah sesuatu yang kemutawatirannya hanya diketahui oleh orang-orang khusus maka bagi orang awam yang istihlal terhadapnya tidak dianggap kafir dikerenakan hal tersebut belum sampai kepadanya. <br />- “syak” ragu terhadap salah satu dari hukum Allah swt atau apa yang dikhabarkan oleNya.<br />Syak yang dimaksud adalah dalam perkara ushuluddin. yaitu adalah keragu-ranguan antara dua kemungkinan. Sebagaiman orang yang tidak percaya terhadap kebenaran rasul dan juga tidak mendustaannya. Namun yang perlu digaris bawahi adalah perbedaan antar syak dan was wasah. Waswas adalah sesuatu yang terbersit dalam hati tanpa di minta-minta dan apabila ia menepisnya maka niscaya imannya akan kembali terang. Sedangkan syak ia sudah meninggalkan iman namun juga tidak mendustakannya.<br />Sebagaimana seseorang yang ragu akan kebenaran Rasulullah saw atau ragu terhadap hari kebangkitan, atau ragu terhadap kekafiran orang kafir baik yang kafir aslhi sebagai mana yahudi, atau kekafiran orang-orang yang sudah jelas diyakini kekafirannya sebagaimana bathiniyah. Syaikhul islam ibnu taymiyah berkata tentang bathiniyah : barang siapa yang ragu terhadap kekafiran mereka setelah mengetahui perkataan mereka dan memahami diinul islam maka ia kafir sebagaimana halnya orang yang ragu terhadap kekafiran orang-orang yahudi, nashraniy dan musyrikin. <br />Sebagaiamana firma allah swt Qs. Al-hujurat: 15<br />- Keyakinan tidak wajibnya mengikuti Nabi saw<br />- Syirik dalam perkara rububiyah. Seperti meyakini bahwa wali-wali mereka mengetahui perkara ghaib.<br />- Syirik dalam perkara uluhiyah. Seperti meyakini sesembahan selain allah. <br />b. kekafiran dikarenakan perbuatan hati.<br />- Berpaling dari diin Allah tidak mau mempelajarinya dan tidak mau beramal dengannya. Firman allah swt: as-sajadah: 22.<br />Al-qurtubi berkata bahwa yang dimaksud dengan i’rad adalah bitarkil qabul (tidak mau menerima). <br />i’radh mencakup tiga hal: <br />pertama, berkenaan dengan ilmu (qaulul qalbiy) dengan enggan untuk mendengarkan serta cuek terhadapnya.<br />Kedua, berkenaan dengan amal (amalul qalbiy dan jawarih) amalul qalbiy dengan tidak mau menerima dan patuh, amalul jawarih dengan menolak dan meninggalkan amal serta berpaling dari ketaatan. <br />Ketiga, berpaling dari hukum Allah dan berhukum kepadanya. <br />I’radh yang meyebabkan kafir dan i’radh yang tidak menyebabkan kafir.<br />Iradh yan menyebabkan kafir adalah i’radh terhadap ashlul iman. Baik itu i’radh taam (secar keseluruhan) untuk mempelajari pokok-pokok diin yang sebenarnya ia mampu mempelajarinya. Atau i’radh terhadap amal secara keseluruhan. (jinsul amal) atau berpaling dari hukum allah swt.<br />- Nifaq i’tiqadiy (Qs. Al-munafiqun, 4)<br />- Benci (al-bughdu) atau tidak menyukai (al-karahah) terhadap syariat Rasul saw.<br />Al-bughdu (benci) adalah kebalikan dari mahabbah. Sedangkan mahabbah adalah salah satu syarat lailaalha illallah. Ia adalah asal pondasi yang mendorong setiap amal perbuatan. (Qs. Muhammad: 9) <br />Bughdu dan Karahah menafikan amalan qalb ditinjau dari 2 sisi:<br />pertama, ia menghilangkan syarat mahabbah<br />kedua, meninggalkan qabul, inqiyad dan taslim karena itu semua merupakan buah dari mahabbah.<br />Namun perlu dibedakan antara mukrih i’tiqadiy dan mukrih tabi’iy. Mukrih i’tiqadiy adalah benci terhadap syariatnya, sebagaimana orang yang benci terhadap syariat Rasul. Adapun mukrih thabi’iy adalah benci karena tabiat kejiwaan sebagaimana qital (kurhun lakum) ikrah disini adalh berangkat dari tabiat manusia memang tidak menyukai sesuatu yang susah. Namun kebencian tersebut bukan terhadap syariatnya. <br />- Kufur iba’ (menolak) istikbar (sombong) dan imtina’ (menolak)<br />(qs. Al-Baqarah: 34)<br />Ini sebagaimana kekafiran iblis dan fir’aun. Menurut ibnul qayyim pada hakikatnya Mereka tidak juhud atau ingkar terhadap perintah Allah, hanya saja mereka menyikapinya dengan penolakan dan kesombongan. Nah, iba’ dan istikbar inilah yang menafikan inqiyad dan istislam yang merupakan asas dari amal qalbiy.<br />Adapun imtina’ yang tidak dibarengi dengan itstikbar, maka para para ulama mengatakan bahwa mereka wajib diperangi. Syaikhul islam ibnu taimiyah berkata: Ulama kaum muslimin bersepakat bahwa setiap thaifah yang mumtania’ah (menolak) salah satu dari syariat islam, yang dhahir dan mutawatir maka wajib untuk diperangi. Sampai diin ini hanya untuk allah swt semata. <br />Namun apakah peperangan tersebut didasari oleh kekafiran mereka atau tidak? <br />Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Adapun syaikhul islam ibnu taymiyah lebih merajihkan memerangi mereka atas dasar murtad. Beliau berkata “adapun para sahabat, mereka tidak bertanya, apakah kamu berikrar atas wajibnya zakat atau apakah kamu juhud? Ini tidak pernah ditanyakan oleh sahabat. Bahkan as-shiddiq berkata “demi Allah kalau saja mereka menolak untuk membayar zakat yang mana mereka menunaikannya pada masa rasulullah saw maka niscaya saya akan membunuh mereka atasnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bolehnya memerangi adalah hanya atas dasar al-man’u (penolakan) tidak mesti harus juhud terhadapnya. Dan telah diriwayatkan pula bahwa sebagian kelompok ada yang berikrar atas kewajibannya namun mereka bakhil terhadapnya. Dengan demikian para khulafa’ur rasyidin mengambil sikap yang sama yaitu memerangi mereka. Dan mencela keturunan mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah, dan bersaksi bahwa merereka adalah penghuni neraka dan memberi julukan kepada mereka dengan julukan “ahlur riddah”. <br />Ada sebagian ulama yang mencoba untuk membedakan antara thaifah dan fardun (personal). adapun kalau mumtani’ itu adalah personal maka yang shahih adalah ia tidak dikafirkan kecuali yang terus menerus meninggalkan shalat. Kalau personal meninggalkan zakat maka diambil hartanya dengan paksa. Ini sebagaimana pernyataan ibnu rajab al-hambali di dalam jami’ul ulum wal hikam “adapun membunuh seseorang yang mumtani’ maka mayoritas ulama mengatakan ia dibunuh apabila imtina terhadap shalat. Ini adalah pendapat malik syafiiy dan ahmah dan abu ubaid. Adapun membunuh seorang mumtani’ terhadap zakat maka ada dua pendapat. Pertama mereka dibunuh dan ini merupaka pendapat yang masyhur dari imam ahamad. Dan mereka besandar kepada hadits ibnu umar (aku diperintah untuk memerangi manusia) dan pendapat kedua bahwa mereka tidak dibunuh dan ini adalah pendapat malik, syafi’i dan salah satu riwayat dari imam ahmad. <br />- Syirikul akbar dari perbuatan hati seperti mahabbah, iradhah dan qasdh.<br />• keterkaitan antara nawaqidh i’tiqadiyah dzhir. Perkara hati adalah sesuatu yang tersembunyi sehingga seseorang tidak bisa menghukumi berdasar kepada hati seseeorang. Namun kita menghukumi dengan dzahirnya. Perilaku dzahir adalah wujud dari apa yang ada di dalam bathin seseorang. Sebagaimana haditas rasulullah saw (إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ).<br />- kekafiran dengan sebab ucapan lisan<br />Dinatara ucapan-ucapan yang merupakan kekafiran adalah:<br />- Ucapan kekafiran dalam masalah tauhid:<br />a. dalam tauhid rububiyah:<br />- Perkataan tentang Qadamul Alam. Yaitu keyakinan bahwa tidak ada yang mendahului keberadaan alam. Tidak pula Allah swt, atau arsy dan yang lainnya. alam menurut mereka akan senantiasa kekal seperti apa adanya. Ucapan ini merupakan kekafiran karena berisi pengingkaran terhadap penciptaan allah swt terhadap alam semesta.<br />- Mencela dan menghina Allah swt dalam hal rububiyah.<br />b. Dalam tauhid asma’ was-shifat:<br />- Mengingkari shifat allah dengan ucapan. Seperti penamaan Allah dengan al-laata wal uzza. Juga mengatakan bahwa allah itu faqir, dan menyamakan allah dengan sifat makhluqnya.<br />c. Dalam tauhid uluhiyah:<br />- Mengucapkan doa istiqhatsah kepada arwah para wali-wali.<br />- Ucapan kekafiran dalam masalah nubuwah:<br />a. Mencela rasulullah saw dan nabi-nabi yang lainnya.<br />b. Mengaku menjadi nabi.<br />c. Mengingkari kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi.<br />- Ucapan kekafiran dalam masalah ghaib: <br />a. Terhadap malaikat dengan mengingkarinya.<br />b. Ingkar terhadap hari akhir berkenaan dengan kebangkitan ancaman-ancaman dan yang sejenisnya.<br />- Mengingkari salah satu dari hukum-hukum yang sudah umum ditenngah masyarakat.<br />- kekafiran karena sebab perbuatan jawarih (anggota badan)<br />- Amal kekafiran dalam perkara tauhid:<br />Yaitu syirik dalam beribadah dengan segala macam bentuknya.<br />- Berhukum dengan selain hukum Allah:<br />Hak tasyri’ adalah merupakan kekhususan rububiyah Allah swt. Sesuatu yang halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasulnya dan haram adalah apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya. Allah swt memberikan julukan kepada orang-orang yang berhukum dengan kuffar dengan dzalim dan dengan fasik. <br />Kapan berhukum dengan selai allah dianggap kafir akbar?<br />1. Bagi mereka yang membuat syariat selain apa yang diturunkan oleh Allah.<br />Sebagaimana firman allah swt Qs. As-syura 21, at-taubah 31. orang yan mentaati dengan sukarela disebut musrik ditinjau dari sisi ibadah ketaatan dari apa yang mereka syariatkan.<br />2. Juhud atau mengingkari hukum selain Allah swt.<br />Ibnu abbas berkata ketika menafsirkan firman allah swt Qs. A-maidah: 44 “barang siapa yang juhud terhadap apa yang diturunkan oleh allah adalah kafir. Dan pendapat ini dibenarkan oleh ibnu jarir at-thabari di dalam tafsir beliau. Juhud, baik itu disertai dengan berhukum dengan hukum selain allah swt atau sekedar juhud namun tidak disertai dengannya tetap dianggap kafir. Ini ditinjau dari sisi pengingkaran terhadap sesuatu perkara diin yang umum diketahui oleh seluruh kaum muslimin.<br />3. Mengutamakan hukum thagut diatas hukum Allah swt. (Qs. Al-maidah 5)<br />4. Menyamakan antara hukum allah dengan hukum thagut. (al-baqarah 22)<br />5. Memperbolehkan berhukum dengan sesuatu yang menyelisihi hukum allah dan rasulnya. atau menyakini bahawa berhukum kepada allah tidaklah wajib atau boleh memilihnya.<br />6. Tidak berhukum dengan hukum allah dengan iba’ dan imtina’. <br />7. Berhukum dengan hukum campuran dari berbagai sumber sebagaimana ilyasiq.<br />8. Orang yang menerima hukum tersebut dengan ridha. (Qs. An-Nisa 60-61)<br />Kapan berhukum kepada hukum selain allah dikatakan kufur asghar?<br />Yaitu ketika seorang qadhi behukum dengan selain hukum allah dalam kasus-kasus tertentu saja denan tetap meyakini bahwa berhukum kepada hukum allah adalah wajib. Dalam keadaan demikian maka mereka dinilai sebagai pelaku maksiat. Ibnu taymiyah berkata : “adapun bagi mereka yang beriltizam dengan hukum allah secara dzahir dan bathin akan tetapi ia bermaksiat dan mengikuti hawa nafsunya maka ini disamakan dengan orang yang melakukan kemaskiatan. Ibnul qayyim berkata “apabila ia meyakini kewajiban berhukum dengan hukum allah dalam perkata ini namun ia menyeleweng darinya karena kemaksiatan dengan tetap meyakini bahwa dirinya berhak mendapatkan hukuman maka hal ini disebut kufur asghar. <br />- I’radh taam dari agama allah tidak mempelajari dan mengamalkannya.<br />Yang dimaksud disini adalah i’rad tam (berpaling secara sempurna) terhadap jinsul amal. Adapun i’rad terhadap kewajiban secara parsial maka tidak semuanya bikafirkan.<br />- Membantu orang musrik dalam menghancurkan kaum muslimin. <br />Pembahasan ini berkaitan erat dengan al-wala wal bara’. Sebagaimana firma allah swt Qs. Al-maidah 83-84<br />- Amal kekafiran dalam masalah nubuwat. <br />Ini sebagaiman orang yang menghinakan mushaf.<br />Hal yang diperselisihkan dalam qauliyah dan amaliyah tentang kekafirannya.<br />- Mencela sahabat. <br />Ini diperselisihkan kerena mencela sahabat tidaklah dalam satu tingkatan. Namun bertingkat-tingkat. Yang dianggap mengkafirkan adalah:<br />1. Istihlal terhadap pencelaan sahabat. Karena ulama sepakat adalah adalah mereka.<br />2. Mencela seluruh sahabat atau mayoritas mereka. Dalam hal keagamaan dan adalah mereka. Sebagaiman memberikan julukan kafir, fasiq.<br />3. Mencela sahabat yang secara mutawatir diakui keutamaannya. Ini ditinjau dari sisi pengingkaran terhadap riwayat yang mutawatir. Ini sebagaimana orang-orang rafidhah yang mencela syaikhoin. Dalam perkara ini terjadi perselisihan dikalangan para ulama. Nash sebagian para ulama tidak mengkafirkan sebagaiman imam ahmad yang mengatakan bahwa ia dicambuk. Namun yang benar adalah perlu adanya perincian. Yang dimaksud tidak kafir adalah mencela bukan pada diin dan adalahnya namun pada perilakunya. Sebagaiman kasus khalif bin walid dan abdurrahman bina auf yang kemudian rasulullah mengingakan kepada khalid “لا تسبوا أصحابي<br />4. Qadzaf terhadap ummul mukminin aisyah, dan yang lainnya. Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan إن الذين يرمون المحضنات المؤمنات “ulama bersepakat bahwa orang yang mencelanya setelah turun ayat ini maka ia kafir karen menentang al-qur’an.<br />* secara umum mencela sahabat dianggap kafir karena beberapa alasan. 1, mendustakan al-qur’an 2, mencela sahabat sama dengan menganggap Allah Jahil, 3, mencela sahabat sama dengan mencela Rasulullah 4, mencela sahabat adalh mencela agama 5, mencela sahabat sama dengan mencela ummat muhammad padahal mereka adalah orang-orang terbaik dari ummat ini.<br />- Istihza kepada ulama dan orang-orang shaleh.<br />Ini terbagi menjadi 2 mencela karen bentuk tubuh atau akhlaqnya dan mencela karena kapasitas dirinya sebagai ulama. Yang pertama adalah kekafiran sedangkan kedua masuk dalam firma allah swt ( la yashkhar Qs. Al-hujurat: 11)<br />- Meninggalkan shalat.<br />Yang menjadi perselisihan dalam masalah ini adalah meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan. Imam ahmad menganggapnya kafir sedangkana abu hanifah, malik dan syafiie menganggapnya tidak kafir.<br />- Sihir. <br />Terjadi perselisihan di dalam masalah ini. Menurut imam abu hanifah, malik dan ahmad mereka kafir. Keculai sebagian dari pengikut hanafi ada yang membedakan kalau ia belajar untuk menjaga diri darinya bukan untuk meyakininya maka tidak kafir. Adapun menurut imam syafii beliau bependapat bahwa ada yang kafir dan ada yang tidak kafir. Yang kafir adalah apabila yang diucapkan adalah kekafiran yang sharih. Adapun apabila ucapannya tidak diketahui dan tidak berbahaya terhadap orang lain maka ia tidak kafir. Tapi kalau ternyata perbuatannya itu menyebabkan orang lain mati maka ia diqishas. Dari sini nampak kalau sebenarnya tidak ada perselisihan anatara mereka. Karena apa yang dikatakan oleh imama syafi’i sihir yang tidak mengakafirkan pelakunya pada hakikatnya bukan sihir sebagaimana pengertian ulama pada umumnya.<br /><br />Dhawabitut takfir<br /> Takfir terbagi menjadi dua yaitu takfir mutlaq dan takfir muayyan. Takfir mutlaq adalah menghukumi secara umum terhadap perbuatan terntentu yang merupakan kekafiran. Sedangkan takfi muayyan adalah menvonis secara pesonel orang-orang yang melakukan melakukan kakafiran. Dalam memvonis seseorang dengan kakafiran perlu memperhatikan rambu-rambu sebagai berikut:<br />1. Menghukumi sesuatu secara dzahir. <br />Maknanya seeorang tidak boleh menghukumi dengan prasangka sebagai mana yang dilakukan oleh sahabat usamah bin zaid yang membunuh orang mengucapkan syahadat. Dalam perkara ini rasulullah marah dan mengatakan “apakah engkau tidak belah dadanya sampai engkau ketahui ia benar-benar tulus mengucapkanny atau tidak”.<br />2. Berhati-hati dalam menta’yin kafir atas seseorang<br />Maknanya manhaj ahlus sunnah dalam takfir berada dalam posisi tengah-tengah dan adil antara belebih-lebihan yang dimotori oleh khawarij atau terlalu meremehkan sebagaimana murjiah.<br />3. iqamatul hujjah. <br />Maknanya bahwa tidak diperkenankan untuk mengkafirkan seseorang keculai hujjah telah ditegakkan atasnya. Qiyamul hujjah bagi orang kafir adalah kehadiran seorang rasul dan memungkinkan bagi mereka untuk mendengarkan seruannya. Sedangkan qiyamul hujjah bagi kaum muslimin adalah sampainya khabar tentang syariat yang dibawa oleh Rasul saw. Dan disyaratkan dalam qiyamul hujjah penjelasan yang sejelas-jelasnya. Namun ini bukan pada setiap perkara disyaratkan adanya qiyamul hujjah. Ia hanya disyaratkan pada persoalan yang bersifat khafiy (tersembunyi). Namun pada persoalan yang dzahir umum diketahui oleh kaum muslimin maka tidak disyaratkan qiyamul hujjah atasnya. Syaikh muhammad bin abdil wahhab berkata “adapaun persoalan takfir muayyan maka ia merupakan persoalan yang ma’lum diketahui. Ada perkataan-perkataan yang apabila diucapkan akan meyebabkan kafir. Maka bagi yang mengatakannya dihukumi kafir. Namun ada orang-orang tertentu yang apabila melakukan hal tersebut maka tidak bisa langsung divonis kafir hingga hujjah ditegakkan diatas mereka. Dan ini harus dilakukan pada perkara-perkara khafiyah yang dalilanya tidak diketahui oleh sebagian manusia... adapun kalau itu terjadi pada persoalan yang dhahir dan nampak atau sesuatu yang sudah umum diketahui oleh manusia maka kita tidak boleh tawaqquf dalam mengkafikannya. <br />Dan qiyamul hujjah mempunyai dua pengertian. Pertama, Sampainya hujjah secara umum tentang pokok-pokok ajaran islam. Kedua, sampainya hujjah secara tafshil terperinci. Maka seseorang tidak dapat dikafirkan sampai hujjah dalam perrsoalan yang terperinci itu sampai kepada dia.<br />Kamudian juga qiyamul hujjah berbeda-beda sesuai dengan tempat dan kondisi karena bisa jadi suatu masyakat belum tahu terhadap suatu perkara-perkara tertentu.<br />Diantara para ulama ada yan membedakan antara qiyamul hujjah dan fahmul hujjah. Yang menjadi syarat adalah qiyamul hujjah bukan fahmul hujjah. Orang-orang kafir tidak akan faham terhadap hujjah karen merka disifati (tuli bisu buta dan mereka tidak dan tidak berakal) namun demikian meski merek tidak bisa memahami kebenaran mereka tetap dikafirkan. Ini sebagaimana pendapat kebanyakan para ulama termasuk syaikh utsaimin dalam syarh kasyfus syubhat. <br />Syaikh muhammad bin abdil wahhab berkata “dan pokok peremasalahan adalah kalian tidak bisa membedakan antara qiyamul hujjah dan fahmul hujjah. Karena kebanyakan orang-orang kafir dan munafiq tidak memahami hujjah allah swt meskipun hujjah tersebut sudah tegak diatas mereka. <br />Namun perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan fahmul hujjah disini adalah timbulkan keyakinan akan benarnya syariat allah dan salahnya hujjah mereka. Sebagaiman pemahaman abu bakar dan umar ketika mendapatkan ayat-ayat allah. Karena pada hakikatnya orang-orang kafir dan munafiq ada yang tidak mungkin memahamai karena hatinya telah tertutup. <br />4. Hilangnya mawani’ takfir.<br />Apabila terdapat mawani takfir pada diri seseorang maka ia tidak bisa dikafirkan.<br />Mawaniut-takfir adalah sebagai berikut:<br />1. Al-jahlu.<br />Yang dimaksud dengan jahlu adalah kosongnya diri seseorang dari ilmu. Dan yang dimasud dengan udzur bil jahli dalam takfir adalah ketidak tahuan seseorang terhadap perkara yang ia lakukan. Pijakan dari udzur jahl ini adalah firman Allah swt Qs. Al-isra’ ayat ke 15 dan beberapa hadits Rasulullah saw diantarnya tentang seseorang yang berpesan kepada keluarganya agar mereka membakar jazahnya. Dengan harapan kelak Allah tidak akan mampu mengumpulkan jasadnya yang tercecer. Sebagian para sahabat juga ada yang jahil terhadap hukum tertentu sebagaiman mereka yang meminta untuk dibuatkan dzatu anwath namun demikian mereka tidak dikafirkan karena mereka belum mengetahui kalau hal tersebut adalah perbuatan kafir.<br />Ada sebagian ulama yang tidak menerima udzur bil jahli dalam perkara ushuluddin terutama kesyirikan. Diantara dalil yang mereka jadikan hujjah adalah firman Allah swt tentnag mitsaq Qs. Al-a’raf 172-173. Mereka juga berhujjah dengan hadits Rasulullah saw:<br />يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ فَيَقُولُ نَعَمْ فَيَقُولُ أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ أَنْ لَا تُشْرِكَ بِي شَيْئًا فَأَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي (رواه البخاري)<br />Mererka juga berhujjah dengan perkataan yang mereka anggap sebagai pernyataan tidak diterimanya udzur jahl dalam masalah takfir.<br /> Jawaban bagi mereka yang menolak udzur bil jahli bahwa hujjah dalam ayat tersebut bukanlah hujjah mustaqillah, namun ia bersifat naqishah. Karena fungsi dari Rasul adal penyempurna dalam menegakkan hujjah yang bersifat naqishah tersebut. Dan di ayat lain Allah menjelaskan bahwa seorang tidak akan dihukum sampai tegak hujjah atasnya. Kalau tidak demikian apalah fungsinya rasul diutus? <br /> Adapun mereka menukil pendapat para ulama kebanyak sesuatu yang bersifat (muhtamal) multi tafsir. Karena kalau kita mencermati pendapat ulama yang mengatakan tidak ada uzur jahl tenyata dipembahasan lain ulama tersebut justru menganggap udzur bil jahli sebagai mawani takfir. Ini sebagaiman syaikh muhmmad bin abdil wahab yang dianggap menolak udzur jahil. Padahal di dalam ad-dhurar as-tsunniyah beliau tidak mengakafirkan sebagian oran yang menyembah kuburan karena kejahilan mereka.<br />Dan udzul bil jahl ini bersifat relativ sesuai dengang keadaan orang yang ia berada di dalamnya. <br />2. Al- kahta’<br />Yang dimaksud dengan khata’ disini adalah kesalahan seseorang dalam malakukan suatu kekafiran tanpa disengaja. Ini sebagaiman kisah seoran musafir yang kehilangan onta. Saat ia telah putus asa onta itu kembali dengan seperti sedia kala. Karena begit gembiranya ia maka ia berkata “allahumma anta abdiy wa ana rabbuka”. Dalam keadaan demikian maka tidak boleh seseorang divonis kafir.<br />Allah swt berfirman:<br />رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا (البقرة 286)<br />Rasulullah saw bersabda: <br />إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجة)<br />3. At-takwil<br />Takwil adalah memalingkan makna dari yang dzahir kepada makna lain yang tekandung dalam lafadz tersebut karena adanya dalil yang menunjukkan akan hal itu dan adanya qarinah yang kurang memungkinkan untuk dibawa kepada makna yang sebenarnya.<br />Yang dimaksud dengan takwil dalam mawani takfir ini adalah terceburnya diri seseorang kepada kekufuran dikarena kerancuan dalam memahami hal tersebut dan tidak ada niatan dalam hatinya untuk menceburkan diri kepada kakafiran. Ini dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap nash-nash syar’i dengan tidak ada maksud untuk menyelisihi akan tetapi ia benar-benar yakin kalau sikapnya tersebut adalah suatu kebenaran. <br /> Syaikhul islam ibnu taymiyah berkata “akan tetapi tidak setipa orang yang mukhti’ dikafirkan. Diantaranya apabila ia salah dalam takwil atau taqlid”. <br />Namun tidak semua takwil dapat dikategorikan sebagai mawani’ dalam takfir. Apabila kesalahan dalam takwil tersebut adalah persoalan yang ashluddin yaitu beribadah kepada allah swt dan menerima syariatnya karena hal ini merupakan inti dari syahadatain. Dan tidak akan diterima syahadat seseorang apabila ia terjerumus dalam kerancuan dalam masalah ini. Inilah sebabnya mengapa para ulama sepakat atas kafirnya orang-orang bathiniyah dan takwilnya tidak dianggap. Karena ushul madzhab mereka adalah kafir terhadap allah swt dan tidak beribadah kepada allah dan mencampakkan syariat islam.<br />4. Al-ikrah<br />Ikrah terbagi menjadi dua:<br />a. Ikrah mulji’ <br />Ikrah mulji adalah ancaman berupa pembunuhan atau menciderai anggota tubuhnya atau dipukul yang akan membinasakannya atau menghancurkan semua hartanya yang mana ia tidak mempunyai pilihan lain untuk menyeamatkan dirinya. <br />b. Ikrah ghairu mulji’<br />Ikrah ghairu mulji’ adalah ancaman selain pada diri atau anggota badan sebagaiman seseorang diancam akan diikat, atau sebagian hartanya akan diambil. Ini hanya mengorbankan keridhaan akan tetapi ia masih ada pilihan untuk memilih sabar.<br />Syarat-syarat ikrah adalah sebagai berikut:<br />- Pengancam mempunyai kemampuan untuk melakukan ancamannya dan yang diancam tidak mampu untuk membela diri meski melarikan diri.<br />- MENURUT persangkaan kuat yang dipaksa apabila ia menolak ia benar-banar akan mendapatkan ancaman tersebut.<br />- Susutu yang diancam tersebut akan delakukan dengan segera atau waktu yang sangat dekat sekali. Atau sang pengancam sebagaimana kebiasaan dia pasti akan akan melakukan ancaman teerebut.<br />- Tidak ada kemungkinan bagi ornag yang diancam untuk menghindari dari hal tersebut.<br />Dalil ikarah adalah firman Allah swt dalam Qs. An-nahl: 106<br />Dalam ayat tersebut menjelaskan kasus seorang yang dipaksa untuk melakukan kekafiran dengan ucapan. Lantas apakan perbuatan juga mendapatkan udzur dalam ikrah? <br />Perbuatan jawarih sama halnya dengan ucapan atas keumaman ayat tentang ikarah. Adapun amalan hati maka tidak ada yang bisa memaksa hati untuk melakukan sesuatu, sehingga tidak ada udzur ikarah pada amalan hati.<br />5. Taqlid<br />Dalam hal ini ibnul qayyim berkata “adapun ahli bid’ah dari kalangan ummat islam namun mereka menyelisihi dalam sebagian perkara ushul maka mereka bermacam-macam. Pertama, jahil yang muqallid yang tidak memiliki bashirah maka mereka ini tidak bis dikafirkan tidak difasiqqan tidak ditolak persaksiannya apabial tidak memungkinkan bagi dirinya untuk mempelajari petunjuk. Mereka dihukumi sama denga firman allah: <br />المستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلاً فأولئك عسى الله أن يعفو عنهم وكان الله عفوّاً غفوراً“ <br />Referensi:<br />Nawaqidul iman al-qauliyah wal-amaliyah, abdul aziz bin Muhammad bin aliy alu abdul lathif. <br />Kitabut tauhid, syaikh shaleh fauzan<br />Majmu’ fatawa ibnu taymiyah, Abdurrahman bin qasin al-ashimiy<br />Al-minhah al-ilahiah, abdul akhir ahmad al-ghunaimiy<br />Dzahiratul irja. DR. Safar bin abdirrahman al hawaliy<br />Nawaqidul iman al-I’tiqadiyah wa dhawabitu takfir inda ahlis sunnah <br />Turuqul hakimiyah karya ibnu qayyim<br />manhaj ibnu taymiyah fi mas’alati takfir, DR abdul majid bin salim bin abdullah al-masy abiy.<br />Dhawabitu takfir inda ahlis sunnah wal jama’ah, abdullah bin muhammad al-qarniy<br />Syarh kasyfus syubhat, syaikh shalih al-utsaimin<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-1134898733239547872010-05-02T20:29:00.000-07:002010-05-02T20:31:15.323-07:00Asal Muasal Bangsa YahudiKalau kita menilik sejarah, yahudi adalah anak keturunan dari nabi ibrahim. Pada saat di Mesir, Ibrahim mendapatkan hadiah dari Fir’aun seorang budak wanita yang bernama Hajar. Dan dari Hajar beliau mendapatkan Ismail yang kemudian dibawa oleh Ibrahim ke Mekah.<br />Sementara dari Sarah, Ibrahim mendapatkan Ishaq pada usianya yang menginjak 100 tahun setelah 14 tahun kelahiran Ismail. Kemudian Ishaq menikah dengan Rifqo binti Batwail di usia 40 tahun dan Ibrahim pada saat itu masih hidup. Dari Batwail ini, beliau mendapatkan anak kembar yang bernama ‘Aishu dan Ya’qub. <br />Allah memberikan kepada Ya’qub 12 orang anak, yaitu : Ru'aubin, Syam’un, Luwa, Yahudza, Yusakhir, Zabulun, Yusuf, Benyamin, Dan, Naftali, Jad dan Asyir. Mereka semua bertempat tinggal di palesitna daerah fadan aram menggembala domba. Ketika yusuf dibuang ke dalam sumur dan dipungut oleh kafilah dagang sehingga ia menjadi bendaharawan di kerajaan mesir maka yusufpun mengajak ayah dan seluruh saudaranya untuk bertempat tinggal di mesir. Dengan demikian maka bani israil pada saat itu berpindah tempat tinggal di mesir .<br /><span class="fullpost">Pada masa nabi musa, fir'aun banyak melakukan kedzaliman terhadap manusia. Ia memerintahkan untuk menyembelih seluruh anak laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan. Pada saat inilah allah mengutus nabi musa dan harun untuk berdakwah kepadanya. Namun beliau berdua mendapat perlawanan dan akhirnya melarikan diri bersama pengikutnya dari kalangan bani israil kedaerah palestina setelah melewati lautan yang terbelah.<br />Namun sebelum memasuki palestina, nabi musa mendapati kaum yang sangat kuat dari keturunan al Haitsaniyin, al Fazariyin dan al Kan’aniyin dan yang lainnya. Musa pun memerintahkan para pengikutnya untuk memasukinya serta memerangi mereka namun mereka semua enggan dan tidak mau menuruti perintah nabinya sehingga Allah menyesatkan mereka semua selama 40 tahun.<br />Pada masa 40 tahu didalam kesesatan ini Musa dan Harun meninggal dunia sehingga kepeminpinan Bani Israil dipegang oleh Yusa’ bin Nuun yang kemudian berhasil menundukkan Baitul Maqdis. <br />Setelah orang-orang Bani Israil menetap di Palestina, mereka mengalami tiga masa secara berturut-turut :<br />1. Masa Kehakiman; dimana kebanyakan keturunan mereka mengembalikan segala putusan dari perkara yang diperselisihkan diantara mereka kepada satu orang hakim. Masa ini berlangsung hingga sekitar 400 tahun.<br />2. Masa Menjadi Raja; sebagaimana firman Allah swt didalam surat al Baqoroh ayat 246 – 252. Allah menjadikan Thalut sebagai raja, kemudian Daud dan Sulaiman as.<br />3. Masa Perpecahan; yaitu pada masa setelah Sulaiman as terjadi perselisihan antara Rahbi’an bin Sulaiman dengan Yarbi’an bin Nabat. Kemudian Rahbi’an dan keturunan Yahudza serta Benyamin mendirikan negara yang bernama Negara Yahudza yang dinisbahkan kepada Yahudza dari keturunan Daud dan Sulaiman. Ibu kota negara ini di Baitul Maqdis.<br />Sedangkan Yarbi’an bin Nabath dengan 10 keturunan yang tersisa mendirikan negara Israil di sebelah Palestina bagian utara dengan ibu kotanya adalah Nablus. Merekalah orang-orang yang kemudian dinamakan dengan Syamir yang dinisbahkan kepada gunug di sana yang bernama Syamir.<br />Pada tahun 722 SM, negara Israil jatuh ke tangan orang-orang Asyuri dibawah pimpinan raja mereka yang bernama Sarjun sedangkan negara Yahuza jatuh ke tangan orang-oang Fira’unah pada tahun 603 SM.<br />Pada kira-kira tahun 586 SM Bukhtanshar (Nebukat Nashar), raja Babilonia berhasil menduduki Palestina dan mengusir orang-orang Fira’unah serta menghancurkan negara Yahudza dan memenjarakan orang-orang Yahudi serta membawanya ke Babilonia, yang kemudian dikenal dengan ‘Tawanan Bailonia’<br />Pada tahun 538 SM, raja Parsia yang bernama Kursy berhasil menaklukan Babilonia sehingga melepaskan para tawanan Yahudi dan sebagian dari mereka kembali lagi ke Palestina.<br />Pada tahun 135 SM, orang-orang Romawi pada masa kepemimpinan Adryan berhasil memadamkan revolusi yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga menghancurkan negeri. Orang-orang Romawi berhasil mengusir mereka (Yahudi) dari sana dan menjadikan mereka terpecah-pecah di berbagai tempat di bumi.<br />Ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt:<br />وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَن يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ()وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الأَرْضِ أُمَماً مِّنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ () <br />Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa Sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksa-Nya, dan Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al A’raf : 167 – 168)<br />Pada saat Palestina dibawah kekuasan Romawi ini, Allah swt mengutus Isa as sebagai Rasul kepada Bani Israil, sebagaimana firman Allah swt “Seorang rasul kepada Bani Israil” yang mengajak mereka untuk memperbaiki berbagai kerusakan. Seruan ini disambut oleh sebagian orang-orang Yahudi. Dan orang-orang Yahudi terpecah menjadi dua, sebagaimana diberitakan Allah swt:<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونوا أَنصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ فَآَمَنَت طَّائِفَةٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَت طَّائِفَةٌ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ<br />'Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana 'Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir. maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang." (Qs. As-Shaf : 14)<br /> Golongan yang pertama adalah orang-orang Nasrani sedangkan yang kedua adalah Yahudi.<br />Para tukang tenung dan ulama Yahudi mendatangi Raja Romawi agar menangkap dan membunuh Isa as yang kemudian permintaan ini disambut oleh raja, namun Allah swt mengangkat Isa dan menggantikannya dengan orang yang mirip dengannya yang kemudian disalib, firman Allah swt :<br />وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِيناً<br />dan karena ucapan mereka : "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah ", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa. ( Qs. An-Nisa: 157)<br /> Sekitar tahun 620 M, masa ketika Rasulullah Muhammad saw melaksanakan Isra’ Mi’raj ke Sidratul Muntaha, para sahabat menceritakan bahwa Rasulullah sempat melaksanakan shalat di masjid Al’Aqsha. Namun18 tahun kemudian ketika akhirnya pasukan Muslim berhasil menaklukan Syam termasuk Yerusalem, keadaan masjid ini sama sekali tidak terawat. Penguasa Romawi sebagai penguasa terakhir daerah tersebut menjadikan reruntuhan masjid / kuil sebagai tempat pembuangan sampah. Sampai-sampai ketika Sang Khulafaul Rashidin, Umar bin Khatab datang mengunjungi lokasi tersebut, diceritakan bahwa ia tidak dapat melewati lokasi masjid disebabkan begitu tingginya tumpukan sampah yang mengitarinya. Tidak diketahui sejak kapan persisnya rumah ibadah tersebut runtuh dan tidak lagi dipergunakan sebagai tempat peribadatan. <br />Kemudian pada awal abad ke10 M, terjadi perselisihan antar penduduk Yerusalem. Padahal selama hampir4 abad dibawah kekuasaan kekhafilahan kota tersebut aman bagi seluruh pemeluk agama, baik Islam, Nasrani maupun Yahudi. Hal ini memicu ketegangan hingga akhirnya meletuslah Perang Salib ( The Crusaders ) yang diprovokasi oleh Paus Urban yang ketika itu berkedudukan di Perancis Selatan. Menempuh perjalanan yang sangat jauh pasukan ini secara sadis dan membabi buta menyerang Yerusalem dan sekitarnya. Namun tampaknya pihak Salib tidak menyadari bahwa sesungguhnya ada yang memanfaatkan situasi tersebut, yaitu orang-orang Yahudi. Mereka diam-diam menyusup kedalam pasukan Salib. Tujuan mereka bulat, yaitu disamping mencari Tabut yang telah lama hilang juga merebut Yerusalem untuk kemudian mendirikan kembali kuil atau Haekel Solomon. Pasukan Yahudi ini dikenal dengan nama Knight Templar. <br />Dalam Perang yang berlangsung berkali-kali selama hampir200 tahun, Pasukan Salib nyaris tidak pernah menang. Pada akhirmya pihak Salibpun menyerah dan kembali ke negaranya, sebagian besar ke Perancis selatan. Namun di tempat tersebut, para Knight Templar berprilaku buruk, rasis dan sering melanggar janji. (Ini pula salah satu penyebab, mengapa pada masa Rasulullah orang-orang Yahudi diusir dari Madinah.). Lebih dari itu, pihak gereja melihat bahwa mereka telah melakukan penyimpangan ajaran Kristen. Akhirnya merekapun diusir bahkan sebagian harus menerima hukuman bakar sebagai hukum yang umum berlaku ketika itu. Namun mereka tidak putus asa. Mereka segera membentuk kelompok rahasia yang merupakan cikal bakal organisasi berpengaruh di dunia, yaitu Freemason. Tujuan mendesak mereka adalah mencari tanah kosong, tempat yang aman agar mereka bebas bertindak dan berprilaku. Dan tanah itu adalah tanah suku Indian, yaitu benua Amerika sekarang ini. Di kota New York inilah kaum Yahudi menancapkan kuku-kukunya dengan kuat. Untuk mencari dukungan, baik materi maupun spirit, juga sekaligus mengaburkan niat sejati mereka, mereka kemudian mencampur-adukkan ajaran Yahudi dan Kristen. Perjanjian baru dan perjanjian lama digabung menjadi satu. Mereka menyebut diri sebagai Yahudi Kristen (Kristen Zionis). Dalam perjalanannya kelompok ini terus berkembang membentuk organisasi-organisasi elite. Tujuan utama mereka satu, yaitu kembali ke tanah yang ’dijanjikan’, tanah rakyat Palestina, demi mendirikan kembali negara Israel Raya plus Haekelnya, dengan ibu kota, Yerusalem! <br />Rencana panjang yang disusun secara amat matang ini mulai membuahkan hasilnya pada tahun 1917, yaitu pada era pasca Perang Dunia I dengan adanya Perjanjian Balfour. Dengan dikalahkannya kerajaan Islam – Ottoman oleh pihak sekutu, maka Inggris memberikan dukungan bagi berdirinya negara Zionis di tanah Palestina yang sebelumnya termasuk wilayah kekuasaan Ottoman. Dukungan ini baru terealisasi pada tahun 1948. <br />Tahapan yahudi masuk ke palestina<br />Kedatangan rombongan-rombongan yahudi ke palestina dibagi sama zionis dalam tahap-tahap:<br />1. Tahun 1882-1903 sekitar 25.000 Yahudi.<br />2. Tahun 1905-1914 sekitar 40.000. di sini mereka mulai membentuk pola interaksi komunitas, institusi manyarakat, dan basis ideologis bagi negara Yahudi. Mereka juga mendirikan Kibbutz (pemukiman batas kaum yahudi). Sementara itu zionis menawarkan sultan Abdul Hamid II untuk menjual Palestina kepada mereka dengan imbalan penghapusan hutang khalifah dan uang dalam jumlah besar. Tapi sungguh indah jawaban yang di ucapkan oleh khalifah “aku lebih memilih memisahkan dagingku dari tubuhku sendiri daripada memisahkan palestina dari tubuh kaum muslimin…”.<br />3. Ketika Inggris berhasil menguasai Palestina. Deklarasi Belfour (2 November 1917) mengundang lebih banyak Yahudi ke Palestina, yakni tahun 1919-1923 berjumlah 35.000 orang.<br />4. Aliyah keempat tahun 1924-1931 sekitar 82.000.<br />5. Aliyah kelima tahun 1932-1938, diprovokasi Holocaustnya Hitler, datang sekitar 217.000 Yahudi ke Palestina. Israel kemudian berpaling ke Amerika mencari dukungan untuk mendirikan negara israel. Israel diproklamirkan oleh Theodore Hertzl tanggal 14 mei 1948. <br />Mengapa mereka memilih palestina?<br />Beberapa klaim Yahudi atas palestina sehingga mereka menjatuhkan pilihan untuk menetap di Palestina :<br />1. Klaim religius : mereka mengatakan bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan buat mereka (the blessed land) setelah sekian lama berdiaspora ke seluruh penjuru dunia.<br />2. Klaim bahwa secara historis mereka adalah pemilik sah dari Palestina.<br />3. Palestina mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya adalah :<br /> Tempat tinggalnya manusia pertama<br /> Tempat di turunkannya semua agama samawi<br /> Tempat dimana peradaban-peradaban kuno muncul<br /> Jembatan aktifitas komersial<br /> Tempat penyusupan ekspedisi militer di sepanjang era sejarah yang berbeda, di antaranya peradaban Babilonia, Asyiria, Al Hethyaan, Persia, Yunani, dan Romawi. Masing-masing pernah menduduki tanah Palestina.<br /> Palestina jantung dunia Arab dan Islam<br /><br />Referensi:<br />Al-bidayah wan-nihayah, karya Ibnu katsir<br />Qasashul anbiya, karya Abdul Wahhab An-najjar <br />Al-Yahud tarikhun wa aqidatun, karya DR. Kamal sa'fan<br />Mujazu tarikhil yahud, karya DR, Mahmud Abdurrahman qaddah<br />www.eramuslim.com<br />www.cahayasiroh.com<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-15363242012731917982010-04-06T09:21:00.000-07:002010-05-02T20:28:37.663-07:00Cerdas Berdiskusi“Tidaklah aku berdiskusi dengan orang lain<br />kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lesannya.” <br />(Imam Syafi’i)<br />Berbicara tentang perbedaan, tentu tidak ada di antara kita yang dapat lepas darinya. Sebab, perbedaan merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindarkan. Oleh karenanya, perbedaan perlu disikapi secara bijak. Acapkali salah dalam menyikapi perbedaan hanya menghasilkan perselisihan dan permusuhan. Perbedaan tidak lagi mendatangkan rahmat, namun berubah menjadi laknat. Lantas bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada?<br />Dalam menyikapi hal ini, kita dapat mencoba untuk mempertemukan dua belah pihak dalam rangka melakukan tabayyun (klarifikasi), saling menasehati, atau diskusi. Usaha tersebut dapat berupa pertemuan intens antara kedua belah pihak atau diskusi terbuka yang dihadiri oleh semua orang. Tujuannya adalah untuk mencari titik temu.<br /><span class="fullpost">Forum ini kirannya akan banyak mendatangkan manfaat sebagaimana yang dikatakan oleh Al Barbahari: “Mengadakan majelis untuk saling menasehati akan membuka pintu kebaikan. Adapun bermajelis untuk berdebat hanya akan menutup pintu kebaikan.”<br />Tentunya dalam pertemuan ini ada beberapa adab yang perlu dijaga oleh kedua belah pihak. Agar nantinya tujuan awal untuk mendapatkan titik temu dapat dicapai. Kalaupun tidak tercapai, pertemuan tersebut tidak meninggalkan bekas luka akibat perbedaan. Di antara adab tersebut adalah:<br />1. Ikhlas<br />Dalam semua perkara yang dilakukan seorang muslim, niatan ikhlas haruslah terwujud. Tak terkecuali ketika berdiskusi. Karenanya, sedari awal tujuan diskusi terbuka ditujukan ikhlas karena Allah dan menemukan jalan yang paling benar. Bukan untuk menunjukkan yang kalah ataupun yang menang. Atau untuk unjuk kecerdasan dan wawasan yang dimiliki. Terlebih, hanya ingin mengundang decak kagum serta pujian para pendengar. Na’udzubillah min dzalik.<br />Pun, ketika diskusi berlangsung jangan sampai keikhlasan ternodai karena enggan untuk mengakui kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Tak jarang hal ini terjadi disebabkan rasa malu karena tengah berada di hadapan publik. Di sinilah keikhlasan akan diuji.<br />Alangkah indah perkataan Imam Syafi’i: “Aku tidak pernah khawatir dari manakah kebenaran tersebut ada. Apakah dari diriku ataukah dari lawan bicaraku.” Ucapan tersebut bukan saja sebagai pemanis bibir. Tetapi betul-betul berasal dari kesucian hati yang menjadi identitas diri.<br />2. Adil dan Obyektif<br />Selanjutnya, diskusi haruslah disandarkan pada ilmu. Tentunya sebelum diskusi berlangsung, masing-masing pihak mempersiapkan materi yang akan didiskusikan. Jangan berdiskusi dalam perkara yang tidak dikuasai dengan baik. Jangan pula hanya berdasar pada akal belaka. Sehingga diskusi yang berlangsung hanya sekadar debat kusir yang tak ada kunjung akhirnya.<br />Obyektif juga berarti tidak ta’assub (fanatik) terhadap pendapat tertentu yang jelas-jelas salah. Kadang fanatik dapat membutakan mata hati seseorang yang menyebabkan dirinya kehilangan obyektifitas dalam menilai sesuatu. Oleh sebab itu Ibnu taimiyah mengingatkan: “Diskusi tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai dengan sikap adil.” <br />Pada prinsipnya, kebenaran tidaklah terpatok kepada seseorang. Tetapi yang menjadi tolok ukur adalah kebenaran itu sendiri. Sehingga kita dapat menilai dengan obyektif siapa yang berada di atas kebenaran dan siapa yang berada di atas kebatilan. Ali bin Abi Thalib pernah bertutur:<br />اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ , وَ لاَ تَعْرِفِ اْلحَقَّ بِالرِّجَالِ<br />“Ketahuilah kebenaran, niscaya kamu akan mengetahui siapa yang berada di atasnya. Karena kamu tidak akan mengetahui kebenaran dengan menjadikan seseorang sebagai patokan!”<br />3. Santun Bertutur kata<br />Bagaimanapun juga, mereka yang berbeda pendapat dengan kita adalah seorang muslim. Sudah barang tentu hak-hak dia sebagai seorang muslim harus tetap dipenuhi. Walaupun di sisi lain mereka berbeda pendapat dengan kita. Salah satunya adalah dengan santun dalam bertutur kata dan menjaga suara ketika berbicara. Jangan sampai meninggikan suara.<br />Apabila berada di atas kebenaran mengapa harus meninggikan suara? Sedangkan apabila berada di atas kebatilan, masih pantaskah meninggikan suara? Kadang, seseorang yang meninggikan suara berada di pihak yang salah. Dengan begitu, dia ingin menunjukkan dirinyalah yang benar. Sedangkan yang berada di atas kebenaran akan memiliki pembawaan tenang ketika menyampaikan argumennya. Sebab dia yakin dirinyalah yang benar. Walaupun tak selamanya keadaan ini berlaku.<br />Hal inilah yang kadang terlupakan. Akibatnya, pendengar lebih terkesima dengan mereka kepada yang memiliki pembawaan tenang walaupun pendapat tersebut salah. Padahal, dengan menjaga suara seseorang lebih mampu menguasai suasana diskusi dan emosi. Apa yang disampaikan pun lebih mengena di hati pendengarnya.<br />4. Tidak Terbawa Emosi<br />Pada awal diskusi mungkin setiap pihak mampu menjaga emosi. Namun seiring dengan perbedaan yang tak kunjung mencapai titik temu kadang emosi mulai menghampiri. Maka ketika marah diperturutkan hanya akan membawa kepada keburukan. Oleh karenanya para salaf mewanti-wanti setiap diskusi dari sifat ini. Ibnu Abbas bertutur: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa. Sesungguhnya bermajelis dengan mereka hanya akan menyakitkan hati.”<br />Lagipula diskusi yang dicampuri dengan emosi tidak akan mendatangkan manfaat. Malah yang ada hanyalah permusuhan dan perpecahan antara kedua belah pihak. Inilah yang diperingatkan oleh Ibrohim An Nakho’i: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa, sesungguhnya bermajelis dengan mereka menghilangkan cahaya keimanan, menghilangkan wajah kebaikan, dan mewariskan permusuhan di hati orang-orang mukmin.”<br />Apabila orang lain tidak sependapat denganmu, maka janganlah marah. Jangan pula kamu paksakan pendapatmu kepada dirinya. Walaupun pendapat itulah yang benar. Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Umar sekitar seratus permasalahan. Namun tidak ada di antara mereka yang memaksakan pendapat antara satu dan yang lainnya. Tidak pula mereka marah.<br />5. Menjadi pendengar yang baik<br />Diskusi bukanlah pembicaraan satu pihak layaknya ceramah. Tetapi, diskusi merupakan pembicaraan dua pihak. Untuk itu setiap pihak haruslah mendengarkan lawan bicaranya. Sebab, pembicara cerdas adalah yang mempu menjadi pendengar yang baik.<br />Jangan sampai memotong pembicaraan meskipun membuat kurang nyaman telinga pendengar. Baik karena ingin mengintrupsi, membantah, atau karena sebab lainnya. Hal ini dapat membuat pembicara bimbang dan lupa apa yang akan disampaikan. Sebaiknya ia harus memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan.<br />Dengan begitu, mereka juga akan mendengarkan dengan seksama apabila kita berbicara. Sebab, menjadi tabiat manusia akan mereka menaruh hormat kepada yang memperhatikan omongannya.<br />Para ulama banyak menyebutkan adab berdiskusi di antaranya mempersilahkan pihak lain untuk menyampaikan argumennya. Jangan memotong perkataan pihak lain hingga paham maksud perkataan tersebut. Hendaknya dia menunggu pihak yang sedang berbicara hingga menyelesaikan perkataannya. Yang seperti ini lebih mempermudah untuk menerima kebenaran dan kembali dari kesalahan.<br />Cukup di forum<br />Adakalanya perbedaan tak dapat disatukan. Masing-masing pihak masih sama seperti sedia kala. Maka apabila hal ini terjadi tidaklah mengapa. Namun yang harus dijaga adalah persatuan. Jangan sampai perbedaan tersebut terbawa hingga ke luar forum yang mengakibatkan permusuhan.<br />Mungkin perkara ini sering diremehkan. Akibatnya banyak yang salah dalam menyikapinya. Bukan saja oleh orang awam. Mereka yang telah bergumul dengan dunia ilmu juga tidak lepas dari “fitnahnya”. Tak pelak, ada di antara mereka yang tidak mau lagi bersilaturahmi. Semua berawal dari tidak adanya titik temu di forum diskusi. Karenanya, cukuplah perseteruan yang terjadi hanya di forum diskusi.<br />Mengapa kita tidak mencoba untuk memahami alasan saudara muslim lainnya. Tidak dengan turut menyalahkan mereka karena berbeda pendapat dengan kita. Toh, hal yang diperselisihkan hanyalah permasalahan ijtihadiyah yang para ulama masih berselisih tentangnya.<br />Setiap orang mempunyai seribu alasan untuk berbeda pendapat. Tapi setiap orang sebenarnya juga memiliki sejuta alasan untuk bisa saling mengerti akan perbedaan tersebut. Kita boleh saja tetap berpegang teguh dengan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Namun, tidak kemudian menyalahkan orang lain yang berselisih pendapat dengan kita. Lebih-lebih memaksakan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Boleh jadi pendapat tersebut cocok untuk kita dan tidak tepat bagi orang lain. Wallahu muwaffiq ila aqwamis sabiil.<br /><br />Bahan bacaan:<br />- Fie Ushulil Hiwar, An Nadwah al Alamiah Li Syabab al Islami (WAMI), Cetakan keempat, 1415 H/ 1994 M.<br />- Fiqhul Ikhtilaf Qodhiyatul Khilaf al Waqi’ baina hamlatisy Syariah, Abu Amru/ Majdi Qosim, Darul Iman, Cetakan pertama 1421 H/ 2000 M.<br />- Al Khilaf baina al ulama, Muhammad bin Sholih bin Muhammad al Utsaimin, Maktabah syamilah.<br />- Al khilaf asbabuhu wa adabuhu, Aidh Al Qorni, Maktabah syamilah<br />- Al Hawa wa Atsaruha fil khilaf, Abdullah Al Ghunaiman, maktabah syamilah<br />- Adabul hiwar wa qowaidul ikhtilaf, Amru bin Abdullah Kamil, maktabah syamilah<br />- Adabul Hiwar wa Afaquha fi As Sunnah al Muthohharoh, Dr. Abdus Salam Hamdan Al Lauh, Maktabah Syamilah.<br /><br /><br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-37748242237898141372010-02-18T02:48:00.000-08:002010-02-18T02:50:29.737-08:00Mengharap Berkah Menuai DosaFenomena tabarruk bukanlah suatu hal yang tabu lagi di lingkungan kita. Mulai dari mencari berkah terhadap orang-orang yang dianggap shaleh, sampai pada segundukan tanah yang tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, ada diantara mereka yang mencari berkah kepada binatang dengan memperebutkan kotorannya. Meski perbuatan ini tidak bisa diterima secara akal sehat, namun begitulah kenyataan yang merebak lingkungan kita. Bahkan perbuatan ini telah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang mereka.<span class="fullpost">Pada dasarnya tujuan mereka baik yaitu mencari keberkahan. Namun dikarenakan kejahilan mereka hingga bukannya berkah yang didapat tapi justru dosa dan kemurkaan dari Allah. Mereka mengaharapkan sesuatu namun tidak menapaki jalan yang menuju kepadanya. Pepatah arab mengatakan:<br />تَرْجُوا النِّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا... إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ<br />"engakau merharapkan keberhasihlan namun tidak menuju jalan kepadanya.. sesungguhnya bahtera itu tidak akan berlayar diatas daratan". <br /> Tidak selamanya keinginan akan terwujud, terlebih ketika seseorang salah dalam meniti jalan yang seharusnya ia tempuh. Demikian juga halnya mereka yang ingin mendapatkan keberkahan namun tidak meniti jalan yang diajarkan oleh syar'i. kerena pada hakikatnya tabaruk itu terbagi menjadi dua, yaitu tabarruk yang diperbolehkan dan tabarruk yang dilarang. Sudah barang tentu bahwa perbuatan yang dilarang tidak akan menghantarkan seseorang pada keberhasilan namun justru sebaliknya.<br /> Tabarruk yang diperbolehkan adalah, mengambil berkah kepada Rasulullah saw pada saat baliau masih hidup. Adapun sepeninggal beliau maka bertabarruk kepada kuburannya merupakan perbuatan bid'ah yang diharamkan. Tabarruk semacam ini pernah dilakukan oleh para sahabat rasulullah saw. Mereka berebut sisa minuman Rasulullah saw bahkan berebut keringat beliu yang wangi. Sedangkan tabarruk yang banyak dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini adalah tabarruk yang diharamkan. Sebagaiman mereka yang berebut dengan sisa makanan dan minuman para kiyai, dan kuburan-kuburan yang mereka anggap keramat terlebih lagi seekor kerbau yang tidak mempunyai akal. <br /> Lantas bagaimanakan seharusnya seseorang mencari berkah pada saat ini? Padahal rasulullah saw telah wafat? Menurut saya, keberkahan hidup tidak hanya didapatkan dengan cara-cara seperti di atas. Karena sebenarnya cukuplah seseorang beriman dan mengerjakan segala aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt maka ia akan mendapatkan keberkahan di dunia dan akhirat. Bukankah allah telah menjanjikan keberkahan hidup bagi orang beriman dalam firmanNya:<br /> وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ<br />"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (Qs. Al-Araf: 96)<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-39727752594779238952010-02-15T23:44:00.000-08:002010-02-15T23:59:06.379-08:00Ladang Jihad Tebuka di YamanOleh: Uweis Abdulloh<br />Yaman merupakan satu Negara termiskin di semenanjung arab. Namun demikian, kemiskinan tidaklah menjadikan ciut nyali kaum muslimin yang mendominasi daerah tersebut. Justru kondisi yang sulit menjadikan mereka tahan banting dan siap mengahadapi segala tantangan yang terjadi. Lebih dari itu, yaman merupakan daerah dimana para pejuang islam banyak dilahirkan. Ini sangatlah mempengaruhi kepribadian kaum muslimin yang mewarisi jiwa kepahlawanan para pendahulu mereka.<br /><span class="fullpost">Terbukti saat terjadinya serangan 11 september dan yaman menyatakan diri bergabung dalam agenda "war on terrorism". Berbagai macam cara yang ditempuh otoritas yaman untuk memberangus gelora jihad kaum muslimin tak kunjung berhasil. Bahkan preseden Ali Abdullah Shaleh, demi untuk melancarkan titah amerika tersebut harus merogoh kas Negara untuk membeli persenjataan dari Rusia seharga 1 miliar dolar AS. Persenjataan tersebut terdiri dari pesawat tempur MiG-29, helikopter, tank T-80 dan T-72, dan beberapa kendaraan tempur lainnya.<br />Bukan warga yaman kalau mudah ditaklukkan. Begitulah kenyataan yang harus dihadapi oleh otoritas munafik Yaman. Segala tindakan yang mereka lancarkan justru membangkitkan semangat jihad kaum muslimin. Menurut pernyataaan wakil persiden Abdur-Rab Manshur Hadi, Tercatat sejak tahun 2005 sekitar 16.000 warga yang dicuragai terlibat jaringan Al-Qaeda diusir dari yaman. Pasukan keamanan juga menangkap ratusan orang Afghanistan Arab dan Mahasiswa asing di sekolah-sekolah keagamaan yang tidak terdaftar. Namun itu semua tak membuat mereka jera dan justru menyambutnya dengan berbagai perlawanan.<br />Pertempuran tak terelakkan lagi dan menelan korban dari dua belah pihak. Media islam arrahmah.com melansir, Selasa, 18 Safar 1431 / 02 Februari 2010 bahwa bentrokan yang terjadi antara kaum muslimin dan polisi keamanan yaman di daerah jaar, abyan menewaskan sekitar 4 orang polisi. Pada kesempatan lain mujahidin menyerang kedutaan besar AS di San'a, ibukota Yaman, dengan bom mobil dan roket, menewaskan 16 orang. Korban-korban yang tewas itu mencakup 10 Polisi Yaman, empat warga sipil, termasuk seorang India, dan dua mujahidin.<br />Situasi yaman yang kian memanas mengharuskan para ulama untuk turun tangan mengobarkan jihad ditengah-tengah kaum muslimin. Sekelompok ulama terkenal Yaman memperingatkan bahwa mereka akan menyerukan jihad jika Amerika Serikat mengirimkan tentaranya untuk memerangi Al-Qaeda di Yaman. Para ulama besar tersebut berjumlah sekitar 15 orang diantaranya adalah Abdul Majid Az-Zindaniy. Beliau berkata "Jika sebuah negeri Muslim mendapat serangan militer, pemuda Muslim berkewajiban untuk melakukan jihad dan memerangi para agresor tersebut."<br />Di sisi lain terbukanya ladang jihad di yaman disambut hangant oleh harakah jihad ternama di Shamalia. Dialah As-Shabab yang baru saja mengumumkan dirinya bergabung kedalam tandzim Al-Qaedah dan menyatakan siap untuk dipimpin oleh Usamah bin Laden. Seorang Petinggi As-Shabaab Sheikh Mukhtar Robow Abu Mansour menyatakan akan berangkat ke Yaman untuk memerangi musuh Allah. Beliau berkata "Kami katakan kepada saudara-saudara Muslim kami di Yaman bahwa kami akan melintasi perairan antara Yaman dan Somalia untuk mencapai tempat Anda, untuk membantu Anda melawan musuh Allah." Pada kesempatan lain beliau berkata " Saya menyerukan kepada pemuda di tanah Arab untuk bergabung dan bertempur di sana."<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-49296679325754844322010-02-15T23:37:00.001-08:002010-02-15T23:57:24.595-08:00Perbedaan Antara Jihad dan Qital<p>Oleh: uweis abdullah</p><p>Membedakan antara jihad dan qital membutuhkan kejelian. Ketika seseorang terlalu bebas dalam memperluas ma’na jihad akan terjerumus kepada pemahaman bahwa setiap amal asalkan membutuhkan kesungguhan adalah jihad. Pemahaman ini akan membuahkan sikap peremehan terhadap jihad yang sebanarnya. Dan sebaliknya ketika seseorang telalu sempit mema’nai jihad akan menggap bahwa pertempuran dalam arti “battle” itu sajalah yang dimaksud dengan jihad. Sehingga dalam melakukan suatu tindakan kurang memperhatikan hal-hal yang medukung keberlangsungan itu semua. <span class="fullpost">Memang secara bahasa, jihad tersebut sangatlah umum mencakup seluruh amal shaleh yang didalamnya ada usaha dan kesungguhan. Namun secara urf dan syar’ie penyebutan kata jihad sangat identik dengan peperangan dalam artian yang luas yaitu “War”. Demikian juga definisi jihad yang sering dikemukakan oleh para ulama memang cenderung kepada qital. Namun pada hakikatnya yang dimaksud adalah peperangan yang tidak sekedar pertempuran “battle”. Melainkan perang secara umum mencakup segala aspek usaha yang mendukung tegaknya kalimatullah.<br /></span></p><span class="fullpost"> Dengan mencermati definisi jihad secara jeli dan praktek lapangan dalam sejarah umat islam, maka kita akan mendapatkan perbedaan antara jihad dan qital. Meski perbedaan yang dimaksud bukanlah perbedaan yang bertentangan “ikhtilafut tadhadh”. Melainkan perbedaan dalam ruang lingkup yang bersifat mikro dan makro. Dengan kata lain, bahwa jihad lebih umum daripada qital, dan Qital adalah bahagian daripada jihad. Perbedaan tersebut dapat dianalisa dari dua sudut pandang. Yaitu sudut pandang definisi, dan praktek lapangan dalam sejarah umat islam.<br /><br />Perbedaan dalam tinjauan definisi.<br />Definisi jihad:<br />Secara etimologi (bahasa) jihad adalah:<br />الْمُبَالَغَة وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِي الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ.<br />(bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala daya dan kemampuan baik dari perkataan maupun perbuatan) .<br />Secara terminology jihad dima’nai sebagai berikut:<br />Penyebutan kata-kata jihad didalam al-qur’an diklasifikasikan menjadi dua:<br />Penyebutan jihad pada ayat-ayat makkiyah lebih cenderung kepada ma’na lughawi seperti firman Allah:<br />وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ (العنكبوت:6)<br />“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri”.<br />وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (العنكبوت: 69)<br />“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.<br />Adapun penyebutan kata-kata jihad di dalam ayat-ayat madaniyah cenderung kepada ma’na qital dalam pegertian luas. Sebagaimana firman Allah swt:<br />لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ (النساء:95)<br />“Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya”.<br />انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (التوبة: 41)<br />“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah”.<br />Adapun definisi para ulama tentang jihad secara syari’ adalah sebagai berikut:<br />Madzhab hanafiy:<br />الْجِهَادُ هُوَ الدُّعَاءُ إلَى الدِّينِ الْحَقِّ وَالْقِتَالُ مَعَ مَنْ امْتَنَعَ عَنْ الْقَبُولِ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ<br />“jihad adalah menyeru kepada diin yang haq dan memerangi ketika terjadi penolakan dengan jiwa dan harta”<br />Madzhab malikiy:<br />قَالَ ابْنُ عَرَفَةَ قِتَالُ مُسْلِمٍ كَافِرًا غَيْرَ ذِي عَهْدٍ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ<br />Berkata ibnu arafah: “perangnya muslim terhadap orang kafir yang tidak terikat perjanjian dalam rangka meninggikan kalimat Allah swt”. <br />Madzhab syfi’iy:<br />القتال في سبيل الله مأخوذ من المجاهدة، وهي المقاتلة في سبيل الله<br />“perang di jalan Allah diambil dari kata al-mujahadah yaitu peperangan di jalan Allah”<br />hambaliy:<br /> قِتَالُ الْكُفَّارِ<br />“memerangi orang kafir”<br />Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa jihad mecakup beberapa hal:<br />1. Adanya usaha untuk I’la’u kalimatillah dengan mengorbankan nyawa dan harta<br />2. Menyeru untuk masuk atau tunduk kepada dinul islam<br />3. Di dalamnya terdapat qital<br />Definisi Qital:<br />Secara bahasa qital adalah:<br />Qital diambi dari kata قَاتَلَ-يُقَاتِلُ قِتَالًا وقِيْتَالًا, yang apa bila ditambah هُ<br />berma’na: (حَارَبَهُ وعَادَاهُ) “memerangi dan memusuhinya”<br />Secara istilah adalah:<br />Penyebutan qital dalam mempunyai ma’na pertempuran yang berujung kepada kemenangan atau kekalahan. Sebagaimana firman Allah:<br />فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (النساء: 74)<br />“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”<br />firmannya juga:<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ<br />"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa”.(Qs. At-taubah: 123)<br />Dan jihad secara istilah adalah:<br />الْحَرْبُ والْمُدَافَعَةُ بِالسلَاحِ<br />“peperangan dan perlawan dengan senjata”<br />Syeit khattab berkata “ma’na qital dalam islam adalah: memerangi musuh dalam rangka menjaga kebebasan penyebaran da’wah, dan melakukan rukun islam, dengan tetap menjaga etika-etika dalam peperangan”.<br />Kesimpilan dari ma’na qital adalah:<br />1. Terjadinya pertempuran pada dua pihak, yang berujung pada kemenangan atau kekalahan.<br />2. Penyebutan qital mencakup jalan yang benar dalam artian fi sabilillah dan jalan yang salah. Tergantung tujuannya dan prakteknya.<br />3. Qital dalam lingkup fi sabilillah khusus menjuru kepada pertempuran dan hanya merupakan bahagian dari rangkaian jihad. Sebagaimana pernyataan syeit khattab bahwa ma’na qital adalah dalam rangka menjaga penyebaran da’wah, sedangkan da’wah itu sendiri merupakan rangkaian dari jihad namun tidak termasuk dalam qital.<br />Kesimpulan perbedaan antara jiha dan qital:<br />1. jihad: umum mencakup usaha I’la’u kalimatillah<br />Qital: bagian daripada usaha menegakkan kalimatullah<br />2. jihad: tidak selalu dengan pertempuran<br />Qital: intinya adalah pertempuran<br />3. jihad: penyebutannya identik dengan usaha I’la’u kalimatillah<br />Qital: penyebutannya mempunyai ma’na yang relative tergantung apa tujuan perang tersebut.<br /><br />Perbedaan pada praktek lapangan dalam sejarah islam<br />Praktek jihad dalam sejarah islam sangatlah luas mencakup seluruh rangkaian usaha dalam menegakkan kalimat Allah. Sedangkan qital adalah pertempuran yang terjadi antara kaum muslimin dan orang-orang kafir dalam rangkaian jihad untuk menegakkan kalimat allah subhanahu wata’ala.<br />Oleh karenanyalah rasulullah saw pada setiap kali melancarkan jihad, meberikan tugas masing-masing kepada para sahabat. Tidak semua dari mereka terjun didalam pertermpuran. Diantara mereka ada yang menjaga madinah sebagaimana mereka yang disuruh menetap pada perang tabuk untuk menjaga madinah dan menjaga keluarga rasulullah saw. Seluruh rangkaian usaha dalam meninggikan kalimat allah yang saling kuat mengutkan antara satu dan lainnya inilah merupakan praktek jihad dalam sejarah islam.<br />Dalam usaha pembebasan Makkah sendiri rasulullah saw sangatlah berusaha untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah. Beliau membuat strategi jihad yang yang mampu mengalahkan kaum musrikin dengan meminimalkan pertempuran. Pada malam harinya rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar masing-masing mereka menyalakan obor. Sehingga dengan banyaknya obor menyala yang mencapai sepuluh ribu menjadikan ciutnya nyali kaum musyrikin. Mereka menganggap pasukan kaum muslimin sangatlah besar dan tidak ada pilihan lain kecuali menyerah tanpa perlawanan.<br />Demikian pula dalam perang tabuk. Rasulullah tidak hanya mengandalkan pertempuran dalam melancarkan jihad. Namun beliau banyak bermain pada sisi politik dengan mengadakan perjanjian degan Qabilah-qabilah setempat. Beliau mengadakan perjajian dengan penduduk “Ailah” , “Jarba”, dan “Daumatul jandal”. Sehingga dengan permainan politik inilah orang-orang romawi mengalami kekacauan dan kekalahan tanpa pertempuran. <br /><br />Tela’ah ktitis definisi ulama kontemporer tentang jihad<br />Sebahagian ulama dalam beberapa buku menyebutkan kalimat jihad seakan membatasi hanya terbatas dengan Qital. Sebagaimana yang banyak di ungkapkan dengan istilah (إذا أطلقت كلمة الجهاد فهو قتال ) apabila kalimat jihad disebutkan secara mutlak maka ma’nanya adalah Qital . Ungkapan ini perlu difahami dengan cermat dalam kondisi apa penulis sedang mengungkapkan dan apa maksud dari ungkapan tersebut.<br />Penulis mengungkapkan istilah ini dalam keadaan mengcounter pemahaman keliru sebagaimana yang tersebut dalam muqddimah makalah ini. Yaitu pemahaman yang terlalu bebas dalam memperluas ma’na jihad sehingga setiap amal asalkan terdapat padanya kesusah payahan maka dianggap sebagi jihad yang sebenarnya. Pemahaman ini akan menihilkan Qital dalam rangkaian jihad.<br />Adapun dalil yang biasa digunakan untuk membatasi jihad hanya sebatas qital, juga perlu difahami secara cermat. Seperti misalnya hadits dari amru bin abasah tentang seorang yang bertanya kepada rasulullah tentang isalam, iman, hijrah, jihad. Ketika orang itu bertanya kepada rasulullah:<br />وَمَا الْجِهَادُ قَالَ أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيتَهُمْ<br />“apakah jihad itu? Beliau menjawab: engkau memerangi orang kafir apabila menemuinya”.<br />Hadits di atas dan yang senada dengannya, tidaklah menunjukkan (الحصر) pembatasan bahwa hanya qital dalam artian “battle” saja. Jadi kurang tepat untuk dijadikan hujjah bahwa jihad hanyalah Qital. Ungkapan hadits di atas lebih cenderung mirip dengan ungkapan (من الملاؤئكة؟ قال: جبريل) siapakan malaikat itu? Ia menjawab: jibril. Jawaban ini benar, namun bukan pembatasan bahwa malaikan itu hanya satu, yaitu jibril. Namun masih banyak malaikat-malaikat lainnya.<br />Terlebih lagi argumentasi bahwa jihad tidak dibatasi hanya dengan qital dikuatkan dengan sunnah fi’liyyah yang tersebut dalam sejarah pembebasan makkah. Rasulullah sangat berusaha menghindari Qital . Lantas dengan tidak adanya Qital apakah pembebasan makkah tidak dianggap sebagai jihad?. Begitu juga penaklukan wilayah-wilayah yang akhrnya menyerah tanpa terjadi Qital apakah tidak disebut sebagai jihad?.<br />Sebagai penutup, kalau saja benar ada pendapat ulama yang hanya membatasi jihad hanya dengan Qital, maka penulis katakan definisi itu bukanlah ijma para ulama. Sebagaimana definisi jihad yang di ungkapkan oleh ulama madzhab hanafi bahwa da’wah untuk menyeru orang kafir masuk ke dalam agama islam merupakan jihad.<br />الْجِهَادُ هُوَ الدُّعَاءُ إلَى الدِّينِ الْحَقِّ وَالْقِتَالُ مَعَ مَنْ امْتَنَعَ عَنْ الْقَبُولِ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ<br />“jihad adalah menyeru kepada diin yang haq dan memerangi ketika terjadi penolakan dengan jiwa dan harta”<br />Sehingga dengan demikian pendapat seorang ulama tidak bisa menggugurkan pendapat ulama lain tanpa di landasi dalil dri nash yang jelas.<br />Wallahu a’lam bis shawab<br /><br />Referensi:<br />lisanul arab<br />Al-Inayah syarhul hidayah, syamilah<br />Mauhibul jalil fi syarhi muskhtashori syaikhil jalil, syamilah<br />I’anatut thalibin, syamilah<br />Syarh muntahal iradat, syamilah<br />Al-munjid fi lughah<br />Mu’jam lughatil fuqaha, syamilah<br />Ar-rasul al-qo’id<br />Al-jihad wal-qital fis siyasah as-syar’iyah<br />Ar-rahiqul makhtum<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-28148626227463924882010-01-08T19:05:00.000-08:002010-01-08T19:08:01.411-08:00Jihad Kontemporer Dari Nikayah Menuju TamkinOleh: Uweis Abdullah<br /><br /> Menilik sejarah perjuangan umat islam, jihad merupakan satu aktivitas yang tak pernah luput dari kehidupan mereka. Amaliah jihadiah akan senantiasa berjalan sesuai dengan sunnatullah. Ia akan berkensinambungan antar generasi, menjadi solusi bagi berbagai problematika yang dialami kaum muslimin. Sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rasulullah saw dalam hadits: “agama ini akan senantiasa tegak, yang perperang diatasnya segolongan dari kaum muslimin sampai tibanya hari kiamat”. (Hr. Ahmad)<br /> Kebenaran hadits tersebut telah terbukti. Gema jihad membahana membakar semangat kaum muslimin. Harakah-harakah jihad banyak bermunculan di sekian wilayah kaum muslimin yang tertindas. Bahkan berbagai aksi yang merupakan ekspresi dari luapan semangat tersebut sempat mengguncangkan dunia. Meski dibalik itu semua mereka harus menghadapi ancaman bahaya yang lebih besar. Demikian pula tindakan tersebut mengharuskan mereka menelan pahitnya berbagai kritik yang kelur dari orang-orang yang tidak menyetujui aksi yang mereka lancarkan.<br /> Tanpa memungkiri pentingnya jihad yang merupakan solusi dari keterpurukan ummat islam, ada suatu permasalahan yang perlu menjadi evaluasai bagi harakah-harakah jihad yang ada. Dari sekian aksi yang dilancarkan benarkah akan mengarahkan kepada target yaitu kemengan yaitu tamkin (kekuasaan)?. Atau sekedar merupakan aksi nikayah (membunuh dan melukai musuh) yang merupakan luapan semangat yang belum tersusun dengan rapi. <br /> Dalam makalah ringan ini kami ingin mengangkat suatu permasalahan yang perlu menjadi bahan pertimbangan bagi kaum muslimin. Bukan bermaksud untuk mendudukkan perkara yang halal dan haram. Karena perbandingan yang kami akan paparkan masih dalam lingkup perkara yang diperbolehkan. Akan tetapi memilih yang terbaik diantara dua cara yang diperbolehkan merupakan perintah dari allah swt. “orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya . Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. <br /><span class="fullpost">Disyari’atkanya jihad nikayah.<br /> Nikayah merupakan bahagian daripada praktek jihad yang pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Nikayah adalah membunuh dan melukai musuh . Maksud dari nikayah adalah “memukul, memeberi pelajaran, meneror dan memberikan bencana pada musuh untuk menahan gangguan mereka pada kaum muslimin, menyelamatkan orang yang tertindas atau tertawan. Meski tidak mengantarkan kepada tamkin bagi kaum muslimin dalam jangka waktu dekat”. <br /> Jihad nikayah disyari’atkan dalam islam . Dasar disyari’atkannya jihad jenis ini adalah sebagimana dalil-dalil di bawah ini:<br />1. firman Allah swt:<br /> وَلاَ يَطَؤُونَ مَوْطِئاً يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللّهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ<br />“dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. At-taubah: 120)<br />Ibnu katsir berkata: “berada disuatu wilayah dalam rangka meneror musuh<br />وَلاَ يَنَالُونَ maksudnya tidak mendapatkan darinya kemenangan atas mereka<br />إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ maksudnya adalah dengan perbuatan tersebut yang berada dibawah kemampuan mereka. Akan tetapi berangkat dari keinginan kuat mereka maka akan dinialai sebagi amal shaleh dan balasan pahala. Sesungguhnya allah tidak akan menyia-nyiakan amalah orang yang berbuat kebaikan”. <br />2. firman Allah swt juga:<br />“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (Qs. Al-Anfal:60)<br />3. FirmanNya juga:<br />“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a : "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (Qs. An-Nisa: 75)<br />Dari uraian ayat diatas mengandung pengertian disyariatkannya nikayah kepada orang-orang kafir. Dan Allah swt tetap akan menganggap sebagai amal shaleh bagi orang yang melakukan hal tersebut meski sebenarnya diluar dari kemampuannya dan belum tentu mendatangkan kemenangan. Ibnu hajar al-asqalaniy berkata “adapun seseorang yang menghadapi sekian banyak musuh, maka jumhur mengatakan apabila hal tersebut berangkat dari luapan keberaniannya dan dia telah memperhitungkan bahwa dengannya akan menakut-nakuti musuh, atau membangkitkan keberanian kaum muslimin atas mereka, atau maksud baik lain yang sejenis dengannya maka hal tersebut merupakan perbuatan baik”. <br />Disyariatkannya Jihad Tamkin<br /> Tamkin merupakan target jihad jangka panjang yang membutuhkan perhitungan dan perencanaan yang matang. Tamkin adalah kemampuan atau untuk menegakkan syiar-syiar islam dengan keadaan aman dan menampakkannya tanpa ada yang menghalangi dan mengusik . Maksud dari jihad jenis ini adalah “menguasai wilayah yang telah diserang dan memberlakukan padanya syari’at islam secara kaffah”. Orang-orang yang mampu merencanakan tamkin adalah mereka yang telah banyak berkecimpung dalam kancah pergerakan. Dengan demikian mereka akan bisa mengambil pelajaran dari sekian problematika yang pernah mereka hadapi. Lebih dari itu mereka dituntut untuk bisa berfikir panjang dalam merancang strategi yang menghantarkan kaum muslimin kepada tamkin. <br /> Jihad tamkin disyariatkan di dalam islam sebagaimana disebutkan dalam dalil-dalil berikut ini:<br />1. firman Allah swt:<br />“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Qs. An-Nur: 55)<br /> Ayat ini memberikan kabar gembira bagi kaum muslimin bahwa mereka kelak akan mendapatkan tamkin. Dan janji tersebut terwujud pada saat Rasulullah saw berada di madinah dan berhasil menaklukkan Makkah, Khaibar dan Bahrain dan yang lainnya. Ini semua merupakan buah dari jihad tamkin yang beliau lakukan. Demikian pula dilanjutkan oleh Abu bakar kemudian Umar sebagaimana dikatak oleh Ibnu katsir “belum pernah terjadi setelah para anbiya’ sebagaimana pada umar dalam hal ketegaran dan sempurnaan keadilan. Telah sempurna penaklukan wilayah syam pada masanya, demikian pula wilayah mesir hingga pelosoknya. Demikian pula mayoritas wilayah di Persia, dengan menghacurkan kisra dan menghinakannya sehina-hinanya. Menguasai kerajaan-kerajaan sampai yang terkecil darinya. Serta menghacurkan kaisar. Setelah usai menguasai syam ia beralih ke wilayah konstantinopel dan menginfakkan harta yang diperoleh darinya di jalan Allah.” . <br />2. FirmaNnya juga:<br />“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 193)<br /> Ayat ini menjelaskan tentang target daripada jihad adalah hilangnya fitnah dan berkuasanya Islam. Sebagaimana imam As-Syaukani berkata “pada ayat ini terdapat perintah untuk memerangi orang kafir dengan target hilangnya fitnah dan agama hanya untuk allah. maksudnya mereka semua masuk kedalam islam dan keluar dari agama-agama yang menyelisihinya”. <br />3. FirmaNya juga:<br />“Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah (Allah)”. (Qs. Al-Anbiya 105-106)<br />4. Rasulullah saw bersabda:<br />“aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah rasulullah. Mengerjakan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka mau mengerjakannya maka terjagalah darah dan harta-harta mereka. Kecuali dengan hak-hak islam, dan perhitungan mereka ada pada allah”. (Hr. Bukhariy)<br /> Dari uraian dalil-dalil di atas menunjukkan bawa target utama dari amaliah jihadiah adalah tamkin. Hingga dengannyalah fitnah akan sirna dan kaum muslimin leluasa untuk melaksanakan islam. Berkata syaikh Nufai’ al-ulyaniy “Tujuan yang mulia, yang tercakup dalam usaha meninggikan kalimat allah, adalah mendirikan kerajaan allah di muka bumi dan menjadikan kalimat orang-orang kafir hina. Dan mengilangkan kerusakan dari muka bumi yaitu kesyirikan dan dampak negativ darinya. serta menghancurkan taghut yang menyelewengkan manusia dari islam dan menyembah selain Allah. Hal ini merupakan kesepakan para ulama”. <br />Merintis jalan menuju tamkin<br />Jihad dalam islam dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jihad difa’i (defensive) dan jihad hujumiy (ofensive). Jihad difa’i adalah membela kehormatan agama dan harga diri kaum muslimin dari gangguan orang kafir. Jihad jenis ini hukumnya adalah fardhu ain. Adapun jihad offensive adalah menyerang orang-orang kafir ke wilayah mereka agar memeluk islam atau tunduk terhadap Islam. Hukum asal dari jihad ini adalah fardhu kifayah dan bisa berubah menjadi fardhu ain dalam kondisi tertentu. <br /> Mencermati keadaan kaum muslimin saat ini, maka bisa dikatakan mereka sedang berada dalam posisi jihad difa’i. Hal ini berangkat dari realita bahwa kaum muslimin sedang tindas di berbagai wilayah. Di sisi lain, mereka juga belum mempunyai satu kepemimpinan yang memungkinkan untuk melakukan jihad hujumiy. Sedangkan jihad hujumiy baru akan menuai keberhasilah apabila telah mempunyai wilayah kekuasaan dan kepemimpinan yang solid. Hal ini sebagaimana jihad hujumiy dilakukan oleh rasulullah saw pada saat madinah telah menjadi basis kekuatan kaum muslimin.<br /> Kondisi kaum muslimin yang lemah dan belum memiliki kekuasaan, mengharuskan mereka untuk berfikir panjang menuju kemenangan berupa tamkin. Menyusun strategi yang matang dan nikayah hanya akan dilakukan apabila benar-benar akan mengarah kepada tamkin. Karena pada kenyataannya, membatasi target hanya pada nikayah yang dilakukan pada kondisi lemah justru akan memperlambat tercapainya tamkin. <br /> Tidak dapat dipungkiri bahwa nikayah yang dilakukan kaum muslimin mempunyai sisi positif. Diantaranya adalah membangkitkan semangat kaum muslimin untuk berjihad, dan menjadikan mereka terbiasa dalam menghadapi cobaan dalam perjuangan. Dampak positif ini sebagimana yang diungkapkan oleh Umar Mahmud abu Umar, bahwa melalui nikayah akan melatih diri tidak takut dengan darah. Melatih kesabaran atas kepergian orang-orang yang kita cintai, dan dengannya kita bisa mebersihkan diri dan banyak menapatkan tarbiyah (pelajaran). Namun bukan berarti tujuan nikayah harus lebih diutamakan dari pada tamkin. Bahkan rasulullah saw pernah melarang para sahabat untuk melakukan nikayah meskipun mereka telah merasa mampu untuk melakukannya. Beliau melarang nikayah dalam rangka untuk melancarkan target utama yaitu tamkin. <br />Hal ini sebagaimana keinginan para sahabat yang baru usai melakukan baiat aqabah kedua yang kemudian dicegah oleh rasulullah saw. Diriwayatkan bahwa salah salah seorang dari mereka yang bernama Al-abbas bin Ubadah bin Nadhalah berkata kepada Rasulullah saw: Aku bersumpah demi yang mengutusmu dengan kebenaran, kalau engkau berkehendak bagaimana jika esok hari kami akan mendatangi penduduk mina dengan pedang-pedang kami? Beliau bersabda “kita beluam diperintah untuk hal itu, pulanglah ketempat kalian dan tidurlah sampai pagi hari”. <br />Terkadang seseorang kurang bisa untuk berfikir panjang ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan yang berat. Terlebih ketika masalah tersebut berupa penganiayaan atau penindasan. Dalam keadaan demikian seseorang hanya berfikir bagaimana cara keluar dari permasalahan tersebut secepatnya dengan segala cara tanpa perhitungan. Padahal belum tentu setiap cara yang mereka lakukan merupakan jalan keluar terbaik untuk tahapan selanjutnya. Hal ini sebagaimana perasaan para sahabat saat mendapakan penyiksaan dari orang-orang musrik makkah. Mereka mendatangi Rasulullah saw mengadukan tentang keadaan mereka. Kehinaan dan kesempitan hitup yang mereka rasakan. Namun ketika itu Rasulullah justru mengajak mereka untuk berfikir panjang kepada suatu target yang tidak belum tebayangkan dalam benak mereka. Beliau memberikan semangat kepada para sahabat dengan mengatakan “Demi Allah akan tiba masanya seorang berjalan dengan sendirinya dari shan’a sampai hadramaut tanpa merasa takut kecuali hanya keapada allah dan binatang buas terhadap kambing-kambing mereka, namun kalian tergesa-gesa untuk mendapatkan hal itu”. Di kesempatan lain beliau bersabda “demi allah, kalian akan menaklukkan kisra dan kaisar dan kalian akan menginfakkan harta darinya dijalan Allah”. <br /> Memang benar bahwa bahwa perintah jihad telah turun secara mutlak. Bahkan para para ulama mengatakan bahwa ayat-ayat yang memerintahkan untuk menahan diri dan bersabar telah di naskh (hapus) dengan ayat-ayat qital. Namun bukan berarti tahapan-tahapan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dalam merintis tamkin adalah diharamkan untuk diterapkan pada saat ini dengan alasan tersebut. Hal ini karena yang dimaksud bukanlah penghapusan hukum dalam pengamalannya. Para ulama banyak menjelaskan bahwa pada kondisi lemah diperbolehkan untuk melakukan tahapan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Syaikhul islam berkata “bagi kaum muslimin yang berada pada suatu daerah dalam keadaan lemah, atau kondisi lemah, maka hendaklah ia mengamalkan ayat-ayat sabar, berlapang dada dan sabar terhadap orang yang menghina Allah dari kalangan orang-orang ahli kitab dan musyrik. Adapun bagi mereka yang mempunyai kekuatan maka hendaklah mengamalkan ayat-ayat perintah memerangi pemimpin-pemimpin kafir yang mereka menikam islam. Dan mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi ahlul kitab sampai mereka membayar jizyah dalam keadaan hina”. <br />Jihad yang dilakukan kaum muslimin saat ini seharusnya lebih banyak berorientasi kepada tamkin. Karena apabila hanya berkutat dalam masalah nikayah tidak akan mampu untuk menyelesaikan masalah umat. Bahkan mungkin justru akan menjadikan orang-orang kafir yang berkuasa dinegeri kaum muslimin semakin beringas dalam memberangus benih-benih kebangkitan islam. <br /> Hendaknya para mujahidin tidak berhenti dan hanya mencukupkan dirinya dalam Qital nikayah terhadap musuh. Akan tetapi hendaknya memandang kepada urusan yang lebih besar dan target yang mulia. Suatu tujuan yang karenanyalah jihad disyariatkan, yaitu tamkin (berkuasanya diin allah). Dan jihad tamkin ini mempunyai sebab-sebab dan tata cara yang harus di lakukan untuk meraihnya. <br />Sebab sebab tercapainya tamkin<br /> Tamkin merupakan ketetapan yang dijanjikan Allah swt terhadap orang-orang yang beriman. Ia akan tercapai dengan menempuh jalan yang mengarah kepada tujuan tersebut. Hal ini sebagaimana tamkin yang diperoleh oleh umat terdahulu mempunyai berberapa sebab yang mesti harus ditempuh. Sebab-sebab diperolehnya tamkin adalah sebagi berikut:<br />1. Iman yang bersih dan lurus<br />Iman yang bersih dan lurus merupakan modal utama untuk mendapatkan pertolongan dari Allah swt. Tidak cukup hanya dengan istilah iman, karena pada kenyataannya banyak yang menyatakan diri iman namun tidak mendapatkan tamkin. Hal ini bisa jadi karena iman yang mereka miliki tidak bersih dan banyak tercemari dengan kotoran-kotoran.<br />Penyebutan kata iman dalam masalah janji kemenangan bukanlah sekedar iman dalam pengertian yang dangkal. Sebagaimana misalnya dalam firman Allah swt “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Qs. As-Shaf: 10-11). <br />Berkata Ahmad bin Hamdan bin Muhammad asy-syahriy“Pada ayat ini yang mana Allah mengakhirinya dengan janji pertolongan dan kemenangan khitabnya adalah orang-orang beriman. Sebagimana Allah menyerunya dengan sebutan يأيها الذين أمنوا kemudian allah memerintahkan mereka untuk meraih yang dijanjikan dengan melakukan. تؤمنون بالله ورسوله ungkapan ini sebagai bentuk penguat bagi pernyataan iman di awal. Kemudian Allah memerintahkan untuk beriman kepadanya dan rasulnya sebagai bentuk peringatan untuk meluruskan iman dan membersihkannya dari kotorang-kotoran. Hingga dengannya mereka akan mendapatkan pertolongan. Dengan demikian maka pertolongan dan tamkin akan didapatkan dengan kelurusan dan kebersihan iman bukan dari yang lainnya. <br />Bahkan dalam beberapa kasus orang-orang yang disebut kaum mu’minin justru tidak mendapatkan kemenangan. Ini sebagaimana terjadi pada perang uhud karena ada sebagian dari mereka yang mempunyai tujuan yang tidak lurus. Keimanan mereka mulai tercemar dengan dunia ketika kaum muslimin berhasil mendapatkan ghaniamah. Sebagaimana yang disebutkan oleh ibnu mas’ud “kalau saja hari itu (perang uhud) saya bersumpah bahwa tidak tidak seorangpun yang bertujuan untuk dunia, maka akan aku penuhi sumpah itu. Sampai kemudian Allah menurunkan ayat:<br />منكم من يريد الدنيا ومنكم من يريد الآخرة <br />(di antara mereka yang menginginkan dunia dan ada yang menginginkan akhirat) (Qs. Al-Imran: 152)<br />Begitu pula apa yang terjadi pada perang hunain sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mu'minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa'at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (Qs. At-Taubah:25)<br />Dalam sejarah perang hunain ini Allah swt memberika pelajaran bagi kaum muslimin bahwa kemenangan adalah ditangan allah. Bukan di tangan manusia meski mereka berbangga dengan jumlah yang banyak. Dan tentu saja sikap merasa diri ini mencemari keimanan mereka bahwa kemenangan itu hanyalah ditangan Allah swt. Hingga dengannya kaum muslimin justru tidak mendapatkan apa yang dijajikan oleh Allah swt.<br />2. Al-Qiyadah Ar-Rasyidah<br />Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan yang solid dalam suatu jama’ah sangat membantu tercapainya tamkin bagi kaum muslimin. Dengan keberadaannya, potensi ummat akan lebih terarah sehingga da’wah dan jihad akan berjalan lacar dan mempunyai basis pertahanan. Allah swt berfirman: “Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min”. (Qs. Al-Anfal: 62)<br />Ibnu katsir berkata: “berkumpulnya mereka atas keimanan kepamu dan ketaatan kepadamu membantu dan menolongmu”. Dari ayat dan penjelasan ibnu katsir dapat kita simpulan bahwa jama’ah yang menjadi pondasi utama bagi tegaknya da’wah yang akan membuahkan tamkin harus memiliki dua kriteria, yaitu jama’ah mu’minah dan mempunyai missi yang lurus untuk menolong agama Allah. Apabila dua hal ini tidak ada padanya atau hilang salah satunya maka tamkin tersebut tidak akan tercapai meski mereka tetap mempunyai loyalitas kepada islam. <br />Jama’ah semacam ini telah digambarkan di dalam al-qur’an tentang keadaan bani israil terhadap nabi Musa dan Harun “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu , dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya". Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi ni'mat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja" (Qs. Al-Ma’idah: 21-24)<br />Meski mereka mempunyai loyalitas kepada nabi musa dan harun namun mereka tidak mempunyai missi yang lurus untuk menolong agama Allah maka mereka tidak mendapatkan kemenangan. <br />3. Program yang tersusun rapi dan penuh perhitungan<br />Point ini tidak kalah pentingnya karena berkaitan dengan ikhtiyar. Dan perubahan kearah yang baik sangatlah ditentukan oleh usaha maksimal yang ditempuh oleh seseorang. Banyak nash-nash yang menjelaskan tentang besarnya keberuntungan akan diperoleh seukuran dengan usaha yang dilakukan oleh seseorang.<br />Kaitannya dengan keberadaan harakah-harakah islam pada hari ini, hendaknya mereka benar-benar merancang program yang lebih jitu untuk tecapainya kejayaan Islam. Hal ini tentunya dengan banyak mengaca dan mengambil pengalaman (evaluasi) dari usaha yang selama ini telah ditempuh. Syaikh Abu Mus’ab As-Shuriy memberikan gambaran teori perjuangan ummat kedepan dengan menyusun strategi yang dilandaskan kepada tiga hal :<br />a. Konsistensi<br />Maskudnya bahwa dalam menyusun program kedepan harus tetap konsisten dengan apa yang selam ini diyakini. Yaitu bahwa jihad adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh kaum muslimin saat ini. <br />Melihat kepada realita bahwa kaum muslimin saat ini tertindas, teraniya dan terbantai, maka jihad menjadi fardhu ain bagi kaum muslimin. Bahkan jihad pada saat kondisi kaum muslimin tertindas merupakan kewajiban yang utama setelah iman kepada Allah swt. Berkata syaikhul islam Ibnu Taymiyah: <br />وأما قتال الدفع فهو أشد أنواع دفع الصائل عن الحرمة والدين واجب إجماعاً، فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه<br />“Adapun qital difa’i maka ia merupakan jenis daf’us shail yang paling berat, dalam rangka mempertahankan harga diri dan din merupakan kewajiban menurut ijma’. Musuh yang menyerang, merusak agama dan dunia maka tidak ada amalan yang lebih wajib setelah iman kecuali melawannya”. <br />b. Koreksi<br />Merupakan dasar keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa hanya perkataan Nabi saja yang mutlak kebenarannya. Sedangkan perkataan manusia lain masih dipertanyakan. Sebagaimana perkataan imam Malik rahimahullah: “Setiap kita perkataannya bisa diterima dan bisa ditolak, keculai penghuni kuburan ini (maksudnya adalh Rasulullah saw)”. Demikian juga kaitannya dengan manhaj perjuangan ada yang bersifat tsawabit (baku) dan ada juga yang mutaghayyirat (nisbi). Dalam perkara yang sifatnya Mutaghayyirat inilah menjadi ladang koreksi terhadap program yang selama ini dilakukan.<br />Diantara yang perlu dikoreksi adalah tindakan yang selama ini mengarah kepada keberhasilan dan tindakan yang selam ini justru menjadi sebab kegagalan. Hingga dengan mengetahi itu semua kita akan mengubur penyebab kegagalan dan mempertahankan hal-hal yang mengarah kepada keberhasilan. Rasulullah saw memberikan gambaran tentang orang yang cerdas untuk masa depannya dengan sabda beliau “orang cerdas adalah mereka yang mengoreksi dirinya dan mengerjakan apa yang menjadi bekal setelah mati. Adapun orang yang lemah akalnya adalah mereka yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (mendaptkan ampunan) dari allah. (Hr. Tirmidzi) <br />c. Pengembangan<br />Diantara mu’jizat agama kita yang lurus bahwa hukum islam terbagi menjadi dua:<br />1. Konstan (tidak berubah) serta terperinci hingga tidak ada celah untuk mengganti dan mengubahnya sedikitpun. Ini sebagaiman shalat, whudlu dan yang sejenisnya.<br />2. Umum dan global. Yaitu garis besar dan kedah umum saja. Kaedah umum ini banyak berkaitan dengan urusan mua’malah yang berkaitan dengan gerakan dan aktivitas manusia. Dan ini bisa berubah-ubah dan berkembang asalkan masih dalam lingkup kaedah umum yang terdapat dan nash-nash syar’i. <br />kaitannya dengan pergerakan islam, jihad melawan orang kafir merupakan hukum yang bersifat konstan. Sedangkan metode, tata cara, perangkat dan sistemnya bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi. Allah memberikan keluasan bagi hambanya untuk berijtihad dalam hal-hal yang bersifat konstan tersebut. <br />Kaitannya dengan penyusunan program kedepan maka teori pengembangan ini mencakup tiga hal:<br />1. Gagasan: yaitu merancang rencana kedepan. Langkah apa yang diperkirakan tepat untuk tercapainya kemenangan.<br />2. Perangkat: yaitu sarana apa saja yang diperlukan dan siapa pelaku dalam melancarkan gagasan yang telah disepakati. Serta hal-hal lain yang menjadi wasilah tercapinya gagasan tersebut. <br />3. Metode: yaitu cara apa yang paling tepat untuk mendukung gagasan yang telah direncanakan di awal. <br />4. Sabar dan Tsabat (teguh pendirian)<br />Menyatakan diri untuk siap berjuang di jalan Allah merupakan karunia yang besar dan mendapatkan janji yang mulia di sisi Allah. Namun suatu hal perlu dicamkan dalam hati, yaitu bahwa janji yang mulia selalu disandingkan dengan pekerjaan besar. Aktivitas yang membutuhkan kesabaran dan ketegaran. Begitulah perjuang dalam rangka meraih tamkin.<br />Perjuangan merupakan amanah yang berat, membutuhkan keseriusan berfikir dan kerja keras. Disamping itu merupakan sunnatullah bahwa perjuangan islam pasti akan mendapatkan perlawanan dari Hizbus Syaitan yang ingin memadamkan cahaya islam. Perseteruan tensebut merupak keniscayaan yang pasti terjadi sepanjang masa. Masing-masing pihak akan berusaha untuk menjadi pemenang meski harus mengorbankan nyawa satu-satunya yang ia miliki.<br />Tanpa kesabaran kemenangan mustahil akan didapatkan. Karena kesabaran merupakan modal utama bagi ketegaran seseorang dalam melakukan suatu usaha. Bahkan allah swt menyatakan kebersamaanya dengan orang-orang yang bersabar “sesungguhnya allah besama orang-orang yang bersabar”. (Qs. Al-Baqarah: 153). Di ayat lain allah juga berfirman “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Qs. Al-Anfal: 45)<br />Bahkan Allah swt menyangkal orang-orang mengira bahwa mendapatkan Jannah adalah urusan sepele dan remeh dengan firmannya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Qs. Al-Baqarah: 214)<br />Referensi:<br />- Qamus al-muhith<br />- Awamilun nashri wattamkin<br />- Fathul qadir<br />- Ahamiyatul jihad<br />- Al-jihad wal-ijtihad<br />- Ar-rahiqul makhtum<br />- www.saadarmy.com<br />- Tafsir ibnu katsir<br />- Fathul bariy<br />- www.aljazeeratalk.net<br />- perjalanan gerakan jihad (1930-2002) sejarah, eksperimen, dan evaluasi hal: 212-218<br />- fatawa al-kubra<br />-Mereka mujahid tapi salah langkah<br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-84927136797458307602010-01-07T18:49:00.000-08:002010-01-07T18:51:59.168-08:00Umar Bin Abdul AzizNama dan nasab beliau: umar bin abdul aziz bin marwan.<br />Sedangkan ibu beliau adalah ummu ashim bin ashim bin umar bin khattab<br />Sufyan ats tsauri berkata: para khalifah itu ada 5 yaitu: abu bakar, umar, utsman, aliy dan umar bin abdul aziz.<br /> Pada wajah umar terdapat luka bekas tendanganseekor binatang. Pada saat ayahnya menghapus darah yang ada dilukanya ia berkata: jika kamu adalah orang yang terluka dikepalanya dari kalangan umayyah, maka engakau akan menjadi orang yang bahagia. <br />Umar bin khattab pernah berkata:<br />من ولدي رجل بوجهه شجة يملأ الأرض عدلا<br />Ibnu sa’ad meriwayatkan bahwa umar pernah berdo’a:<br /><br />semoga ada dari keturunanku yang mempunyai gelar ش yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah ia diliputi kedzaliman.<br /><span class="fullpost">Mungkin, saat itu manusia menanti-nanti kedatangannya. Dan sempat mengira bahwa bilal bin Abdullah bin umar lah yang dimaksud. Namun akhirnya tampillah umar bin abdul aziz. <br />- beliau meriwayatkan hadits dari: ayahnya, anas bin malik, Abdullah bin ja’far bin abu thalib, ibnu fariz, yusuf bin Abdullah bin salam, amir bin sa’ad, said bin musayyib, urwah bin zubair, abu bakar bin Abdurrahman, rabi’ bin sirah.<br />- Yang meriwayatkan hadits dari beliau: az-zukhriy, Muhammad bin al-mukhandir, yahya bin sa’ad al-anshari, maslamah bin abdul malik, raja’ bin haywah, dll<br /> Sejak kecil ia berusaha menghafal al-qur’an dan dikemudian hari ayahnya mengirimnya ke madinah.Di sana beliau banyak berguru kepada ubaidillah bin Abdullah. Sepeninggal ayahnya beliau dipanggil oleh khalifah abdul malik memintanya untuk datang ke damaskus dan ia dinikahkan dengan anaknya.<br /><br />Kepribadian beliau sebelum menjadi khalifah<br /> Secara keagamaan beliau terkenal shaleh, hanya saja secara prilaku beliu senang berfoya-foya dan berjalan dengan gaya sombong. Pada masa kekhalifahan al-walid beliau sempat diangkat menjadi gubernur di madinah tahun 80-93 H. Suatu ketika al-walid berkeinginan keras untuk mencopot saudaranya sulaiman dari posisi sebagai putra mahkota. Dan ia menginginkan agar yang menjadi putra mahkota adalah anaknya. Ia mendatangi para pembesar dan mereka menyetujui. Ketika ia mendatangi umar bin abdul aziz ia menolak, maka umarpun dipenjara di dalam sebuah ruangan yang sangat sempit tidak diberi makan dan minuman dengan harapan ia mati di tempat itu. Namun kemudian ia mendapatkan pengampunan dan saat ia dikeluarkan saat terlihat lehernya sudah miring.<br /> Zaid bin aslam meriwayatkan dari annas ia berkata: saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imampun yang hampir serupa shalatnya dengan shalat rasulullah daripada anak muda ini (umar bin abdul aziz). Maymun bin mahran berkata: dari abu hasyim bahwa seorang laki-laki datang menemui umar bin abdul aziz. Orang itu berkata saya bermimpi melihat rasulullah dalam tidurku. Dalam mimpi itu aku melihat abu bakar berada disamping kananny dan umar berada di samping kirinya. Tiba-tiba dua orang itu berselisih sedangkan engkau sedang berada dihadapan rasulullah sedang duduk. Dan rasulullah berkata kepadamu: wahai umar jika engkau kelak menjadi penguasa, maka berbuatlah seperti dua orang ini berbuat.” Kemudian umar meminta orang tersebut bersumpah atas mimpinya dan ia pun bersumpah, maka meledaklah tagisan umar bin abdul aziz.<br /><br />Kepribadian beliau setelah menjadi khalifah<br /> Ia dilantik sebagai khalifah berdasarkan wasiat tertulis dari sulaiman. Ini terjadi pada bulan shafar 99H. ia menjadi khalifah selama 2tahun 6 bulan sebagaiman abu bakar as-shiddiq. Dalam kekhilafahannya ia benar-benar telah memenuhi dengan keadilan mengembalikan semua harta yang diambil dengan cara dzalim.<br /> Seusai pemakaman khalifah sualaiman, pengawal yang bertugas menjaga beliau datang membawa kedaraan mewah peninggalan dari sulaiman, namun ia menolak dan meminta untuk didatangkan kendaraan biasanya. Bahkan ia berkta “kirim kendaraan ini ke pasar dan juallah kemudian hasil penjualannya simpan di baitul mal. Saya cukup naik kendaraan ini saja.<br /> Furat bin as-saib berkata: umar bin abdul aziz berkata kepada istrinya fatimah binti abdul malik, dia memiliki perhiasan berupa mutiara yang sangat indah. “pilihlah olehmu kamu kembalikan harta perhiasan ini ke baitul mal atau kau kuizinkan untuk meninggalkanku untuk selamanya. Sebab saya sangat benci jika saya, kamu dan mutiara ini berada di dalam satu rumah. Istrinya menjawab “saya memilih kamu daripada mutiara-mutiara ini bahkan jika lebih dari itupun aku tetap memilih kamu. Sepeninggal umar bin abdul aziz yazid bin abdul malik mendatanginya dan menawarkan kembali perhiasan tersebut. Iapun menjawab “ tidak mungkin saya lakukan, bagaimana mungkin saya rela pada saat ia masih hidup namun saya menarik kerelaan tersebut setelah ia meninggal.”<br /> Ibrahim as-sakuni berkata bahwa umar bin abdul aziz berkata “saya tidak pernah berdusta sejak saya mengetahui bahwa dusta itu akan mendatangkan bencana bagi pelakunya”. Qais bin jubair berkata: perumpamaan umar ditengah-tengah bani umayyah adalah laksana seorang mu’min ditengah-tengah keluarga fir’aun.<br /> Malik bin dinar berkata: takkala umar bin abdul aziz menjadi khalifah para penggembala domba dan kambing berkata “siapa orang shaleh yang kini menjadi khalifah? Keadilan telah mencegah serigala untuk memangsa domba-domba kami. Musa bin a’yun berkata “kami pernah menggembalakan domba, di karman pada masa kekhalifahan umar bin abdul aziz, saat itulah serigala dan domba berada di suatu tempat. Pada suatu malam kami mendapatkan seekor serigala telah menerkam domba. Maka saya katakan “pasti lelaki shaleh tersebut kini telah meninggal dunia. Lalu mereka mengaitkan kejadin itu dengan kematian umar bin abdul aziz ternyata ia benar meninggal dunia dimalam saat serigala memangsa domba tersebut.<br /> Fathimah binti abdil malik berkata: saya tidak pernah melihatnya mandi Karena junub atau karena mimpi sejak dia menjadi khalifah hingga meninggal dunia”. Ia pun berkata: jika umar masuk kedalam rumah maka dia akan berbaring ditempat shalatnya. Dia akan menangis sampai tertidur. Setelah bangun ia akan menangis kembali demikian apa yang ia lakukan sepanjang malam. Al-walid berkata: saya tidak pernah menyaksikan orang yang paling takut kepada allah daripada umar bin abdul aziz.<br /> Al-awza’I berkata: jika umar bin abdul aziz hendak menghukum seseorang maka ia akan menahan orang tersebut selam 3 hari. Ini ia lakukan jangan sampai ia menghukum saat masih dalam keadaan marah. Amr bin muhajir berkata: uang belanja umar bin abdul aziz setiap harinya adalah dua dirham. Yusuf bin ya’kub berkata “umar bin abdul aziz memakai pakaian dari bulu unta yang pendek. Sedangkan penerangan rumahnya terdiri dari tiga bambu yang diatasnya ada tanah.” Amr bin muhajir berkata:”umar bin abdul aziz akan menyalakan lampu yang untuk umum jika ia berhubungan dengan kaum muslimin, ketika urusan kaum muslimin selesai maka ia akan memadamkannya dan segera menyalakan lentera miliknya sendiri.<br /> Dari wahib ia menceritakan bahwa umar bin abdul aziz berkata: barang siapa yang menganggap bahwa ucapan adalah bagian dari amalnya maka dia akan sedikit bicaranya.<br /><br />Tentang sakit dan kematiaannya<br /> Ayyub berkata :dikatakan kepada umar bin abdul aziz, andaikata kau datang ke madinah, maka jika kamu mati kamu pasti akan dikuburkan diliang keempat bersama rasulullah dan para sahabat. Umarpun menjawab: demi allah jika allah menyiksaku dengan semua siksaan kecuali neraka lebih aku sukai daripada allah mengetahui bahwa aku merasa pantas untuk dikuburkan disamping rasulullah.<br /> Walid bin hisyam berkata: dikatakan kepada umar bin abdul aziz pada saat ia sakit. Apakah engkau tidak akan berobat? Dia berkata saya tahu saat saya diberi minum racun. Andaikata kesembuhan hanya dengan mengusap daun telingku atau dengan didatangkan kepadaku minyak wangi dan saya angkat kehidungku maka saya tidak akan melakukannya.<br /> Ubaid bin hasan berkata: pada saat menjelang kematiaannya umar bin abdul aziz berkata “kaluarlah kalian dari ruangan ini!” kemudian maslamah dan fathimah keluar duduk didepan pintu. Orang-orang yang ada ditempat itu mendengar ia berkata :selamat kepada wajah-wajah yang datang, bukan wajah manusia dan jin. Kemudian ia membaca firman allah:<br />تِلْكَ الدَّارُ الْآَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ<br />Kemudian suara tenang kembali, lalu mereka masuk dan mendapati umar telah meninggal.<br /> Hisyam berkata: takkala umar meninggal al-hasan al-bashri berkata “telah meninggal seorang manusia terbaik”. Yusuf bin mahik berkata: tak kala kami meratakan tanah di atas kuburan umar bin abdul aziz tiba-tiba ada kitab tipis yang turun dari langit di dalamnya tertulis : bismillahirramhanirrahim, keselamatan dari allah untuk umar bin abdul aziz dari siksa neraka.<br /> Umar bin abdul aziz wafat di dir sim’an sebuh kota di himsh. Pada tanggal 20 adapula yang mengatakan pada 25rajab 101 H. ia wafat pada usia 39 tahun 6bulan. Ia meninggal akibat racun yang dimasukkan kedalam makanannya. Bani umayyah merasa sesak dengan tindakan-tindakan umar karena dia telah menghapuskan kedudukan yang mereka miliki. <br /><br /><br /><br />Tokoh-tokoh yang meninggal di zamannya<br /> Tokoh-tokoh yang meninggal di zamannya diantaranya adalah: abu umamah (sa’ad) bin sahl bin hunaif, kharijah bin zaid bin tsabit, salim bin abi al-ja’d, bushr bin said, abu utsman an-nahdi, abu duha, syahr bin hawsyab as-syami, hanasy bin Abdullah as-shan’any, muslim bin yasar al-bashriy, isa bin talhah bin Abdullah al-qursiy at-taymiy.<br /><br />By: Uweis Abdullah Al-Qarniy <br /> <br /><br /><br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-44710574500283854002009-11-20T15:30:00.000-08:002009-11-20T15:39:26.482-08:00RISALAH UDHIYAHUdhiyah artinya hewan ternak yang disembelih karena datangnya hari iedul adha dengan tujuan untuk bertaqarrub kepada Allah dengan syarat dan ketentuan tertentu.<br /><br />MASYRUIYAH<br /> Udhiyah disyariatkan berdasar dengan firman Allah dalam surat al-kautsar : 02 juga dalam surat 22 : 34<br /> Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah menyembelih dengan tangan beliau sendiri dua ekor kabsy (kambing) yang gemuk, menyebut asma’ Allah dan bertakbir dan kedua kaki beliau diantara dua shahaf si kambing (al-bukhari dan muslim)<br /> Abdullah bin Umar menuturkan “Nabi tinggal di madinah selama 10 tahun dan selalu menyembelih udhiyah (ahmad dan tirmidzi)<br /><span class="fullpost">HUKUM UDHIYAH<br /> Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hokum udhiyah adalah sunah muakadah bagi yang mampu. Ini adalah pendapat Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin al-Khattab, Bilal, Said bin al-Musayyib, Malik, Asy-Syafi’ie, Ahmad, Ibnu Hazm dan lainnya.<br /> Menurut sebagian ahlu ilmi hukumnya adalah wajib meskipun masih adanya perselisihan juga tentang siapakah yang terkena kewajiban tersebut. Abu Hanifah menyatakan bahwa yang diwajibkan adalah bagi orang yang muqim dan mampu (al-Mufashal Fi Ahkamil Udhiyyah, DR Husammudin ‘Afadzir)<br /><br />KEUTAMAAN UDHIYYAH<br /> Dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda “tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari idul adha yang lebih dicintai Allah dari menyembelih hewan udhiyah. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan dating beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah maka beruntunglah kalian semua dengan pahala udhiyyah itu” (at-tirmidzi)<br /><br />WAKTU PENYEMBELIHAN<br /> Waktu yang telah disepakati untuk berkurban adalah dilakukan pagi hari setelah menunaikan shalat ied hingga hari tasyrik. Tidak sah melaksanakan kurban sebelum shalat ied.<br /> Imam muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa nabi bersabda “barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka telah sempurna ibadahnya dan bersesuaian dengan sunnah kaum muslimin” (HR Muslim)<br /><br />BEBERAPA HAL BERKAITAN DENGAN HEWAN KURBAN<br /> Adapun kriterian hewan yang boleh dijadikan sebagai kurban mencakup lima hal : <br />1. Merupakan hewan ternak<br /> Makna al-an’am sesuai dengan makna lughawi dan kultur arab adalah hewan ternak yang berupa unta, sapid an domba. (lisanul arab 14/212-213) hal ini juga serupa dengan ungkapan dari syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumthi’ 7/273). Jadi jenis yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapid an domba.<br /> Sedangkan kerbau menurut beberapa ulama’ seperti syaikh shalih al-fauzan, syaikh al-Utsaimin dan lainnya hukumnya boleh karena termasuk dalam kategori sapi.<br />2. Cukup Umur<br /> Ketentuan tentang umur telah ditentukan oleh syar’i. Rasulullah bersabda “janganlah kamu menyembelih kurban kecuali musinnah kecuali kamu kesulitan, maka boleh kamu menyembelih domba jadha’ah” (muslim, 2797)<br />Musinnah atau biasa disebut dengan istilah tsaniyyah adalah setiap binatang piaraan (onta, sapi atau kambing) yang telah gugur salah satu gigi depannya yang berjumlah empat (dua di bagian atas dan dua di bagian bawah). Adapun dikatakan onta yang musinnah biasanya onta tersebut telah berumur 5 tahun sempurna, sapi yng musinnah adalah sapi yang telah berumur 2 tahun sempurna dan disebut kambing yang musinnah biasanya kambing tersebut satu tahun sempurna. Sedangkan domba jadha’ah yaitu domba yang belum genap berumur 1 tahun. (talkhish kitab ahkam al-udhiyyah wadh-dhakah, oleh syaikh Ibnu Utsaimin, Fiqh as-sunah 2/34 dan al-mu’jam al-wasith 101-102)<br />3. Tidak Cacat<br /> Rasulullah pernah bersabda mengenai keadaan hewan yang layak untuk kurban “ada empat (yang harus dihindari) yaitu pincang yang benar-benar jelas pincangnya, buta sebelah yang jelas-jelas butanya, sakit yang jelas-jelas lemah atau kurusnya” (HR Abu Daud 2802, at-Tirmidzi 1541, an-nasa’I 7/214, Ibnu Majah 3144, dan dishahihkan al-Albani dalam misykat al-Mshabih 1465)<br /> Yang termasuk cacat adalah pincang, sebelah matanya buta bukan sekedar juling, sakit yang menyebabkan lemah, lemah atau kurus akibat terlalu tua, gila dan terpotong sebagian telinga dan cacat lain yang lebih parah.<br /> Ahli fiqh memakruhkan al-adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), al-Mudaabirah (putus telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), al-kahrqaa (sobek telinganya), al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), al-batraa (yang tidak memiliki ekor), al-Musyayyah (yang lemah) dan al-mushfarah (terputus telinganya)<br />4. Disembelih pada waktunya<br />5. Milik pribadi, hewan tersebut tidak terkaid dengan hak orang lain<br /><br />JENIS KELAMIN HEWAN QURBAN<br /> Ketentuan jenis kelamin hewan kurban tidak paten harus jantan akan tetapi diperbolehkan juga betina. Hal ini sesuai hadits-hadits Nabi yang bersifat umum mencakup kebolehan berkurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin. (sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)<br /><br />PATUNGAN UNTUK KURBAN<br /> Diperbolehkan patungan atau pengatasnamaan satu hewan kurban untuk beberapa orang dengan ketentuan sebagai berikut :<br />1. kambing untuk satu orang atau keluarga<br />Atha’ bin Yasar berkata “Aku bertanya kepada abu Ayyub al-Anshari bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah, beliau menjawab : jika seseorang berkurban seekor kambing maka untuk dia dan keluarganya kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, al-Baihaqi dengan sanad hasan)<br />2. sapi untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang<br />Dari Ibnu Abbas dia berkata “Kami bersama Nabi dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapid an sepuluh orang pada seekor unta” (HR at-tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-albani dalam shahih sunan at-tirmidzi no : 1213)<br />3. pengatasnamaan satu hewan melebihi jumlah diatas tidak ada dasar yang shahih. Misalnya patungan satu RT, membeli satu kambing dengan atas nama orang satu RT. Ini tidak dinamakan kurban meskipun sembelihan tetap sah jika dilakukan sesuai syariat.<br /><br />PEMANFAATAN DAGING KURBAN<br /> Allah telah berfirman “…Maka makanlah sebagian daripadanya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yng sengsara lagi fakir” (QS al-Hajj : 28)<br /> Para ulama’ berkata bahwa sebaiknya 1/3 dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan kepada orang fakir miskin dan 1/3 sisanya dihadiahkan kepada kerabat. Selain itu daging kurban juga boleh dikirim ke kampong lain yang membutuhkannya. Namun tidak boleh di jual meskipun hanya kulit dan kakinya.<br /><br />LARANGAN MENJUAL KULIT ATAU LAINNYA<br /> Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib mengatakan “Rasulullah memerintahkan aku untuk mengurusi penyembalihan onta kurbannya. Beliau juga memerintahkan aku untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan aku tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal” (HR al-Bukhari dan Muslim)<br /> Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang menjual kulit hewan kurbannya maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya” (HR al-Hakim 2/390 dan al-Baihaqi. Syaikh al-Albani mengatakan hasan)<br /> Terkadang masih didapatkan sebagian panitia kurban menjual kulit kurban karena memang enggan untuk mengurusinya sehingga mereka jual dan ditukarkan dengan daging. Hal ini tentu dilarang oleh syar’I sehingga solusi yang mungkin dilakukan oleh panitia adalah dengan menyerahkan terlebih dahulu kulit tersebut kepada beberapa orang fakir lalu membantu mereka menjualkannya jika memang mereka ingin menjualnya.<br /><br />TIDAK MENGUPAH JAGAL DARI DAGING KURBAN<br /> Syaikh Abdullah al-Bassam menuturkan “tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan dengan kesepakatan para ulama’. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika ia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…” (Taudhihul Ahkam , 4/464)<br /><br />MENGAMBIL SATU KAMBING UNTUK MAKAN PANITIA<br /> Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan kurban adalah sebagai wakil dari shohibul kurban dan bukan amil. Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia kurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan kurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan kurban.<br /><br />MEMBERIKAN DAGING KURBAN UNTUK ORANG KAFIR<br /> Ulama’ Madzhab Malikiah berpendapat makruhnya memberikan daing kurban kepada orang kafir. Imam Malik berkata “diberikan kepada selain mereka lebih aku sukai”<br /> Syafi’iyah berpendapat “haram untuk kurban yang wajib seperti kurban nadzar dan makruh untuk kurban yang sunah. (fatwa Syabakan Islamiyah : 29843)<br /> Fatwa lajnah daimah menyatakan bahwa dibolehkan memberikan diging kurban kepada kafir mu’ahid, orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Hokum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah (fatwa lajnah dai’imah : 1997)<br /><br />SUNAH BAGI ORANG YANG HENDAK BERKURBAN<br /> Termasuk petunjuk nabi bagi orang yang hendak menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut dan kukunya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama bulan dzulhijjah (nailul author 5/200-203)<br /> Dalam riwayat Abu Daud, Muslim dan an-Nasa’I disebutkan “barangsiapa mempunyai sembelihan hewan udhiyah yang akan disembelihnya maka jika telah terbit bulan tsabit dari dzulhijjah maka janganlah memotong dari rambut dan kukunya sampai dia menyembelih”<br /> An-Nawawi berkata “yang dimaksud larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku atau memecahkannya atau selainnya. Dan larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu (campuran tertentu untuk menghilangkan rambut) atau selainnya. Sama saja apakah itu rambut ketiak, kumis, rambut kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang ada ditubuhnya” (syarhu Muslim 13/139-139)<br /> Larangan ini hanya berlaku bagi orang yang hendak berkurban saja dan tidak untuk keluarganya (syarhul mumti’ : 7/529)<br /> Kedua : disunahkan membaca takbir dan basmalah ketika menyembelih hewan udhiyah. Sebagaimana riwayat anas bahwa ia berkata “Nabi berkurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangannya, dengan mengucapkan basmalah dan takbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di kedua domba… tersebut” (Bukhari 5558, muslim 1966 dan abu daud 279<br /> Ketiga : disunahkan bagi orang yang berkurban, untuk memakan daging kurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang kafir dan menghadiahkan kepada karib kerabatnya. Nabi bersabda “makanlah daging kurban itu, dan berikanlah kepada fakir miskin dan simpanlah (HR Ibnu Majah dan at-Trirmidzi hadits shahih)<br /> Berdasarkan hadits itu pemanfaatan daging kurban dilakukan menjadi tiga bagian atau cara : yaitu makanlah, berikanlah kepada fakir miskin dan simpanlah. Namun pembagian ini tidak bersifat wajib akan tetapi mubah (lihat Ibnu Rusyd bidayatul mujtahid 1/352. figh sunah sayid sabiq)<br /><br />ARISAN KURBAN<br /> Mengadakan arisan dalam rangka berkurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk kurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama’ menganjurkan untuk berkurban meskipun dengan hutang. Diantaranya adalah imam abu hatim sebagaimana yang dinukil oleh ibnu katsir dari sufyan at-tsauri (tafsir ibnu katsir, surat al-haj : 36). Demikian pula imam ahmad dalam masalah aqiqah.<br /> Sebagian ulama’ yang lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada berkurban. Diantaranya adalah syaikh Utsaimin dan ulama’ tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan DR Abdullah faqih (lihat fatwa syabakah islamiyah no : 7198 dan 28826 ). Syaikh Utsaimin mengatakan “jika orang yang punya hutang maka selayakanya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berkurban. (syarhul mumti’ : 7/455)<br /> Barangkali jika dikompromikan dengan yang membolehkan hutang untuk erkurban adalah jika hutangnya ringan. Sedangkan yang diharuskan mendahulukan hutang jika hutangnya dibutuhkan dan juga memberikan bagi si penghutang.<br /><br />KAPANKAH KURBAN MENJADI WAJIB ?<br /> Syaikh Utsaimin menjelaskan berkurban menjadi wajib bagi seseorang ketika :<br />1. Dia menyatakan bahwa ternak ini adalah udhiyah. Maka pada saat itu ia wajib menyembelih hewan tersebut pada saat idul adha dating nanti.<br />2. Membeli hewan dengan niat untuk udhiyah. Tapi ini hanya berlaku jika dia membeli dalam posisi mengganti hewan yang akan dia kurbankan namun karena suatu hal hewan tersebut mati atau hilang.<br />Catatan : <br />1. Hewan tersebut tidak boleh dijual dihibahkan atau digadaikan. Kecuali jika diganti dengan yang lebih baik. Itupun harusa karena motivasi demi kebaikan udhiyah. Bukan karena ada tendensi pribadi semisal kambing tersebut adalah kambing kesayangan lalu ia ingin mengganti agar kambing itu tidak disembelih. Sebab sama saja ia ingin mengembalikan sesuatu yang sudah ia keluarkan untuk Allah<br />2. Jika pemilik hewan wafat setelah hewan itu berubah statusnya menjadi wajib untuk disembelih maka ahli warisnya harus menyembelihnya<br />3. Sebaiknya hewan tersebut tidak diberdayakan untuk membajak dinaiki, diperah, diambil bulunya dan sebagainya<br />4. Jika status hewan tersebut menajdi wajib untuk dikurbankan lalu ditengah perjalanan ternyata terjadi kecelakaan yang membuat hewan tersebut cacat maka ada dua kondisi : <br />• Jika kecelakaan tersebut karena factor kesengajaan atau keteledorannya maka orang yang berkurban harus mengganti hewan tersebut dengan minimal yang semisal. Lalu hewan yang cacat itu menjadi miliknya<br />• Jika cacat tersebut karena sesuatu yang tidak disengaja dan bukan karena keteledorannya dalam menjaganya, maka hewan tersebut tetap dijadikan udhiyah dan tidak menggantinya. Kecuali jika sebelum status hewan tersebut menjadi wajib, dia memang sudah memiliki kewajiban untuk berkurban. Misalnya saya bernadzar untuk berkurban tahun ini. Lalu dia membeli kambing status kambing pun jadi wajib dikurbankan. Lalu terjadilah kecelakaan yang membuat kambing itu cacat. Maka dia harus tetap mengganti untuk kemudian disembelih guna memenuhi nadzarnya. Dan jika hewan penggantinya lebih jelek kualitasnya, ia harus bersedekah al-arsy yaitu harga yang merupakan selisih antara harga kambing yang diganti dengan penggantinya. Hokum ini juga berlaku jika hewan tersebut dicuri atau hilang.<br />• Jika hewan tersebut rusak ada tiga kondisi pertama ; jika rusaknya bukan karena factor manusia seperti sakit, atau bencana atau ulah si hewan sendiri lalu dia mati maka tidak wajib mengganti. Kedua ; jika matinya karena ulah pemiliknya maka ia harus mengganti . ketiga ; jika matinya karena orang lain dan masih dimungkinkan orang tersebut mengganti, maka ia diminta untuk menggantinya, kecuali jika pemiliknya memaafkan dan bersedia mengganti.<br />5. Jika hewan tersebut melahirkan setelah statusnya menjadi wajib untuk disembelih maka anak hewan itu harus disembelih pula.<br />6. jika setelah disembelih dagingnya dicuri, jika karena keteledorannya ia harus mengganti dengan sedekah yang senilai. (diringkas ahkaul udhiyah wa addzakah pasal kelima karya syaikh al-Utsaimin)<br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-83331490874515578022009-11-20T15:24:00.000-08:002009-11-20T15:28:28.270-08:00Bersyukur dengan udhiyahMenghitung ni'mat dan karunia Allah swt memang tak ada habisnya. Andai saja air laut yang terhampar dilautan dijadikan sebagai tinta dan seluruh pepohonan sebagai pena, niscaya tak akan cukup untuk menghitungnya. Limpahan ni'mat dan karunia ini mejadikan manusia tidak akan pernah mampu untuk berbalas budi kepada Allah meski haruh mengabdikan diri dengan menghabiskan seluruh usianya. Namun, bukan berarti kita tidak perlu berbalas budi. Sebagai hamba kita seharusnya tau diri dihadapan Allah subhanahu wata'ala dengan menta'ati apa yang diperintahkan dan dianjurkan olehNya. Seorang karyawan yang bekerja disebuah perusahaan tentunya akan mentaati setiap perintah yang datang dari atasannya. Meski sebenarnya gaji yang ia dapatkan tidak sebanding degan ni'mat yang Allah berikan kepada kita secara Cuma-Cuma. Lantas pantaskah kita meremehkan perintah yang disyariatkan oleh Allah?<span class="fullpost">Rasulullah saw adalah satu sosok manusia yang paling sempurna dalam mengabdikan diri kepada Allah swt. Sebagai contoh, saat turunnya surah al-kautsar. Ketika itu beliau Shollallohualaihi wasallam tertidur sejenak kemudian mengangkat kepalanya sambil tersenyum, lantas para sahabatpun bertanya: Wahai Rosululloh mengapa engkau tersenyum? Ia pun bersabda: "Sesungguhnya baru saja turun kepadaku ayat: (Sesungguhnya aku telah memberikan kepadamu Al-kautsar, maka sholatlah dan menyembelihlah)". Rasulullah saw dan para sahabatnya dengan penuh ketaatan dan rasa syukur terhadap karunia besar yang dijanjikan tersebut, segera melaksanakan udhiyah. Bahkan rasululallah mengancam bagai mereka yang mempunya keluasan harta namun enggan untuk berudhiyah untuk tidak mendekati tempat shalat beliau. "barang siapa yang mempunyai keluasan harta namun tidak berudhiyah maka jangan sekali-kali mendekat tempat shalat kami". (Hr. Tabrani)<br />Dengan demikian, Udhiyah merupakan salah satu bukti ungkapan rasa syukur terhadap karunia Allah dan mencontoh apa yang telah disunnahkan oleh rasulullah. Sebagai muslim yang baik, dengan keluasan harta yang diberikan oleh Allah swt, tentunya kita tidak akan ketinggalan untuk turut melaksanakan amalan yang sangat mulia ini. Wallahu a'lam bis shawab<br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-81506693623236697062009-11-20T15:11:00.000-08:002009-11-20T15:29:23.668-08:00Antara Kebangkitan Islam Dan Radikalisme(Tela’ah kritis terhadap tulisan “Isy kariman aw mut syahidan Slogan pembangkit militansi Teologi kematian dan Kekuasaan”. Jawa pos 27 sept 2009)<br /> Pasca serangan 11 september 2001 dengan merebaknya issu “pemberantasan terorisme” nampaknya menjadi senjata ampuh bagi amerika “sang teroris sejati” untuk menghancurkan islam. Setelah sekian lama mendapatkan jalan buntu akhirnya mereka mendapatkan jalan baru untuk mewujudkan obsesi mereka selama ini. Dengan issu itulah mereka mengadakan infasi ke Afghanistan dan irak yang merupakan bahagian dari negeri kaum muslimin. Tidak cukup sampai disitu bagi negera-negara islam yang belum memungkinkan bagi mereka untuk dijajah, mereka menyerangnya dengan pemikiran. <br /><span class="fullpost"><br /><br />Tak dapat dipungkiri bahwa metode baru yang mereka gunakan cukup memberikan pengaruh terhadap ummat islam diseluruh penjuru dunia. Jutaan nyawa kaum muslimin melayang dan lebih ironisnya, sebahagian kaum muslimin tidak perduli terhadap nasib mereka dan dengan tidak sadar justru menyalahkan kaum muslimin dan mendukung kejahatan orang-orang kafir yang dibalut dengan slogan “Pemberantasan Teroris”. Mereka tidak sadar kalau ternyata mereka juga sudah terjajah secara pemikiran oleh musuh-musuh islam sehingga hakikat kebenaran tentutup dari pandangan mereka.<br /> Pernyataan bush pasca serangan WTC “with us or with terrorist” ternyata mampu mengelabui kaum muslimin. Mereka menelan pernyataan dengan mentah-mentah dan tidak menyikapinya secara obyektif yang mengakibatkan mereka terjebak kedalam perangkap musuh. Hingga jangan heran kalau ternyat jutru kaum muslimin sendiri yang turut menghancurkan benih-benih kebangkitan islam yang sering diidentikkan dengan radikalisme. <br /> Berbagai tulisan yang menyudutkan gelora kebangkitan islam tersebar diberbagai media. Sebagai mana sebuah tulisan yang dimuat dalam harian Jawa Pos 27 september 2009 dengan judul “Isy kariman aw mut syahidan Slogan pembangkit militansi Teologi kematian dan Kekuasaan”. Dari opini yang coba dibangun oleh sang penulis memberikan gambaran bahwa gelora kebangkitan islam yang merebak ditengah-tengah ummat bukanlah merupakan satu nilai positif yang perlu dilestarikan. Justru sang penulis menggapnya sebagai suatu kekeliruan yang perlu dibenahi atau diberantas.<br /> Padaha sejatinya, slogan “isy kariman aw mut syahidan” yang penulis anggap sebagai slogan pembangkit Radikalisme adalah cerminan pribadi seorang muslim yang sebenarnya. Kalau beliau mau menyikapi slogan tersebut secar obyektif tentunya beliau akan mengetahui bahwa dengan tampilalnya islam sebagai satu sosok yang mulian, dengan itulah ia akan mampu menjadi khalifah dipermukaan bumi yang akan mampu melestarikan keadilan dan menghancurkan keadilan. Berarti dengan merealisasikan slogan tersebutlah islam akan tampil sebagai rahmatan lil alamin sebagaimana yang dikatakan oleh sang penulis bahwa islam adalah Rahmatan Lil Alamin.<br /> Penulis juga sepertinya rancu dalam memahami istilah “Rahmatan lil alamin” sehingga menganggap bahwa jihad bukanlah bahagian dari rahmatan lil alamin. Satu hal yang harus kita fahami bahwa istilah-istilah syarie seharusnya ditafsirkan dengan perngertian syariw pula. Bukan menafsirkan istilah-istilah syarie hanya berdasarkan kepada akal dan perasaan belaka. Tidak ada yang memungkiri bahawa rasulullah saw adalah satu sosok yang paling mampu merealisasikan istilah Rahmatan lil alamin. Namun sejarah membuktikan bahwa beliau adalah seorang panglima perang yang sering melakukan peperangan yang tentu padanya terdapat korban dan kerusakan meski itu semua tetap berada dalam batasan-batasan syar’ie. Dengan kata lain, ketikan seseorang benar-benar ingin menjadi satu sosok yang tampil sebagai rahmatan lil alamin, maka hendaklah ia melaksanakan setiap syariat islam meskipun hal tersebut terasa asing dan berat bagi dirinya. <br /> Kalau saja sang penulis ingin benara-benar menjadi sosok yang rahmatan lil alamin, seharusnya beliau turut mendukung gelora kebangkitan islam dan bukan jutsru menuduhnya sebagai radikalisme. <br /> By: Uweis Abdullah <br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-45719776033443430442009-08-01T02:18:00.000-07:002009-08-01T02:21:44.798-07:00Menyongsong Persatuan Melalui Penyeragaman Puasa dan IedMUQADDIMAH<br /> Diinul islam adalah agama yang dibangun diatas persatuan. Dan ia menjadi ciri khusus yang membedakannya dari agama-agama yang lain. Berkata syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab ketika menjelaskan perkara-perkara jahiliah: "mereka orang-orang jahiliyah berpecah belah dan beranggapan bahwa as-sam'u wat tha'ah (Mendengar dan ta'at kepada pemimpin) adalah kehinaan dan kenistaan, kemudian Allah l memerintahkannya untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan" .<br /> Allah l berfirman:<br />وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ<br />"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara. dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk" (Qs. Al-Imran: 103)<br /><span class="fullpost">Di ayat lain Allah l juga berfirman:<br />وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ<br />"dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". (Qs. Al-Anfal: 46)<br />Di ayat lain Allah l berfirman:<br />وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ<br />"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat". (Qs. Ql-Imran: 105)<br />Firmannya juga:<br />إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعاً لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ<br />"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan , tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat". (Qs. Al-An'am: 159)<br />SIMBOL PERSATUAN DALAM PUASA DAN IED<br /> Di dalam syari’at yang Allah k turunkan kepada hambanya tentu mengandung maslahat baik yang langsung dapat dideteksi oleh indra manusia atau tidak disadari oleh manusia. Termasuk di dalam syai’at puasa dan ied ada maslahat besar yang terpendam dibaliknya yaitu persatuan. Simbol persatuan tersebut dapat difahami dari hadits Rasulullah ` yang berbunyi:<br />الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ<br />“puasa adalah saat dimana kalin semua berpuasa dan fitri adalah saat diamana kalian semua berfitri dan hari adha adalah saat kalian semua melaksanakan udhiyah”. (Hr. Tirmidzi)<br /> Disebutkan dalam tuhfatul ahwadzi :<br />وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ : إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ<br />bahwa yang dimaksud dengan hadits diatas adalah perintah untuk melaksanakan puasa mengikuti jama’ah dan mayoritas manusian <br />Dari hadits diatas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan puasa terdapat simbol persatuan. Yaitu dengan melaksanakannya bersama-sama mayoritas manusia. Dan barang tentu bahwa kebersamaan merupakan salah satu indikasi persatuan. Sedangakan penyelisihan terhadap perintah untuk melaksanakan secara bersama’an merupakan indikasi perpecahan. Majelis fatwa lajnah da’imah pernah ditanya tentang sebahagian kaum muslimin yang melakukan ramadhan meyelisi mayoritas kaum muslimin dengan alasan bahwa mereka tidak meyakini ru’yah hilal kecualil dengan melihat secara mata telanjang dan tanpa menggunakan alat maka dijawab sebagai berikut:<br />يجب عليهم أن يصوموا مع الناس ويفطروا مع الناس ويصلوا العيدين مع المسلمين في بلادهم لقول النبي صلى الله عليه وسلم: « صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة » متفق عليه، والمراد الأمر بالصوم والفطر إذا ثبتت الرؤية بالعين المجردة أو بالوسائل التي تعين العين على الرؤية لقوله صلى الله عليه وسلم: « الصوم يوم تصومون والإفطار يوم تفطرون والأضحى يوم تضحون<br />“wajib bagi mereka untuk berpuasa bersama manusia dan fitri bersama manusia serta shalat iedain bersama kaum muslimin dinegaranya. Berdasarkan hadits rasulullah ` (berpuasalah kalian dengan ru’yah dan fitrilah dengan ru’yah. Dan apabila terjadi mendung maka sempurnakanlah bilangannya) mutafaq alaihi. Maksudnya adalah perintah untuk berpuasa dan fitri apabila telah terlihat bulan denga mata telanjang atau dengan alat bantu untuk melihatnya. Ini berdasarkan hadits rasulullah ` “puasa adalah saat kalian semua berpuasa dan fitri adalah saat kalian semua befitri dan adha adalah saat kalian semua menunaikan udhiyah”. <br />Berkata syaikhul islam ibnu taymiyah:<br />Nampaknya bulan bagimanusia meski yang meliahatnya sepuluh orang namun tidak dianggap oleh mayoritas penduduk negeri karena kesaksiannya tertolak, atau mereka tidak mau bersaksi atasnya, maka hukumnya adalah hukum mayoritas kaum muslimin. Mereka tidak boleh melakukan wukuf, adha dan shalat ied kecuali bersama mereka. Maka demikian pula halnya dengan puasa harus bersama kaum muslimin. Inilah ma’na hadits rasulullah: <br />صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ ، وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ ، وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ<br />”puasa kalian adalah saat dimana kalian semua berpuasa dan fitri kalian adalah saat dimana kalian semua berfitri dan adha kalian adalah saat kalian semua beradha”.<br />Oleh karenanya imam ahmad berkata “hendaknya mereka berpuasa bersama imam dan jama’ah kaum muslimin baik dalam suasana terang atau mendung” <br />MOMENTUM PEMBAGUNAN PILAR PERSATUAN<br /> Islam telah meletakkan pilar-pilar persatuan diantaranya pada puasa dan peleksanaan ied. Ini dapat kita fahami hadits yang yang disampaikan rasulullah tentang kewajiban mengikuti mayoritas kaum muslimin. Adapun pilar-pilar persatuan tersebut adalah:<br />1. Mengiklaskan niat dalam setiap amal ibadah<br /> Keikhlasan akan menjadikan persatuan terasa indah meski harus mengalahkan pendapat sendiri. Karen tujuan yang akan dicapai tidak lain adalah keridhaan Allah k. Allah k bersabda:<br />قل إني أمرت أن أعبد الله مخلصاً له ديني<br />Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (Qs. -Zumar: 11)<br />Rasulullah ` bersabda:<br />إنما الأعمال بالنيات ولكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه<br />“sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barag siapa yang hijrahnya untuk Allah dan rasulnya maka baginya keridhaan dari Allah dan rasulnya. Dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang ia inginkan atau wanita yang akan ia nikahi maka baginya adalah apa yang ia inginkan”. (Hr. Bukhariy)<br /> Dan barang tentu bahwa suatu amalan yang tidak disasarkan kepada keikhlasan akan tercemari dengan hasad, mencari ketenaran dan yang sejenisnya yang menyebabkan perpecahan ditengah kaum muslimin. <br />2. Bersatu diatas kebenaran<br />Dan tentunya kewajiban untuk mengikuti kebanyakan manusia adalah apabila merka berpegang kepada kebenaran yang berasal dari al-qur’an. Pendapat kebanyakan manusia apabila tidak bersandar kepadanya merupakan kesesatan. Sebagaimana firman Allah k yang berbunyi:<br />وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ<br />“dan apabila kalian mengikuti kebanyakan manusia dimuka bumi maka mereka akan menyesatkan kalian dari Allah”. (Qs. Al-An’am: 116)<br />Sehingga disebutkan dalam tuhfatul ahwadzi bahwa yang dimakud dengan hadits “puasa adalah saat diamana kalian berpuasa dan fitri adalah saat kalian berfitri”. Adalah:<br /> إِنَّهُ إِخْبَارٌ بِأَنَّ النَّاسَ يَتَحَزَّبُونَ أَحْزَابًا وَيُخَالِفُونَ الْهَدْيَ النَّبَوِيَّ ، فَطَائِفَةٌ تَعْمَلُ بِالْحِسَابِ وَعَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ النَّاسِ ، وَطَائِفَةٌ يُقَدِّمُونَ الصَّوْمَ وَالْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ وَجَعَلُوا ذَلِكَ شِعَارًا وَهُمْ الْبَاطِنِيَّةُ ، وَبَقِيَ عَلَى الْهَدْيِ النَّبَوِيِّ الْفِرْقَةُ الَّتِي لَا تَزَالُ ظَاهِرَةً عَلَى الْحَقِّ فَهِيَ الْمُرَادَةُ بِلَفْظِ النَّاسِ فِي الْحَدِيثِ وَهِيَ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ وَلَوْ كَانَتْ قَلِيلَةَ الْعَدَدِ<br />“Itu merupakan penghabaran bahwa manusia akan berkelompok-kelompok dan meyelisihi petunjuk dari nabi. Sekelompok menggunakan hisab dan diikuti oleh sebahagian manusia. dan kelompok yang lainnya mengawalkan shaum dan wukuf di arafah dan menjadikan hal tersebut syiar khusu dan mereka adalah golongan bathiniyah. Dan tersisa sekelompok yang tetap berada di atas petunjuk nabi dan ia akan nampak diatas kebenaran. Itulah yang dimaksud “ puasa (bersama) manusia” di dalam hadits. Dan ia sawadul a’dzom meski sedikit jumlahnya”. <br />(lihat tuhfatul ahwadzi)<br />3. Melepaskan belenggu ashabiah jahiliah<br />Dalam membangun persatuan hendakalah kaum muslimin melepaskan diri dari belenggu ashabiah jahiliyah. Yaitu saling tolong menolong dalam kesalahan dan kedzoliman. Ini bisa terwujud dengan cara menguatkan pendapat kelompoknya meski nyata-nyat salah. Seakan-akan ia mengukur kebenaran dan membatasinya sebatas apa yang sesuai dengan kelompoknya tanpa memperhatian kekuatan hujjah yang dijadikan pegangan. Sikap semacam ini sebagaimana perbuatan orang-orang jahiliah. Sudah barang tentu bahwasanya ashabiyah adalah sebab terjadinya perpecahan pada tubuh kaum muslimin dan tertutupnya diri seseorang dari kebenaran yang mungkin saja berada di fihak orang lain. Rasulullah ` pernah ditanya tentang ashabiyah beliau menjawab: “yaitu kalian membantu kaum (kelompok) kalian dalam kedzaliman”. (Hr. Ahmad)<br />4. mengembalikan perkara kepada Al-qur’an dan sunnah<br />Yang menjadi ukuran kebenaran mutlak adalah apa yang datang dari al-qur’an dan sunnah rasulullah. Sehingga apabila terjadi perselisihan diatara kaum muslimin terkhusus kaitaanya dengan waktu pelasanaan puasa dan ied maka hendaknya dikembalikan kepada pendapat yang paling sesuai dengan al-qur’an dan sunnah. Allah k berfitman:<br />فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا<br />“Dan apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan rasulnya apabial kalian beriman kepada Allah dan hari akhir yang demikian itu lebih baik bagi kalian dan merupakan sebaik-baik ta’wil”. (Qs. An-Nisa: 59)<br />Ibnu katsir berkata: “berhukum kepada kitab Allah dan sunnah rasulullah ` dalam menyelesaikan persengketaan adalah suatu kebaikan”. <br />Rasulullah ` bersabda:<br />تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ<br />“aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabial berpegang teguh pada keduanya. Yaitu kitab Allah k dan sunnah rasulnya. (Hr. Malik)<br />5. mengikuti cara pandang para salafus shalih dan ulama ahlus sunnah.<br />Ini merupakan keniscayaan karena ummat saat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan menempuh jalan yang dicontohkan para salafus shalih. Allah k berfiman”<br />وإذا جاءهم أمر من الأمن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم<br />Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) . (Qs. An-Nisa: 83)<br /> Dalam ayat diatas Allah k mencela orang-orang bodoh yang tidak mau bertanya kepada orang yang berilmu. Hingga mejadikan mereka kacau balau dan membuat kerusakan dimuka bumi. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang khawarij yang memandang suatu permasalan tidak segaimana para ulama ahlussunnah dan menafsirkan sesuatu menuruti hawa nafsunya dan terbawa oleh emosional. <br />Referensi<br />At-Thariq ila wahdatil ummah, karya abdurrahman bin abdul khaliq<br />Majmu fatawa lajnah daimah, maktabah syamilah<br />Tuhfatul ahwadzi, maktabah syamilah<br />Fatawa al-kubra, maktabah syamilah<br />Tafsir al-qur’anul adzim, maktabah syamilah<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-7615270970225289122009-07-28T23:07:00.000-07:002009-07-28T23:11:07.751-07:00I'DADUL QUWWAHA. Muqaddimah<br />Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah swt sebagai Rabb yang menguasai langit dan bumi. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah l maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah l maka tidak seorangpun yag bisa memberinya petunjuk. Shalawat serta salam kepada nabi Muhammad sebagai hamba dan rasulnya, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang masih tetap konsisten dalam meniti jalan hidup di atas jalan yang beliau contohkan<br />Akhir-akhir ini gelora jihad terutama dikalangan para pemuda makin semarak. Berbagai macam slogan baik secara lilsan atau tulisan tersebar dimana-mana. Fenomena ini di satu sisi memang menandakan adanya perkembangan positif dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yang mana seseorang harus sembunyi-sembunyi dalam menyebarkan fikrah jihad. Namun perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa amaliah jihadiah bukanlah suatu amalan yang mudah laksana membalikkan telapak tangan. Syaikh Abdullah azzam rahimahullah berkata:<br />إِنَّ الْجِهَادَ فِي سَبِيْلِ الله هُوَ مِنْ أَشَقِّ الْأُمُورِ لَا يَحْتَمِلُهُ إِلَّا قَلِيْلٌ مِنَ النَّاسِ<br />"Sesungguhnya jihad dijalan Allah adalah merupakan urusan yang paling berat. Tidak ada yang mampu memikulnya kecuali hanyalah sebahagian kecil dari manusia".<br /><span class="fullpost"> <br />Jihad haruslah diawali dengan i'dad yang merupakan penentu keberhasilan. Allah l telah mewajibkannya di dalam al-qur'an demikian juga Rasulullah di dalam sunnahnya. Barang siapa yang meninggalkan i'dad sebelum nenunaikan faridhah jihad pada hakikatnya ia meninggalkan sebab datangnya kemenangan. Karena ia tidak memenuhi tuntutan tawakkal yaitu ikhtiyar. Padahah amaliyah jihadiah adalah suatu amalan yang berlandaskan kepada tawakkal kepada Allah l atas resiko yang akan terjadi.<br />Makalah dengan judul I'DADUL QUWWAH URGENSI DAN JENIS-JENISNYA ini, akan sedikit menguraikan permasalah I'dad yang meliputi urgensi dan jenis-jenisnya. Dan tentunya tulisan ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu perlu adanya koreksian dari pembimbing dan pembaca sekalian agar bisa menjadi lebih baik dan layak untuk dijadikan wawasan keilmuan.<br /><br />B. Urgensi I'dad<br />I'dad merupakan pintu yang harus dilewati oleh seseorang sebelum menuju kapada faridhah jihad. Ia menjadi suatu perkara yang sangat urgen berdasarkan kepada dua alasan:<br />1. I'dad adalah ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah l dan Rasulnya n.<br />Allah l telah menetapkan syari'at I'dad dengan firmannya:<br />وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ<br />"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)". (Qs. Al-Anfal: 60)<br />Ayat ini menyebutkan tentang kewajiban I'dad yang kemudian diperjelas dengan hadits Rasulullah n yang diriwayatkan oleh imam muslim dari uqbah bin amir ia berkata, saya mendengar Rasulullah n bersabda di atas mimbar:<br />وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ<br />"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Ketahuilah sesungguhnya kekuatan adalah melempar, sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar, kekuatan itu adalah melempar".<br />Allah l juga berfirman:<br />وَلَوْ أَرَادُواْ الْخُرُوجَ لأَعَدُّواْ لَهُ عُدَّةً وَلَـكِن كَرِهَ اللّه انبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُواْ مَعَ الْقَاعِدِينَ<br />"Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka: Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu". (Qs. At-Taubah:46)<br />Di ayat lain Allah l juga berfirman:<br /><br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا<br />"Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama". (Qs. An-Nisa': 71)<br />Imam Asy-Syaukani berkata: "dikatakan bahwa ma'na ayat ini adalah, perintah bagi mereka untuk mengambil (mempersiapkan) senjata karena padanya terdapat perlindungan".<br />Adapun hadits-hadits Rasulullah n yang berkaitan dengan motivasi untuk melakukan i'dad diantaranya adalah hadits berkenaan dengan jenis-jenis binatang tungggangan yang terbagi menjadi tiga. Salah satunya adalah kuda tunggangan yang mendatangkan pahala bagi pemiliknya. Beliau bersabda:<br />فَأَمَّا الَّتِي هِيَ لَهُ أَجْرٌ فَالرَّجُلُ يَتَّخِذُهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَيُعِدُّهَا لَهُ فَلَا تُغَيِّبُ شَيْئًا فِي بُطُونِهَا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرًا<br />"adapun kuda tunggangan yang berupa pahala bagi pemiliknya adalah yang dipelihara oleh seseorang di jalan Allah. Dan ia sengaja menyiapkan untuknya. Maka tidak sesuatupun yang ada diperutnya keculi Allah l akan mencatat padanya pahala". (Hr. Muslim)<br />Dan di hadits lain beliau n bersabda:<br />عَلَيْكُمْ بِالرَمْيِ ، فَإِنَّهُ خَيْرُ لَعْبِكُمْ<br />"hendaklah kalian berlatih melempar, karena ia adalah sebak-baik permainan kalian". (Hr. Tabhrani)<br />Dan sabdanya juga:<br />مَنْ عَلِمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا أَوْ قَدْ عَصَى<br />"barang siapa yang padai melempar kemudian meninggalkannya, maka tidak termasuk golongan kami atau telah membangkang". (Hr. Muslim)<br />2. I'dad adalah faktor terbesar penentu kemenangan.<br />Allah l senantiasa mengaitkan suatu keberhasilan dengan kesusah payahan dan usaha maksimal yang dilakukan oleh seseorang. Sebagaimana Rasulullah n bersabda:<br />إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ<br />"sesungguhnya besarnya balasan (keuntungan) tergantung besarnya ujian". (Hr. Ibnu Majah)<br />Dan Allah l juga telah menjelaskan bahwa gentarnya musuh akan terjadi akibat usaha I'dad maksimal yang dilakukan oleh kaum muslimin. Sebagaimana firmannya: "yang dengan persiapan itu kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu". Kegentaran musuh ini adalah merupakan hasil dari usaha i'dad yang disebutkan pada potongan depan ayat tersebut. Yaitu :<br />وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْل<br />"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang". (Qs. Al- Anfal: 60)<br />Sehingga dengan demikian para sahabat rasulullah n sebagai mana Abu bakar dan umar senantiasa berpesan kepada kaum muslimin yang akan berangkat berjihad untuk mengawalinya dengan memperbanyak amal shaleh. Hal ini dikarenakan ia adalah faktor kemenangan. Mereka mengatakan:<br />إِنَّمّا تُنْصَرُوْنَ بِأَعْمَالِكُمْ<br />"sesungguhnya kalian itu akan dimenangkan karena amal-amal kalian".<br />Secara logika tentunya suatu pekerjaan yang diawali dengan persiapan yang matang akan menghasilkan sesuatu yang lebih memuaskan. Begitu juga sebaliknya. Sehingga kalau kita mencermati sejarah perjalan jihad yang dilakukan oleh Rasulullah n dan para sahabat selalu diawali dengan I'dad. Meski ia merupakan suatu amal kewajiban yang mulia, dan Allah l telah menjanjikan kemenangan atas tentaranya, namun bukan berarti boleh meninggal faktor-faktor penyebab kemenangan. Dan merupakan sunnatullah bahwasanya suatu amalan meskipun ia adalah kebaikan namun tidak tersusun dengan rapi, maka akan terkalahkan dengan kekuatan yang tersusun dengan rapi meski ia adalah kebatilan yang nyata. Aliy berkata:<br />الْحَقُّ بِلَا نِظَامٍ غَلَبَهُ الْبَاطِلُ بِالنِّظَامِ<br />"Kebenaran yang tidak tertata rapi akan terkalahkan denga kebatilan yang tertata rapi".<br />C. Bentuk-bentuk I'dad<br />Gambaran I'dad secara gelobal mencakup segala aspek terbagi menjadi dua. Yaitu I'dad ma'nawiy dan I'dad madiy. Masing-masing dari pembagai tersebut mempunya perincian sebagai berikut:<br />1. I'dad ma'nawiy<br />I'dad ma'nawi adalah persiapan yang berkaitan dengan pembentukan integritas kepribadian seseorang. Dan ini mencakup tiga hal, yaitu pembentukan keimanan, fikroh dan akhlaq.<br />a. Pembentukan keimanan<br />Keimanan akan terbentuk dengan senantiasa memperbanyak amal shaleh. Semakin banyak amal yang dilakukan oleh seseorang maka akan semakin menghunjam keimanan pada dirinya. Sebagaimana tabi'at iman adalah bertambah dan berkurang, ia akan bertambah dengan memperbanyak amal keta'atan dan berkurang dengan kema'syiatan.<br />Allah l sering menyandingkan keimanan dan amal shaleh dalam banyak ayat di dalam al-qur'an. Diantaranya adalah firmannya:<br />وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا<br />"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa". (Qs. An-Nur: 55)<br />Oleh karena itulah para sahabat senatiasa berpesan kepada pasukan yang akan berangkat berjihad untuk memperbanyak amal shaleh.<br />إِنَّمّا تُنْصَرُوْنَ بِأَعْمَالِكُمْ<br />"sesungguhnya kalian itu akan dimenangkan karena amal-amal kalian".<br />Kekuatan iman yang menghunjam pada diri seseorang akan menjadikan dirinya teguh dalam menghadapi coba'an berat yang akan ia hadapi di medan pertempuran. Sebagaimana jihad adalah suatu amalah yang penuh dengan resiko dan kepayahan.<br />b. Pembentukan fikroh<br />Pembentukan fikroh sangatlah penting ditengah-tengah kondisi masyarakat yang banyak tercemari oleh finah syubhat. Terutama dalam masalah jihad kita dapatkan berbagai pengkaburan ma'na dari yang sebenarnya. Sedangakan amaliah jihadiah sangatlah memerlukan adanya penyatuan fikrah, karena penyimpangan yang terjadi, justru akan menjauhkan seseorang dari tujuan jihad yang sebenarnya serta mendorongnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak selayaknya dilakukan.<br />Dan tentunya seseorang akan terdorong untuk melakukan suatu amalan sesuai dengan fikrahnya. Hal ini sebagaimana terori psikologi pendidikan yang dikemukakan oleh ibnu qoyyim al-jauziah, beliau berkata:<br />مَبْدَأُ كُلِّ عِلْمٍ نَظَرِيِّ وَعَمَلٍ اخْتِيَارِيٍ هُوَ الْخَوَاطِرُ وَالْأَفْكَارُ. فَإِنَّهَا تُوْجِبُ التَّصَوُّرَات وَالتَّصَوُرُاتُ تَدْعُو إِلَى الإِرَادَات وَالْإِرَادَاتُ تَقْتَضِي وُقُوع الْفِعْلِ, وَكَثْرَةُ تِكْرَارِهِ تُعْطِي الْعَادَةَ<br />"awal mula dari suatu ilmu (terori) dan amal perbuatan adalah perasaan dan fikiran. Ia akan membentuk suatu persepsi, dan persepsi akan medorong seseorang untuk berkeinginan, dan keinginana akan mendorong seseorang melakukan suatu tindakan. Dan tindakan apabial diulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan".<br />Adapun sarana yang bisa digunakan untuk pembentukan fikroh adalah:<br /> Halaqoh-halaqah ta'lim<br />Melalui halaqah-halaqah majelis ta'lim seseorang akan mendapatkan bimbingan tentang fikrah yang benar. Dan dalam pembinaan tersebut, telah ditetapkan meteri panduan sesuai dengan jenjang masing-masing.<br /> Ma'had (Pondok pesantren)<br />Ma'had adalah sarana paling efektif untuk pembentukan fikrah. Hal ini dikarenakan pengontrolan terhadap para kader dapat dilakukan secara ketat.<br />c. Pembentukan Akhlaq<br />Sebagai sosok mujahid yang memikul beban amalan yang paling mulia, tentunya juga harus mempunyai bekal akhlaq yang mulia pula. Baik akhlaq yang menyangkut hubungan seorang hamba kepada rabbnya atau hubungan antar sesama manusia. Akhlaq adalah suatu reaksi spontan yang muncul dari diri seseorang tanpa haru difikir atau direncanakan terlebih dahulu. Tentunya akahlaq ini merupakan efek dari nilai-nilai kebaikan yang tertanam pada diri seseorang dan senantiasa diulang-ulang hingga menjadi akhlaqnya.<br />Sa'id hawa di dalam kitab beliau "jundullah tsaqofatan wa akhlaqan" mengelompokkan akhlaq dasar yang harus dimiliki oleh setiap jundullah menjadi lima. Yang mana akhlaq-akhlaq lainnya hanya merupakan bahagian darinya. Lima akhlaq dasar Itu adalah: Al-Wala' (loyalitas), Al-Mahabbah (Kecinta'an), Dzillatun Alal Mu'minin (merendahkan diri kepada sesama muslimin), dan Al-Izzah Alal Kafirin (Memuliakan diri dihadapan orang-orang kafir)<br />Inilah lima akhaq pokok yang harus dimiliki oleh jundullah dan menjadi ciri khusus bagi dirinya.<br />2. I'dad maadiy<br />I'dad ini meliputi masalah pembentukan tandzim, keterampilan mengoperasikan senjata serta pendana'an dan perlengkapan persenjataan.<br />a. Pembentukan tandzim<br />Allah l berfirman:<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ<br />"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu". (Qs. An-Nisa: 59)<br />Berkata syaikhul islam Ibnu Taymiyah: "wajib untuk diketahui bahwa kepemimpinan bagi manusia merupakan perkara paling penting. Karena dunia dan agama tidak akan tegak kecuali dengannya. Dan maslahat bagi manusia tidak akan terpenuhi kecuali dengan terkumpulkannya kebutuhan antara satu dengan yang yang lainnya. Dan bagi setiap perkumpulan mewajibkan adanya pemimpin sehingga Rasulullah n bersabda: "apa bila tiga orang keluar untuk bersafar maka salah satu haruslah menjadi imam". Dan diriwayatkan Imam Ahmad di dalam musnad dari abdullah bin amru bahwasanya nabi bersabda: "tidak halal bagi tiga orang yang berada di salah satu belahan bumi kecuali salah satunya harus menjadi pemimpin bagai mereka". Rasulullah n mewajibkan bagi seeorang untuk memimpin dalam sekumpulan kecil sebagaimana dalam safar sebagai bentuk peringatan bagi setiap perkumpulan. Demikan juga Allah l telah mewajibkan Amar ma'ruf Nahi mungkar yang mana itu semua tidak mungkin terlaksana kecuali dengan kepemimpinan dan kekuatan. Begitu juga segala yang diwajibkan oleh Allah l seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, jum'at, ied, dan membantu orang yang terdzolimi".<br />Dengan demikian dapat kita fahami bahwa I'dad dengan cara pembentukan tandzim merupakan perkara penting yang tidak boleh diabaikan. Sampai-sampai Umar bin Khattab pernah berkata:<br />يَا مَعْشَرَ العَرَب الْأَرْضُ الْأَرْضُ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِالْجَمَاعَةِ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِالْإِمَارَةِ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِالطَّاعَةِ أَلَا مَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى فِقْهٍ كَانَ ذَالِكَ خَيْرًا لَهُ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ ذَالِكَ هَلَاكًا لَهُ وَلِمَنْ اتَّبَعَهُ<br />"wahai orang-orang arab. Dunia, dunia, sesungguhnya tidak ada islam kecuali dengan berjama'ah. Dan tidak ada jama'ah kecuali dengan kepemimpinan. Dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan adanya keta'atan. Ketahuilah barang siapa yang mayoritas kaumnya berada diatas ilmu maka yang demikian itu adalah kebaikan baginya. Dan barang siapa yang mayoritas kaumnya tidak berada di atas ilmu maka itu adalah kehancuran bagi dirinya".<br />Ada sebahagian kaum muslimin yang menganggap tandzim dalam suatu amal islami adalah perbuatan bid'ah. Mereka berhujjah dengan hadit Hudzaifah ibnul yaman yang berbunyi:<br />فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ<br /><br />"Dan apabila tidak ada jama'ah dan imam? Beliau bersabda: maka jauhilah firqoh-firqoh tersebut meski harus denga menggigit batang pohon hingga kematian datang menghampirimu". (Hr. Muslim)<br />Bantahan untuk pendapat ini adalah sebagai berikut:<br />Kelompok yang dimaksud oleh Rasulullah n untuk dijauhi adalah kelompok sesat sebagai mana sebagai mana dapat difahami melalui potongan hadits sebelumnya yang berbunyi:<br />دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ<br />"Da'i-da'i yang menyeru kepada pintu-pintu neraka jahannam".<br />Dan didapatkan pula di hadits-hadits lain yang merupakan pengecualian dari larang secara umum tadi sebagaimana hadits beliau n:<br />وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ<br />"dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang tujuh puluh dua didalam neraka sedangkan yang satu di dalam jannah, dan ia adalah jama'ah". (Hr. Abu dawud)<br />Dan sudah barang tentu bahwa firqoh najiah ini tidak masuk di dalam keumuman larangan Rasulullah n sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hudzaifah ibnul yaman di depan tadi. Rasulullah n juga bersabda:<br />لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ<br />"akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang senantiasa berperang diatas panji al-haq, dan mereka nampak sampai pada hari kiamat". (Hr. Muslim)<br />b. Keterampilan Militer<br />Keterampilan militer meliputi kecakapan fisik, pengoperasian senjata, dan strategi perang. Ini semua haruslah dimiliki bagai setiap kaum muslimin yang akan menunaikan faridhah jihad. Banyak kita dapatkan motivasi dari Rasulullah n berkenaan dengan keterampilan militer tersebut. Diantaranya adalah sabda beliau n :<br /><br />عَلَيْكُمْ بِالرَمْيِ ، فَإِنَّهُ خَيْرُ لَعْبِكُمْ<br />"hendaklah kalian berlatih melempar, karena ia adalah sebak-baik permainan kalian". (Hr. Tabhrani)<br />Dan sabdanya juga:<br />مَنْ عَلِمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا أَوْ قَدْ عَصَى<br />"barang siapa yang padai melempar kemudian meninggalkannya, maka tidak termasuk golongan kami atau telah membangkang". (Hr. Muslim)<br />c. Pendana'an dan perlengkapan senjata<br />Setiap kali Rasulullah n hendak melakukan amaliah jihadiah, beliau senantiasa menghasung para sahabat untuk mempersiapkan pendana'an dan persenjataan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah n sebelum melakukan perang tabuk. Ketika sampai kabar kepada kaum muslimin bahwa romawi akan menyerang kaum muslimin, para sahabat berbondong-bondong menginfakkan hartanya. Datanglah Utsman bin Affan dengan menginfakkan 200 ekor onta dan 200 uqiyah. Kemudia ia berinfak lagi untuk kedua kalinya dengan 100 ekor onta dan 1000 dinar. Sampai-sapai Rasulullah n bersabda:<br />مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْم<br />"tidak akan membahayakan Utsman apa yang ia lakukan setelah hari ini"<br />Kemudian datanglah Abdurrahma bin Auf dengan membawa 200 uqiyah emas, dan Abu Bakar dengan menginfakkah seluruh harta yang ia miliki dan ia tidak menyisakan untuk keluarganya kecuali Allah l dan rasulnya n , Umar bin Khattab menginfakkan separuh dari hartanya, Al-Abbas, Thalhah, dan Sa'ad bin Ubadah, mereka semua datang dengan membawa harta yang banyak. <br />D. Kesimpulan<br />Dari penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:<br /> I'dad merupakan perkara penting dan menjadi pintu bagi seseorang sebelum menunaikan faridhah jihad.<br /> Jihad dianggap perkara yang sangat urgen berlandaskan dua alasan yaitu: I'dan merupakan kewajiban yang diperintahkan secara langsung oleh Allah l dan Rasulnya n, demikian juga I'dad merupakan sebab terbesar datangnya kemenangan dari Allah l atas musuh-musuh islam.<br /> Secara global I'dad terbagi menjadi dua. Yaitu I'dad ma'nawi dan I'dan maadiy dengan perincian sebagai mana telah disebutkan sebelumnya.<br />E. Referensi<br />1. Al-Hikmah fid da'wah ilallah, karya Said bin Aliy bin Wahf al-qahtaniy<br />2. Al-Muslimun wat-tarbiyah asykariyah, karya Khalid Ahamad Asy-Syaltut<br />3. Jundullah tsaqofatan wa akhlaqan, karya Said Hawa<br />4. Majmu' fatawa Syaikhul islam Ibnu taymiyah, karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim Al-Ashimiy<br />5. Hukmul jihad, karya Ibrahim bin Abdurrahim Al-Khudriy<br />6. Al-Umdah fi I'dadil uddah, karya Abdul Qadir bin Abdul Aziz<br />7. Ar-Rahiqul Makhtum, karya Shafiyur Rahman Al-Mubarakfuriy<br />8. Dzahiratul Irja', karya Shafar bin Abdurrahman Al-Hawaliy<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-14550822082164590562009-06-24T05:54:00.000-07:002009-06-24T17:23:29.850-07:00POTRET DA'WAH BIJAKA. Muqaddimah<br /> Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah sebagai Rabb yang mengatur alam semesta. Shalawat serta salam kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in serta siapa saja yang masih kosnsisten dalam menapaki jalan hidup beliau.<br /> Da'wah merupakan salah satu dari sekian amal islami yang sangat mulia. Allah memberikan gelar kepada pelakunya sebagai sebaik-baik ummat. Namun, bukan berarti da'wah dapat dilakukan semaunya tanpa dibarengi dengan sikap yang bijaksana. Karena tanpa kebijaksanaan da'wah akan susah mencapai puncak keberhasilan yang diinginkan yaitu I'la'u kalimatillah. Diantara sikap bijak dalam berda'wah adalah Hikmah fil-qoul dengan memperhatikan kepada siapa perkataannya itu akan ia tujukan. Karena setiap golongan manusia mempunyai daya kemampuan tersendiri dalam menangkap dan menerima perkataan orang lain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kata-kata hikmah "Berbicaralah kepada manusia sesuai kadar kemampuannya". Dan inilah salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan seorang da'i dalam berda'wah<br /><span class="fullpost">Sebagaimana da'wah adalah merupakan suatu amalan yang ditujukan kepada berbagai corak manusia dengan berbagai keyakinan, mulai dari sesama kaum muslimin sendiri, ahlul kitab, musyrikin dan orang-orang atheis, maka setiap model dari masing masing keyakinan ini mengharuskan adanya cara tersendiri dalam berda'wah kepada mereka. Dalam makalah dengan judul POTRET DA'WAH BIJAK (Hikmah Fil-Qoul dalam berda'wah kepada sesama kaum muslimin) ini, penulis ingin memaparkan gambaran tentang cara berda'wah kepada sesama kaum muslimin dengan hikmah fil-qoul yang merupakan implementasi sikap bijak dalam medan da'wah. <br /> Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis pridabi dan kepada kaum muslimin secara umum. Dan penulis sadar sebagi manusia biasa, tentunya dalam maqalah ini terdapat beberapa kekeliruan, oleh karenanya kami terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembimbing dan pembaca sekalian. <br /><br /><br />B. Ta'rif (pengertian)<br /> Untuk memperjelas maksud judul yang tertera dalam makalah ini ada baiknya kami sedikit menerangkan maksud yang kami inginkan darinya secara global. <br /> Potret artinya adalah gambaran , Dawah artinya adalah suatu usaha baik melalui perbuatan atau perkataan atau atau pengetahuan dalam rangka mempengaruhi orang lain kepada suatu suatu pendapat atau millah , Bijak artinya adalah hati-hati cermat dan teliti dalam menghadapi kesulitan . Dengan demikain makna dari potret da'wah bijak adalah gambaran tentang da'wah yang penuh dengan kehati-hatian, dan cermat dalam menjalankannya.<br /> Hikmah artinya adalah tepat dalam melakukan tindakan dan perkataan dan menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya , Qoul berasal dari bahasa arab yang berma'na perkataan. Dalam berda'wah kepada sesama kaum muslimin ma'nanya adalah pembatasan bahasan berkisar seputar da'wah kepada kaum muslimin. Dengan demikian maksud dari Hikamah fil-Qoul dalam berda'wah kepada sesama kaum muslimin adalah sikap yang tepat dalam berdawah dari sisi perkataan kepada sesama kaum muslimin.<br /> Makna keseluruhan dari judul Potret da'wah bijak (hikmah fil-qoul dalam berda'wah kepada sesama kaum muslimin) adalah penejelasan tentang gambaran da'wah yang bijak yang terealisasi dengan da'wah bil qoul yang penuh dengan kehati-hatian dan kecermatan.<br />C. Strata kaum muslimin dalam tinjauan fiqh da'wah<br /> Dalam rangka mempermudah rancangan hikmah fil-qoul dalam berda'wah maka diperlukan pengklasifikasian kaum muslimin secara umum, karena setiap strata memerlukan metode tersendiri. Hal ini sebagaimana rasulullah pernah mengklasifikasikan manusia kaitannya dengan petunjuk yang belilau bawa. Beliau bersabda::<br />قَالَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ<br />"Permisalan petunjuk dan ilmu yang dengannya allah mengutusku adalah seperti hujan deras yang menghujani b`umi. Maka ada tanah baik yang meresapkan air sehingga tumbuh padanya rumput dan tumbuh-tumbuhan yang subur. Ada pula yang air tergenang sehingga Allah memberi manfaat bagi manusia. Mereka meminum airnya dan berladang dengannya. Dan ada pula yang jatuh pada tanah jenis lainnya, yaitu tanah keras (Qi'an) yang tidak bisa menyimpan air, dan tidak menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Semua itu adalah permisalan orang yang memahami agam Allah . Lalu apa yang aku bawa bermanfaat baginya ia mengetahui dan mengajarkannya. Dan permisalan orang yang tidak pernah perhatina dengannya dan menolak hidayah yang aku diutus dengannya. (Hr. Muslim)<br /> Strata kaum muslimin secara global dalam tinjauan fiqh da'wah dapat dibagi menjadi 3 golongan:<br />1. Golongan yang mudah menerima kebenaran<br /> Mereka adalah kaum muslimin yang masih berjalan diatas fitrahnya dan cenderung untuk menerima kebenaran. Hal Ini sebagaimana yang digambarkan oleh rasulullah seperti tanah yang ketika mendapatkan hujan langsung menyerap airnya dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Allah berfirman: <br /> وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَا آَمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ<br />Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri). seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.). (Qs. Al-Ma'idah:83)<br /> Ayat ini menceritakan tentang raja najasyi yang menangis ketika mendengarkan ayat yang dibacakan oleh ja'far bin abi thalib. Hal ini dikarenakan hati beliau yang masih berada diatas fitrah hingga mudah untuk menerima kebenaran. Allah berfirman:<br />إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ<br />"Sesungguhnya jawaban oran-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Qs. An-Nur: 51)<br /> Golongan ini mempunyai beberapa tingkatan sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-jauzilah ketika beliau mengomentari firman Allah subhanahu wata'ala dalam Al-Qur'an surah Shaad ayat yang ke 45, beliau berkata dengan ringkasan sebagai berikut:<br />a. Orang yang mempunyai kekuatan untuk menerapkan Al-Haq.<br />b. Kebalikannya yaitu tidak mempunyai kemampuan bashirah dalam agamanya dan tidak mempunyai kekuatan untuk menerapkan Al-Haq.<br />c. Orang yang mempunyai bashirah dalam agamanya namun tidak mempunyai kemampuan untuk menerapkan kebenaran dan da'wah.<br />d. Orang yang mempunyai kekuatan dan kemauan yang kuat, namun tidak mempunyai lemah bashirahnya dalam agama. <br />2. Golongan Ahli ma'syiat dan terkendalikan oleh hawa nafsu<br /> Mereka ini adalah kaum muslimin yang sering melakukan dosa-dosa karena ketidak mampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya. Memang pada hakikatnya hawa nafsu manusia senantiasa cenderung kepada keburukan, kecuali yang jiwa yang dirahmati oleh Allah :<br />وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ<br />"Sesungguhnya aku tidak bisa menahan nafsuku, karena ia senantiasa cenderung mengajak kepada yang buruk, kecuali jiwa yang dirahmati oleh Allah . Sesungguhnya Allah maha mengampuni lagi maha mengasihi.” (Qs. Yusuf: 12)<br /> Golongan ini adalah orang-orang yang terbelenggu dalam tawanan syaitan dan susah untuk mengeluarkan diri darinya. Ibnu qayyim al-jauziah berkata: "Para pelaku dosa akan senantiasa berada dalam tawanan syaitan dan penjara hawa nafsunya serta ikatan syahwatnya. Dia akan senantiasa tertawan, terpenjara dan terikat. Yang mana tidak ada ketertawanan yang lebih buruk keadaannya dibandingkan tertawan oleh seberat-berat musuh. Dan tak ada penjara yang lebih sempit dibandingkan penjara penjara nafsunya. Serta tidak ada ikatan yang lebih susah dilepasakan melebihi ikatan syahwat. Bagaimana mungkin mereka akan meniti jalan menuju Allah dan hari akhirat sedangkan hati merka tertawan, terpenjara dan terikat? Dan bagaimana mungkin mereka akan bisa melangakahkan kaki meski satu langkah?" <br />Kemudian beliau menyebutkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:<br />الشَيْطَانُ ذِئْبُ الإِنْسَانِ<br />"Syaitan adalah serigalah bagi manusia". (Hadis Dhaif yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad)<br /> Apabila mereka senantiasa berada dalam keadaan seperti ini dan tidak berusaha melepaskan diri darinya, maka lama-kelamaan dosa-dosa ma'syiat itu akan menutupi hatinya sebagai mana Rasulullah saw bersabda:<br />إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ{ كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ }<br />"Sesungguhnya seorang mu'min apabila ia melakukan suatu dosa maka akan ada satu bintik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat dan meninggalkannya dan beristighfar maka akan kembali bersih hatinya. Akan tetapi apabila bertambah, maka akan bertambah pula ia. Itulah Raan yang disebutkan dalam firman Allah: "sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang senantiasa mereka usahakan itu menutupi hati mereka". (Hr. Ibnu Majah)<br />Berkata Hasan Al-Bashriy tentang apa yang dimaksu dengan Raan: ”Ia adalah dosa yang berlapis diatas dosa. Dan para mufasirin yang lain berkata: apabila semakin banyak dosa dan perbuatan ma'syiat, maka itu semua akan menempel dan mengelilingi hatinya". <br />3. Golongan yang bersikap keras dan menolak kebenaran<br /> Mereka ini bisanya adalah para ahli bid'ah yang tertipu dengan amalan-amalan yang mereka anggap sebagai kebaikan. Perbuatan bid'ah ini mempunyai dampak negatif yang sangat besar terhadap kaum muslimin. Karena perbuatan bid'ah sama halnya membuat syari'at baru yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan rasulnya. Para pelaku bid'ah ini berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan jenis kebid'ahannya. Bahkan diantara pelakunya ada yang sampai pada tingkatan kafir dan keluar dari agama islam. <br /> Yang menyebabkan mereka susah dalam menerima kebenaran adalah kejahilan mereka dan menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebenaran. Beda dengan pelaku ma'syiat yang masih megakui perbuatannya sebagai kesalahan hanya saja ia susah untuk melepaskan diri dari meninggalkannya. Hingga dengan kenyataan ini mereka lebih susah dalam menerima kebaikan bahkan menentang dengan keras. Berkata Sufyan Ats-Tsauriy:<br />البِدْعَةُ أَحَب إِلَى إِبْلِيْس مِن المَعصِية فَإن المَعصِيةَ يُتَابُ منهَا والبِدعَةُ لا يُتابُ منهَا.<br />"Bid'ah lebih disenangi oleh iblis dari pada ma'syit, karena Ma'syiat orang kan bertaubat atasnya, sedangkan bid'ah seorang tidak akan bertaubat atasnya". <br />Berkata ibnu taymiyah ketika mengomentari perkataan di atas: "maksud dari orang tidak akan taubat atasnya adalah, bahwa pelaku bid'ah yang melakukan agama yang tidak disyari'atkan oleh Allah dan rasulnya, syaitan akan menghiasi perbuatan buruk mereka hingga ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan, dan ia tidak mungkin bertaubat atasnya selagi ia masih menganngapnya sebagai suatu kebaikan, karena taubat diawali dari kesadaran seseorang bahwa apa perbuatan itu adalah keburukan yang ia harus bertaubat darinya, atau kesadaran seseorang bahwa ia meninggaklan suatu yag diperintahkan baik itu wajib atau sunnah kemudian ia bertaubat dan melaksanakannya, selagi ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan padahal itu adalah keburukan maka ia tidak akan taubat darinya. <br />D. Hikmatul Qoul dalam berda'wah kepada sesama kaum muslimin<br /> Setelah memaparkan strata kaum muslimin ditinjau dari sisi fiqh da’wah, akan memudahkan bagi kita untuk merumuskan hikamah fil-qoul sesuai dengan keadaan mereka masing-masing.<br />1. Hikamah fil qoul kepada mereka yang mudah menerima kebenaran<br /> Mereka yang mempunyai karakter semacam ini, tidak sesusah yag ke dua dan ketiga yang membutuhkan penyadaran dari penyelewengan mereka. Sehingga dalam da'wah bil qoul kepada kelompok ini terfokus kepada pengarahan kepada kemapanan dalam beragama. Pengarahan ini bisa dilakukan denga metode mauidzoh hasanah (Nasehat yang baik)<br /> Mauidzoh hasanah ini dapat ditererapkan dengan beberpa cara:<br /> Nasehat yang berupa penambahan ilmu<br /> Nasehat semacam ini bisa berupa penyampaian ilmu dalam masalah Aqidah dan hukum-hukum syari'at yang mencakup halal, haram, mandub, makruh, dan mubah. Kalau kita meneliti al-qur'an maka kita akan mendapatkan bahwa metode al-qur'an dalam menerangkan permasalahan yang berkenaan dengan hukum, menggunakan metode nasehat yang dapat meluluhkan hati dan mendorong untuk mengamalkannya serta bertahap sesuai dengan kesiapan mental orang yang kan dinasehati. <br /> Hal ini sebagai mana dicontohkan dalam firman Allah subhanahu wata'ala:<br />يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ<br /> "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamMereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya" (Al-Baqarah: 219)<br /> Dari ayat ini kita mengetahui betapa tepatnya metode qur'an dalam mengajarkan ilmu. Dengan memberikan penyadaran kepada manusia tentang sesuatu yang berbahaya bagi dirinya. Sehingga hal ini akan menarik perhatian setiap orang terhadap sesuatu yang akan memabahayakan dirinya secara biologis ataupun psikis dan terdorong untuk meninggalkannya. Kemudian metode nasehat yang digunakan dengan cara bertahap juga akan lebih berpengaruh kepada jiwa manusia. Sebagai mana ayat diatas turun secara bertahap dala ayat lain yang turun pada kesempatan yang lain:<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ<br />Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (Al-Ma'idah: 43)<br />Kemudian pada tahap selanjutnya Allah subhanahu wata'ala menejelaskan dengan tegas tentang keharamannya dalam firmannya:<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ<br />"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) (Al-Maidah: 90-91)<br /> Begitulah gambaran metode al-qur'an dalam penyampaian ilmu yang dapat menarik hati manusia dan memperhatikan tahapan-tahapan yang sesuai dengan kesiapan mental pendengar.<br /> Nasehat dalam mengajari adab-adab.<br /> Nasehat ini dilakukan dalam rangka untuk mengajarkan akhlaq mulia yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim. Contohnya seperti lemah lembut, pemberani, tepat janji, sabar dan dermawan. Demikian juga dengan cara menerangkan kepada mereka tentang keutamaan dan manfaat dari perilaku tersebut. Kemudian juga memperingatkan mereka tentang akhlaq-akhlaq yang tercela seperti tergesa-gesa dalam memutuskan suatu urusan, mengingkari janji, pengecut dan kikir, serta memperingatkan mereka agar menjauh dari sifat-sifat tersebut.<br /> Dan dasarankan bagi para da'i untuk memperhatikan bagaimana al-qur'an dan sunnah serta atsar sahabat berbicara tentang dua macam akhlaq diatas, serta bagaimana sikap para salaf terhadapnya. Karena apabila seorang da'i memjiawai hal tersebut di dalam hatinya maka itu akan lebih mudah untuk diterima oleh para mad'u. Hal ini dikarenakan bahwa da'wah yang disampaikan dari lubuk hati yang bersih dan mencerminkan apa yang ia da'wahkan, akan lebih mudah untuk diterima oleh hati orang lain. <br /> Dan apabila seorang da'i menginginkan agar da'wahnya berhasil dengan maksimal, maka hendaknya ia memperhatikan hal-hal tersebut dibawah ini:<br />1. Memperhatikan kemungkaran yang tersebar, baik yang kemunculannya sejak zaman dahulu, ataupun kemungkaran sedang aktual dalam perbincangan masyarakat. Dengan demikian ketika memberikan contoh seorang da'i akan lebih mampu untuk memahamkan mereka denga realita yang ada dihadapan mereka.<br />2. Menyelesaikan kemungkara-kemungkaran tersebut dimulai dari yang terbesar mudharatnya, dan paling buruk pengaruhnya. Inilah yang kemudian dijadikan sebagai fokus inti nasehat yang akan disampaikan.<br />3. Selanjutnya mengajak mereka untuk merenungi tentang pengaruh buruk dari hal tersebut baik dari sisi perilaku, kehidupan masyarakat, kesehatan dan ekonomi<br />4. Kemudian mengemukakan kepada mereka ayat-ayat al-qur'an dan hadits rasulullah yang membicarakan tentang hal tersebut dan cara penyelesaiannya.<br />5. Kemudian hendakanya ia menulis poin-poin penting yang berkenaan dengan mudharat yang akan terjadi karena kemungkaran tersebut serta mencantumkan ayat-ayat al-qur'an yang menerangkan tentangnya dalam sebuah makalah.<br /> Dan apabila seorang da'i ingin memotivasi para mad'unya untuk melakukan suatu amal kebaikan, maka hendanyanya menggunakan metode berikut ini:<br />1. Mengajak mereka untuk berfikir dan merenungi tentang keutamaan suatu amal kebaikan dan pengaruh positif yang ditimbulakan dalam kehidupan.<br />2. Mengemukakan kepada mereka dalil-dalil shahih dari al-qur'an, sunnah dan atsar shabat yang berkenaan tentang keutamaan hal tersebut.<br />3. Kemudian dianjurkan baginya untuk menulis hal tersebut dalam sebuah karya tulis yang akan dibaca oleh masyarakan secara menyeluruh.<br /> Setelah beberapa metode diatas dilakuakan, maka selayaknya juga bagi seorang da'i untuk memperhatiakan keadaan mad'unya dan mengkondisikan suasana agar penyampaian tersebut dapat difahami dengan baik. Dalam menyampaikan suatu ungkapa kepada masyarakat awam haruslah diukur denga kemampuan daya tangakapa mereka, dan menjauhi ungkapan-ungkapan yang bagi mereka cukup berat untuk difahami. <br />2. Hikamatul Qoul kepada para pelaku ma'syiat<br /> Pada hakikatnya, sebagai mana telah disampaikan di awal bahwa para pelaku dosa besar meyakini bahwa perbuatannya adalah suatu kesalahan. Akan tetapi ia tidak kuasa untuk meninggalakan perbuatan tersebut karena terkuasai oleh dorongan hawa nafsunya. Maka metode yang tepat untuk menda'wahi mereka adalah dengan cara mengarahkan mereka kepada kesadaran denga cara targhib dan tarhib. Karena metode ini sangat berpengaruh pada kepribadian manusia secara umum. Yang demikian ini dikarenakah bahwa fitrah manusia itu senantiasan mendambakan keabikan dan mendapatkan apa yang ia cintai. Mereka akan terdorong untuk melakukan suatu tindakan yang akan menghasilakan kebaiakan dan menjauhkan dirinya dari yang membahayakan. Al-Qur'an telah bayak mencontohkan kepada kita tentang metode targhib dan tarhib ini sebagaiman disebutkan dalam hadits rasulullah n :<br />إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً. وأَنَّ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً<br />Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih (Qs. Al-Isra' 9-10)<br /> Al-qur'an sebagai petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan terang. Dan diatara petunjuknya adalah targhib terhadap orang yang melakukan ketaatan, menjaga syari'at Allah dan meberikan kabar gembira kepada mereka tentang ganjaran yang akan ia dapatkan dikehidupan kelak. Demikian pula al-qur'an memeberikan hidayah tentang tarhib kepada para pelanggar batasan-batasan syar'i dengan acaman-ancaman yang berupa adzab pada kehidupan kelak nantinya. <br /> Dengan demikian henadaknya para da'i menggunakan dua metode diatas dalam rangkan menyadarkan para pelaku dosa besar agar supaya meninggalkan kesalahannya. <br />1. At-Targhib dan At-Tabsyir (pemberian motivasi dan kabar gembira)<br /> Diantar macam-macam targhib adalah sebagaimana berikut ini:<br />a. Motivasi dengan janji akan kebaikan di dunia<br /> ketika seseorang mengamalkan keimananan dan keistiqamahan dalam keta'atan kepada Allahl, maka ia akan medapatkan balasan di kehidupan dunia berupa:<br /> Kehidupan yang bahagia dan selamat dari malapetaka. Hal ini sebagaimana firman Allah l<br />مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ<br /> Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl: 97)<br /> Janji akan kekuasaan (khalifah) dimuka bumi<br />وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ<br />Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (Qs. An-Nur: 55)<br /> Jaji-Janji yang berupa pertolongan seperti:<br />Janji tentang perwalian Allah atas orang beriman:<br />اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ<br />Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Qs. Al-Baqarah: 257)<br />Janji kecukupan ayang akan diberikan oleh Allah l :<br />وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً<br />"Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Qs. At-Thalaq: 3)<br />Janji yang berupa kemuliaan:<br />يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ<br />Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui (Qs. Al-Munafiqun: 8)<br />b. Motivasi dengan menceritakan kisah-kisah orang terdahulu<br /> Merupakan bukti maha kasih sayang dan pengampunnya Allah l ia akan senantiasa menerima taubat para hambanya. Disebutkan dalam hadits rasulullah n:<br />يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ عَمِلْتَ قِرَابَ الْأَرْضِ خَطَايَا وَلَمْ تُشْرِكْ بِي شَيْئًا جَعَلْتُ لَكَ قُرَابَ الْأَرْضِ مَغْفِرَةً<br />"Allah l berfirman: wahai anak adam, meskipun engkau telah melakukan dosa sebesar bumi, akan tetapi engkau tidak mempersekutukan aku, maka niscaya akan akan berikan yang semisalnya pengampunan" (Hr. Ahmad)<br /> Diantara kisah orang-orang terdahulu adalah dikabulkannya do'a nabi adam dan hawa setelah melakukan kesalahan:<br />قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ<br />Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Qs. Al-A'raf: 23)<br />فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ<br />Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah: 37)<br /> Masih banyak kisah-kisah lain yang menceritakan tentang mereka yang kembali kejalan kebenaran setelah sekian lama terpuruk di jurang kenistaan dan Allah pun memberikan pengampunan dan kehudupan yang baik untuk mereka. <br />c. Motivasi dengan janji akan kebaikan dikehidupan akhirat<br /> Allah l menjanjikan kepada mereka kehidupan yang baik diakhirat denga dimasukkan ke dalam jannahnya. Rasulullah n bersabda bahwa Allah l berfirman:<br />أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ<br />"Aku menyiapkan bagi hambaku yang shaleh kenikmatan yang belum pernah dipandang oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit di dalam hati seorang hamba (Hr. Bukhari)<br />2. At-tarhib dan Al-Indzar ( menakut-nakuti dan memperingatkan)<br /> Menakut-nakuti dan memperingatkan kepada pelaku ma'syiat terhadap dampak negatif dan balasan yang akan ia dapatkan dikehidupan kelak terkadang akan berpengaruh kepada dirinya. Dan metode ini dapat diterapkan dengan dua cara:<br />a. Memperingatkannya denga adzab yang segera di dunia<br />Ibnu Qoyyim Al-Jauziah telah panjang lebar menerangkan tentang hal ini di dalam kitab beliau "Al-Jawabul kaafi liman sa'ala anid dawa'is syafiy" diantaranya adalah sebagai berikut.<br /> Ma'syiat akan melemahkan kemauan untuk berbuat baik.<br /> Ma'syiat akan meyebabkan kehina'an bagi diri seseorang sebagaimana Allah l <br />مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا<br /> "Barang siapa yang menginginkan kemuliaan maka, seluruh kemuliaan tu adalah milik Allah l" (Qs. Fathir: 10)<br /> Masyiat penyebab kerusakan di muka bumi<br />ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ<br />"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Qs. Ar-Rum: 41)<br /> Ma'syiat akan melenyapkan kenikmatan<br />ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّراً نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ<br /><br />(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al-Anfal: 53) <br />b. Memperingatkan tentang ummat terdahulu yang dihancurkan karena kema'syiatan mereka.<br /> Kaum nabi nuh:<br />فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاء بِمَاء مُّنْهَمِرٍ. وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُوناً فَالْتَقَى الْمَاء عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِر<br />"Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. (Qs. Al-Qamar: 11-12)<br /> Kaum Aad yang Allah l menghancurkannya dengan angin.<br /> Kaum Nabi Luth yang Allah l mebalikkan negeri mereka dan mengujaninya denga bebatuan.<br /> Fir'aun dan kaumnya yang ditenggelamkan oleh Allah l<br />c. Memperingati mereka dengan adzab yang akan didapatkan di akhirat.<br /> Akan dimasukkan kedalam neraka sebagaiman friman Allah l<br />وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَاراً خَالِداً فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ<br />"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan" (Qs. An-Nisa: 14)<br /> Keada'an yang mengerikan pada hari akhirat:<br />هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِّن نَّارٍ يُصَبُّ مِن فَوْقِ رُؤُوسِهِمُ الْحَمِيمُ. يُصْهَرُ بِهِ مَا فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ. وَلَهُم مَّقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ<br />Inilah dua golongan (golongan mu'min dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka). Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. (Qs. Al-Hajj: 19-20-21)<br />3. Hikamatul Qoul kepada mereka yang menolak kebenaran<br />Kelompok yang menolak kebenaran ini bisanya dimotori oleh para pelaku bid'ah. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa perbuatannya adalah benar. Adapun metode hikamah yang bisa diterapkan kepada mereka adalah:<br />a. Menyampaikan kebenaran dan menjelaskan kebatilah mereka<br />Karena tekadang mereka melakukan kesalahan dan menolak kebenaran berangkat dari kejahilan mereka tentang hakiakat kebenaran. Sehingga menjadi kewajiban bagi seorang da'i untuk menyampaikan kebenaran dan kemudian menelaskan kesalahan mereka. Sehingga ketika mereka ingin sadar dan ingin meninggalkan kesalahannya mereka secara langsung dapat mengetahui amalan kebenaran apakah yang seharusnya ia kerjakan.<br />Terkadang seorang da'i hanya bisa meyalahkan tanpa bisa memberikan solusi terhadap permasalah yang ia hadapi. Sikap semacam ini hanya akan menyebabkan kebingunga bagi orang yang disalahkan dan bisa jadi hanya akan memindahkan mereka dari satu bi'ah ke bid'ah yang lainnya kerena mereka tidak mengetahui kebenaran yang seharusnya mereka lakukan.<br />Rasulullah n sendiri dalam menda'wahkan kalimat tauhid terlebih dahulu mengenalkan kepa kaum musyrikin tentang kebenaran Allah l dan keharusan menyembahnya, kemudian bara beliau meyalahkan peribadatan mereka. Demikia juga sikap Rasulullah n ketika melihat seorang badui yang kencing didalam masjid beliu tidak langsung mengecamnya. Akan tetapi beliau membiarkannya untuk meyelesaikan hajatnya baru beliau menjelaskan tentang salahnya perbutan itu.<br />b. Menjelaskan tentang dampak negatif perbuatan mereka.<br /> Diharapkan ketika ia mengetahui akan dampak negativ yang diakibatkan dari perbuatan mereka, akan menggugah hatinya untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Diatara dampak negativ itu adalah:<br />1. Turunnya murka Alloh Subhanahu Wata'ala<br />Perbuatan Bid'ah adalah merupakan salah satu bentuk maksiat kepada Alloh Subhanahu wata'ala, dan setiap kemaksiatan akan menyebabkan turunnya murka Alloh. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata :<br />إِنَّ أَبْغَضَ الْأُمُوْرِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الْبِدَعُ <br />"Sesungguhnya perkara yang paling dimurkai oleh Alloh adalah bid'ah". ( HR. Baihaqi )<br />2. Terabaikannya Sunnah-sunnah Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam <br />Disebabkan tersebarnya kebid'ahan menjadikan manusia melalaikan sunnah-sunnah rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan lebih cenderung untuk melakukan sesuatu yang diada-adakan tersebut. Terlebih lagi bahwa perbuatan bid'ah tidak akan terlepas dari pada hawa nafsu yang disenangi oleh kebanyakan manusia. Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda: <br />مَا ابْتَدَعَ قَوْم بِدْعَةً إِلاَّ نَزَع الله ُعَنْهُمْ مِنَ السّنَّةِ مِثْلَهُ <br />"Tidaklah suatu kaum melakukan kebid'ahan kecuali akan terangkatnya dari mereka satu sunnah yang sejenis" ( HR.Ahmad )<br /> Maksudnya adalah perbuatan Bid'ah itu akan menduduki wilayah sunnah, setiap kali seseorang melakukannya maka sunnah yang yang sejenisnya akan terabaikan.<br />3. Terjadinya perpecahan<br />Sebagaimana kunci tercapainya persatuan adalah mengikuti jalan Alloh yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, Maka perbuatan Bid'ah adalah di antara penyebab utama terjadinya perpecahan Ummat Islam dikarenakan melesat dari pedoman yang seharusnya mereka pegang.<br />وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ<br />"Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah dan jangan mengikuti jalan-jalan yang lain itu maka niscaya kalian akan berpecah belah dari jalannya". ( Al-An am: 153 ).<br />4. Berkuasanya kesesatan<br /> Berkata Sufyan Ats Tsauri: <br />الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْس مِنَ الْمَعْصِيَةِ<br />"Bida'ah itu lebih di cintai oleh iblis dari pada Bid'ah" <br />Missi utama iblis adalah menyebarkan kesesatan di kalangan manusia agar bisa menjadi bala tentaranya. Maka para pelaku bid'ah adalah sasaran empuk dan paling disenangi oleh iblis dalam melaksanakan missi tersebut dibandingkan para pelaku maksiat lainnya. Para pelaku maksiat masih meyakini bahwa perbuatannya itu salah dan tidak di benarkan oleh agama, namun para pelaku bid'ah tidak merasa bersalah bahkan menganggap itulah tuntunan agama sebenarnya.<br />5. Kembalinya kejahiliahan di tengah masyarakat<br />Pelaku Bid'ah adalah orang yang sombong karena menganggap syari'at yang dibawa Nabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wasallam masih kurang sepurna. Berkata Imam Malik: "Barangsiapa yang melakukan kebid'ahan yang dianggap suatu kebaikan maka pada hakikatnya dia menganggap bahwa Nabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wasallam telah menghianati kerosulannya, karena Alloh Subhanahu Wata'ala berfirman: "Hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu".( Al Maidah: 3 ). Para pelaku bid'ah bangga dengan apa yang mereka perbuat, dan menganggap orang-orang yang tidak mau meniru perbuatannya salah dan menyimpang. Alloh berfirman :<br />كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُون<br />"Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang mereka miliki" ( Ar rum: 22 )<br />c. Mengadakan dialog dalam rangka mencari kebenara<br /> Perbuatan semacam ini sebagai mana dicontohkan para salafus shalih dalam rangka menyadarakan kesalahan mereka. Ali pernah mengutus ibnu abbas untuk meyeru orang-orang khawarij untuk kembali kepada kebenaran. Ibnu Abbas pun mendatangi mereka dan berdialog dengan bertanya tentang argumentasi mereka. Semua argumentasi yang mereka sampaikan dijawab oleh Ibnu Abbas. Sehingga 2000 orang di antara mereka bangkit serentak menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus mengumumkan penarikan diri mereka dari memusuhi imam Ali .<br />Begitu juga metode semacam ini sering diguanak oleh para ulama untuk menyingkap syubhat mereka, segaimana Abu hanifa berdialog kepada orang atheis, Imam malik, syaikhul islam ibnu taymiyah dan ulama-ulama lainnya yang menggunakan metode ini untuk mematahkan hujjah-hujjah mereka.<br />d. Tahdzir<br /> Apabila mereka tidak mau menerima kebenaran maka kewajiban bagi seorang da'i adalah mengecam perbuatan mereka dan memperingatkan ummat agar menjauhi orang-orang tersebut. Disebutkan dalam kitab mukhtshar al-hujjah bahwa Syu'bah berkata, "sufyan ats-tsauriy sangat membenci ahli bid'ah dan melarang duduk bersama mereka" . Fudhail bin Iyadh berkata, saya sangat berharap diantara aku dan ahli bid'ah ada tembok penghalang dari besi, saya makan bersama orang yahudi dan orang nashrani lebih baik dari pada makan bersama ahlil bid'ah. <br /> Para ulamapun memperbolehkan menghujat dan menggunjing ahlu bid'ah. Syaikul islam ibnu taymiyah berkata di dalam majmu, fatawa: "orang yang mengajak kepada bid'ah berhak mendapatkan sangsi menurut kesepakatan kaum muslimin. Sangsi tersebut bisa dengan hukuman mati, yang telah diterapkan kepada jahm bin shafwan, ja'ad bin dirhim, ghailan al-qadariy, dan yang lainnya. Andaikata tidak memungkinkan untuk dijatuhi sangsi, maka kebid'ahan harus tetap dijelaskan kepada ummat. Sebab hal itu bagian dari amar ma'ruf nahi mungkar yang diperintahkan oleh Allah l dan rasulnya. <br />E. Kesimpulan dan penutup<br /> Dari penjabaran tentang hikmatul qoul terhadap kaum muslimin diatas kami bisa menarik kesimpulan sebagai berikut:<br />1. Da'wah meskipun ia merupakan suatu amalan yang mulia akan tetapi harus dilaksanakan denga sikap yang penuh kebijakan karena bila dilaksanakan dengan asal-asalan akan susah untuk mencapai tujuan yang diinginkan<br />2. Perlunya pengklarifikasian masyarakat sebelum menda'wahi mereka. Karena setiap model masyarakat membutuhkan cara hikah tersendiri.<br />3. Inti Hikmatul Qoul kepada mereka yang mudah untuk menerima kebenaran adalah mengarahkan mereka kepada sosok yang ideal dalam menjalankan syariat islam.<br />4. Inti Hikamatul Qoul kepada mereka yang gemar melakukan kema'syiatan adalah penyadaran dengan cara targhib dan tarhib.<br />5. Inti hikatul Qoul kepada mereka yang menolak kebenaran yag dimotori oleh pelaku bid'ah adalah menegakkan hujjah kepada mereka denga mengajarkan kebenaran dan menjelaskan kesesatan perbuatan mereka serta dampak negativ yang akan dihasilkan dari perbuatan tersebut.<br /> Demikaianlah makalah yanga kami buat berkenaa tentang hikamtul qoul dalam berda'wah kepada sesama kaum muslimin. Semoga bermanfaat bagi penulis pridi dan pembaca sekalian.<br />F. Referensi<br />1. Al-Hikamah fidda'wah ilalllah, karya said bin aliy bin wahf al-qahtaniy.<br />2. Jawabul kafiy liman sa'ala anid dawa'isy syafiy, karya Ibul Qoyyim Al-Jauziah, Maktabar nizar musthafa, cetakan ke 2 tahun 2004.<br />3. Manhaj Ahlus sunnah dalam menghadapi ahlu bid'ah, karya Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhailiy, Pustaka Kautsar, pertama tahun 2002.<br />4. 30 waqfah fi fannaid da'wah, karya Aidh bin Abdulloh Al-Qarniy.<br />5. Ad-da'wah ilallah, karya Muhammad husain ya'qub.<br />6. Al amru bil ittiba wannahyu anil ibtida, karya asy-syatibiy.<br />7. Ahdafud da'wah mamuntalaqotiha, karya Dr. Muhammad isma'il al-muqaddim<br />8. Mahabbatur rasul bainal ittiba wal ibtida', karya Abdur ra'uf Muhammad utsman.<br />9. Kamus besar bahasa indonesia, pimpinan tim redaksi hassan alwi, balai pustaka departemen pendidikan nasional.<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-51171977411627602982009-05-25T05:45:00.000-07:002009-05-25T05:47:57.951-07:00Kehujahan Hadits Ahad Dalam Masalah AqidahA. Muqodimah<br />Salah satu keistimewaan tersendiri bagi kaum muslimin yang tidak di dapatkan pada umat selainnya adalah penjagaaan terhadap hadits nabawiyah. Hal itu dikarena para ulama' salaf sangat memperhatikan masalah sanad, mereka tidak akan menerima sebuah hadits kecuali telah mengetahui keadaan pembawa hadits. Apabila ia termasuk orang yang adil maka hadits tadi diterima dan sebaliknya jikalau sang perowi mempunyai kecaatan dalam keadilannya, mereka tidak menerima hadits yang ia bawa. sehingga ada sebuah cabang ilmu yang membahas tentang Jarhu Wa Ta'dil<br />Berkata Abudulloh ibnu Mubaro' :<br />اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَ لَوْ لاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَآءَ وَ مَا شَآءَ<br />“Metode sanad ini adalah (bagian dari) agama. Seandainya tidak ada sanad, maka siapa saja yang berkehendak akan berkata apa saja yang dikehendakinya ”<br />Ibun sirin berkata:<br />إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ <br />“Sesungguhnya ilmu sanad ini adalah agama, maka telitilah dari siapakah kalian mengambil agama kalian”. <br />Beliau juga mengatakan<br />لم يكونوا يسألون عن الإسناد, فلما وقعت الفتنة, قالوا سموا رجالكم, فينظر الى أهل السنة فيؤخذ حديثهم. وينظر الى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم.<br />Berkata inbu sirin "Dulu mereka tidak menanyakan masalah isnad. Maka taatkala terjadi fitnah mereka berkata: beritahu kepada kami rijal-rijal (para perowi) kalian. Maka mereka melihat ahli sunah kemudian mengambil haditsnya, dan kepada ahli bid'ah tidak diambil haditsnya. <br /><span class="fullpost"> Pada masa sekarang muncul sebuah kelompok atau pemahaman yang menimbulkan keraguan-keraguan dalam aqidah islam. Mereka membedakan antara hadits mutawatir dan ahad dalam kehujahannya. Mereka tidak mejadikan hadits ahad dalam masalah aqidah.<br />Maka dalam makalah yang sangat ringkas ini, penulis ingin mencoba mencari kebenaran yang sebenarnya menurut pemahaman salaful ummah. Kami menyadiri akan kekurangan ilmu yang kami miliki, sehingga kami membuka pintu islah selebar-lebarnya untuk kebaikan bersama.<br />B. Pengertian<br /> Aqidah <br />Secara etiomologis ia diambil dari kata Al A'du yang berarti pengikat, keyakinan yang kuat dan tetap, atau sesuatu yang dengannya manusia beragama –mempunyai kepercayaan- baik yang haq atau pun bathil <br />Sedangkan secara teminologis aqidah adalah kenyakinan yang pasti yang tidak ada keraguan didalam hatinya akan iman kepada Allah juga apa yang Ia cintai dari tauhid dan iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rosul-Nya, hari akhir dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan juga dari cabang dari pokok keimanan tersebut. <br /><br /> Hadits Ahad<br />Secara etiomologis: Al-Ahaad isim jama' dari Ahad yang berarti satu atau sendirian .<br />Sedangkan secara terminologis para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits ahad. Perbedaan tersebut lebih kepada redaksi tulisan saja, karena secara subtansi keseluruhannya mempunyai maksud yang sama. Diantara perngertian yang diberikan ulama' adalah sebagai berikut:<br />Muhammad Thohan mendifinisikan hadits ahad sebagai 'hadits yang tidak terkumpul di dalamnya syarat-syarat –hadits- mutawatir <br />Sementara Muhammad bin Husain bin Hasan mengatakan hadits ahad adalah selain mutawatir yang terangkum didalamnya seluruh hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir. <br />Sedangkan menurut Hasbi al Shiddiqi, hadits ahad didefinisikan sebagai khobar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tuga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak samai kepada jumlah perawi hadits mutawatir <br />Pengertian diatas dilatar belakangi bahwa mereka yang membagi hadits menjadi dua, mutawatir dan ahad. Hal ini akan berbeda bagi mereka yang membagi hadits menjadi tiga mutawatir, masyhur dan ahad. Seperti Muhammad 'Ijjaj Al Khotib mendefinisikan hadits ahad dengan mengatakan "ia adalah sebuah hadits yang diriwayatkan satu, dua orang rowi atau lebih yang tidak memenuhi syarat mutawati dan masyhur <br />Abdul wahab kholaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua arang atau sejumlah orang, akan tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perowi hadits mutawatir. Keadaan perowi ini terjadi sejak perowi pertama sampai perowi terakhir <br />Pembahasan yang –insya Allah – penulis angkat dalam makalah ini berkenaan dengan kehujahan hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir dalam masalah aqidah. <br /><br />C. Dasar aqidah dan manhaj salaf dalam menetapkannya<br />Sebelum membahas masalah kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah, maka perlu dikaji terlebih dahulu tentang landasan-landasan syariat islam dalam menetapkan aqidah islamiyah (mashodirul aqidah).<br /> Sesungguhnya aqidah islam adalah perkara tauqifi yang tidak boleh menetapkan sesuatu darinya kecuali dengan dalil yang datang dari pembuat syare'at dan nabi-Nya, tidak ada pula tempat untuk berijtihad di dalamnya. Sumber-sumber penetapan aqidah hanyalah dilandaskan kepada Al Qur'an dan Sunah nabi muhammad yang shohih. Hal ini dikarenakan tidak ada yang lebih mengetahui Allah kecuali Allah sendiri dan tidak ada yang lebih mengetahui-Nya setelah Allah daripada Rosul-Nya Muhammad yang menyampaikan kitab kepada manusia. <br />Para salafus sholih menerima hadits-hadits shohih dan tidak membedakan antara hadits ahad maupun mutawatir. Mereka tidak membedakan kehujahan dalam masalah amal atau aqidah, nash-nash yang menjadi kehujahan dalam amal bisa juga dijadiakan hujah dalam masalah aqidah. Tidak didapat salah satu dari shohabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in yang menyelisihinya .<br />Sedangkan Dr Ibrohim bin Muhammad Al Buraikani menambahkan sumber aqidah islam dengan akal yang shohih. Karena akal adalah tabiat yang Allah ciptakan pada diri manusia untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah. Dengannya pula manusia bisa memahami apa yang terkandung di dalam Al Qur'an dan Sunah.<br />Mendasarkan kepada Al Qur'an dan As Sunah saja kemudian difahami sendri tanpa merujuk terhadap manhaj salafus sholih dalam memahami sumber-sumber diatas adalah perkara yang salah dan akan menyesatkan pelakunya. Otak manusia sangat banyak, satu dengan yang lainnya berbeda-beda dalam mengistimbatkan hukum, ia akan menafsirkan dalil Al Qur'an dan As Sunah sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran dan hawa nafsu mereka (jika tidak dikembalikan kepada pemahaman salaful ummah) <br />Sebagai contoh orang-orang khowarij mengkafirkan shohabat Ali juga menggunakan ayat Al Qur'an. Orang-orang JIL yang sebagiannya menganggap sholat tidak wajib, perempuannya tidak menutup aurot, mereka membela "goyang ngebor" Inul, dan pemahaman nyleneh lainnya, kalau ditanya tentang ayat Al Qur'an atau Hadits yang mendukungnya mereka akan menaburkan beberapa ayat dan hadits. Akan tetapi perlu diingat, ayat atapun hadits yang mereka jadikan hujah dalam perbuatan maksiat itu sesuai dengan pemahaman dan hawa nafsu mereka. Jikalau hadits itu shohih bahkan dirwayatkan dari bukhori dan muslim, maka mereka memalingkan makna dari yang sesungguhnya.<br />Allah memerintahkan kita untuk mengikuti jalannya orang-orang yang beriman, bahkan Allah mengancam dengan kesesatan bagi mereka yang tidak mengikuti manhajnya. Allah berfirman:<br />وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا<br />Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An Nisa':115)<br />Imam Ibnu Jarir At Thobary menafsirkan ayat wayat tabi' ghoiro sabilil mu'minin seraya berkata "Yaitu mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang shidiq dan menapaki manhaj selain manhaj mereka. Dan ini adalah sebuh kekafiran kepada Allah . <br />Dr Ahmad Sa'id Hamdan menyebutkan ada beberapa manhaj salaf dalam menetapkan aqidah islam yang shohih . Diantara manhaj tersebut adalah:<br />1. Berhukum dengan Al Qur'an dan As Sunah As Shohihah dalam segala perkara aqidah, dan tidak menolak dari keduanya atau menta'wilkan.<br />2. Mengambil apa yang datang dari para shohabat dalam menerangkan perkara agama secara umum dan perkara aqidah secara khusus.<br />3. Tidak terlalu berlebihan di dalam memahami aqidah pada perkara-perkara yang akal tidak sampai untuk memahaminya.<br />4. Tidak berdebat dengan ahlu bid'ah –yang tidak bisa diharap kebaikannya-<br />5. Berupaya untuk selalu kosisten terhadap jam'atul muslimin dan menyatukan kalimat mereka.<br /><br />D. Pembagian Hadits Ahad menurut jumlah perowi.<br />Ada sebagian ulama’ yang membagi hadits ahad menjadi tiga dan ada pula yang membaginya menjadi empat. Sebenarnya maksud mereka sama. Mereka yang berpendapat tiga, menjadikan khobar mustafid bagian dari khobar masyhur. Sedangkan bagi mereka yang membedakan antara mustfid dan masyhur maka hadits ahad dibagi menjadi empat. Ke empat macam tersebut adalah sebagai berikut:<br />1. Masyhur: hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan tiga orang atau lebih disetiap Thobaqot – rangkaian peringkat- sanad dan tidak mencapai batasan hadits mutawatir. <br />2. Mustafid: diantara atau bahkan kebanyakan para ulama’ menganggapnya sama dengan masyhur . Ada juga yang membedakan diantara keduanya, kalau mustafidz adalah hidits yang diriwayat tiga orang atau lebih sedangkan hadits masyhur adalah sebuah hadits yang masyhur –terkenal- setelah abad kedua atau ketiga yang diriwayatkan oleh para perowi tsiqot yang tidak mungkin bersepakat untuk mengadakan kebohongan. <br />3. ‘Aziz: yaitu bila ia diriwayatkan oleh dua orang, walaupun itu hanya pada peringkat pertama dari seluruh rangkaian peringkat sanadnya. <br />4. Ghorib: yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perowi saja, hadits ini juga disebut khobarul wahid. Bila perawi tunggal berada pada seluruh rangkaian sanadnya, maka ia disebut Al Fardul Muthlaq (tunggal mutlak). Tapi bila perawi tunggal itu berada pada peringkat pertama atau kedua dari seluruh rangkaian sanadnya, kemudian ia tersebar dan diriwayatkan oleh lebih dari satu orang pada peringkat selanjutnya, baik sama dengan jumlah perawi mutawatir, masyhur atau mustafidh, maka ia disebut Al Fardun Nisby (tunggal relatif). <br /><br />E. Keabsahan khobarul wahid setingkat ilmu dan yakin ataukah haya sebatas dzon (sangkaan)?<br />Ulama' berbeda pendapat dalam keabsahan khobarul ahad, apakah ia setingkat ilmu atau hanya sebatas dzon. Perlu menjadi perhatian, yang kami maksud hadits ahad disini adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat shohih atau dengan kata lain hadits yang shohih. Sedangkan hadits mardud ataupun dhoif, tidak ada perselisihan antara ulama' akan ketidak wajiban dalam amal maupun ilmu. <br />Dalam masalah ini setidaknya ada tiga pendapat di kalangan ulama'.<br />Pertama: bahwa khobarul wahid tidak mengatakan keabsahan riwayat setingkat ilmu –hanya dzon- secara menyeluruh baik memiliki qorinah atau tidak. Diantara yang berpendapat seperti ini Ibunu 'Aqil, Ibnul Juazi, Al Qodhi Abu Bakar bin Al Baqolani, Abu Hamid dan kebanyakan ahlu usul. <br />Kedua: bahwa khobarul wahid mengatakaan keabsahan riwayat setingkat ilmu. Dan ini adalah pendapat jumhur salaf dan kebanyakan muhaditsin dan dari kalangan fuqoha' pengikut empat madzhab , begitu juga dengan Thohir Al Maqdisi, Abu Sulaiman dan Ibnu Hazm di dalam buku Al Ihkam <br />Ketiga: Khobarul wahid menyatakan keabsahan riwayat setingkat ilmu apabila didukung beberapa qorinah (unsur penguat). Yang berpendapat seperti ini adalah Muafiqudin bin Qudamah, Ibnu Hamdan, Ibnu zaghunii, Fahru Rozi, Al Amidi dan yang lainnya. <br />Dari sini terjadi perbedaan pendapat kehujuhan khobarul wahid dalam masalah aqidah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa keabsahan hadits ahad tidak setingkat ilmu hanya setingkat dzon, maka mereka menolak hadits ahad sebagai hujah dalam masalah aqidah dan menirima kehujahanya dalam masalah ahkam. Mereka berdalil bahwa aqidah adalah perkara tauqifi yang tidak boleh dilandaskan dengan prasangka belaka.<br />Sementara bagi mereka yang berpendapat bahwa kehujahan hadits ahad setingkat ilmu, maka ia bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah dan masalah ahkam.<br /><br />F. Hadits ahad bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah.<br />Hadits yang diriwatkan oleh perowi-perowi yang adil dari awal hingga akhir, maka para salaf menerima hadits tersebut sebagai hujah dalam segala hal, dan tidak membedakan antara perkara Ahkam maupun Itiqodiya. Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: "sedangkan yang kedua dari macam khobar yaitu (hadits) tidak ada yang meriwayatkannya kecuali satu rowi yang adil dan belum sampai derajat mutawatir secara makna dan lafadz akan tetapi umat menerimanya sebagai dasar amal dan membenarkannya, seperti hadits umar bin khotob "sesungguhnya amalan tergantung pada niatnya" dan hadits ibnu umar " (Rasulullah ) melarang untuk menjual perwalian dan menghadiahkannya"………….. Maka ini semuanya (hadits ahad) menghasilkan ilmu yakin (kepastian) dikalangan umat nabi Muhammad sejak yang pertama sampai yang terakhir. Sedangkan para salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini -kehujahan hadits ahad dalam aqidah pnj- demikian juga pendapat kebanyakan mereka dari kalangan ulama'-ulama' besar masakini dan ke emapat imam madzhab." <br />Ibunu Hazm setelah membantah orang yang menolak kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah, beliau mengatakan "Dan jikalau ini semua benar maka bisa ditetapkan secara yakin bahwa khobarul wahid yang diriwayatkan oleh perowi adil sampai kepada rosululloh r, maka bisa dipastikan kebenarannya dan wajib untuk diamalkan dan dan setingkat ilmu secara bersama." <br />Bahkan ada sebagin ulama' yang mensetarakannya dengan khobar mutawatir. Jashos berkata: "khobar wahid apabila umat menerimanya maka kedudukannya sama dengan mutawatir dan boleh dijadikan pengkhususan dalam Al Quran. Dan ini termasuk sifat dari khobar ini –ahad, penj- karena para shohabat menerimanya dan menggunakannya sebagai hujah. <br /><br />• Dalil akan wajibnya menerima hadits ahad.<br />Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah, baik dari Al Qur'an maupun As Sunah. Dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:<br /><br /> Dari Al Qur'an <br />1. Allah berfirman:<br />وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ <br />Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (At Taubah 122)<br />Dalam ayat ini Allah mewajib setiap golangan mengirimkan seseorang untuk belajar tentang agamanya. Mereka juga diwajibkan untuk menerima peringatan dari utusan tersebut. Dan kata thoifah dalam bahasa arab digunakan untuk satu atau lebih <br />Imam Bukhari berkata : "Satu orang manusia dapat dikatakan golongan (thoifah)" Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya." (QS. Al Hujurat : 9)<br />Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas. <br /> Jika perkataan seorang dapat diterima dalam masalah agama, maka ini sebagai dalail bahwa berita yang disampaikan juga dapat dijadiakan hujah. Belajar agama meliputi perkara ahkam dan aqidah, sedangkan aqidah lebih diutamakan dari perkara selailnya.<br />2. Allah berfirman:<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ<br />Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al Hujroj: 6)<br /><br />Maka apabila berita itu dibawa oleh orang yang tsiqoh maka wajib bagi orang muslim untuk menerimanya.<br />3. Firman Allah :<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا<br />Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa': 59)<br /><br />Ibnu Qoyim berkata: "Ummat Islam sepakat bahwa maksud raddu ilaihi adalah kembali kepada Rasulullah tatkala beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu." <br /> As Sunah <br />Sedangkan hadits-hadits nabawiyah yang menunjukkan bolehnya berhujah dengan hadits ahad dalam masalah aqidah sangatlah banyak. Diantara hadits-hadits tersebut:<br />1. Rosululloh hanya mengirim satu orang yang diutus sebagai delegasi kepada setip raja di setiap negara. Begitu juga beliau mengirim satu orang kepada sebuah kabilah untuk mendakwahkan islam. Diantara mereka ada Abu Ubaidah ke daerah Najron , Dihyah Al Kalbi dengan membawa surat dari nabi kepada pembesar-pembesar basyroh , sementara Muadz bin Jabal diutus rosululloh ke daerah Yaman.<br />Dan sudah menjadi maklum bahwa mereka diutus rosululloh kedaerah-daerah tersubut untuk mengajarkan islam kepada penduduknya, dan ajaran yang pertama kali diajarkan adalah tentang aqidah islam. Jikalau hadits ahad tidak bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah tentu Rasulullah akan mengirim delegasinya sejumlah shahabat yang mencapai jumlah mutawatir, akan tetapi beliau hanya mengirim satu orang delegasinya. Ini mengisyaratkan kepada kita akan kebolehan mengabil khobar yang datang dari satu orang yang terpercanya. <br />2. Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah , saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah , bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam." <br />3. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata :"Ketika manusia ada di Quba' menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Al Qur'an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka'bah, maka mereka menghadap Ka'bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka'bah." <br />Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk bisa diterima hadits yang disampaikannya dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.<br /><br />G. Dampak dari penolakan kehujahan hadits ahad.<br />Sesungguhnya pendapat yang menolak kehujahan hadits ahad dalam masalah aqidah akan mengakibatkan banyak perkara aqidah dalam islam akan hilang. Diantara perkara-perkara aqidah yang ditetapkan dengan hadits ahad adalah sebagai berikut:<br />1. Keutamaan nabi Muhammad dibanding dengan seluruh nabi .<br />2. Syafaat Rosululloh di padang Mahsyar.<br />3. Syataat Rosululloh bagi umatnya yang berbuat dosa besar<br />4. Seluruh mu’jizat rosululloh selain Al Qur’an<br />5. Teknis penciptaan makluq, sifat malaikat dan jin, sifat janah dan neraka yang tidak disebutkan dalam al qur’an <br />6. pertanyaan malaikat mungkar dan nakir dan siksaan dialam kubur<br />7. shirotol mustaqim, telaga Al Kautsar dan mizan (neraca) yang memiliki dua sisi<br />8. keyakinan bahwa allah telah menulis takdir, bahagia atau celaka, rizkidna ajal seluruh manusia ketika di rahim sang ibu.<br />9. masuknya tuju puluh ribu umat nabi Muhammad kedalam surga tanpa hisab.<br />10. keyakinan bahwa arwah para suhada' berada di tembolok-tembolok burung hijau di surga. Dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan yang jumlahnya hampir ratusan. <br />Semoga risalah yang singkat ini bisa menjadi rinungan bagi kaum muslimin. Dan kita mohon petunjuk kepada Allah kepada jalan yang lurus serta keistiqomahan dalam menitinya.<br /><br /><br />Referensi:<br />1. Ibnu Qoyyim, Mukhtashor Showa'iq, Maktabah Dhous Salaf, Riyadh, cetakan pertama th 1425 H/ 2004 M<br />2. Abi Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, Al Ihkam fi Usulul Ahkam, Darul Al Afaq Al Jadiadah, Bairut<br />3. Ahmad bin Aly bin Hajar al Asyqalany, Fathul Bahri Fi Syarh Shohihul Bukhory, Dar al Fikr, Cet. Ke-1, Beirut, 1420 H<br />4. Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyiri An Naisyabury, Syarkh Shohih Muslim, Darul Al Kitab Al 'Amiyah, Bairut, cetakan pertama 1421 H/ 2000M<br />5. muhammad bin husain bin hasan menukil dalam buku Ma'alim Usul Fiqh 'inda Ahli Sunah Wal Jamaah, Daru Ibnul Jauziyah, Riyadh, 1996 M/1416 H<br />6. Ibrohim bin Muhammad Al Buroikan, Al Madkhol Lid Dirosah Al Aqidah Al Islamiyah, <br />7. Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, Tashilul Aqidah, Darul As Shomi'I, Th 1424 H/ 2004 M<br />8. Muhammad Thohan,Taisiri Mustholahul Hadits, Darul Maktabah, Jakarta <br />9. Ushul Al Hadits ‘Ulumuhu Wa Mushthalakhuhu, Muhammad 'Ajjaj al Khatib, Dar Al Fikr, Cet. Ke-4, Beirut, 1401 H<br />10. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Usulul Fiqh, Darul Qolam, cet kedua belas th 1398 H/ 1978 M<br />11. Umar Sulaiman Al Asyqor, Usulul I'tiqod, Darul As Salafiyah, Kuwait, cet ketiga th 1405 H/ 1985M <br />12. Ibnu Jarir At Thobary, Jamiul Bayan 'an Ta'wili Aiyil Qur'an, Dar Al Fikr, Bairut, cet pertama th1421 H/2001 M <br />13. Abi Qoshim Habatallah, Syarh Usul I'tiqod Ahlus Sunah Wal Jamaah (ditahqiq oleh Dr Ahmad Sa'id Hamdan), Dar At Thoyyibah, Riyadh<br />14. Muhammad bin Ali As Saukani, Irsadul Fukhul Ila Tahqiqil Haq Min Ilmi Usul, Darul Kitab Al 'Arobiyah, Bairut, cetakan pertama th 1419 H/1999 M<br />15. Syaifurrohman, Koreksi Kitabul Iman Himpunan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Putaka Majida <br />16. Sulaiman bin Sholih bin Abdul Aziz, Aqidah Imam Abdul Bar Fi Tauhid Wa Iman, Dar Al 'Ashimah, Riyadh, cet pertama th 1316 H/1997 M<br />17. Muhammad Lukman Salfy, Makanatus Sunah, Dar Ad Da'i, cetakan ke dua1420 H/1999 M<br />18. Muhammad Nur Ichwan, studi ilmu hadits, Rasail Media Group, Cet. Ke-1, Semarang , 2007 M <br />19. lisanul Arab (Program Maktabah Syamilah )<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-91347959021354801792009-05-25T05:43:00.000-07:002009-05-25T05:47:34.349-07:00Jangan Katakan "Seandainya"Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah merupakan pokok aqidah ahlus sunah wal jamaah. Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah di Lauhil Mahfud. Allah berfirman:<br />"مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ" {الحديد 22 }<br />"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." {Al Hadid 22}<br />Ibnu Abbas mengomentari ayat diatas seraya berkata: "Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi –manusia-(tafsir At Thobary 13/265) <br />Imam muslim meriwatyat dari Abdillah bin Amr, ia berkata saya mendengar Rusululloh bersabda : <br />كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ<br />"Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi"(Shohih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qodar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653, )<br /><span class="fullpost">Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah sebauh keharusan baginya. <br />Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah , tatkala kita diberi cobaan oleh Allah berupa musibah atau yang semisalnya. Mungkin dengannya Allah ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya. Rosululloh bersabda:<br />إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ<br />"sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwa sannya Allah tatkala mencintai sebauah kaum (hambnya) maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridho terhadapnya baginya adalah keridhoan Allah dan barang siapa yang menolak maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)<br /><br />Sifat Orang Munafiq<br />Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagamana yang Allah abadikan dalam Al-Qur'an surat Ali Imron:<br />يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا<br />Mereka –orang-orang munafik- berkata:"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini"(Ali Imron 154).<br />Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata: "dan telah diperlihatkan kepaduku, tatkala rasa takut yang sangat menylinap pada diri kami, Allah menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah , sesungguhnya saya mendengar perkataan mu'tab bin qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan :"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini, maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat (Ali Imron 154). (fathul majid 2/766)<br />Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata (اللو) "andai kata" sebagai unkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:<br />قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ<br />Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.<br /><br />Hukum mengatakan (اللو) "seandainya" dan sejenisnya<br />Sering kita mendegar ucapan "seandainya bigini tentu aku akan begini" atau yang sejinisnya, bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Kalau orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah . Apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?. <br />Abdurrohman Asy Sya'di di dalam bukunya "qoulu syadid fi syarkh kitabut at tauhid" menerangkan bahwa kata (اللو) seandainya" mempunyai dua keadaan. Pertama tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata: "seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini" atau yang semisalnya. Kedua: boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau haya sebagai sebagai berita.<br />Sedangkan Syeikh Syeih Utsaimin lebih rinci dalam menjelaskannya. Beliau mengelompokkan penggukaan kata (اللو) "seandainya" menjadi enam kelompok (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:<br />1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuat syareat Allah swt.<br />Hal ini sebagai mana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq terkhusus Abdullah bin Ubai. Allah berfirman:<br />الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا (آل عمران:168)<br />Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh".(Ali Imron 168)<br />Imam At Thobari dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Ishaq bahwa ia menafsirkan ayat " لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا " yaitu : kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau –Oranng munafiq- sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hayalah untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal didunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thobary 3/206). Maka hal ini diharomkan Allah .<br />2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir Allah . <br />Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan diatas –salah satu sifat orang munafiq-. Maka, ini juga di larang Allah .<br />3. Sebagai ungkapan penyesalan. <br />Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas "seandainya tahun ini saya belalajar rajin, saya akan naik kelas" ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir akan tetapi haya sebagai sebatas penyesalan. Maka, Hal ini juga dilarang oleh islam, karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya syaithon untuk menggoda manusia.<br />4. Berhujah dengan tadir dalam hal kemaksiatan kepada Allah. <br />Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan "ini adalah takdir Allah . Seandainya Allah tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya". Allah menolok hujah orang-orang yang menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah berfirman:<br />سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ<br />Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (Al An'am:148)<br />5. Digunakan sebagai angan-agan atau cita-cita. <br />Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada obyek atau apa yang menjadi angan-angannaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik maka hukumnya juga baik. Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana hadits yang panjang tentang empat golongan, salah satu dari mereka berangan-angan "seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal" yaitu dalam ketaatan kepada Allah . Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rosululloh bersabda untuk yang pertama<br />فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ<br /> "Dan ia hanya meniatkan maka pahala keduanya sama"<br />Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:<br />فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ<br />"Dan ia hanya meniatkan maka dosa keduanya sama" <br />6. Digunakan sebatas berita. <br />seperti "seandainya ustadz masuk saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau.". Hal ini diperbolehkan oleh islam. Sebab Rosululloh pernah bersabda:<br />لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ<br />"Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian"<br /><br />Penutup <br />Takdir adalah rahsia Allah dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rosululloh bersabda :<br />"orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah -dalam segala urusan-, dan janganlah bersikap lemah. Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan "seandainya saya berbuat begitu, saya akan begini atau begitu" akan tetapi telah ditetapkan Allah dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) "seandainya" membuka amalan syaithon" (HR muslim) <br />Dari hadits ini rosululloh memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaang yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan. <br /><br /><br />Maroji'<br />• Taisir Al-Aziz Al-Hamid fi Syarh Kitabut Tauhid / Sulaiman bin Abdillah bin Abdul Wahhab /Al Maktab Al Islamy / Beirut / Cet. Ke-6 / 1985 M<br />• Fathul Majid Li Syarkh Kitabut Tauhid / Abdurrohman bin Hasan bin Muahammad bin Abdulwahab<br />• Qoulu Al Mufid Fi Syarhi Kitabut Tauhid / Syikh Muhammad Sholih Al Utsaimin /Daru Ibnu Al Jauyi / 1419 H – 1999 M<br />• Qoulu Syadid Fi Syarkh Kitabut At Tauhid /Abdurrohman Asy Sya'di <br />• Syarh Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi / Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad Dimsyaqi /Al Maktabah Asy Syamilah<br />• Jami'ul Al Bayan 'An Ta'wili Ayyil Al Qur'an / Imam Ibnu Jarir Ath Thobary/ Darul Fikr / 1421 H – 2001 M<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-4077806059104139422009-05-25T05:34:00.000-07:002009-05-25T05:36:10.363-07:00JANGAN MENOLAK ORANG YANG MEMINTA ATAS NAMA ALLAHPada hakikatnya meminta adalah perbuatan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dianjurkan bagi seorang muslim menahan dirinya dari meminta sesuatu yang bersifat keduniaan yang ada ditangan orang lain. Hal ini sebagaimana Rasulullah bersabda:<br />ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ<br />“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu. (Hr. Ibnu majah)<br />Dan Rasulullah juga menghabarkan tentang tercelanya orang yang meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau:<br /> مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ<br />“Tidaklah seorang lelaki senantiasa meminta-minta hingga pada hari kiamat kelak ia akan datang dan dengan wajah yang tak berdaging”. (Hr. Bukhoriy)<br /><span class="fullpost">Adapun hukum mengabulkan permintaan orang yang meminta maka hal ini terbagi dalam beberapa keadaan. <br />1. Seseorang meminta dengan cara umum yang digunakan oleh manusia tanpa mengaitkan dengan Allah .<br /> Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta kepada orang lain dengan mengatakan “wahai fulan berilah saya sesuatu”. Permintaan semacam ini dianjurkan bagi kita untuk memberinya selagi tidak digunakan untuk kema’syiatan seperti meminta uang untuk membeli Khamr. Namun mengabulkan permintaan ini tidak diwajibkan.<br />2 Meminta dengan mengaitkan permintaannya kepada Allah <br /> Permintaan semacam ini ada dua jenis:<br />a. Meminta dengan syari’at Allah <br /> Hal ini sebagimana seorang fakir yang meminta haknya secara syar’I kepada seorang yang kaya. Seperti meminta zakat, shadaqah dan yang sejenisnya. Hukum mengabulkan permintaan yang semacam ini tergantung keadaannya. Apabila ia adalah orang yang berhak dan sangat membutuhkannya maka wajib bagi kita untuk mengabulkan sekadar apa yang ia butuhkan. Dan apabila ia tidak termasuk orang yang berhak maka kita tidak diwajibkan untuk megabulkannya. <br />b. Meminta dengan cara menyebut atau bersumpah atas nama Allah <br /> Hal ini sebagaimana seseorang yang meminta dengan menggunakan kata-kata ( أسألك بالله ) “saya meminta kepadamu atas nama Allah”. Maka mengabulkan permintaan yang semacam tergantung kepada apa yang diminta. Apabila yang diminta adalah sesuatu yang mubah secara syar’I maka hukumnya adalah wajib untuk dikabulkan. Akan tetapi apabila yang diminta adalah sesuatu yang diharamkan atau membahayakan yang dimintai maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan. Sebagaimana seseorang yang meminta uang atas nama Allah namun akan digunakan untuk membeli khamr, dan juga orang yang meminta untuk menceritakan rahasia atau aib keluarga, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.<br /> Wajibnya megabulkan permintaan orang yang meminta atas nama Allah ini disandarkan kepada hadits Rasulullah :<br />مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ<br /> “Darang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah maka lindungilah ia. Dan barang siapa yang meminta kepada Allah maka berilah ia. Dan barang siapa siapa mengundangmu maka datangilah ia. Dan barang siapa berbuat baik kepadamu maka balaslah kebaikan kepadanya. Dan apabila engkau tidak mendapatkan apa yang cukup untuk membalas kebaikannya maka berdo’alah baginya sampai engkau merasa bahwa engkau telah cukup dalam membalas budinya. (Hr. Abu dawud dan Nasa’i)<br /> Demikian juga dengan hadits Rasulullah :<br />مَلْعُوْنٌ مَنْ سُئِلَ بِوَجْهِ اللهِ وَمَلْعُوْنٌ مَنْ يُسْأَلُ بِوَجْهِهِ ثُمَ مَنَعَ سَائِلَهُ مَالَمْ يَسْأَلْ هَجْرًا<br />“Terlaknat orang yang dimintai dengan wajah Allah dan terlaknatlah orang yang dimintai atas nama Allah kemudian ia menolak permintaannya, kecuali permintaan untuk memutuskan hubungan. (Hr. Thabrani, beliau berkata di dalam tanbihul ghafilin bahwa rijal isnadnya shahih kecuali syaikhnya yang bernama yahya bin utsman bin shalih dan kebanyakan ahlu hadits mentsiqahkannya)<br /><br />Abu hurairah meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:<br />أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ الَّذِي يُسْأَلُ بِاللَّهِ وَلَا يُعْطِي بِهِ<br />“Maukah aku khabarkan kepada kalian seburuk-buruk manusia? mereka (para sahabat) berkata, iya wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda, seorang yang dimintai dengan nama Allah namun ia tidak memberinya” (Hr. Ahmad)<br />Beberapa hadits diatas sangat jelas mewajibkan untuk mengabulkan pemitaan orang yang meminta atas nama Allah . Ada beberapa alasan tentang diwajibkannya mengabulkan permintaan ini:<br /> Karena membebaskan sumpah adalah wajib. Maka ketika seseorang bersumpah kepada kita agar kita melakukan sesuatu maka diwajibkan bagi kita untuk melakukannya selagi tidak dalam kema’syiatan. Hal ini sebagai mana hadits Rasulullah terhadap seorang wanita yang di beri hadiah korma namun ia hanya memakan sebahagiannya dan meninggalkan sebahagian yang lain. Maka kemudian sang pemberi hadiah bersumpah kepada wanita tersebut agar memakan sisanya. Namun ia menolak, sehingga Rasulullah bersabda kepadanya:<br />أَبِرِّيهَا فَإِنَّ الْإِثْمَ عَلَى الْمُحَنِّثِ<br />“Bebaskanlah ia dari sumpahnya karena akan mendapat dosa bagi orang yang mengingkari sumpahnya” (Hr.Ahmad)<br /> Sebagai bentuk pengagungan terhadap terhadap nama Allah yang disebutkan saat meminta.<br /><br />Referensi:<br />1. fathul majid, karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab<br />2. qoulul mufid, karya Muhammad bin Sholih al-utsaimin<br />3. taisirul azizil hamid, karya Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad Bin Abdul Wahhab<br />4. Minhajul Muslim, karya Abu Bakar jabir al-jazairiy<br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-48091398464832812942009-03-28T19:45:00.000-07:002009-03-28T19:46:53.733-07:00Fatwa "nyeleneh" seputar tragedy Ghaza Antara pro dan kontraOleh: Uwais Abdullah<br /><br /> Peristiwa pembantaian kaum muslimin Ghaza cukup mengundang perhatian seluruh lapisan masyarakat dunia. Dengannya bermunculan berbagai tanggapan serta tawaran solusi untuk menyelesaikan pertikaian tersebut. Satu fihak yang lebih cenderung untuk menempuh jalan perdamaian dan fihak lain yang muak dengan penghianatan pihak yahudi yang selalu ingkar janji.<br /> Dengan banyaknya tanggapan ini, perasaan ragu-ragu dan khawatirpun akhirnya menyelimuti sebahagian mereka yang mempunyai kepedulian yang tinggi untuk turut membantu mereka yang terdzolimi. Misalnya saja salah satu stasiun televisi di arab saudi yang melarang penyebutan syuhada' bagai mereka yang gugur di ghaza. Demikian juga fatwa seorang syaikh yang mengatakan bahwa tindakan kaum muslimin di berbagai belahan dunia yang mengadakan Unjuk rasa untuk palestina adalah perbuatan haram dan merupakan bahagian dari ”al-ifsad fil ardhi" membuat kerusakan dimuka bumi .<br /> Memang apabila demonstrasi belaka tanpa tindak lanjut atau tidak bisa mendatangkan keberuntungan adalah perbuatan sia-sia. Akan tetapi apakah semua demonstrasi itu demikian? Karena pada kenyataannya justru kaum muslimin bisa mengumpulkan dana untuk memabantu mereka.<br /><span class="fullpost"><br />Menyikapi perbedaan<br /> Beberapa kaedah yang seharusnya dikedepankan dalam menyikapi pro dan kontra seputah fatwa Ghaza, yaitu:<br /><br />1. Melepaskan diri dari belenggu ta'ashub terhadap tokoh-tokoh tertentu.<br /> Sikap ta'ashub terhadap tokoh-tokoh tertentu akan menjadi belenggu bagi diri kita untuk mendapatkan kebenaran yang mungkin berada di fihak lain. Karena kebenaran sesuatu tidaklah diukur dengan ketokohan yang disandang oleh seseorang. Hal ini sebagaimana sikap aliy radhiallahu anhu ketika datang seseorang kepada beliau sembari bertaya "menurutmu apakah kebenaran berada dirimu dan kebhatilan berada di fihak Thalhal, Zubair, dan Aisyah? (maksudnya adalah permasalahan perang jama). Maka Aliy radhiallohu anhu berkata:<br />ويلك !! اعرف الحق تعرف أهله , ولا تعرف الحق بالرجال .<br /><br />"celaka kamu!! Ketahuilah kebenaran niscaya engkau akan tahu ahli kebenaran, dan kebenaran itu tidaklah diketahui melalui ketokohan". <br /> Dari kasus diatas nampa jelasa aliy radhiallahu anhu melarang orang yang bertanya untuk mengukur kebenaran dengan ketokohan dirinya. Akan tetapi hendaknya ia mengukur dengan kebenaran hakiki yaitu al-qur'an dan sunnah. Demikain pula sikap empat imam madzhab berkenaan dengan masalah menimbang kebenaran<br /> Imam Abu hanifah berkata:<br />إذا قلت قولا يخالف كتاب الله ، وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي .<br />"bila aku mengeluarkan perkataan yang menyelisihi kitab Allahldan khabar dari rasulullah maka tinggalkanlah perkataanku". <br />Imam malik berkata:<br />إنما أنا بشر أخطئ وأصيب ، فانظروا في رأيي ، فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه ، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه .<br />"sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa yang mungkin benar dan salah, mak lihatlah telitilah pendapatku, maka setiap apa yang sesuai dengan kitab dan sunnah maka ambilla, sedangkan apa yang tidak sesuai dengannya maka tinggalkanlah". <br />Imam syafi'i pernah berkata kepada imam ahmad bin hambal:<br />أنتم أعلم بالحديث والرجال مني ، فإذا كان الحديث صحيحا فأعلموني به حتى أذهب إليه<br />"engakau lebih mengetahui tentang hadits dan perawi dibangdingkan aku. Maka jika engakau mengetahui hadits yang shahih, beritahulah aku agar aku bisa mengikutinya". <br />Imam Ahmad bin hambal berkata:<br />لا تقلدني ، ولا تقلد مالكا ، ولا الشافعي ، ولا الأوزاعي ، ولا الثوري ، وخذ من حيث أخذوا<br />"janganlah kalian bertaklid kepada diriku, dan malik, dan as-syafi'i, dan al-auza'i, dan ats-tsauriy, akan tetapi ambillah dari sumber yang mereka ambil". <br /><br />2. Mengambil pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran<br /> Pendapat yang lebih benar tentunya yang lebih jelas dasar pijakannya dari al-qur'an dan sunnah serta penerapan yang tepat sesuai dengan realita yang ada. Demikian juga hendaknya lebih.mengedepankan dalil-dalil yang bersifat muhkam dibandingkan dengan mutasyabih. Karena dalil mutasyabih merupakan celah besar bagi mereka yang mempunyai penyakit dalam hatinya untuk menebar fitnah syubhat. Rasulullah bersabda:<br />فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ<br /> "apabila engkau mendapati orang yang mengikuti dalil yang mutasyabih maka mereka itulah orang yang di sebutkan oleh Allah l jauhilah mereka" <br /><br />3. Mengambil fatwa dari para ulama yang lebih kompeten di bidangnya.<br /> Para mujtahid ada beberapa tingkatan diantaranya adalah mujtahid mutlak yang berwewenang untuk berijtihad dalam segala perkara, dan ada juga mujtahid yang (juz'iy) terbatas pada bidang-bidang tertentu. Dan diperbolehkan bagi mereka yang mempunyai keahlian dibidang tertentu untuk berijtihad dalam perkara yang ia berkompeten di dalamnya.<br /> Maka bagi seorang yang ingin meminta fatwa kepada para mujtahid, hendaknya benar-benar melihat kepada keahlian mereka serta memberikan data selengkap-lengkapnya tanpa ada manipulasi. Hal ini sebagaimana para sahabat yang mempunyai keahlian di bidang mereka masing-masing, seperti Dikalangan para sahabat ada yang pakar dalam bidang strategi perang sebagaimana Kholid bin walid, Ahli dalam bidang Tafsir sebagaimana Ibnu Abbas, Ahli dalam hadits sebagimana Abu Hurairoh, ahli dalam bidang ilmu mawaris Muadz bin Jabal. Para sahabat meminta fatwa kepada mereka sesuai dengan keahlian mereka, meski tidak jarang diantara mereka yang ahli dalam beberap permasalahan sekaligus.<br /><br />Menimbang beberapa fatwa "nyeleneh"<br /><br />Telah muncul beberapa fatwa aneh yang perlu diteliti ulang seputar tragedi ghaza karena dirasa kurang tepat dan mengusik perasaan kaum muslimin.<br /><br />1. fatwa hijrah keluar palestina<br /> Dikarenakan kaum muslimin yang berada di palestina tidak mampu untuk mengadakan perlawanan, maka seharusnya mereka berhijrah untuk menghindari korban lebih yang lebih banyak. Hal ini sebagaimana yang pernah dicontohkan pada masa rasulullah .<br /> Beberapa hal yang perlu dicermati berkenaan dengan fatwa ini. Benarkah qiyas (analogi) antara hijrah nabi dan keadaan kaum muslimin pada saat ini bisa diterima? Kalau kita mencermati sebab hijrahnya para sahabat dan rasul bukan sekedar atas dasar kondisi mereka yang masih lemah, namun lebih dari itu bahwa belum turunnya perintah dari allah untuk berperang. Dan semenjak turunnya perintah perang rasulullah dengan segenap keterbatasan kekuatan kaum muslimin yang jauh dibawah orang kafir tetap melakukan perlawanan. <br /> Adapun kondisi kaum muslimin pada saat ini, perintah jihad telah turun secara mutlak hingga tidak bisa dianalogikan dengan masa rasulullah sebelum turunnya perintah jihad. Justru kewajiban bagi mereka untuk mempertahankan diri dengan segenap kemampuan. Allah berfirman: <br /> يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ<br /> "wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan sekelompok dari musuh-musuh maka bertahanlah untuk memerangi mereka, dan perbanyaklah mengingat allah swt agar kalian mendapt kemenangan". (Al-Anfal: 45)<br /> Berkata ibnu qudamah: apabila orang-orang kafir menduduki wilayah kaum muslimin, maka kewajiban menjadi fardhu ain bagi penduduknya untuk menyerang dan mengusirnya. <br /> Hal kedua yang perlu di cermati berkenaan dengan fatwa ini adalah, bahwah fatwa seharusnya berdasarkan kepada realita yang ada. Maka suatu persoalan yang berat yang harus diselesaikan atau mungkin mustahil untuk diselesaikan, yaitu kalau saja fatwa itu dapat dibenarkan, maka kemanakah penduduk palestina harus berhijrah? Dari sekian puluh jutak kaum muslimin tersebut daerah manakah yang akan menampungnya?<br /> <br />2. belum saatnya berjihad jihad dipalestina<br /> Seharusnya kaum muslimin yang ada dipalestina bersabar dan tidak melakukan perlawanan yang akan menjatuhkan korban yang lebih banyak. Karena mala petaka yang terjadi disana dikarenakan mereka yan lalai agama Allah . Sehingga mereka lemah dimata orang-orang kafir. Hal yang harus dibangun pada diri mereka pada saat ini adalah kesadaran beragama yang benar, dan belum saatny untuk berjihad.<br /> Pendapat ini sangatlah aneh apabila dicermati dengan realita yang ada. Jutsru ketika kaum muslimin tidak mengadakan perlawanan mereka para musuh lebih leluasa untuk membantai kaum muslimin. Karena pada hakikatnya sebaik-baik pertahanana adalah menyerang. Dan genjatan senjata yang telah berlalupun terbukti selalu dilanggar oleh pihak yahudi sendiri. Dengan demikian serangan balik dalam rangka mempertahankan diri yang dilakukan oleh harakah muqawwahan al-islamiyah adalah langkah tepat dan tidak mau terjebak kedalam lubang penipuan untuk kedua kalinya. <br /> Adapun kalau dengan alasan bahwa mereka perlu membangun keislaman yang baik terlebih dahulu baru melakukan jihad, maka justru perlawanan itulah sebagai usahu untuk membangun keislaman hakiki dan bukan hanya sekedar teori. Tidak didapatkan di dalam buku fiqih peninggalan lama (turats) yang mensyaratkan jihad harus menjadi ulama terlebih dahulu. Sebagai mana hadits bara “Seorang laki-laki dengan baju besi untuk perang datang kepada Nabi. Ia bertanya, Ya Rasulullah saya ikut perang dahulu atau masuk Islam dahulu? Beliau menjawab, Masuklah Islam terlebih dahulu baru kemudian ikut berperang, Laki-laki itu masuk Islam lalu ia ikut berperang hingga terbunuh. Maka Rasulullah bersabda, Ia beramal sedikit namun diberi pahala yang banyak.” (HR Bukhori) <br /> Dari hadits diatas rasulullah tidak menunggu orang tersebut agar menjadi ulama terlebih dahulu baru pergi berjihad.<br /><br />3. Jihad kepalestina harus izin kepada ulil amri<br /> Siapakah ulil amri yang mereka maksud? Apabila penguasa yang ada saat ini maka itu sebuah kesalahan. Karena mereka berhukum kepada hukum selain allah dan menjadikannya sebagai dasar undang-undang. Seorang dikatakan ulil amri ketika ia berhukum kepada hukum allah . Firman allah : وأولي الأمر منكم (dan pemimpin diatara kalian) maksudnya adalah pemimpin dari kalangan kaum mu'minin. Sementara mereka yang berhukum kepada hokum selain allah dihukumi kafir dan tidak pantas dianggap sebagai amirul ulil amri.<br /> Allah berfirman: "“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah: 31). Imam At-Tirmidzi, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib)<br /> Dengan demikian jelas bahwa mereka yang berhukum kepada selai allah dihukumi kafir, dan tidak layak dijuluki sebagai ulil amri serta tidak perlu meminta izin kepada mereka dalam rangka menuanikan ibada jihad.<br />Wallahu a'lam bis shawab<br />Referensi:<br />Shahih bukhariy. Karya imam bukhariy<br />Al-Mughniy. Karya Ibnu Qudamah<br />Hukmul jihad, karya ibrohim bin abdurrahin al-khudriy<br />Ahamiyatul jihad, karya aliy bin nafi' al-ulyaniy<br />Al-khilaf asbabuhu wa adabuhu, maktabah syamilah, karya aidh al-qarniy<br />Taujihat al-islamiyah li'islahil fardu wal mujtama' maktabah syamilah, karya jamil zainu<br /> www.arrahmah.com<br />www.ulamasunnah.com <br /> <br /><br /> <br /> <br /><br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-39960017836666942452009-03-28T19:40:00.000-07:002009-03-28T19:44:09.712-07:00Bila tokoh Menjadi Standar KebenaranPerbedaan pemahaman merupakan sebuah keniscayaan yang senantiasa ada dalam kehidupan kaum muslimin. Dan ia merupakan salah satu dari tiga permintaan Rasulullah yang tidak dikabulkan oleh Allahl. Suatu ketika khabbab bin al-art medatangi beliu seusai shalat lail sembari bertanya, demi bapak dan ibuku sesungguhnya aku belum pernah melihatmu shalat seperti ini. Beliau bersabda:<br />أَجَلْ إِنَّهَا صَلَاةُ رَغَبٍ وَرَهَبٍ سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا ثَلَاثَ خِصَالٍ فَأَعْطَانِي اثْنَتَيْنِ وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُهْلِكَنَا بِمَا أَهْلَكَ بِهِ الْأُمَمَ قَبْلَنَا فَأَعْطَانِيهَا وَسَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُظْهِرَ عَلَيْنَا عَدُوًّا مِنْ غَيْرِنَا فَأَعْطَانِيهَا وَسَأَلْتُ رَبِّي أَنْ لَا يَلْبِسَنَا شِيَعًا فَمَنَعَنِيهَا<br /><br />" benar, sesungguhnya shalatku itu antara berharap dan cemas, aku telah meminta kepada rabb tentang tiga perkara, ia mengabulkan yang tiga dan menolak yang satu. Aku memohon agar kita tidak dibinasakan sebagai ummat-ummat terdahulu, dan ia mengabulkan. Dan akau meminta agar musuh tidak menguasai kita maka itupun dikabulkan. Dan aku meminta agar kita tidak jihadikan berrgolongan-golongan, tetapi ia menolak permohonanku ini" . Perbedaan yang terjadi itu ada yang bisa ditoleransi dan ada pula yang tidak. Sebagai mana apabila ia terletak pada permasalahan fiqh yang merupakan furu (cabang), maka saling tasamuh (toleransi) harus selalu dikedepankan. Berbeda apabila ia terletak pada persoalah yang bersifat Ushul (prinsip).<br /><br /><span class="fullpost"><br />Terkadang sebahagian kaum muslimin apabila dibenturkan dengan perbedaan yang terjadi, salah kaprah dalam mengambil barometer yang dijadikan ukuran benar atau tidaknya sesuatu. Ada yang terpatok oleh tokoh-tokoh tertentu sehingga menganggap setiap apa yang keluar dari lisan mereka adalah sebuah kebenaran. Konsekwensinya ia akan menganggap kebenaran selain dari pendapat tokoh tersebut pasti salah. Padahal imam malik pernah berkata "setiap kita pendapatnya bisa ditolak dan di terima kecuali penghuni kuburan ini (maksudnya adalah Rasulullah )" <br /> Ada beberapa dampak negatife dari sikap yang demikian ini, diantaranya adalah <br />1. Pengkultusan seorang tokoh yang menandingi Rasulullah . Karena pada hakikatnya hanya pendapat Rasulullah yang kebenarannya diakui secara mutlak.<br />2. Terhalanginya diri dari kebenaran yang mungkin saja berada pada pihak lain.<br />Allah l berfirman:<br />فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ<br /> "dan apabila datang kepada mereka Rasul dengan membawa bukti-bukti, maka mereka lebih bangga denga keilmuan yang ada pada diri mereka". (QS. Ghafir: 83)<br />3. Tumbuhnya rasa ta'ashub yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh kaum muslimin.<br />Tiga hal diatas merupakan dampak negatif yang sangat fatal dan sumber dari perpecahan yang ada. Sehingga kita banyak menyaksikan sebahagian kaum muslimin yang rela menyesatkan saudaranya hanya karena statemen yang keluar dari lisan para tokoh mereka meski tanpa didasari oleh landasan dalil yang benar.<br />Barometer semu dan hakiki<br /> Barometer semu tidaklah mempunyai patokan yang pasti sehingga ia akan bersifat relatif. Bisa jadi menurut golongan tertentu dengan kondisi tertentu ia dinilai sebagai kebenaran namun tidak dengan golongan yang lain. Hal ini sebagaimana mereka yang menjadikan tokoh sebagai ukuran kebenaran yang belum tentu akan diterima oleh kelompok lain. Sedangkan barometer yang bersifat hakiki tidak akan berubah dengan perubahan kondisi dan perkembangan zaman. Kebenarannya abadi dan sesuai dengan fitrah manusia. Hal ini dikarenakan ia merupakan barometer yang langsung ditetapkan oleh Allah sang pencipta menusia. Dan ia maha mengetahui terhadap kemaslahatan para hambanya.<br /> Sahabat mulia Aliy menjelaskan tentang barometer yang seharusnya kita jadikan pengukur kebenaran. Suatu ketika datang seorang kepada beliau dan berkata:<br />يا علي ، أتظن أن الحق معك والباطل مع طلحة والزبير وعائشة ؟ يعني في معركة الجمل.قال : ويلك !! اعرف الحق تعرف أهله , ولا تعرف الحق بالرجال .<br /><br /> "wahai aliy, apakah engakau beranggapan bahwa kebenaran berada pada pada dirimu dan kebathilan berada pada Thalhah, Zubair dan ai'syah? (maksudnya adalah pada permasalahan perang jamal). Maka beliau berkata "celaka kamu, ketahuilah kebenaran maka niscaya engkau akan tau ahlinya (maksudnya yang berada dalam kebenara). sesungguhnya kebenaran tidak diukur dengan kotokohan.” <br /> Sikap aliy dalam mengukur kebenaran sama sekali bukan dengan ketokohan, akan tetapi dengan kebenaran yang hakiki sebagaimana tersirat dari perkataan beliau "ketahuilah kebenaran maka niscaya engkau akan mengetahui ahlinya". Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa kebenaran hakiki adalah apa yang bersumber dari Allah l yang disampaikan oleh Rasulnya . Allah l berfirman: <br />إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ<br />"sesungguhnya al-haq itu dari Rabb kalian akan tetapi kebanyakan manusia tidak meyakininya". (QS. Huud: 17)<br />Imam at-thabari berkata: "Allah l memberikan khabar dengan mengatakan, bahwa al-qur'an yang aku turunkan kepadamu wahai Muhammad adalah al-haq dari rabbmu dan janganlah engkau ragu, akan tetapi kebanyakan manusia mengingkarinya". Dan Rasulullah bersabda:<br />تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ<br />"aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selama kalian berpegang pada keduanya yaitu kitab Allah dan sunnah nabinya". <br />Sikap empat imam madzhab dalam mengukur kebenaran<br /> Seharusnya kaum muslimin mau bersikap sportif dalam menanggapi pendapat orang lain sebagaimana dicontohkan oleh para ulama salaf. Mereka terbuka dan tidak menjadikan perbedaan sebagai pintu perpecahan serta tidak mengharuskan pengikutnya fanatik terhadapnya. <br />Imam Abu hanifah berkata:<br />إذا قلت قولا يخالف كتاب الله ، وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي .<br />"bila aku mengeluarkan perkataan yang menyelisihi kitab Allahldan khabar dari rasulullah maka tinggalkanlah perkataanku". <br />Imam malik berkata:<br />إنما أنا بشر أخطئ وأصيب ، فانظروا في رأيي ، فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه ، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه .<br />"sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa yang mungkin benar dan salah, mak lihatlah telitilah pendapatku, maka setiap apa yang sesuai dengan kitab dan sunnah maka ambilla, sedangkan apa yang tidak sesuai dengannya maka tinggalkanlah". <br />Imam syafi'i pernah berkata kepada imam ahmad bin hambal:<br />أنتم أعلم بالحديث والرجال مني ، فإذا كان الحديث صحيحا فأعلموني به حتى أذهب إليه<br />"engakau lebih mengetahui tentang hadits dan perawi dibangdingkan aku. Maka jika engakau mengetahui hadits yang shahih, beritahulah aku agar aku bisa mengikutinya". <br />Imam Ahmad bin hambal berkata:<br />لا تقلدني ، ولا تقلد مالكا ، ولا الشافعي ، ولا الأوزاعي ، ولا الثوري ، وخذ من حيث أخذوا<br />"janganlah kalian bertaklid kepada diriku, dan malik, dan as-syafi'i, dan al-auza'i, dan ats-tsauriy, akan tetapi ambillah dari sumber yang mereka ambil". <br /> Demikianlah pernyataan mereka tentang barometer kebenaran yang tidak terbelenggu dengan tokoh-tokoh tertentu. Bahkan dengan perbedaan tersebut tidak mengurangi rasa persaudaraan diantara mereka. Qodhi iyadh berkata dari laits bin sa'ad dia berkata "saya bertemu dengan imam malik di madinah dan berkata kepadanya, saya melihat anda mengusap keringat di keningmu. Ia menjawab, wahai orang mesir, saya berkeringat karena abu hanifah benar-benar faqih. Laits berkata, kemudian saya bertemu dengan abu hanifah dan berkata kepadanya, beliau (imam malik) telah mengatakan yang baik tentang anda. Maka abu hanifah berkata, belum pernah aku melihat orang yang lebih cepat dari imam malik dalam menjawab kebenaran dan kritikan yang sempurna.<br /> Sikap serupa juga dicontohkan imam ahmad terhadap imam syafi'i, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin ahmad bin hambal berkata: saya bertanya kepada bapak saya, siapakah syafi'i wahai bapak, saya mendengar bapak sering mendo'akannya. Bapakku menjawab, wahai anakku semoga Allah l melimpahkan rahmatny kepada syafi'i ia lakasana matahari bagi dunia dan penolong bagi manusia. Lihatlah apakah ada yang dapat menggantikan keduanya bagi manusia.<br />Referensi:<br />• Al-Muwatto, karya imam malik<br />• Sunan Nasa'i, karya imam nasa'i<br />• Tsalatsah rosa'il fis sholat, maktabah syamilah karya nashiruddin al-baniy<br />• Al-khilaf asbabuhu wa adabuhu, maktabah syamilah karya aidh al-qarniy<br />• Tafsir jami'ul bayan an ta'wil aayil qur'an, karya imam at-thabariy<br />• Taujihat al-islamiyah li'islahil fardhu wal mujtama' maktabah syamilah karya Muhammad bin jamil zainu<br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-28716600872473560552009-03-07T05:28:00.000-08:002009-03-07T05:30:54.832-08:00Gelar Ahlus SunnahSa’id ibnu Jabir menjelaskan Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 103 :<br />“pada hari perhitungan/keputusan ada orang-orang yang wajahnya putih berseri-seri atau berwajah suram…”<br /><br />“Hal itu berarti bahwa perbuatan yang paling bagus adalah menjadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”.<br /><br />Abdullah ibnu Abbas berkata mengenai ayat tersebut:<br /><br />“Orang-orang yang berwajah putih berseri adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan orang-orang yang memiliki wajah suram adalah Ahlul Bid’ah wal Firqoh”<br />Imam Zuhri berkata:<br />“Para ahli kami berkata, berpeganglah pada sunnah, maka akan selamat.(Darimi vol.1 hal 45)<br /><br />Imam Uza’i berkata:<br />“Lima hal yang dimiliki oleh shahabat yakni berada dalam jama’ah (di bawah Amirul Mu’minin) dan mengikuti Sunnah, mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan kejahatan, jihad di jalan Allah, dan persaudaraan (memelihara ukhuwah)”.<br /><br />Abu Bakar r.a. berkata:<br />“Sunnah itu adalah tali agama Allah”<br />Umar bin Khaththab berkata:<br />“Seseorang yang mengedepankan akal adalah musuh dari sunnah”<br /><br />Abdullah bin Umar berkata:<br />“Barang siapa meninggalkan Sunnah maka ia kafir”.<br /><br />Sofyan bin ‘Unayna berkata:<br />“Ada sepuluh hal yang harus dimiliki oleh Ahlus Sunnah, Barang siapa yang meninggalkannya maka ia bukan dari golongan Ahlus Sunnah, yaitu :<span class="fullpost"><br />1. mereka percaya pada Qodar (takdir baik dan buruk dari Allah)<br />2. mereka percaya bahwa Abu Bakar adalah Khalifah pertama, setelah itu Khalifah Umar<br />3. Al-Hawd (Telaga Rasulullah saw. Di Surga)<br />4. Syafa’at ( pada hari keputusan/hari peradilan)<br />5. Mizaan<br />6. Shiraat<br />7. Iman itu adalah perkataan yang diiringi oleh perbuatan<br />8. Al Qur’an adalah wahyu Allah<br />9. percaya adanya siksa kubur<br />10. percaya adanya hari kebangkitan<br /><br />Para Ahli Sunnah Wal Jama’ah berkata ketika mereka ditanya,”Bagaimana kita tahu seseorang dari golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?”<br /><br />Apabila dia memiliki ciri-ciri berikut :<br /><br />1. Selalu memperjuangkan jama’ahnya<br />2. Tidak pernah mendustakan para shahabat<br />3. Tidak pernah memerangi umat (semena-mena terhadap umat)<br />4. Percaya pada Qodar<br />5. Tidak ada keraguan tentang iman (mempunyai iman yang kuat) dan iman itu adalah perkataan yang diiringi oleh perbuatan.<br />6. Tidak berbuat Irja’ (Memisahkan antara keyakinan dan perbuatan)<br />7. Tidak akan pernah berhenti beribadah<br />8. Selalu menjaga langkah kaki/aurat<br />9. Tidak meningggalkan ibadah di samping menegakkan khilafah<br /><br />BUKU-BUKU AQIDAH<br /><br />Kitab Al Sunnah: Imam Ahmad bin Hambal (242 H)<br />Kitab Al Sunnah: Abdullah bin Ahmad (290 H)<br />Kitab Al Sunnah: Abu Bakar bin Al Athram (272 H)<br />Kitab Al Sunnah: Ibnu Abi Aasim (287 H)<br />Kitab Al Sunnah: Muhammad bin Nasr Al Marwazi (294 H)<br />Kitab Sareeh Al Sunnah: Abu Ja’far al Tahaawie (310 H)<br />Kitab Al Sunnah: Imam Ahmed bin Muhammad (Imam Al Khallal) (d.311 H)<br />Kitab Sharh Usul Al Sunnah: ibn Batta Al Akburi (387 H)<br />Kitab Al Sunnah: ibn Abi Zamneen (399 H)<br />Semua buku-buku Aqidah tersebut yang ditulis Ahlus Sunnah Wal Jama’ah disebut Al-Sunnah, hal tersebut untuk menunjukkan bahwa Al-Aqidah itu adalah Al-Sunnah.<br /><br />Hasan Al-Basri berkata, pada salah satu ayat surat Al-Maidah,<br />“Ash-Shari’ah itu adalah As-Sunnah”<br /><br />Ibnu Taimiah berkata:<br />“Sunnah itu adalah syari’ah”<br /><br />dan beliau berkata:<br />“Jika kamu paham Sunnah, maka kamu wajib mengikutinya,…..”<br /><br />Abdul Rahman bin Mahdi berkata:<br />“Orang-orang mempunyai derajat yang berbeda, sebagaimana mereka adalah imam dari Sunnah dan Hadits, dan sebagaimana dari mereka imam Hadits bukan Imam Sunnah, seseorang yang merupakan imam Sunnah dan Hadits adalah Sufyan Ats-Tsauri”<br /><br />15 nama/sebutan bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah<br /><br />1.Ahlus Sunnah wal Jama’ah<br />2.Ath-Thaa’ifah Al-Mansuurah (Jama’ah yang menang)<br />3.Ath-Thaa’ifah Adz-Dzohiroh (Jama’ah yang berkuasa)<br />4.A’immatul Huda (Imam/Kalangan yang Mendapat Petunjuk)<br />5.Ahlul Qur‘an Al-Faadhilah (Orang-orang terbaik pada abadnya)<br />6.Ashaabu As-Sunnah wal Hadits (Orang-orang Sunnah dan Al Hadits)<br />7.As-Salaf As-Salih (Leluhur/pendahulu yang Saleh)<br />8.Al-Firqoh An-Naajiyah (Mazhab Yang Selamat)<br />9.Ahlul Al-Ittibaa’(Orang-orang yang tunduk/patuh/mengikuti)<br />10.Al-Jama’ah (Jama’ah)<br />11.Al-Ghurabaa (Orang-orang yang ‘Asing’)<br />12.Ahlul Al-Athar (Kisah orang-orang Ahlus Sunnah)<br />13.Jama’atul Muslimin (Muslim di bawah kepemimpinan satu khalifah)<br />14.Ahlu Al-Ilmi (Orang-orang berpengetahuan)<br />15.As-Salafiyyah (Salafus Sholeh)<br /><br />ARTI AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH<br /><br />1. Umum<br /><br />Secara umum hal ini berarti berlawanan dengan shi’ah sehingga mereka ini adalah siapa saja yang mengucapkan laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah, serta shalat menghadap kiblat<br /><br />2. Khusus<br /><br />Secara khusus adalah Rasulullah saw beserta sahabatnya<br />Hal ini tidak termasuk:<br />· Al Khawarij<br />· Shi’ah<br />· Murji’ah<br />· Al-Qodariyah<br />· Al-Jahmiyyah<br /><br />Siapa Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan dimana mereka?<br />1. Shahabat<br />2. Mereka yang mengikuti shahabat<br />3. Mereka yang mengikuti apa-apa yang disampaikan oleh generasi sebelumnya (yaitu sahabat dan tabi’in yang Ihsan)<br /><br />Siapa mereka itu?<br /><br />Ibnu Taimiyyah berkata :<br />“…..mereka adalah para Shahabat Rasulullah saw, mereka disebut sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena mereka selalu mengikuti shari’ah dan jama’ah karena mereka menggalang persatuan meskipun mereka tidak bertemu sekalipun. (Fattawa ibn Taymiyyah vol.13 hal 358)<br /><br />Abdullah ibnu Amru mengisahkan:<br /><br />Rasulullah saw bersabda :<br />“Umat-ku akan mengikuti kaum Bani Israil, sungguhpun jika salah seorang dari mereka menggauli ibunya di depan umum (secara seksual), maka akan ada satu dari umat-ku akan berbuat demikian. Orang-orang Israel akan terbagi dalam 72 golongan, umatku akan terbagi dalam 73 golongan, seluruh dari mereka akan masuk neraka, dan satu dari mereka akan masuk surga. Kami bertanya: ”Siapakah golongan yang selamat itu?” Rasulullah menjawab: “Aku dan Para Shahabatku”.(Tirmidzi 2565)<br /><br />SIFAT DAN KARAKTER AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH<br /><br />1. Mereka adalah pemegang tali Allah<br /><br />Abu Bakar As Siddiq ra berkata:<br />“Ahlus Sunnah adalah mereka yang selalu berpegang teguh pada tali agama Allah swt. tanpa ada keraguan sedikit pun”<br /><br />Umar bin Khaththab r.a. berkata:<br />“Akan ada suatu hari di mana orang-orang akan berdebat denganmu tentang syubhat Qur’an (untuk membuat ta’wil dan Tafsir), maka lawanlah mereka dengan sunnah, orang-orang Ahlus Sunnah wal Jama’ah paham bahwa kitab Allah lebih baik dari apapun (sunan Al Damiri vol.1 hal 49)<br /><br />2. mereka adalah suri tauladan yang baik, mereka menuntun ke jalan yang benar ( Al-Qudawatus Salihun)<br /><br />Abdullah ibnu Abbas r.a. berkata :<br />“Allah swt berfirman: “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri ada pula yang menjadi hitam muram….”(QS. 3:106),<br /><br />mereka yang wajahnya menjadi putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka yang wajahnya muram menjadi hitam adalah Ahlul Firqah wal Bid’ah”. (Tafsir dari ayat(QS.3:106) dalam Tafsir Al-Qurtubi, dan Ibnu Katsir dan Al-Bukhari)<br /><br />Amru bin Qayis Al-Mulla’i (d. 143) berkata:<br />“Apabila kamu melihat seorang pemuda berada di antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka ia akan menjadi orang yang baik, dan apabila kamu melihatnya berada di antara orang-orang bid’ah maka jauhkan dirimu darinya, sesungguhnya seseorang yang tumbuh/berada dengan orang-orang yang berilmu mulai dari masa kecilnya (hingga ia dewasa) maka selamatlah dia.” (Al Sharh wal Ibana, hal 133)<br /><br />Ibnu Shouzab berkata:<br />“Allah akan memberikan berkah-Nya kepada anak muda atau orang non Arab lainnya, jika mereka mau menjadi teman orang Ahlus Sunnah.”(Al Sharh wal Ibana hal 133-Ubaidullah bin Muhammad bin battah Al Akburi (d.387)<br /><br />Ayub Al-Sikhtiyaani berkata:<br />“Satu hal yang paling menggembirakan bagi pemuda atau orang non Arab yaitu bahwa Allah membimbingnya pada orang ‘Alim (berlimu) dari golongan Ahlus Sunnah”. (Sharh usul I’tiqaad Ahlus Sunan-Imam Laal’ikaie vol.1 hal 60 H 30)<br /><br />Imam Ahmad bin Hambal berkata:<br />“Sesungguhnya golongan yang menang itu adalah Ahlul Hadits, jika bukan mereka , lalu siapa lagi?”.<br /><br />Qodi Al-Fudhail bin Iyaad (d.187) menjelaskan pertanyaan Imam Ahmad:<br />Ahmad berkata bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok yang menang, dan…..Ahlul Hadits”.<br />Qodi Iyaad berkata:<br />“Allah mempunyai empat….bahwa yang akan memajukan negeri adalah orang-orang Ahlus Sunnah”.<br /><br />3. Mereka tidak menyebut dirinya dengan nama lain selain orang-orang Islam dan Ahlus Sunnah dan Al Jama’ah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena Rasulullah saw memanggil nama mereka dengan sebutan seperti itu, Allah berfirman:<br /><br />”Jika mereka beriman pada apa yang telah kamu beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada di jalan yang salah”.(QS.2:137)<br /><br />Ibnu Abbas berkata:<br />“Barang siapa yang menyebut dirinya dengan nama satu aliran atau nama paham baru (selain Islam), maka berarti ia telah keluar dari agamanya (Islam) ”.(kitab Al Sharh hal 137)<br /><br />Qadi Iyaad menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Malik, ”Siapakah itu Al Sunnah?” Imam Malik berkata: “orang yang tidak mempunyai gelar yang mereka ketahui, bukan jahmis, bukan rafidis, bukan…..(Tartib Al Madarik, vol.1 hal 72)<br /><br />Ibnu Qayyim mengisahkan tentang seorang laki-laki yang bertanya pada Imam Ahmad tentang Ahlus Sunnah.<br /><br />Imam Ahmad berkata: “Seseorang yang tidak menyebut namanya kecuali Al-Sunnah maka ia dari golongan Al- Sunnah’. (Madarik Al-Salikiin-Ibnu Qoyyim, vol.3 hal 174)<br /><br />Imam Malik bin Moghoul (d.159 H) berkata:<br />“Jika seseorang memanggil dirinya sendiri dengan panggilan sesuatu yang selain dari apa yang diajarkan Islam atau As- Sunnah, maka sesungguhnya dia telah memanggilnya dengan panggilan ajaran/agama (selain Islam) sesuai dengan agama yang kamu ingini”. (Al-Durr Al-Manthsur-Imam Al-Suyuti vol.2 hal 63) dan (kitab Al Sharh hal 137) dan (kitab Al Sharh-Al Laalikaie vol 1hal 62)<br /><br />Diberitakan oleh Imam Maimun bin Mahran (d. 117 H) berkata:<br />“Sungguh berani dirimu jika engkau menyebut dirimu dengan nama selain dari Al-Islam”. (kitab Al-Sharh ibnu Battah Al-Akburi hal 137)<br /><br />4. Mereka selalu mengikuti sunnah, mereka tidak mengikuti bid’ah<br /><br />Al Fudhayl bin Iyaad (d.187 H) berkata:<br />“Aku pernah bersama dan bertemu dengan seluruh orang-orang terbaik, mereka dari Ahlus Sunnah dan mereka semua melarang kamu untuk mengikuti bid’ah.(kitab Al-Sahrh wal Ibana hal 153)<br />Jadi ciri mereka adalah mengikuti As-Sunnah, dan melarang orang-orang untuk mengikuti bid’ah.<br />Orang-orang mendekati Abu Bakar dan Bertanya,”Terdapat banyak Sunni, Siapakah Sunni itu?” Abu Bakar bin ‘ashaah (d.194 H) berkata:<br />“Sunnni adalah orang yang jika kamu berbicara tentang hawa, maka hal tersebut tidak menjadi masalah baginya” (mereka tidak mengikuti hawa nafsu).(Kitab Al I’tiqaad-Al Imam Al Laalikaie vol 1 hal 65)<br /><br />Karena hal tersebut tidak mempengaruhinya apapun yang kamu katakan tentangnya dari hawa, entah itu nasionalisme, rasisme dan sebagainya, karena ia tahu bahwa ia adalah Muwahhid (orang yang kuat tauhidnya).<br />Ayub Al-Sakhtiyaani (d.131 H-tabi’) berkata pada Umarah bin Zaa zan:<br /><br />“Jika seseorang itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, jangan tanyakan padanya , bagaimanapun keadaannya”. (kitab Al-I’tiqaad-Al Imam Al Laalikaie vol 1 hal 60)<br /><br />Mereka bertanya padanya tentang siapa Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ibnu Taymiyyah berkata:<br />“Mereka adalah umat yang terbaik dan tertinggi, dan mereka adalah orang yang berada di jalan yang lurus, orang-orang yang benar dan adil, dan mereka melarang bid’ah dan mereka hanya pengikut-pengikut yang haq”.(Majmu Al-Fattawa, vol.3 hal 368-369)<br /><br />5. Mereka adalah Al-Ghurabaa’ (dan Al-Taa’ifah Al-Zaahirah dan Al Firqotul Naajiyah)<br /><br />Mereka tidak mengajak kepada persatuan dengan siapa saja yang batil dan yang menyimpang, karena mereka ada di pihak yang benar, mereka mengajak agar kita berpegang pada tali agama Allah, karena itulah yang akan menyebabkan persatuan<br /><br />Imam Hasan Al-Basri berkata:<br />“Sunnahmu yang berasal dari Allah akan selalu benar, perbedaan antara siapa yang (halus)…dan yang kasar, berpegang teguh pada sunnah (shari’ah). Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang jumlahnya kecil dan besok akan menjadi lebih kecil, mereka bukanlah orang yang suka berlebih-lebihan, bukan juga orang yang rasionalis (mendewakan akal) dan bukan golongan bid’ah. Berpeganglah pada sunnah”.(Sunan Al Damiri vol.1, hal 72, Hadits no. 218)<br /><br />Sofyan Ats-Tsauri (d.161 H) berkata:<br />“Jagalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan baik, karena mereka adalah Al-Ghurabaa’, jika kamu mendengar bahwa ada seseorang di Timur dan seseorang di Barat, maka orang Sunnah akan mengirimi mereka berdua salam. Sungguh luar biasa Ahlus Sunnah wal Jama’ah.(Al-Imam Al-Laalikaie-kitab Usul Al-I’tiqaadie vol 1 hal 64)<br /><br />Sofyan Tsauri dikenal sebagai ahli tafsir. Beliau mengumpulkan tafsir dari Ibnu Abbas r.a.<br /><br />Abdullah bin Mubarak (d.181 H) berkata:<br /><br />“Ketahuilah, bahwa aku melihat kematian hari ini merupakan karomah bagi setiap muslim yang bertemu Allah, melalui Sunnah (Shari’ah). Kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali. Kepada Allah kita mengadu tentang isolasi kita dari yang lainnya, dan kebanyakan Ikhwan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah meninggal dunia, dan orang-orang bid’ah mulai bermunculan, kepada Allah kita memohon agar kita dipermudah, ketika Bid’ah mulai bermunculan dan ulama’ mulai menghilang”.(Al-Imam Ibnu Wadhaah-kitab Al-Bida’ hal 39)<br /><br />6. Ihyaa Faridhatul Jihad wal Muna Fahah (mereka selalu membangkitkan/menghidupkan kembali semangat jihad dan mengajak kebaikan dan melarang kejahatan).<br /><br />Ahlus Sunnah wal Jama’ah satu-satunya yang percaya bahwa hukum asal tentang darah dan kekayaan dari orang-orang kafir adalah halal bagi muslim, kecuali oleh “Imaan” (jika mereka memeluk Islam) atau “amaan” (perjanjian perlindungan).<br />Jabir bin Abdullah mengisahkan:<br /><br />‘Rasulullah saw. bersabda:<br />“Akan ada generasi penerus dalam umatku, yang akan memperjuangkan yang haq, kamu akan mengetahui mereka nanti pada hari kiamat, dan kemudian Isa bin Maryam akan datang, dan orang-orang akan berkata, ”Oh Isa, Pimpinlah jama’ah (sholat), “ia akan berkata : “ Tidak, Kamu memimpin satu sama lain, Allah memberikan kehormatan pada umat ini (Islam) bahwa tidak seorang pun akan memimpin mereka kecuali Rasulullah saw. dan orang-orang mereka sendiri”. (Muslim 3546)<br /><br />Uqbah bin Amir mengisahkan:<br />“Rasulullah saw. berkata: “Akan selalu ada bagian kecil yang selalu berjuang di jalan Allah, mereka akan selalu memberikan… pada musuh, hal tersebut tidak akan merugikan mereka, bagaimanapun tidak setuju dengan mereka, sampai hari kiamat mereka akan tetap berlanjut seperti ini”.(Muslim)<br /><br />Rasulullah saw. bersabda:<br />“Akan selalu ada kelompok dari umat yang akan memperjuangkan yang haq, sampai pada akhirnya dari mereka akan melawan dajjal”.<br /><br />Salamah bin Kaffay berkata:<br />“Aku duduk bersama Rasulullah saw. aku berkata : “Oh Rasulullah, orang-orang melepaskan pelana dari kuda-kuda mereka, dan meletakkan senjata, dan mengatakan tidak ada jihad”. Rasulullah saw. marah dan berkata: ”Mereka adalah pembohong, sekarang perang dimulai, akan ada penerus dari umatku, dan mereka akan membela kebenaran, Allah akan membelokkan hati orang-orang yang dikehendaki, dan akan ada orang-orang yang beruntung dari mereka pada hari kiamat nanti, dan kuda-kuda Allah kebaikan akan terikat dengannya sampai hari kiamat. Dan itu ditampakkan padaku bahwa aku akan meninggal dunia dan aku akan bersama kalian, dan kalian akan mengikuti aku satu persatu, waktu demi waktu kamu akan dibelokkan dari mengikuti aku dan kamu akan saling membunuh, dan mereka yang beriman akan kembali ke Al-Sham”.(Musnad Imam Ahmad dan Al-Nasa’i dan Al-Baani (sahih).<br /><br />Hal ini pada waktu Fathu Mekkah di Syam akan ada pertentangan antara muslim dan Yahudi di mana dajjal akan datang. Wallahu ‘alam bisshowab ! <br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-39918730908742668712009-03-07T05:15:00.000-08:002009-03-07T05:19:38.338-08:00Syahadatmuqaddimah<br /><br /> 1. Sudah menjadi dasar bagi pengikut manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah untuk memahami dan mengaplikasikan makna dan hakikat syahadah secara syumul (menyeluruh).<br /> 2. Syahadah merupakan masalah yang sangat asas dalam Dienul Islam. Oleh kerana itu tidak dibenarkan bagi seseorang muslim untuk berpura-pura jahil terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu kalimah syahadah adalah kalimah tauhid yang sekaligus memiliki satu pernyataan khusus tentang sebuah kepasrahan diri (penyerahan diri) daripada segala bid'ah dan kesyirikan, baik yang berkaitan dengan aturan Allah ataupun Rasul Nya.<br /> 3. Maka untuk memahaminya, sebuah kajian kritis menurut tinjauan nas dan dalil syarie yang tetap/ konstan (tsabit) dan qot'ie amat diperlukan (kerana perkara ini bukan persoalan ijtihadiyah). Hal ini diperlukan dalam rangka menghindari fitnah syubhat dan syahwat dalam beribadah yang pada masa ini dilakukan oleh majoriti kaum muslimin. Bukti konkrit akibat kejahilannya tidak sahaja akan mampu menelorkan warna kebatilan, kehinaan dan kezaliman bahkan juga perpecahan.<br /><span class="fullpost"><br /> 4. Oleh kerana itu Doktor Safar Al Hawaly telah menulis di dalam bukunya, ‘Sekularisme’ bahwa sekularisme sendiri pun yang sekarang ini telah berkembang pada sekelompok umat Islam, tidak lain adalah kerana kekerdilan pemahaman terhadap nilai aqidah (Kalimah Tauhid).<br /> 5. Melihat betapa pentingnya perkara diatas, maka hasil daripada pemahaman tersebut bukanlah hanya sekadar perkataan dan doktrin sahaja, tanpa sebuah perealisasian. Berbeza dengan pemahaman yang sering ditunjukkan oleh pelbagai firqah dan aliran sesat seperti khawarij, murjiah, kaum tarikat, sufi dan sebagainya.<br /> 6. Maka disinilah bermulalah titik permulaan sebagaimana yang telah disimpulkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam majmu'nya bahwa: Dien ini dibangunkan atas dasar kalimah syahadah, oleh kerana itu janganlah kamu menjadikan Ilah selain Allah, mencintai makhluk sebagaimana cintanya terhadap Allah, berharap dan takut sebagaimana takut dan berharapnya anda kepada Allah dan barangsiapa yang menyamakan antara makhluk dengan Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim/ kafir kepada Nya, sekalipun dia mengakui Allah sebagai Al Khaliq (Maha pencipta). <br /><br />Pengertian Asyhadu<br /><br /> 1. Menyaksikan (Al Hajj 22:28)<br /> 2. Sumpah (An Nisa’ 4:15)<br /> 3. Bersaksi (Al Munafiqun 63:1) <br /><br />Pengertian Ilah<br /><br /> 1. Sesuatu yang layak diibadahi (disembah) dengan penuh ketaatan. (Ibnu Taimiyyah)<br /> 2. Sesuatu yang dicenderungi dan diwala’ (dicintai, berpihak, menyokong) oleh hati dengan penuh kecintaan, keagungan, kemulian, tunduk dan patuh serta takut dan penuh pengharapan. (Ibnu Qayyim)<br /> 3. Sesuatu yang:<br /> a. Tidak ada yang mententeramkan hati kecuali Allah. (Ar Ra’d 13:26)<br /> b. Tidak ada tempat berlindung kecuali Allah.(Asy Syura 42:9)<br /> c. Tidak ada yang dicintai kecuali hanya Allah. (At Taubah 9:24)<br /> d. Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah. (Al Fatihah 1:4)<br /> e. Tidak ada yang ditaati kecuali Allah. (An Nisa 4:59)<br /> f. Tidak ada pemilik atau raja kecuali Allah. (Ali Imran 3:32)<br /> g. Tidak ada yang diagungkan kecuali Allah. (Al Waqiah 56:96)<br /> h. Tidak ada yang harus dipegang teguh kecuali Allah. (An Nisa 4:176)<br /> i. Tidak ada penguasa kecuali Allah. (Al Anam 6:61)<br /> j. Tidak ada sumber hukum kecuali Allah. (Asy Syura 42:10)<br /> (Ustaz Said Hawa)<br /> 4. Sesuatu yang dijadikan ma’bud (yang diibadahi) <br /><br />Peranan dan Fungsi Syahadah<br /><br /> 1. Merupakan dasar bernilainya Dienul Islam. (Ibrahim 14:24-26)<br /> 2. Merupakan pembeza antara Muslim dan Kafir.<br /> 3. Merupakan syarat mutlak masuk jannah/syurga.Telah bersabda Rasulullah saw: Barangsiapa yang bersyahadah tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, maka Allah mengharamkan jasadnya untuk disentuh api neraka. (Hadis Riwayat Muslim)<br /><br /> 1. Merupakan kunci atau syarat diterima sesuatu ibadah/ amalan. (Al Furqan 25:23)<br /> 2. Merupakan syarat untuk mendapatkan syafaat dari Rasulullah saw pada hari kiamat.<br /><br />Telah bersabda Rasulullah saw: Manusia yang paling beruntung mendapatkan syafaatku pada hari kiamat adalah barangsiapa yang mengatakan ‘lailahailallah’ secara ikhlas dari hati dan jiwanya. (Hadis Riwayat Bukhari)<br /><br /> 1. Merupakan syarat jaminan perlindungan harta, jiwa dan kehormatan manusia. <br /><br />Peringkat-Peringkat Syahadah<br /><br /> 1. Ada pengetahuan dan keyakinan atas kebenaran dan ketetapan apa yang disaksikan (syahadah).<br /> 2. Mengikrarkan syahadah dengan disaksikan orang lain dengan berbicara, menulis atau berkata pada diri sendiri.<br /> 3. Memberitahu, mengkhabarkan dan menjelaskan persaksian orang-orang lain.<br /> 4. Iltizam terhadap kandungan syahadah. <br /><br />Syarat-Syarat Sah Syahadah<br /><br />Syaikh Wahhab bin Munabbih pernah ditanya, “Bukankah syahadah lailahailallah itu merupakan kunci jannah? Beliau menjawab, “Benar, tetapi tidak ada kunci melainkan ia pasti memiliki gerigi. Apabila engkau datang membawa kunci yang ada geriginya, maka jannah itu akan terbuka bagimu. Namun jika tidak, maka ia akan tetap tertutup bagimu.” (Riwayat Bukhari). Gerigi yang dimaksudkan itu ialah syarat-syarat syahadah Berikut merupakan syarat-syarat syahadah (oleh Al Qohthoni, Al Wala’ Wal Bara’):<br /><br /> 1. Al Ilmu, iaitu mengetahui makna syahadah dan apa sahaja yang dinafi atau diithbatkan (ditetapkan). (Muhammad 47:19)<br /> 2. Al Yaqin, iaitu yakin tanpa ragu-ragu dengan sebenarnya semua yang terkandung dalam syahadah tersebut. (Al Hujurat 49:15)<br /> 3. Al Qobul, iaitu menerima seluruh kandungan syahadah dengan hati dan lisan tanpa meninggalkan sesuatu tuntutan pun. (As Saffat 37:35-36)<br /> 4. Al Inqiyad, iaitu tunduk dan patuh dalam mengaplikasikan keseluruhan tuntutan syahadah tanpa keberatan sedikitpun. (An Nisa’ 4:65; An Nisa’ 4:125; Luqman 31:22)<br /> 5. As Sidqu, iaitu mengucapkan syahadah dari lubuk hati yang benar-benar jujur dan benar. (Al Ankabut 29:1-3)<br /> 6. Al Ikhlas, iaitu mengikhlaskan amal dan niat hanya untuk Allah sahaja tanpa dicemari oleh kotoran-kotoran syirik. (Al Bayyinah 98:5)<br /> 7. Al Mahabbah, iaitu menyintai seluruh kandungan syahadah dan apa sahaja yang menjadi tuntutannya serta menyintai orang-orang yang beriltizam dan komitmen dengan kalimah syahadah serta membenci hal-hal yang membatalkan syahadah. (Al Baqarah 2:165) <br /><br />Kedudukan Syahadah<br /><br />Perintah Allah yang terbesar kepada seluruh manusia adalah ‘Lailahailallah’ iaitu menafikan segala jenis ilah kecuali Allah (Al Anbiya’ 21:25). Syahadah merupakan pembeza antara muslim dan kafir dan syahadah juga merupakan syarat mutlak masuk jannah. Barangsiapa yang tidak sempurna kedua-dua rukun syahadah (menafikan dan menetapkan), maka ia pasti terjebak dengan dosa besar iaitu menyekutukan Allah, yang tidak dapat ditampal dengan apa jua ibadah hatta solat, puasa mahupun haji.<br /><br />Telah bersabda Rasulullah saw: Dua hal yang menentukan. Bertanya seorang lelaki: Ya Rasulullah! Apa yang dimaksudkan dengan dua hal yang menentukan itu?, Beliau menjawab, Barangsiapa mati menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk neraka dan barangsiapa mati tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk jannah. (Hadis Riwayat Muslim)<br /><br />Pengertian Syahadah Lailahailallah<br /><br />Kalimah ini bermaksud ‘tiada ilah selain Allah’. Kalimah ‘tiada ilah’ bermaksud bahawa kita menafikan atau menolak semua bentuk sembahan lain selain daripada Allah. Kalimah ‘selain Allah’ pula bermaksud kita menetapkan bahawa yang disembah (ma’bud) itu hanyalah Allah semata-mata dan meyakini bahawa tiada sekutu bagi Allah. Ini sebenarnya mencakupi konsep ‘Nafy wal Itsbat’ (penafian dan penetapan). Kita menafikan semua ilah selain Allah dan menetapkan bahawa hanya Allah sebagai ilah.<br />Rukun Syahadah Lailahailallah<br /><br />Rukun syahadah lailahailallah terbahagi kepada dua iaitu:<br /><br /> 1. Menafikan <br /><br />Menurut Doktor Sholih Fauzan (Makna Lailahailallah) dan Muhammad Sa’id Salim Al Qataahani (Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan), terdapat 4 sembahan-sembahan palsu/ Ilah-Ilah palsu yang perlu dinafikan iaitu:<br />a. Al Aliha<br />Merupakan apa sahaja yang manusia yakini dapat memberikan mudarat ataupun manfaat sehingga manusia bergantung kepadanya. (As Syura 42:9; Al Anam 6:14; Ar Ra’d 13:28; Yunus 10:107)<br />b. At Thowaghit<br />Ialah sesiapa sahaja yang disembah serta rela diibadahi, ditaati dan diikuti selain Allah. (Al Baqarah 2:256)<br />c. Al Andad<br />Merupakan apa sahaja tandingan-tandingan yang dapat memalingkan manusia daripada Allah. (Al Baqarah 2:165; At Taubah 9:24)<br />d. Al Arbab<br />Ialah sesiapa sahaja yang berfatwa (mengeluarkan hukum, undang-undang, perlembagaan atau peraturan) dan bertentangan dengan kebenaran (Al Quran dan As Sunnah) yang kemudiannya diikuti manusia. (At Taubah 9:31)<br /><br /> 1. Menetapkan<br /><br />Di antara hal-hal yang perlu ditetapkan pula ialah:<br /><br /> 1. Ilah hanyalah Allah. (Muhammad 47:19)<br /> 2. Hanya Allah yang berhak menerima peribadahan daripada Manusia. (Al Fatihah 1:5)<br /> 3. Hanya Allah layak menjadi pemilik, pemerintah, pembuat perlembagaan hidup untuk manusia dan penguasa tertinggi alam semesta. (Asy Syura 42:10; Al A’raf 7:3)<br /> 4. Al Qosd wal Niyat (tujuan dan niat) hanya kepada Allah. (Al Bayyinah 98:5)<br /> 5. Al Ta’zim wal Mahabbah (pengagungan dan kecintaan) hanya kepada Allah. (Al Baqarah 2:165)<br /> 6. Al Khouf wal Roja’ (takut dan pengharapan) hanya kepada Allah.<br /> 7. At Takwa hanya kepada Allah. <br /><br />Siapakah THOGUT?<br /><br /> 1. Mengingkari thogut dan beriman kepada Allah merupakan hakikat syahadah ‘Lailahailallah’. (An Nisa 4:60; An Nahl 16:36; Al Baqarah 256)<br /> 2. Allah telah mewajibkan kepada seluruh hamba Nya supaya mengkafirkan, mengingkari, menjauhi dan menentang serta memerangi thogut dan beriman kepada Allah sahaja. (Majmuat Rasail Shaykh Al Islam Muhammad bin Abd Al Wahhab)<br /> 3. Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, thogut ialah: Setiap yang diperlakukan manusia dengan cara melampaui batas (yang telah ditentukan Allah), seperti dengan disembah, atau diikuti, atau dipatuhi.<br /> 4. Menurut Shaykh Al Islam Muhammad bin Abd Al Wahhab di dalam Majmuat Rasail nya, thogut ialah: <br /><br />a. Syaitan yang menyeru kepada ibadah selain Allah.<br />b. Para pemimpin zalim yang meminda hukum-hukum Allah Taala.<br />c. Mereka yang berhukum dengan hukum yang lain daripada yang telah diturunkan oleh Allah.<br />d. Mereka yang mendakwa mengetahui ilmu ghaib selain Allah.<br />e. Segala sesuatu yang disembah selain Allah dan dia reda dengan peribadatan itu<br />(Yasin 36:60; An Nisa 4:60; Al Maidah 5:44; At Taubah 9:31; Al Jin 72:26-27; Al Anam 6:59)<br />Tuntutan Syahadah Lailahailallah<br />Syahadah lailahailallah mengkehendaki seseorang itu:<br /><br /> 1. Beribadah (mengabdikan diri) hanya kepada Allah sahaja dan mengkufuri peribadatan kepada selainnya.<br /> 2. Menerima seluruh syariat Allah samada dalam urusan ibadah, mu’amalah mahupun halal dan haram.<br /> 3. Menolak syariat selain daripada syariat Allah. <br /><br />i. Menolak berhukum dengan selain daripada hukum/ peraturan/ perlembagaan/ undang-undang Allah sahaja (Al Maidah 5:44)<br />ii. Menolak bida’ah dan khurafat. (Asy Syura 42:21)<br />iii. Menolak Penghalal (Yang Menghalalkan) dan Pengharam (Yang Mengharamkan) selain daripada Allah. (At Taubah 9:31)<br /><br /> 1. Menetapkan asma’ dan sifat Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dan Rasul Nya. <br /><br />Pengertian Syahadah Muhammadur Rasulullah<br />Mengikrarkan dengan lisan, beriman di dalam hati bahawa Muhammad Rasulullah saw adalah utusan Allah kepada seluruh makhluk Nya.<br /><br />Tuntutan Syahadah Muhammadur Rasulullah<br />Syahadah Muhammadur Rasulullah mengkehendaki seseorang itu:<br /><br /> 1. Mengimani dan membenarkan semua yang dikhabarkan oleh Rasulullah saw. (Al A’raf 157-158)<br /> 2. Mentaati perintah dan meninggalkan larangannya. (An Nisa’ 4:59; Al Anfal 8:13)<br /> 3. Tidak beribadah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan Rasulullah saw. Kerana Islam itu dibangun diatas landasan beribadah kepada Allah sahaja dan dengan menggunakan syariat yang yang telah disunnahkan Rasulullah saw. (Al Ahzab 33:21) <br /><br />Nawaqid Asy Syahadah (Pembatal Syahadah)<br /><br />Empat Elemen Pembatal Syahadah<br /><br /> * Syirik, iaitu: <br /><br /> 1. Beriman kepada Allah tetapi ia menjadikan sekutu bagi Allah pada kerajaan Nya dan pentadbiran makhluk-makhluk Nya, iaitu pada penciptaan, menghidupkan, memberikan rezeki, mematikan, memberikan mudharat dan memberikan manfaat. Contohnya ialah syiriknya orang-orang Kristian dan Majusi. (An Nisa’ 4:48; Al Furqan 25:2)<br /> 2. Mensifati dirinya atau mensifati yang lainnya dengan sifat-sifat uluhiyyah. Sifat-sifat yang dimaksudkan itu ialah sifat-sifat yang khusus pada Allah. Termasuk disini ialah mereka yang menentang/ tidak mengakui salah satu sifat-sifat kesempurnaan Allah. (An Nazia’at 79:24; Asy Syuara’ 26:23; Al Furqan 25:60; Ar Ra’d 13:30)<br /> 3. Memberikan apa-apa bentuk peribadahan kepada selain Allah. (An Nisa’ 4:36; Az Zumar 39:64-66)<br /><br /> 1. Kufur, iaitu tidak beriman kepada Allah dan Rasul Nya samada ia mendustakan atau tidak. Kufur terbahagi dua iaitu:<br /> 1. Kufur Akbar, iaitu kufur yang menyebabkan seseorang itu terbatal terus Islamnya. Kufur Akbar terbahagi kepada lima bahagian iaitu:<br /><br />i. Kufur Takzib iaitu mendustakan rasul tentang salah satu perkara yang dibawanya. (Fatir 35:25)<br />ii. Kufur Iba’ wa Istikbar ialah seperti kufurnya iblis, ia tidak menentang perintah Allah dan tidak pula menerima perintah Allah dengan pengingkaran tetapi kerana enggan dan rasa sombong ia tidak mahu melaksanakan perintah Allah. (Al Baqarah 2:34)<br />iii. Kufur Iradh iaitu berpaling (tidak ambil kisah) terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw, tidak membenarkan dan tidak juga mendustakannya. (As Sajadah 31:22)<br />iv. Kufur Syak ialah ragu-ragu terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ia tidak yakin akan kebenarannya dan tidak juga yakin akan kedustaannya. (Ibrahim 14:9)<br />v. Kufur Jahud iaitu menentang secara keseluruhan apa yang diturunkan oeh Allah atau menentang sebahagiannya yang sudah jelas daripada dasar-dasar Islam. (An Naml 27:14; Al An’am 6:33)<br /><br /> 1. Kufur Asgar, iaitu kufur yang tidak mengeluarkan seseorang daripada Dienul Islam. Iaitu dosa-dosa besar yang dinyatakan sebagai suatu kekufuran di dalam Al Quran dan As Sunnah. Contohnya seperti kufur nikmat. (An Nahl 16:112) <br /><br /> * Nifaq, iaitu seseorang yang menzahirkan/ menampakkan imannya di kalangan kaum Muslimin tetapi sebenarnya hatinya mendustakan dan mengkafirinya. Nifaq terbahagi kepada dua, iaitu: <br /><br /> 1. Nifaq Iktikadi menyangkut soal akidah. Mereka dihukumkan kafir Hanyasanya tidak diperlakukan sebagaimana orang-orang kafir lainnya kerana masih tidak memperlihatkan kekufurannya. (Al Munafiqin 63:1-3)<br /> 2. Nifaq Amali pula hanya menyangkut soal amalan perbuatan seseorang yang hanya menyebabkan pelakunya menjadi fasiq dan bermaksiat namun tidak sampai kepada kufur. Ia tetap mempunyai iman, hanyasanya melakukan amalan yang berada pada cabang nifaq seperti mengkhianati amanah, berdusta/ berbohong dan mengingkari janji. <br /><br />Selain itu, terdapat beberapa sifat munafiq yang agak menonjol iaitu:<br />a. Berbuat kerosakan di mukabumi dengan menyuburkan dan merosakkan syariat Allah dan menuduh orang-orang yang beriman sebagai bodoh. (Al Baqarah 2:11-13)<br />b. Menipu orang-orang beriman dengan menzahirkan keimanan semasa bertemu dengan mereka dan menzahirkan kekufurannya semasa bersama pendukung dan wali-walinya. (Al Baqarah 2:14)<br />c. Berpaling daripada berhukum kepada hukum dan syariat Allah dan menghalang-halangi manusia untuk melaksanakan hukum yang diturunkan oleh Allah. (An Nisa’ 60-61)<br />d. Memerintah yang mungkar dan mencegah yang ma’ruf. (At Taubah 9:67)<br />e. Menjadikan orang kafir sebagai wali (pemimpin, pendukung, kawan setia) dan meninggalkan orang-orang beriman. (An Nisa’ 4:138-139)<br />f. Memusuhi, membenci dan memerangi orang-orang beriman kerana Iman mereka dan berwali serta membantu orang kafir kerana kekufuran mereka. (Mujadilah 58:22; Al Buruj 85:8-10; Al Mu’minun 23:110-112)<br /><br /> 1. Riddah iaitu kembali kafir setelah beriman. Antara definasi riddah yang lain ialah: <br /><br />a. Seseorang yang keluar daripada Islam dalam keadaan berakal, sedar dan tidak terpaksa.<br />b. Seseorang yang mengingkari dasar-dasar Islam.<br />c. Seseorang yang mengucapkan suatu perkataan yang jelas kufurnya.<br />d. Seseorang yang secara jelas melakukan amalan-amalan yang bertentangan dengan Islam dan manhajnya.<br />Pembahagian Riddah ada empat iaitu:<br />a. Riddah dengan ucapan. Contohnya ialah menghina Allah, Rasul Nya, Islam.<br />b. Riddah dengan perbuatan. Contohnya ialah sujud kepada berhala, pindah ke Darul Kufur (negara kafir), membela Darul Harbi (Negara Kafir yang sedang berperang dengan Islam) dan memerangi Syariat Islam dan menggantikannya dengan undang-undang kafir.<br />c. Riddah dengan i’tikad. Contohnya mensyirikkan Allah, mengingkari As Sunnah (hadis yang sahih) dan mendustakan Nabi Muhammad saw.<br />d. Riddah dengan keraguan. Contohnya meragui perkara yang telah jelas haram di dalam Al Quran dan meragui kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.<br />Terdapat beberapa bentuk kemurtadan iaitu:<br />a. Menyandarkan hukum kepada selain Allah. (Al Maidah 5:44-47; Al Ahzab 33:36; Al An’am 6:57; An Nisa 4:60)<br />b. Benci terhadap Syariat Islam atau mengutamakan syariat lain selain Islam atau menganggap bahawa semua dien/ sistem hidup manusia yang lain sama dengan Islam (menyamaratakan). (Muhammad 47:8-9).<br />c. Mempermainkan atau merendah-rendahkan sebahagian Syariat Islam yang terdapat di dalam Al Quran atau As Sunnah dan syiar-syiar Islam lainnya.<br />d. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (An Nahl 16:116-117; Yunus 10:59-60)<br />e. Beriman kepada Al Quran dan menolak As Sunnah. (An Nisa 4:150)<br />f. Menjadikan orang kafir, munafik dan atheis (tidak beragama) sebagai pemimpin. (Al Maidah 5:51; At Taubah 9:23)<br />g. Mempermainkan sifat Rasulullah saw atau pekerjaan Beliau.<br />h. Menganggap kandungan Al Quran bertentangan dengan realiti kehidupan atau bertentangan dengan apa yang sebenarnya berlaku atau bertentangan dengan fakta sains. (Ar Ra’d 13:37)<br />i. Mensifati sifat-sifat Allah dengan sifat yang tidak sesuai dengan keagungannya.<br />j. Fanatik terhadap puak/ bangsa/ negara dan menjadikannya sebagai tujuan kehidupannya malah sanggup mencurahkan apa sahaja samada usaha atau wang untuk kepentingan golongannya hingga melupakan diennya (Islam).<br />k. Mengangkat ideologi nasionalisme dan menjadikannya sebagai tujuan kehidupan.<br /><br />pra syarat pengakuan keimanan<br />Setiap Muslim mengetahui bahawa kunci kepada syurga adalah kalimah, ‘Tiada Ilah Yang Berhak Disembah Melainkan Allah’. Namun terlalu ramai Muslim yang dengan mudah bergantung kepada pernyataan ini dan percaya bahawa sekiranya mereka melafazkannya, tiada apa yang buruk akan menimpa mereka. Mereka merasakan mereka akan dianugerahkan dengan syurga semata-mata kerana melafazkan kalimah Syahadah ini. Sebenarnya, memang tidak perlu dipersoalkan bahawa sekadar melafazkan, ‘Aku Menyaksikan Bahawa Tiada Ilah Yang Layak Disembah Melainkan Allah dan Aku Menyaksikan Bahawa Muhammad itu Hamba Dan Rasul-Nya’, adalah tidak memadai. Malah, orang-orang Munafiq juga telah melafazkan kalimah Syahadah dan Allah swt menyatakan bahawa mereka adalah pendusta dan akan menduduki neraka yang paling dalam. Namun begitu, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama’, kalimah atau pernyataan ini adalah kunci syurga. Wahab bin Munabbih pernah ditanya, Bukankan pernyataan Lailahailallah itu kunci syurga? Beliau telah menjawab, Benar, tetapi setiap kunci mempunyai mata-matanya. Sekiranya kamu datang dengan kunci yang mempunyai mata yang betul, pintu itu akan terbuka buatmu. Tetapi sekiranya anak kuncimu tidak mempunyai mata yang betul, pintu itu tidak akan terbuka untukmu. Maksudnya di sini, ada pra syarat yang diperlukan. Pra syarat inilah yang membezakan antara mereka yang mendapat manfaat daripada pernyataan mereka dengan mereka yang tidak mendapat manfaat tersebut, walau sebanyak mana sekalipun mereka membuat pernyataan tersebut.<br /><br />Sebelum membincangkan pra syarat kalimah Syahadah, saya merasakan bahawa ada satu perkara yang perlu saya jelaskan. Ramai orang gemar mengambil satu hadis atau satu ayat dan kemudiannya, berpandukan satu ayat itu semata-mata, mereka akan membuat kesimpulan seperti, sesiapa yang melafazkan kalimah Syahadah akan memasuki syurga. Sepatutnya kita semua sedar bahawa keseluruhan Al Quran dan hadis itu saling melengkapi dan menerangkan satu sama lain. Untuk menentukan kedudukan sebenar sesuatu persoalan, seseorang itu perlu mengambil kira semua ayat dan hadis yang berkenaan dan kemudian barulah menentukan apakah pandangan Islam yang sebenarnya mengenai perkara tersebut. Begitu jugalah dalam memahami pra syarat pernyataan kalimah Syahadah itu.<br /><br />Sekiranya kita mengkaji ayat-ayat Al Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw, kita akan mendapati bahawa terdapat tujuh, lapan atau sembilan (bergantung kepada bagaimana kita melihatnya) syarat-syarat kalimah Syahadah. Adalah sangat penting untuk kita memastikan bahawa kita memenuhi syarat-syarat ini dalam kehidupan kita dan dalam pengakuan keimanan kita. Kita perlu berusaha bersungguh-sungguh untuk memenuhi syarat-syarat ini sebelum terlambat bilamana pengakuan keimanan kita tidak akan memanfaatkan kita lagi. Ianya bukanlah sekadar untuk mengajarkan syarat-syarat ini. Malah, tidak ada manfaatnya di situ melainkan kita semua memeriksa (muhasabah) akan diri kita dan memastikan bahawa kita memenuhi syarat-syarat tersebut semoga, dengan rahmat Allah swt, pintu-pintu syurga akan terbuka untuk kita menerusi kunci Lailahailallah kita.<br /><br />syarat pertama: ilmu<br />Seseorang mesti mempunyai ilmu asas dan am tentang apa yang dimaksudkan oleh kalimah Syahadah. Seseorang mesti memahami apakah yang ditegaskan oleh kalimah Syahadah dan apakah yang dinafikannya.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, Maka ketahuilah, bahawa sesungguhnya tidak ada Ilah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu... (Muhammad 47:19).<br />Begitu juga sabda Rasulullah saw, Sesiapa yang meninggal dunia mengakui bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah akan memasuki Syurga. (Hadis Riwayat Muslim).<br /><br />Sebenarnya, kalimah Syahadah itu adalah sebuah pengakuan ataupun ikrar. Apabila seseorang berikrar akan sesuatu, dia harus mengerti dan memahami tentang apa yang diikrarkannya itu. Jelas sekali, berikrar tentang sesuatu yang tidak diketahui (tidak mempunyai ilmu tentangnya) adalah tidak dapat diterima sama sekali.<br /><br />Firman Allah SWT di dalam Al Quran, ...melainkan orang yang mengakui yang hak dan mereka mengetahuinya (Al Zukhruf 43:86).<br /><br />Syarat ini mungkin kelihatan begitu jelas. Sekiranya seseorang berkata kepadamu, Tiada Ilah Melainkan Allah, dan kemudian menjelaskan bahawa yang dimaksudkannya dengan Allah ada Isa, tentu sekali akan kita katakan Maka bayangkanlah bahawa masih ada umat-umat Islam yang merayakan perayaan tahunan untuk ‘Tuhan-Tuhan (semangat) Laut umpamanya! Namun begitu mereka berterusan menggelar diri mereka Muslim dan melafazkan kalimah Syahadah berkali-kali sehari. Ini jelas menunjukkan bahawa mereka tidak memahami langsung akan maksud Syahadah (pengakuan) itu sendiri. Adakah pada pemikiranmu, Syahadah sebegini akan membuka pintu-pintu Syurga untuk mereka? Pada hari ini, ramai Muslim yang hairan memikirkan mengapa kita tidak sepatutnya menerima sekularisme. Mereka memikirkan bahawa tiada apa yang salah dengan sekularisme! Ramai di antara mereka, malah, bersembahyang lima waktu sehari semalam dan melafazkan Syahadah berulangkali. Namun mereka tidak melihat apa-apa kesalahan dalam menerima Pemberi Undang-Undang selain Allah SWT. Syahadah (pengakuan) jenis apakah yang dilakukan oleh mereka ini? Setiap daripada kita mesti berusaha sedaya-upaya untuk belajar sekurang-kurangnya asas-asas keimanan dalam Islam. Dengan cara ini, Inshaallah, kita akan membuat pengakuan Syahadah yang benar. Kita akan menyaksikan akan kebenaran sebagaimana kita sepatutnya menyaksikan akannya.<br /><br />syarat kedua: yakin<br /><br />Ini adalah lawan kepada curiga dan ragu-ragu. Di dalam Islam, sebarang bentuk keraguan boleh membawa kepada Kufur atau tidak beriman. Kita mesti, di dalam hati-hati kita, mempunyai keyakinan yang sepenuhnya akan kebenaran Syahadah itu. Hati-hati kita janganlah berdolak-dalik walau sedikitpun apabila kita menyaksikan akan kebenaran, Tiada Ilah Yang Berhak Disembah Melainkan Allah. Allah swt menggambarkan orang-orang yang beriman di dalam Al Quran sebagai mereka yang mempunyai keimanan kepada Allah dan hati-hati mereka tidak sedikitpun merasa ragu-ragu.<br /><br />Firman Allah swt, Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (Al Hujuraat 49:15).<br />Demikian juga, Rasulullah saw bersabda, Tidak ada sesiapa yang bertemu dengan Allah dengan pengakuan bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan aku Rasul Allah, dan dia tidak mempunyai sedikit keraguan pun dengan kenyataannya itu, melainkan dia akan memasuki Syurga. (Hadis Riwayat Muslim).<br />Sesungguhnya, Allah swt menggambarkan para munafiq itu sebagai mereka yang hati-hatinya ragu-ragu. Contohnya, Allah swt berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (untuk tidak menyertai Jihad), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dah hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, kerana itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya (At Taubah 9:45)<br /><br />Ramai ulama’ telah menyatakan bahawa penyakit-penyakit hati itu, atau keraguan dan kecurigaan yang seseorang benarkan menempati hatinya, adalah lebih berbahaya kepada keimanan seseorang itu daripada nafsu dan keinginan. Ini adalah kerana nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan itu boleh dihilangkan pada satu-satu masa. Kemudiannya, seseorang itu jelas mengetahui bahawa ianya telah berdosa lantas dia boleh mengawal dirinya, bertaubat dan meninggalkan amalan-amalan yang keji itu. Akan tetapi, keraguan dan kecurigaan akan terus menempati hati sseorang, tanpa apa-apa penawar, hinggalah seseorang itu meninggalkan Islam terus atau berterusan sebagai seorang Muslim, tetapi pada hakikatnya, hatinya masih tidak beriman sepenuhnya. Penawar yang paling mujarab untuk keraguan dan kecurigaan ini adalah dengan menuntut ilmu tentang Al Quran dan As Sunnah lah kebanyakan daripada keraguan dan kecurigaan ini dapat dihilangkan.<br /><br />Melalui pengajian dan pemahaman, seseorang akan beroleh kepastian. Kemudiannya, dengan pengajian dan pembelajaran yang berterusan, kepastian seseorang itu akan bertambah kuat dan tegas. Saya akan berikanmu satu contoh tentang hakikat ini. Ianya berkenaan dengan segala keraguan, kecurigaan dan salah faham yang berleluasa tentang kesahihan hadis-hadis. Contohnya, ada orang-orang Islam yang mengatakan bahawa hadis-hadis tidaklah dicatatkan sehingga sekurang-kurangnya 200 tahun selepas kewafatan baginda Rasulullah SAW. Malah, terdapat ramai orang Islam yang mempunyai banyak keraguan terhadap hadis dan dengan pantas menolak hadis-hadis berlandaskan perkara ini. Sedangkan, pada kenyataannya, sekiranya seseorang itu memperuntukkan masa untuk mengkaji sejarah dan usaha menjaga hadis-hadis, beliau akan mendapati bahawa semua tuduhan-tuduhan terhadap hadis-hadis itu adalah tidak berasas sama sekali. Tuduhan-tuduhan tersebut hanyalah sekadar pendustaan yang lahir dari syaitan dan ramai Muslim yang kurang pemahaman dan ilmunya telah membiarkan pendustaan ini menempati hati-hati mereka. Izinkan saya ulaskan sedikit lagi tentang syarat Yakin ini. Seperti yang telah saya katakan sebelum ini, keraguan dan salah faham adalah sangat merbahaya terhadap iman seseorang. Keraguan dan kecurigaan boleh membawa kepada murtad seperti yang dibincangkan sebelum ini. Oleh kerana itu, setiap Muslim mestilah berusaha sedaya-upaya untuk memelihara dirinya daripada keraguan sebegitu dan sentiasa menjauhkan dirinya dari sumber-sumber keraguan dan kecurigaan itu; lebih-lebih lagi sekiranya dirinya tidak mempunyai asas-asas keilmuan Islam yang kuat dan tidak mempunyai ilmu untuk menyanggah keraguan, kecurigaan dan salah faham tersebut. Oleh yang demikian, sekiranya seseorang itu punya kenalan atau rakan, walaupun rakannya itu Muslim, yang sentiasa membuatkan beliau ragu-ragu akan Allah swt dan Dien ini, maka beliau harus menjauhkan diri daripada individu tersebut demi menjaga Dien dan imannya. Ramai dari kalangan Muslim pada hari ini belajar kursus-kursus Islam yang diajar oleh para orientalis dan disebabkan oleh latarbelakang keislaman mereka yang longgar, mereka dengan mudah terpengaruh dengan perkara-perkara karut yang diajarkan oleh sesetengah daripada para orientalis ini atas nama 'sains'. Begitu juga, ramai daripada umat Islam hari ini menghabiskan masa berjam-jam di dalam 'newsgroups' dan 'bulletin boards' menerusi computer (internet). Sekali lagi, dia yang cetek ilmu Islamnya akan dengan mudah terpengaruh dengan salah faham dan hujah-hujah palsu yang dibacanya dari sumber-sumber sedemikian. Dia sepatutnya menjauhkan diri dari perkara-perkara sedemikian dan berusaha mendapatkan ilmu Islam yang mendalam menerusi sumber-sumber yang sahih tentang Islam. Sekali lagi, penawar yang paling mujarab untuk menghilangkan keraguan dan salah faham ini, setelah dirahmati dan diberi petunjuk oleh Allah SWT, adalah ilmu yang mendalam dan kefahaman yang jelas tentang Islam. Apabila seseorang itu punya ilmu yang mendalam dan kefahaman yang jelas tentang Islam, beliau tidak akan terpengaruh dengan hujah-hujah yang palsu lagi lemah yang didatangkan oleh musuh-musuh Islam dan beliau, insha-Allah, akan menjadi dari kalangan yang digambarkan di dalam Al Quran, ...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Nya hanyalah ulama’ (Faathir 35:28).<br /><br />syarat ketiga: penerimaan (Al Qabool)<br /><br />Sekiranya seseorang itu telah mempunyai ilmu dan keyakinan akan Syahadah itu; ini mesti diikuti pula dengan penerimaan, dengan lidah dan juga tuntutan Syahadah tersebut. Sesiapa yang enggan menerima Syahadah itu serta tuntutannya, walaupun dia mempunyai ilmu yang Syahadah itu benar dan yakin dengan kebenaran itu, maka dia adalah seorang yang tidak beriman (kafir). Keengganan untuk menerima itu mungkin disebabkan oleh rasa bongkak, irihati atau lain-lain. Walauapapun sebabnya, Syahadah itu bukanlah Syahadah yang sejati tanpa penerimaan yang tidak berbelah-bagi. Para ulama’ semuanya mengulas tentang syarat ini secara am seperti yang telah saya nyatakan di atas. Akan tetapi, ia juga mempunyai perincian-perincian yang mesti kita sedari. Orang-orang yang beriman menerima dengan sepenuhnya segala tuntutan Syahadah itu. Ini juga bermaksud, mereka beriman dengan segala yang termaktub di dalam Al Quran atau yang dinyatakan oleh Rasulullah saw, tanpa mempersoalkan hak untuk memilih apa yang ingin dipercayai dan apa yang ingin ditolak.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, Apakah kamu beriman kepada sebahagian al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah daripada apa yang kamu perbuat (Al Baqarah 2:85).<br /><br />Ini adalah satu aspek yang mesti disedari oleh orang-orang Islam. Walaupun ia tidaklah sama seperti penolakan sepenuhnya untuk menerima kebenaran, tetapi dengan menolak sebahagian daripada kebenaran yang datangnya daripada Allah SWT, seseorang itu juga telah menafikan penyaksian keimanannya. Malangnya, pada hari ini, ramai orang-orang Islam melakukan penolakan ini dengan pelbagai cara. Walaupun bukan semuanya boleh dikira sebagai murtad, perkara-perkara ini tetap sangat membahayakan. Contohnya, sekiranya mereka tidak menyukai apa yang dinyatakan oleh sepotong ayat di dalam Al Quran, mereka dengan mudah menafsir semula ayat tersebut agar sesuai dengan apa yang mereka sukai. Sekiranya mereka tidak menyukai apa yang dinyatakan oleh sebuah hadis, mereka lantas menyatakan bahawa hadis tersebut adalah tidak sahih walaupun mereka sebenarnya bukanlah ulama’ di dalam bidang tersebut. Perlakuan serta sikap sebegini adalah merupakan perlakuan dan sikap yang berlawanan dengan perlakuan dan sikap Muslim sejati. Apa-apa sahaja yang datang daripada Allah swt dan Rasul Nya saw, seorang Muslim sejati akan beriman dengannya. Inilah sikap yang seiringan dengan pengakuan keimanan.<br /><br />syarat keempat: penyerahan, tunduk dan patuh<br /><br />Syarat ini bermaksud perlaksanaan Syahadah kita melalui amalan zahir tubuh badan. Malah, ini adalah merupakan satu daripada maksud terpenting perkataan Islam itu sendiri, Tunduk dan patuh kepada kehendak dan perintah Allah.<br /><br />Inilah yang diperintahkan oleh Allah swt di dalam Al Quran, Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) (Az Zumar 39:54).<br />Allah swt telah memuji mereka yang tunduk patuh kepada perintah Nya melalui amalan mereka.<br /><br />Firman Allah swt, Dan siapakah yang lebih baik Diennya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan... (An Nisa 4:125).<br /><br />Sebenarnya, jelas sekali Allah swt telah menjadikan penyerahan (tunduk dan patuh) seseorang itu kepada perintah Nya dan Rasul Nya sebagai satu syarat keimanan.<br /><br />Firman Allah swt, Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rasulullah saw) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak meresa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisa 4:65)<br /><br />Malang sekali, terdapat kini banyak kenyataan-kenyataan bahawa tidak ada hubung-kait di antara iman dengan amalan. Malah kita boleh mendengar seorang Muslim mengata tentang seorang lagi, Dialah orang Islam yang paling baik pernah saya temui, sedangkan orang itu jarang sekali mengamalkan apa-apa amalan Islam. Pemahaman yang salah tentang keimanan ini telah menjalar dengan teruk ke segenap rantau Islam. Sepatutnya Syahadah atau pengakuan keimanan kita itu mesti dilaksanakan atau diterapkan di dalam hati, lidah dan amalan kita. Di dalam hati kita, kita mesti mencintai Allah swt, takutkan Allah swt dan pada masa yang sama menaruh penuh pengharapan kepada Allah swt. Dengan lidah kita, kita mesti menyaksikan atau mengakui Syahadah itu. Dan akhir sekali dengan amal kita, kita mesti mengamalkan apa yang dituntut oleh pengakuan keimanan itu. Sesiapa yang mengaku dirinya Muslim akan tetapi tidak melaksanakan apa-apa amalan, bermakna dia tidak memahami apa itu Islam samasekali ataupun dia sendiri sebenarnya membuktikan bahawa pengakuan keimanannya itu bukan pengakuan keimanan yang benar dan sejati. Ini bukanlah bermakna seorang yang benar-benar beriman bebas sama sekali daripada dosa. Sebenarnya, seseorang yang benar-benar beriman pun tidak bebas daripada dosa. Namun selagi mereka mengakui bahawa apa yang mereka lakukan itu salah dan ianya tidak seiring dengan kewajiban mereka tunduk dan patuh kepada Allah swt, maka mereka tidaklah membatalkan kesempurnaan pengakuan keimanan atau pun Syahadah mereka. Namun, jangan dilupa, mereka tetap berdosa. Maka apakah tahap penyerahan yang minima yang dituntut daripada seseorang; yang sekiranya tidak ada pada tahap ini (sekurang-kurangnya) maka tidaklah layak pengakuan keimanan. Sekiranya diambil pandangan para ulama’ yang berpendapat bahawa meninggalkan sembahyang itu kufur, ia adalah sembahyang lima waktu sehari semalam. Sesiapa yang tidak melaksanakan sekurang-kurangnya sembahyang lima waktu sehari semalam maka dia telah melanggar had yang dapat diterima dalam kekurangan amalan. Sesungguh Allah Maha Mengetahui.<br /><br />syarat kelima: jujur<br /><br />Jujur adalah sebagai lawan kepada sikap berpura-pura (munafiq) dan tidak jujur. Ini bermakna apabila kita melafazkan kalimah Syahadah, kita melafazkannya dengan penuh kejujuran. Kita benar-benar bermaksud akan apa yang dilafazkan itu. Kita tidak menipu dalam soal pengakuan keimanan.<br /><br />Rasulullah SAW telah bersabda, Tidak ada sesiapa yang mengaku bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah, dengan ikhlas dari hatinya, melainkan Allah menjadikan api neraka itu haram baginya. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).<br /><br />Kita tentu mengetahui tentang mereka yang melafazkan kalimah Syahadah akan tetapi mereka tidak melakukannya dengan jujur. Mereka tidak mempercayainya, akan tetapi mereka hanya melafazkannya untuk menjaga keselamatan diri mereka ataupun untuk memperolehi apa-apa ganjaran. Mereka inilah golongan munafiq.<br /><br />Allah swt telah menerangkan tentang golongan ini di dalam Al Quran seperti berikut, Di antara manusia ada yang mengatakan, Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak sedar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka dusta (Al Baqarah 2:8-10).<br /><br />Jelas sekali pengakuan Syahadah mereka yang menjadi Muslim semata-mata untuk memperolehi ganjaran duniawi dan bukan kerana mereka benar-benar percayakan Islam akan ditolak oleh Allah swt di Hari Kebangkitan nanti. Mereka akan dihadapkan dengan azab yang pedih kerena penipuan mereka.<br /><br />syarat keenam: ikhlas<br /><br />Maksudnya, apabila kita membuat pengakuan Syahadah itu, kita mesti melakukannya semata-mata kerana Allah swt. Kita tidak boleh melakukannya atas apa-apa sebab yang lain. Begitu juga kita tidak boleh melaksanakannnya kerana orang lain. Dalam soal ini, maksud ikhlas itu adalah lawan kepada Syirik ataupun menyekutukan Allah swt. Kita menjadi Muslim dan berkekalan sebagai Muslim semata-mata kerana Allah swt.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, ...Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya (Az Zumar 39:2).<br /><br />Allah swt juga berfirman, Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) Dien dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan solat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah Dien yang lurus. (Al Baiyyinah 98:5).<br /><br />Rasulullah SAW juga bersabda, Allah telah mengharamkan api neraka ke atas sesiapa yang mengatakan, Tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah, dan dia mengatakan begitu mengharapkan wajah [dan keredaan] Allah. (Hadis Riwayat Muslim).<br /><br />Ini adalah sesuatu yang perlu kita fikirkan terutamanya, mereka yang dibesarkan di dalam keluarga Muslim dan dilahirkan sebagai seorang Islam. Kita mesti benar-benar jelaskan kepada diri kita bahawa kita menjadi Muslim semata-mata kerana Allah SWT. Kita bukan menjadi Muslim demi ibubapa kita, rakan-rakan, keluarga ataupun masyarakat. Ia mestilah benar-benar jelas dalam pemikiran kita bahawa kita adalah Muslim semata-mata kerana Allah SWT. Namun, sesekali kita akan terfikir sama ada syarat ini dipenuhi oleh kebanyakan orang. Sesetengah orang dari rantau Islam hanya melaksanakan Islam sekadar yang memuaskan hati keluarga mereka. Sekiranya ada apa-apa di dalam Islam yang tidak disukai oleh keluarga mereka (walaupun sebenarnya keluarga mereka juga Muslim lantas perlu menyukai Islam keseluruhannya), lantas mereka tidak melaksanakan aspek Islam tersebut. Salah satu contoh yang biasa adalah dalam soal pergaulan lelaki dan perempuan. Kadang-kadang, seseorang itu tidak akan bergaul secara bebas dengan lelaki/ perempuan yang bukan mahramnya. Akan tetapi, apabila dia pulang ke rumah dan keluarganya tidak menyukai sikap sedemikian, maka mereka dengan mudah meninggalkan tuntutan Islam tersebut demi ibubapa dan keluarga. Orang-orang sebegini harus bertanya dengan ikhlas pada diri mereka, mengapa mereka seorang Muslim. Adakah mereka Muslim demi ibubapa mereka lantas mereka lakukan apa yang ibubapa mereka sukai dan tinggalkan apa yang ibubapa mereka tidak sukai? Ataupun, adakah mereka Muslim demi Allah swt lantas apa yang Allah sukai mereka lakukan dan apa yang Allah tidak sukai mereka tinggalkan?<br /><br />syarat ketujuh: cinta<br /><br />Maksudnya di sini, seseorang yang beriman mesti mencintai Syahadah itu, perasaan cinta (kesukaan) nya mesti lah berlandaskan Syahadah, dia mencintai tuntutan dan kesan-kesan Syahadah dan dia juga mencintai mereka yang beramal dan bekerja keras demi Syahadah ini. Ini adalah syarat yang mesti ada di antara syarat-syarat Syahadah. Sekiranya seseorang itu membuat pengakuan Syahadah tetapi tidak mencintai Syahadah itu dan apa yang dimaksudkannya, maka sebenarnya imannya tidaklah sempurna. Ini bukanlah keimanan yang sejati. Malah sekiranya dia mencintai sesuatu lebih daripada Syahadah ini ataupun dia mencintai sesuatu lebih dari Allah swt, maka dia telah batalkan Syahadahnya itu. Orang yang benar-benar beriman, yang memenuhi semua syarat-syarat Syahadah itu tidak akan meletakkan sesuatu apapun setaraf dengan Allah dari segi cintanya.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah... (Al Baqarah 2:165).<br />Dan di bahagian lain Allah swt berfirman, Katakanlah: 'Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara- saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul Nya dan (dari) berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.' Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At Taubah 9:24).<br /><br />Rasulullah saw telah bersabda, Sesiapa yang mempunyai tiga sifat ini telah merasai kemanisan iman. [Yang pertama] adalah bahawa dia mencintai Allah dan Rasul Nya lebih daripada dia mencintai sesuatu yang lain...." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).<br /><br />Ini adalah salah satu daripada aspek yang terpenting di dalam Islam, namun, atas sebab-sebab tertentu, ianya tidak wujud di dalam kehidupan ramai orang Islam. Mereka melaksanakan sesuatu di dalam Islam seolah-olah Islam itu merupakan satu tugasan bukannya atas rasa cinta kepada Allah swt. Apabila Allah swt memerintahkan kita supaya melakukan sesuatu, seperti menjadi saksi kepada keimanan itu, kita mesti menyedari bahawa perkara itu adalah disukai oleh Allah swt, lantas atas perasaan cinta kita kepada Allah swt, kita sepatutnya berasa sangat gembira untuk melaksanakan amalan yang disukai oleh Allah swt. Akan tetapi, seperti yang telah saya katakan, perasaan ini semakin menghilang daripada ramai orang-orang Islam masa kini<br /><br />syarat kelapan: menafikan ilah selain allah<br /><br />Walaupun ianya sangat jelas menerusi perkataan-perkataan di dalam kalimah Syahadah itu, ia masih kelihatan tidak jelas kepada kebanyakan orang yang membuat pengakuan Syahadah ini. Oleh itu, saya akan membincangkannya di sini Di dalam surah al-Baqarah, Allah swt telah mengingatkan kita dengan jelas akan aspek Syahadah yang penting ini. Syahadah itu bukanlah semata-mata suatu Pengakuan tetapi ia adalah kedua-duanya, Pengakuan dan Penafian.<br />Firman Allah swt, ...Kerana itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut (Syaitan dan apa sahaja yang disembah selain Allah swt) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus... (Al Baqarah 2:256).<br />Malah Rasulullah saw juga menjelaskan perkara ini apabila baginda menyatakan Sesiapa yang mengatakan bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan menafikan segala yang disembah melainkan Allah, maka harta dan jiwanya dijaga dan perhitungan adalah dengan Allah (Hadis Riwayat Muslim).<br /><br />Walaupun syarat ini sepatutnya jelas sekali kepada sesiapa yang melafazkan kalimah Syahadah, kita masih boleh melihat Muslim yang melafazkan kalimah Syahadah tetapi kemudiannya melakukan amalan yang termasuk dalam maksud penyembahan untuk sesuatu selain daripada Allah swt. Kita boleh melihat mereka pergi ke kubur-kubur dan menyembah penghuninya. Mereka akan melaksanakan amalan-amalan peribadatan, bukan untuk Allah swt, tetapi untuk 'wali-wali' yang telah meninggal dunia itu. Syahadah jenis apakah yang dibuat oleh mereka ini? Adakah Syahadah mereka akan bermakna di Hari Perhitungan selagi mana mereka percaya bahawa amalan peribadatan boleh dilaksanakan untuk selain daripda Allah SWT?<br /><br />syarat kesembilan: setia padanya hingga akhir hayat<br /><br />Ini adalah satu kemestian untuk Syahadah itu bermakna kepadamu di akhirat nanti. Kita tidak boleh bergoyang kaki dan berharap pada apa yang kita lakukan pada masa lalu. Tidak, malah, Syahadah itu mestilah menjadi panji dirimu sehinggalah kematianmu.<br />Rasulullah saw telah bersabda, Seorang lelaki menghabiskan masa yang lama dengan melakukan amalan-amalan ahli Syurga dan kemudiannya dia dia menamatkan amalannya dengan amalan ahli Neraka. Dan seorang lelaki menghabiskan masa yang lama dengan melakukan amalan-amalan ahli Neraka dan kemudiannya dia menamatkan amalannya dengan amalan ahli Syurga. (Hadis Riwayat Muslim).<br />Dalam Hadis yang lain Rasulullah saw telah bersabda, Demi Dia yang tidak ada Ilah melainkan Nya, seorang dari kamu melakukan amalan-amalan Syurga sehingga hanyalah sedepa diantara dia dan Syurga dan kemudiannya buku itu (qada' dan qadar) menentukannya dan dia melakukan amalan-amalan ahli Neraka dan diapun memasukinya (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).<br /><br />Dan Firman Allah swt di dalam Al Quran, Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada Nya; dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (Ali Imran 3:102).<br /><br />kesimpulan pra syarat pengakuan keimanan<br />Saudara-saudaraku sekalian, inilah syarat-syarat Syahadah itu. Ini adalah aspek-aspek Syahadah yang perlu setiap dari kita lihat dalam diri kita dan bertanya pada diri kita, Adakah Syahadahku memenuhi syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan ini? Adakah aku melafazkannya dengan penuh keikhlasan, kejujuran dan rasa cinta pada Allah swt? Adakah aku melafazkannya berdasarkan maksudnya yang sebenar? Adakah aku benar-benar menafikan thoghut?....<br />Soalan-soalan ini perlu kita tanyakan pada diri kita sekarang, sebelum kita dihadapkan di hadapan Allah swt. Inshaallah, kita tanyakan soalan-soalan ini pada diri kita dan semoga kita mendapat semua jawapan yang tepat. Ataupun, jika kita melihat apa-apa kelemahan, kita akan berusaha untuk menghilangkan kelemahan itu. Mudah-mudahan, dengan rahmat Allah swt, di hari akhirat nanti, Syahadah kita akan menjadi kunci-kunci kita ke syurga dan pintu-pintu syurga akan terbuka luas untuk kita dan kita dapat hidup selama-lamanya dalam kenikmatan yang Allah swt kurniakan di syurga, dan Allah swt reda akan kita.<br /><br />Sekali lagi, soalnya bukanlah kita sekadar mengetahui akan syarat-syarat ini. Malah, kita boleh bertemu dengan ramai Muslim yang menghafal syarat-syarat ini, akan tetapi apibila dilihat akan amalan dan sikap mereka, jelas sekali syarat-syarat ini tidak membuahkan apa-apa kesan ke atas mereka. Ini bermakna, tidak kira sebaik mana dia mengetahui dan menghafal akan syarat-syarat ini, dia sebenarnya belum menyempurnakannya. Sesungguhnya, pengetahuannya itu akan menjadi saksi ke atasnya nanti kerana dia jelas sekali mengetahui akan syarat-syarat yang mesti disempurnakannya akan tetapi dia telah tidak menyempurnakannya semasa hidupnya.<br />Wallahu'alam bis showab!<br /><br />SYAHADAH<br /><br />muqaddimah<br /><br /> 1. Sudah menjadi dasar bagi pengikut manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah untuk memahami dan mengaplikasikan makna dan hakikat syahadah secara syumul (menyeluruh).<br /> 2. Syahadah merupakan masalah yang sangat asas dalam Dienul Islam. Oleh kerana itu tidak dibenarkan bagi seseorang muslim untuk berpura-pura jahil terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu kalimah syahadah adalah kalimah tauhid yang sekaligus memiliki satu pernyataan khusus tentang sebuah kepasrahan diri (penyerahan diri) daripada segala bid'ah dan kesyirikan, baik yang berkaitan dengan aturan Allah ataupun Rasul Nya.<br /> 3. Maka untuk memahaminya, sebuah kajian kritis menurut tinjauan nas dan dalil syarie yang tetap/ konstan (tsabit) dan qot'ie amat diperlukan (kerana perkara ini bukan persoalan ijtihadiyah). Hal ini diperlukan dalam rangka menghindari fitnah syubhat dan syahwat dalam beribadah yang pada masa ini dilakukan oleh majoriti kaum muslimin. Bukti konkrit akibat kejahilannya tidak sahaja akan mampu menelorkan warna kebatilan, kehinaan dan kezaliman bahkan juga perpecahan.<br /> 4. Oleh kerana itu Doktor Safar Al Hawaly telah menulis di dalam bukunya, ‘Sekularisme’ bahwa sekularisme sendiri pun yang sekarang ini telah berkembang pada sekelompok umat Islam, tidak lain adalah kerana kekerdilan pemahaman terhadap nilai aqidah (Kalimah Tauhid).<br /> 5. Melihat betapa pentingnya perkara diatas, maka hasil daripada pemahaman tersebut bukanlah hanya sekadar perkataan dan doktrin sahaja, tanpa sebuah perealisasian. Berbeza dengan pemahaman yang sering ditunjukkan oleh pelbagai firqah dan aliran sesat seperti khawarij, murjiah, kaum tarikat, sufi dan sebagainya.<br /> 6. Maka disinilah bermulalah titik permulaan sebagaimana yang telah disimpulkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam majmu'nya bahwa: Dien ini dibangunkan atas dasar kalimah syahadah, oleh kerana itu janganlah kamu menjadikan Ilah selain Allah, mencintai makhluk sebagaimana cintanya terhadap Allah, berharap dan takut sebagaimana takut dan berharapnya anda kepada Allah dan barangsiapa yang menyamakan antara makhluk dengan Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim/ kafir kepada Nya, sekalipun dia mengakui Allah sebagai Al Khaliq (Maha pencipta). <br /><br />Pengertian Asyhadu<br /><br /> 1. Menyaksikan (Al Hajj 22:28)<br /> 2. Sumpah (An Nisa’ 4:15)<br /> 3. Bersaksi (Al Munafiqun 63:1) <br /><br />Pengertian Ilah<br /><br /> 1. Sesuatu yang layak diibadahi (disembah) dengan penuh ketaatan. (Ibnu Taimiyyah)<br /> 2. Sesuatu yang dicenderungi dan diwala’ (dicintai, berpihak, menyokong) oleh hati dengan penuh kecintaan, keagungan, kemulian, tunduk dan patuh serta takut dan penuh pengharapan. (Ibnu Qayyim)<br /> 3. Sesuatu yang: <br /><br />a. Tidak ada yang mententeramkan hati kecuali Allah. (Ar Ra’d 13:26)<br />b. Tidak ada tempat berlindung kecuali Allah.(Asy Syura 42:9)<br />c. Tidak ada yang dicintai kecuali hanya Allah. (At Taubah 9:24)<br />d. Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah. (Al Fatihah 1:4)<br />e. Tidak ada yang ditaati kecuali Allah. (An Nisa 4:59)<br />f. Tidak ada pemilik atau raja kecuali Allah. (Ali Imran 3:32)<br />g. Tidak ada yang diagungkan kecuali Allah. (Al Waqiah 56:96)<br />h. Tidak ada yang harus dipegang teguh kecuali Allah. (An Nisa 4:176)<br />i. Tidak ada penguasa kecuali Allah. (Al Anam 6:61)<br />j. Tidak ada sumber hukum kecuali Allah. (Asy Syura 42:10)<br />(Ustaz Said Hawa)<br /><br /> 1. Sesuatu yang dijadikan ma’bud (yang diibadahi) <br /><br />Peranan dan Fungsi Syahadah<br /><br /> 1. Merupakan dasar bernilainya Dienul Islam. (Ibrahim 14:24-26)<br /> 2. Merupakan pembeza antara Muslim dan Kafir.<br /> 3. Merupakan syarat mutlak masuk jannah/syurga.Telah bersabda Rasulullah saw: Barangsiapa yang bersyahadah tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, maka Allah mengharamkan jasadnya untuk disentuh api neraka. (Hadis Riwayat Muslim) <br /><br /> 1. Merupakan kunci atau syarat diterima sesuatu ibadah/ amalan. (Al Furqan 25:23)<br /> 2. Merupakan syarat untuk mendapatkan syafaat dari Rasulullah saw pada hari kiamat. <br /><br />Telah bersabda Rasulullah saw: Manusia yang paling beruntung mendapatkan syafaatku pada hari kiamat adalah barangsiapa yang mengatakan ‘lailahailallah’ secara ikhlas dari hati dan jiwanya. (Hadis Riwayat Bukhari)<br /><br /> 1. Merupakan syarat jaminan perlindungan harta, jiwa dan kehormatan manusia. <br /><br />Peringkat-Peringkat Syahadah<br /><br /> 1. Ada pengetahuan dan keyakinan atas kebenaran dan ketetapan apa yang disaksikan (syahadah).<br /> 2. Mengikrarkan syahadah dengan disaksikan orang lain dengan berbicara, menulis atau berkata pada diri sendiri.<br /> 3. Memberitahu, mengkhabarkan dan menjelaskan persaksian orang-orang lain.<br /> 4. Iltizam terhadap kandungan syahadah. <br /><br />Syarat-Syarat Sah Syahadah<br /><br />Syaikh Wahhab bin Munabbih pernah ditanya, “Bukankah syahadah lailahailallah itu merupakan kunci jannah? Beliau menjawab, “Benar, tetapi tidak ada kunci melainkan ia pasti memiliki gerigi. Apabila engkau datang membawa kunci yang ada geriginya, maka jannah itu akan terbuka bagimu. Namun jika tidak, maka ia akan tetap tertutup bagimu.” (Riwayat Bukhari). Gerigi yang dimaksudkan itu ialah syarat-syarat syahadah Berikut merupakan syarat-syarat syahadah (oleh Al Qohthoni, Al Wala’ Wal Bara’):<br /><br /> 1. Al Ilmu, iaitu mengetahui makna syahadah dan apa sahaja yang dinafi atau diithbatkan (ditetapkan). (Muhammad 47:19)<br /> 2. Al Yaqin, iaitu yakin tanpa ragu-ragu dengan sebenarnya semua yang terkandung dalam syahadah tersebut. (Al Hujurat 49:15)<br /> 3. Al Qobul, iaitu menerima seluruh kandungan syahadah dengan hati dan lisan tanpa meninggalkan sesuatu tuntutan pun. (As Saffat 37:35-36)<br /> 4. Al Inqiyad, iaitu tunduk dan patuh dalam mengaplikasikan keseluruhan tuntutan syahadah tanpa keberatan sedikitpun. (An Nisa’ 4:65; An Nisa’ 4:125; Luqman 31:22)<br /> 5. As Sidqu, iaitu mengucapkan syahadah dari lubuk hati yang benar-benar jujur dan benar. (Al Ankabut 29:1-3)<br /> 6. Al Ikhlas, iaitu mengikhlaskan amal dan niat hanya untuk Allah sahaja tanpa dicemari oleh kotoran-kotoran syirik. (Al Bayyinah 98:5)<br /> 7. Al Mahabbah, iaitu menyintai seluruh kandungan syahadah dan apa sahaja yang menjadi tuntutannya serta menyintai orang-orang yang beriltizam dan komitmen dengan kalimah syahadah serta membenci hal-hal yang membatalkan syahadah. (Al Baqarah 2:165) <br /><br />Kedudukan Syahadah<br /><br />Perintah Allah yang terbesar kepada seluruh manusia adalah ‘Lailahailallah’ iaitu menafikan segala jenis ilah kecuali Allah (Al Anbiya’ 21:25). Syahadah merupakan pembeza antara muslim dan kafir dan syahadah juga merupakan syarat mutlak masuk jannah. Barangsiapa yang tidak sempurna kedua-dua rukun syahadah (menafikan dan menetapkan), maka ia pasti terjebak dengan dosa besar iaitu menyekutukan Allah, yang tidak dapat ditampal dengan apa jua ibadah hatta solat, puasa mahupun haji.<br /><br />Telah bersabda Rasulullah saw: Dua hal yang menentukan. Bertanya seorang lelaki: Ya Rasulullah! Apa yang dimaksudkan dengan dua hal yang menentukan itu?, Beliau menjawab, Barangsiapa mati menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk neraka dan barangsiapa mati tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk jannah. (Hadis Riwayat Muslim)<br /><br />Pengertian Syahadah Lailahailallah<br /><br />Kalimah ini bermaksud ‘tiada ilah selain Allah’. Kalimah ‘tiada ilah’ bermaksud bahawa kita menafikan atau menolak semua bentuk sembahan lain selain daripada Allah. Kalimah ‘selain Allah’ pula bermaksud kita menetapkan bahawa yang disembah (ma’bud) itu hanyalah Allah semata-mata dan meyakini bahawa tiada sekutu bagi Allah. Ini sebenarnya mencakupi konsep ‘Nafy wal Itsbat’ (penafian dan penetapan). Kita menafikan semua ilah selain Allah dan menetapkan bahawa hanya Allah sebagai ilah.<br />Rukun Syahadah Lailahailallah<br /><br />Rukun syahadah lailahailallah terbahagi kepada dua iaitu:<br /><br /> 1. Menafikan <br /><br />Menurut Doktor Sholih Fauzan (Makna Lailahailallah) dan Muhammad Sa’id Salim Al Qataahani (Antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan), terdapat 4 sembahan-sembahan palsu/ Ilah-Ilah palsu yang perlu dinafikan iaitu:<br />a. Al Aliha<br />Merupakan apa sahaja yang manusia yakini dapat memberikan mudarat ataupun manfaat sehingga manusia bergantung kepadanya. (As Syura 42:9; Al Anam 6:14; Ar Ra’d 13:28; Yunus 10:107)<br />b. At Thowaghit<br />Ialah sesiapa sahaja yang disembah serta rela diibadahi, ditaati dan diikuti selain Allah. (Al Baqarah 2:256)<br />c. Al Andad<br />Merupakan apa sahaja tandingan-tandingan yang dapat memalingkan manusia daripada Allah. (Al Baqarah 2:165; At Taubah 9:24)<br />d. Al Arbab<br />Ialah sesiapa sahaja yang berfatwa (mengeluarkan hukum, undang-undang, perlembagaan atau peraturan) dan bertentangan dengan kebenaran (Al Quran dan As Sunnah) yang kemudiannya diikuti manusia. (At Taubah 9:31)<br /><br /> 1. Menetapkan <br /><br />Di antara hal-hal yang perlu ditetapkan pula ialah:<br /><br /> 1. Ilah hanyalah Allah. (Muhammad 47:19)<br /> 2. Hanya Allah yang berhak menerima peribadahan daripada Manusia. (Al Fatihah 1:5)<br /> 3. Hanya Allah layak menjadi pemilik, pemerintah, pembuat perlembagaan hidup untuk manusia dan penguasa tertinggi alam semesta. (Asy Syura 42:10; Al A’raf 7:3)<br /> 4. Al Qosd wal Niyat (tujuan dan niat) hanya kepada Allah. (Al Bayyinah 98:5)<br /> 5. Al Ta’zim wal Mahabbah (pengagungan dan kecintaan) hanya kepada Allah. (Al Baqarah 2:165)<br /> 6. Al Khouf wal Roja’ (takut dan pengharapan) hanya kepada Allah.<br /> 7. At Takwa hanya kepada Allah. <br /><br />Siapakah THOGUT?<br /><br /> 1. Mengingkari thogut dan beriman kepada Allah merupakan hakikat syahadah ‘Lailahailallah’. (An Nisa 4:60; An Nahl 16:36; Al Baqarah 256)<br /> 2. Allah telah mewajibkan kepada seluruh hamba Nya supaya mengkafirkan, mengingkari, menjauhi dan menentang serta memerangi thogut dan beriman kepada Allah sahaja. (Majmuat Rasail Shaykh Al Islam Muhammad bin Abd Al Wahhab)<br /> 3. Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, thogut ialah: Setiap yang diperlakukan manusia dengan cara melampaui batas (yang telah ditentukan Allah), seperti dengan disembah, atau diikuti, atau dipatuhi.<br /> 4. Menurut Shaykh Al Islam Muhammad bin Abd Al Wahhab di dalam Majmuat Rasail nya, thogut ialah:<br /><br /> a. Syaitan yang menyeru kepada ibadah selain Allah.<br /> b. Para pemimpin zalim yang meminda hukum-hukum Allah Taala.<br /> c. Mereka yang berhukum dengan hukum yang lain daripada yang telah diturunkan oleh Allah.<br /> d. Mereka yang mendakwa mengetahui ilmu ghaib selain Allah.<br /> e. Segala sesuatu yang disembah selain Allah dan dia reda dengan peribadatan itu<br /> (Yasin 36:60; An Nisa 4:60; Al Maidah 5:44; At Taubah 9:31; Al Jin 72:26-27; Al Anam 6:59) <br /><br />Tuntutan Syahadah Lailahailallah<br />Syahadah lailahailallah mengkehendaki seseorang itu:<br /><br /> 1. Beribadah (mengabdikan diri) hanya kepada Allah sahaja dan mengkufuri peribadatan kepada selainnya.<br /> 2. Menerima seluruh syariat Allah samada dalam urusan ibadah, mu’amalah mahupun halal dan haram.<br /> 3. Menolak syariat selain daripada syariat Allah. <br /><br />i. Menolak berhukum dengan selain daripada hukum/ peraturan/ perlembagaan/ undang-undang Allah sahaja (Al Maidah 5:44)<br />ii. Menolak bida’ah dan khurafat. (Asy Syura 42:21)<br />iii. Menolak Penghalal (Yang Menghalalkan) dan Pengharam (Yang Mengharamkan) selain daripada Allah. (At Taubah 9:31)<br /><br /> 1. Menetapkan asma’ dan sifat Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dan Rasul Nya. <br /><br />Pengertian Syahadah Muhammadur Rasulullah<br />Mengikrarkan dengan lisan, beriman di dalam hati bahawa Muhammad Rasulullah saw adalah utusan Allah kepada seluruh makhluk Nya.<br /><br />Tuntutan Syahadah Muhammadur Rasulullah<br />Syahadah Muhammadur Rasulullah mengkehendaki seseorang itu:<br /><br /> 1. Mengimani dan membenarkan semua yang dikhabarkan oleh Rasulullah saw. (Al A’raf 157-158)<br /> 2. Mentaati perintah dan meninggalkan larangannya. (An Nisa’ 4:59; Al Anfal 8:13)<br /> 3. Tidak beribadah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan Rasulullah saw. Kerana Islam itu dibangun diatas landasan beribadah kepada Allah sahaja dan dengan menggunakan syariat yang yang telah disunnahkan Rasulullah saw. (Al Ahzab 33:21) <br /><br />Nawaqid Asy Syahadah (Pembatal Syahadah)<br /><br />Empat Elemen Pembatal Syahadah<br />1. Syirik, iaitu:<br /><br /> 1. Beriman kepada Allah tetapi ia menjadikan sekutu bagi Allah pada kerajaan Nya dan pentadbiran makhluk-makhluk Nya, iaitu pada penciptaan, menghidupkan, memberikan rezeki, mematikan, memberikan mudharat dan memberikan manfaat. Contohnya ialah syiriknya orang-orang Kristian dan Majusi. (An Nisa’ 4:48; Al Furqan 25:2)<br /> 2. Mensifati dirinya atau mensifati yang lainnya dengan sifat-sifat uluhiyyah. Sifat-sifat yang dimaksudkan itu ialah sifat-sifat yang khusus pada Allah. Termasuk disini ialah mereka yang menentang/ tidak mengakui salah satu sifat-sifat kesempurnaan Allah. (An Nazia’at 79:24; Asy Syuara’ 26:23; Al Furqan 25:60; Ar Ra’d 13:30)<br /> 3. Memberikan apa-apa bentuk peribadahan kepada selain Allah. (An Nisa’ 4:36; Az Zumar 39:64-66) <br /><br />2. Kufur, iaitu tidak beriman kepada Allah dan Rasul Nya samada ia mendustakan atau tidak. Kufur terbahagi dua iaitu:<br /><br /> 1. Kufur Akbar, iaitu kufur yang menyebabkan seseorang itu terbatal terus Islamnya. Kufur Akbar terbahagi kepada lima bahagian iaitu: <br /><br />i. Kufur Takzib iaitu mendustakan rasul tentang salah satu perkara yang dibawanya. (Fatir 35:25)<br />ii. Kufur Iba’ wa Istikbar ialah seperti kufurnya iblis, ia tidak menentang perintah Allah dan tidak pula menerima perintah Allah dengan pengingkaran tetapi kerana enggan dan rasa sombong ia tidak mahu melaksanakan perintah Allah. (Al Baqarah 2:34)<br />iii. Kufur Iradh iaitu berpaling (tidak ambil kisah) terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw, tidak membenarkan dan tidak juga mendustakannya. (As Sajadah 31:22)<br />iv. Kufur Syak ialah ragu-ragu terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ia tidak yakin akan kebenarannya dan tidak juga yakin akan kedustaannya. (Ibrahim 14:9)<br />v. Kufur Jahud iaitu menentang secara keseluruhan apa yang diturunkan oeh Allah atau menentang sebahagiannya yang sudah jelas daripada dasar-dasar Islam. (An Naml 27:14; Al An’am 6:33)<br /><br /> 1. Kufur Asgar, iaitu kufur yang tidak mengeluarkan seseorang daripada Dienul Islam. Iaitu dosa-dosa besar yang dinyatakan sebagai suatu kekufuran di dalam Al Quran dan As Sunnah. Contohnya seperti kufur nikmat. (An Nahl 16:112)<br /><br />3. Nifaq, iaitu seseorang yang menzahirkan/ menampakkan imannya di kalangan kaum Muslimin tetapi sebenarnya hatinya mendustakan dan mengkafirinya. Nifaq terbahagi kepada dua, iaitu:<br /><br /> 1. Nifaq Iktikadi menyangkut soal akidah. Mereka dihukumkan kafir Hanyasanya tidak diperlakukan sebagaimana orang-orang kafir lainnya kerana masih tidak memperlihatkan kekufurannya. (Al Munafiqin 63:1-3)<br /> 2. Nifaq Amali pula hanya menyangkut soal amalan perbuatan seseorang yang hanya menyebabkan pelakunya menjadi fasiq dan bermaksiat namun tidak sampai kepada kufur. Ia tetap mempunyai iman, hanyasanya melakukan amalan yang berada pada cabang nifaq seperti mengkhianati amanah, berdusta/ berbohong dan mengingkari janji. <br /><br />Selain itu, terdapat beberapa sifat munafiq yang agak menonjol iaitu:<br />a. Berbuat kerosakan di mukabumi dengan menyuburkan dan merosakkan syariat Allah dan menuduh orang-orang yang beriman sebagai bodoh. (Al Baqarah 2:11-13)<br />b. Menipu orang-orang beriman dengan menzahirkan keimanan semasa bertemu dengan mereka dan menzahirkan kekufurannya semasa bersama pendukung dan wali-walinya. (Al Baqarah 2:14)<br />c. Berpaling daripada berhukum kepada hukum dan syariat Allah dan menghalang-halangi manusia untuk melaksanakan hukum yang diturunkan oleh Allah. (An Nisa’ 60-61)<br />d. Memerintah yang mungkar dan mencegah yang ma’ruf. (At Taubah 9:67)<br />e. Menjadikan orang kafir sebagai wali (pemimpin, pendukung, kawan setia) dan meninggalkan orang-orang beriman. (An Nisa’ 4:138-139)<br />f. Memusuhi, membenci dan memerangi orang-orang beriman kerana Iman mereka dan berwali serta membantu orang kafir kerana kekufuran mereka. (Mujadilah 58:22; Al Buruj 85:8-10; Al Mu’minun 23:110-112)<br /><br /> 1. Riddah iaitu kembali kafir setelah beriman. Antara definasi riddah yang lain ialah: <br /><br />a. Seseorang yang keluar daripada Islam dalam keadaan berakal, sedar dan tidak terpaksa.<br />b. Seseorang yang mengingkari dasar-dasar Islam.<br />c. Seseorang yang mengucapkan suatu perkataan yang jelas kufurnya.<br />d. Seseorang yang secara jelas melakukan amalan-amalan yang bertentangan dengan Islam dan manhajnya.<br />Pembahagian Riddah ada empat iaitu:<br />a. Riddah dengan ucapan. Contohnya ialah menghina Allah, Rasul Nya, Islam.<br />b. Riddah dengan perbuatan. Contohnya ialah sujud kepada berhala, pindah ke Darul Kufur (negara kafir), membela Darul Harbi (Negara Kafir yang sedang berperang dengan Islam) dan memerangi Syariat Islam dan menggantikannya dengan undang-undang kafir.<br />c. Riddah dengan i’tikad. Contohnya mensyirikkan Allah, mengingkari As Sunnah (hadis yang sahih) dan mendustakan Nabi Muhammad saw.<br />d. Riddah dengan keraguan. Contohnya meragui perkara yang telah jelas haram di dalam Al Quran dan meragui kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.<br />Terdapat beberapa bentuk kemurtadan iaitu:<br />a. Menyandarkan hukum kepada selain Allah. (Al Maidah 5:44-47; Al Ahzab 33:36; Al An’am 6:57; An Nisa 4:60)<br />b. Benci terhadap Syariat Islam atau mengutamakan syariat lain selain Islam atau menganggap bahawa semua dien/ sistem hidup manusia yang lain sama dengan Islam (menyamaratakan). (Muhammad 47:8-9).<br />c. Mempermainkan atau merendah-rendahkan sebahagian Syariat Islam yang terdapat di dalam Al Quran atau As Sunnah dan syiar-syiar Islam lainnya.<br />d. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (An Nahl 16:116-117; Yunus 10:59-60)<br />e. Beriman kepada Al Quran dan menolak As Sunnah. (An Nisa 4:150)<br />f. Menjadikan orang kafir, munafik dan atheis (tidak beragama) sebagai pemimpin. (Al Maidah 5:51; At Taubah 9:23)<br />g. Mempermainkan sifat Rasulullah saw atau pekerjaan Beliau.<br />h. Menganggap kandungan Al Quran bertentangan dengan realiti kehidupan atau bertentangan dengan apa yang sebenarnya berlaku atau bertentangan dengan fakta sains. (Ar Ra’d 13:37)<br />i. Mensifati sifat-sifat Allah dengan sifat yang tidak sesuai dengan keagungannya.<br />j. Fanatik terhadap puak/ bangsa/ negara dan menjadikannya sebagai tujuan kehidupannya malah sanggup mencurahkan apa sahaja samada usaha atau wang untuk kepentingan golongannya hingga melupakan diennya (Islam).<br />k. Mengangkat ideologi nasionalisme dan menjadikannya sebagai tujuan kehidupan.<br /><br />pra syarat pengakuan keimanan<br />Setiap Muslim mengetahui bahawa kunci kepada syurga adalah kalimah, ‘Tiada Ilah Yang Berhak Disembah Melainkan Allah’. Namun terlalu ramai Muslim yang dengan mudah bergantung kepada pernyataan ini dan percaya bahawa sekiranya mereka melafazkannya, tiada apa yang buruk akan menimpa mereka. Mereka merasakan mereka akan dianugerahkan dengan syurga semata-mata kerana melafazkan kalimah Syahadah ini. Sebenarnya, memang tidak perlu dipersoalkan bahawa sekadar melafazkan, ‘Aku Menyaksikan Bahawa Tiada Ilah Yang Layak Disembah Melainkan Allah dan Aku Menyaksikan Bahawa Muhammad itu Hamba Dan Rasul-Nya’, adalah tidak memadai. Malah, orang-orang Munafiq juga telah melafazkan kalimah Syahadah dan Allah swt menyatakan bahawa mereka adalah pendusta dan akan menduduki neraka yang paling dalam. Namun begitu, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama’, kalimah atau pernyataan ini adalah kunci syurga. Wahab bin Munabbih pernah ditanya, Bukankan pernyataan Lailahailallah itu kunci syurga? Beliau telah menjawab, Benar, tetapi setiap kunci mempunyai mata-matanya. Sekiranya kamu datang dengan kunci yang mempunyai mata yang betul, pintu itu akan terbuka buatmu. Tetapi sekiranya anak kuncimu tidak mempunyai mata yang betul, pintu itu tidak akan terbuka untukmu. Maksudnya di sini, ada pra syarat yang diperlukan. Pra syarat inilah yang membezakan antara mereka yang mendapat manfaat daripada pernyataan mereka dengan mereka yang tidak mendapat manfaat tersebut, walau sebanyak mana sekalipun mereka membuat pernyataan tersebut.<br /><br />Sebelum membincangkan pra syarat kalimah Syahadah, saya merasakan bahawa ada satu perkara yang perlu saya jelaskan. Ramai orang gemar mengambil satu hadis atau satu ayat dan kemudiannya, berpandukan satu ayat itu semata-mata, mereka akan membuat kesimpulan seperti, sesiapa yang melafazkan kalimah Syahadah akan memasuki syurga. Sepatutnya kita semua sedar bahawa keseluruhan Al Quran dan hadis itu saling melengkapi dan menerangkan satu sama lain. Untuk menentukan kedudukan sebenar sesuatu persoalan, seseorang itu perlu mengambil kira semua ayat dan hadis yang berkenaan dan kemudian barulah menentukan apakah pandangan Islam yang sebenarnya mengenai perkara tersebut. Begitu jugalah dalam memahami pra syarat pernyataan kalimah Syahadah itu.<br /><br />Sekiranya kita mengkaji ayat-ayat Al Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw, kita akan mendapati bahawa terdapat tujuh, lapan atau sembilan (bergantung kepada bagaimana kita melihatnya) syarat-syarat kalimah Syahadah. Adalah sangat penting untuk kita memastikan bahawa kita memenuhi syarat-syarat ini dalam kehidupan kita dan dalam pengakuan keimanan kita. Kita perlu berusaha bersungguh-sungguh untuk memenuhi syarat-syarat ini sebelum terlambat bilamana pengakuan keimanan kita tidak akan memanfaatkan kita lagi. Ianya bukanlah sekadar untuk mengajarkan syarat-syarat ini. Malah, tidak ada manfaatnya di situ melainkan kita semua memeriksa (muhasabah) akan diri kita dan memastikan bahawa kita memenuhi syarat-syarat tersebut semoga, dengan rahmat Allah swt, pintu-pintu syurga akan terbuka untuk kita menerusi kunci Lailahailallah kita.<br /><br />syarat pertama: ilmu<br />Seseorang mesti mempunyai ilmu asas dan am tentang apa yang dimaksudkan oleh kalimah Syahadah. Seseorang mesti memahami apakah yang ditegaskan oleh kalimah Syahadah dan apakah yang dinafikannya.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, Maka ketahuilah, bahawa sesungguhnya tidak ada Ilah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu... (Muhammad 47:19).<br />Begitu juga sabda Rasulullah saw, Sesiapa yang meninggal dunia mengakui bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah akan memasuki Syurga. (Hadis Riwayat Muslim).<br />Sebenarnya, kalimah Syahadah itu adalah sebuah pengakuan ataupun ikrar. Apabila seseorang berikrar akan sesuatu, dia harus mengerti dan memahami tentang apa yang diikrarkannya itu. Jelas sekali, berikrar tentang sesuatu yang tidak diketahui (tidak mempunyai ilmu tentangnya) adalah tidak dapat diterima sama sekali.<br /><br />Firman Allah SWT di dalam Al Quran, ...melainkan orang yang mengakui yang hak dan mereka mengetahuinya (Al Zukhruf 43:86).<br />Syarat ini mungkin kelihatan begitu jelas. Sekiranya seseorang berkata kepadamu, Tiada Ilah Melainkan Allah, dan kemudian menjelaskan bahawa yang dimaksudkannya dengan Allah ada Isa, tentu sekali akan kita katakan Maka bayangkanlah bahawa masih ada umat-umat Islam yang merayakan perayaan tahunan untuk ‘Tuhan-Tuhan (semangat) Laut umpamanya! Namun begitu mereka berterusan menggelar diri mereka Muslim dan melafazkan kalimah Syahadah berkali-kali sehari. Ini jelas menunjukkan bahawa mereka tidak memahami langsung akan maksud Syahadah (pengakuan) itu sendiri. Adakah pada pemikiranmu, Syahadah sebegini akan membuka pintu-pintu Syurga untuk mereka? Pada hari ini, ramai Muslim yang hairan memikirkan mengapa kita tidak sepatutnya menerima sekularisme. Mereka memikirkan bahawa tiada apa yang salah dengan sekularisme! Ramai di antara mereka, malah, bersembahyang lima waktu sehari semalam dan melafazkan Syahadah berulangkali. Namun mereka tidak melihat apa-apa kesalahan dalam menerima Pemberi Undang-Undang selain Allah SWT. Syahadah (pengakuan) jenis apakah yang dilakukan oleh mereka ini? Setiap daripada kita mesti berusaha sedaya-upaya untuk belajar sekurang-kurangnya asas-asas keimanan dalam Islam. Dengan cara ini, Inshaallah, kita akan membuat pengakuan Syahadah yang benar. Kita akan menyaksikan akan kebenaran sebagaimana kita sepatutnya menyaksikan akannya.<br /><br />syarat kedua: yakin<br /><br />Ini adalah lawan kepada curiga dan ragu-ragu. Di dalam Islam, sebarang bentuk keraguan boleh membawa kepada Kufur atau tidak beriman. Kita mesti, di dalam hati-hati kita, mempunyai keyakinan yang sepenuhnya akan kebenaran Syahadah itu. Hati-hati kita janganlah berdolak-dalik walau sedikitpun apabila kita menyaksikan akan kebenaran, Tiada Ilah Yang Berhak Disembah Melainkan Allah. Allah swt menggambarkan orang-orang yang beriman di dalam Al Quran sebagai mereka yang mempunyai keimanan kepada Allah dan hati-hati mereka tidak sedikitpun merasa ragu-ragu.<br /><br />Firman Allah swt, Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (Al Hujuraat 49:15).<br /><br />Demikian juga, Rasulullah saw bersabda, Tidak ada sesiapa yang bertemu dengan Allah dengan pengakuan bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan aku Rasul Allah, dan dia tidak mempunyai sedikit keraguan pun dengan kenyataannya itu, melainkan dia akan memasuki Syurga. (Hadis Riwayat Muslim).<br /><br />Sesungguhnya, Allah swt menggambarkan para munafiq itu sebagai mereka yang hati-hatinya ragu-ragu. Contohnya, Allah swt berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (untuk tidak menyertai Jihad), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dah hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, kerana itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya (At Taubah 9:45)<br /><br />Ramai ulama’ telah menyatakan bahawa penyakit-penyakit hati itu, atau keraguan dan kecurigaan yang seseorang benarkan menempati hatinya, adalah lebih berbahaya kepada keimanan seseorang itu daripada nafsu dan keinginan. Ini adalah kerana nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan itu boleh dihilangkan pada satu-satu masa. Kemudiannya, seseorang itu jelas mengetahui bahawa ianya telah berdosa lantas dia boleh mengawal dirinya, bertaubat dan meninggalkan amalan-amalan yang keji itu. Akan tetapi, keraguan dan kecurigaan akan terus menempati hati sseorang, tanpa apa-apa penawar, hinggalah seseorang itu meninggalkan Islam terus atau berterusan sebagai seorang Muslim, tetapi pada hakikatnya, hatinya masih tidak beriman sepenuhnya. Penawar yang paling mujarab untuk keraguan dan kecurigaan ini adalah dengan menuntut ilmu tentang Al Quran dan As Sunnah lah kebanyakan daripada keraguan dan kecurigaan ini dapat dihilangkan.<br /><br />Melalui pengajian dan pemahaman, seseorang akan beroleh kepastian. Kemudiannya, dengan pengajian dan pembelajaran yang berterusan, kepastian seseorang itu akan bertambah kuat dan tegas. Saya akan berikanmu satu contoh tentang hakikat ini. Ianya berkenaan dengan segala keraguan, kecurigaan dan salah faham yang berleluasa tentang kesahihan hadis-hadis. Contohnya, ada orang-orang Islam yang mengatakan bahawa hadis-hadis tidaklah dicatatkan sehingga sekurang-kurangnya 200 tahun selepas kewafatan baginda Rasulullah SAW. Malah, terdapat ramai orang Islam yang mempunyai banyak keraguan terhadap hadis dan dengan pantas menolak hadis-hadis berlandaskan perkara ini. Sedangkan, pada kenyataannya, sekiranya seseorang itu memperuntukkan masa untuk mengkaji sejarah dan usaha menjaga hadis-hadis, beliau akan mendapati bahawa semua tuduhan-tuduhan terhadap hadis-hadis itu adalah tidak berasas sama sekali. Tuduhan-tuduhan tersebut hanyalah sekadar pendustaan yang lahir dari syaitan dan ramai Muslim yang kurang pemahaman dan ilmunya telah membiarkan pendustaan ini menempati hati-hati mereka. Izinkan saya ulaskan sedikit lagi tentang syarat Yakin ini. Seperti yang telah saya katakan sebelum ini, keraguan dan salah faham adalah sangat merbahaya terhadap iman seseorang. Keraguan dan kecurigaan boleh membawa kepada murtad seperti yang dibincangkan sebelum ini. Oleh kerana itu, setiap Muslim mestilah berusaha sedaya-upaya untuk memelihara dirinya daripada keraguan sebegitu dan sentiasa menjauhkan dirinya dari sumber-sumber keraguan dan kecurigaan itu; lebih-lebih lagi sekiranya dirinya tidak mempunyai asas-asas keilmuan Islam yang kuat dan tidak mempunyai ilmu untuk menyanggah keraguan, kecurigaan dan salah faham tersebut. Oleh yang demikian, sekiranya seseorang itu punya kenalan atau rakan, walaupun rakannya itu Muslim, yang sentiasa membuatkan beliau ragu-ragu akan Allah swt dan Dien ini, maka beliau harus menjauhkan diri daripada individu tersebut demi menjaga Dien dan imannya. Ramai dari kalangan Muslim pada hari ini belajar kursus-kursus Islam yang diajar oleh para orientalis dan disebabkan oleh latarbelakang keislaman mereka yang longgar, mereka dengan mudah terpengaruh dengan perkara-perkara karut yang diajarkan oleh sesetengah daripada para orientalis ini atas nama 'sains'. Begitu juga, ramai daripada umat Islam hari ini menghabiskan masa berjam-jam di dalam 'newsgroups' dan 'bulletin boards' menerusi computer (internet). Sekali lagi, dia yang cetek ilmu Islamnya akan dengan mudah terpengaruh dengan salah faham dan hujah-hujah palsu yang dibacanya dari sumber-sumber sedemikian. Dia sepatutnya menjauhkan diri dari perkara-perkara sedemikian dan berusaha mendapatkan ilmu Islam yang mendalam menerusi sumber-sumber yang sahih tentang Islam. Sekali lagi, penawar yang paling mujarab untuk menghilangkan keraguan dan salah faham ini, setelah dirahmati dan diberi petunjuk oleh Allah SWT, adalah ilmu yang mendalam dan kefahaman yang jelas tentang Islam. Apabila seseorang itu punya ilmu yang mendalam dan kefahaman yang jelas tentang Islam, beliau tidak akan terpengaruh dengan hujah-hujah yang palsu lagi lemah yang didatangkan oleh musuh-musuh Islam dan beliau, insha-Allah, akan menjadi dari kalangan yang digambarkan di dalam Al Quran, ...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba Nya hanyalah ulama’ (Faathir 35:28).<br /><br />syarat ketiga: penerimaan (Al Qabool)<br /><br />Sekiranya seseorang itu telah mempunyai ilmu dan keyakinan akan Syahadah itu; ini mesti diikuti pula dengan penerimaan, dengan lidah dan juga tuntutan Syahadah tersebut. Sesiapa yang enggan menerima Syahadah itu serta tuntutannya, walaupun dia mempunyai ilmu yang Syahadah itu benar dan yakin dengan kebenaran itu, maka dia adalah seorang yang tidak beriman (kafir). Keengganan untuk menerima itu mungkin disebabkan oleh rasa bongkak, irihati atau lain-lain. Walauapapun sebabnya, Syahadah itu bukanlah Syahadah yang sejati tanpa penerimaan yang tidak berbelah-bagi. Para ulama’ semuanya mengulas tentang syarat ini secara am seperti yang telah saya nyatakan di atas. Akan tetapi, ia juga mempunyai perincian-perincian yang mesti kita sedari. Orang-orang yang beriman menerima dengan sepenuhnya segala tuntutan Syahadah itu. Ini juga bermaksud, mereka beriman dengan segala yang termaktub di dalam Al Quran atau yang dinyatakan oleh Rasulullah saw, tanpa mempersoalkan hak untuk memilih apa yang ingin dipercayai dan apa yang ingin ditolak.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, Apakah kamu beriman kepada sebahagian al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah daripada apa yang kamu perbuat (Al Baqarah 2:85).<br /><br />Ini adalah satu aspek yang mesti disedari oleh orang-orang Islam. Walaupun ia tidaklah sama seperti penolakan sepenuhnya untuk menerima kebenaran, tetapi dengan menolak sebahagian daripada kebenaran yang datangnya daripada Allah SWT, seseorang itu juga telah menafikan penyaksian keimanannya. Malangnya, pada hari ini, ramai orang-orang Islam melakukan penolakan ini dengan pelbagai cara. Walaupun bukan semuanya boleh dikira sebagai murtad, perkara-perkara ini tetap sangat membahayakan. Contohnya, sekiranya mereka tidak menyukai apa yang dinyatakan oleh sepotong ayat di dalam Al Quran, mereka dengan mudah menafsir semula ayat tersebut agar sesuai dengan apa yang mereka sukai. Sekiranya mereka tidak menyukai apa yang dinyatakan oleh sebuah hadis, mereka lantas menyatakan bahawa hadis tersebut adalah tidak sahih walaupun mereka sebenarnya bukanlah ulama’ di dalam bidang tersebut. Perlakuan serta sikap sebegini adalah merupakan perlakuan dan sikap yang berlawanan dengan perlakuan dan sikap Muslim sejati. Apa-apa sahaja yang datang daripada Allah swt dan Rasul Nya saw, seorang Muslim sejati akan beriman dengannya. Inilah sikap yang seiringan dengan pengakuan keimanan.<br /><br />syarat keempat: penyerahan, tunduk dan patuh<br /><br />Syarat ini bermaksud perlaksanaan Syahadah kita melalui amalan zahir tubuh badan. Malah, ini adalah merupakan satu daripada maksud terpenting perkataan Islam itu sendiri, Tunduk dan patuh kepada kehendak dan perintah Allah.<br /><br />Inilah yang diperintahkan oleh Allah swt di dalam Al Quran, Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) (Az Zumar 39:54).<br />Allah swt telah memuji mereka yang tunduk patuh kepada perintah Nya melalui amalan mereka.<br /><br />Firman Allah swt, Dan siapakah yang lebih baik Diennya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan... (An Nisa 4:125).<br /><br />Sebenarnya, jelas sekali Allah swt telah menjadikan penyerahan (tunduk dan patuh) seseorang itu kepada perintah Nya dan Rasul Nya sebagai satu syarat keimanan.<br /><br />Firman Allah swt, Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rasulullah saw) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak meresa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisa 4:65)<br /><br />Malang sekali, terdapat kini banyak kenyataan-kenyataan bahawa tidak ada hubung-kait di antara iman dengan amalan. Malah kita boleh mendengar seorang Muslim mengata tentang seorang lagi, Dialah orang Islam yang paling baik pernah saya temui, sedangkan orang itu jarang sekali mengamalkan apa-apa amalan Islam. Pemahaman yang salah tentang keimanan ini telah menjalar dengan teruk ke segenap rantau Islam. Sepatutnya Syahadah atau pengakuan keimanan kita itu mesti dilaksanakan atau diterapkan di dalam hati, lidah dan amalan kita. Di dalam hati kita, kita mesti mencintai Allah swt, takutkan Allah swt dan pada masa yang sama menaruh penuh pengharapan kepada Allah swt. Dengan lidah kita, kita mesti menyaksikan atau mengakui Syahadah itu. Dan akhir sekali dengan amal kita, kita mesti mengamalkan apa yang dituntut oleh pengakuan keimanan itu. Sesiapa yang mengaku dirinya Muslim akan tetapi tidak melaksanakan apa-apa amalan, bermakna dia tidak memahami apa itu Islam samasekali ataupun dia sendiri sebenarnya membuktikan bahawa pengakuan keimanannya itu bukan pengakuan keimanan yang benar dan sejati. Ini bukanlah bermakna seorang yang benar-benar beriman bebas sama sekali daripada dosa. Sebenarnya, seseorang yang benar-benar beriman pun tidak bebas daripada dosa. Namun selagi mereka mengakui bahawa apa yang mereka lakukan itu salah dan ianya tidak seiring dengan kewajiban mereka tunduk dan patuh kepada Allah swt, maka mereka tidaklah membatalkan kesempurnaan pengakuan keimanan atau pun Syahadah mereka. Namun, jangan dilupa, mereka tetap berdosa. Maka apakah tahap penyerahan yang minima yang dituntut daripada seseorang; yang sekiranya tidak ada pada tahap ini (sekurang-kurangnya) maka tidaklah layak pengakuan keimanan. Sekiranya diambil pandangan para ulama’ yang berpendapat bahawa meninggalkan sembahyang itu kufur, ia adalah sembahyang lima waktu sehari semalam. Sesiapa yang tidak melaksanakan sekurang-kurangnya sembahyang lima waktu sehari semalam maka dia telah melanggar had yang dapat diterima dalam kekurangan amalan. Sesungguh Allah Maha Mengetahui.<br /><br />syarat kelima: jujur<br /><br />Jujur adalah sebagai lawan kepada sikap berpura-pura (munafiq) dan tidak jujur. Ini bermakna apabila kita melafazkan kalimah Syahadah, kita melafazkannya dengan penuh kejujuran. Kita benar-benar bermaksud akan apa yang dilafazkan itu. Kita tidak menipu dalam soal pengakuan keimanan.<br /><br />Rasulullah SAW telah bersabda, Tidak ada sesiapa yang mengaku bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah, dengan ikhlas dari hatinya, melainkan Allah menjadikan api neraka itu haram baginya. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).<br /><br />Kita tentu mengetahui tentang mereka yang melafazkan kalimah Syahadah akan tetapi mereka tidak melakukannya dengan jujur. Mereka tidak mempercayainya, akan tetapi mereka hanya melafazkannya untuk menjaga keselamatan diri mereka ataupun untuk memperolehi apa-apa ganjaran. Mereka inilah golongan munafiq.<br /><br />Allah swt telah menerangkan tentang golongan ini di dalam Al Quran seperti berikut, Di antara manusia ada yang mengatakan, Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedangkan mereka tidak sedar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka dusta (Al Baqarah 2:8-10).<br /><br />Jelas sekali pengakuan Syahadah mereka yang menjadi Muslim semata-mata untuk memperolehi ganjaran duniawi dan bukan kerana mereka benar-benar percayakan Islam akan ditolak oleh Allah swt di Hari Kebangkitan nanti. Mereka akan dihadapkan dengan azab yang pedih kerena penipuan mereka.<br /><br />syarat keenam: ikhlas<br /><br />Maksudnya, apabila kita membuat pengakuan Syahadah itu, kita mesti melakukannya semata-mata kerana Allah swt. Kita tidak boleh melakukannya atas apa-apa sebab yang lain. Begitu juga kita tidak boleh melaksanakannnya kerana orang lain. Dalam soal ini, maksud ikhlas itu adalah lawan kepada Syirik ataupun menyekutukan Allah swt. Kita menjadi Muslim dan berkekalan sebagai Muslim semata-mata kerana Allah swt.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, ...Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya (Az Zumar 39:2).<br />Allah swt juga berfirman, Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) Dien dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan solat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah Dien yang lurus. (Al Baiyyinah 98:5).<br /><br />Rasulullah SAW juga bersabda, Allah telah mengharamkan api neraka ke atas sesiapa yang mengatakan, Tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah, dan dia mengatakan begitu mengharapkan wajah [dan keredaan] Allah. (Hadis Riwayat Muslim).<br /><br />Ini adalah sesuatu yang perlu kita fikirkan terutamanya, mereka yang dibesarkan di dalam keluarga Muslim dan dilahirkan sebagai seorang Islam. Kita mesti benar-benar jelaskan kepada diri kita bahawa kita menjadi Muslim semata-mata kerana Allah SWT. Kita bukan menjadi Muslim demi ibubapa kita, rakan-rakan, keluarga ataupun masyarakat. Ia mestilah benar-benar jelas dalam pemikiran kita bahawa kita adalah Muslim semata-mata kerana Allah SWT. Namun, sesekali kita akan terfikir sama ada syarat ini dipenuhi oleh kebanyakan orang. Sesetengah orang dari rantau Islam hanya melaksanakan Islam sekadar yang memuaskan hati keluarga mereka. Sekiranya ada apa-apa di dalam Islam yang tidak disukai oleh keluarga mereka (walaupun sebenarnya keluarga mereka juga Muslim lantas perlu menyukai Islam keseluruhannya), lantas mereka tidak melaksanakan aspek Islam tersebut. Salah satu contoh yang biasa adalah dalam soal pergaulan lelaki dan perempuan. Kadang-kadang, seseorang itu tidak akan bergaul secara bebas dengan lelaki/ perempuan yang bukan mahramnya. Akan tetapi, apabila dia pulang ke rumah dan keluarganya tidak menyukai sikap sedemikian, maka mereka dengan mudah meninggalkan tuntutan Islam tersebut demi ibubapa dan keluarga. Orang-orang sebegini harus bertanya dengan ikhlas pada diri mereka, mengapa mereka seorang Muslim. Adakah mereka Muslim demi ibubapa mereka lantas mereka lakukan apa yang ibubapa mereka sukai dan tinggalkan apa yang ibubapa mereka tidak sukai? Ataupun, adakah mereka Muslim demi Allah swt lantas apa yang Allah sukai mereka lakukan dan apa yang Allah tidak sukai mereka tinggalkan?<br /><br />syarat ketujuh: cinta<br /><br />Maksudnya di sini, seseorang yang beriman mesti mencintai Syahadah itu, perasaan cinta (kesukaan) nya mesti lah berlandaskan Syahadah, dia mencintai tuntutan dan kesan-kesan Syahadah dan dia juga mencintai mereka yang beramal dan bekerja keras demi Syahadah ini. Ini adalah syarat yang mesti ada di antara syarat-syarat Syahadah. Sekiranya seseorang itu membuat pengakuan Syahadah tetapi tidak mencintai Syahadah itu dan apa yang dimaksudkannya, maka sebenarnya imannya tidaklah sempurna. Ini bukanlah keimanan yang sejati. Malah sekiranya dia mencintai sesuatu lebih daripada Syahadah ini ataupun dia mencintai sesuatu lebih dari Allah swt, maka dia telah batalkan Syahadahnya itu. Orang yang benar-benar beriman, yang memenuhi semua syarat-syarat Syahadah itu tidak akan meletakkan sesuatu apapun setaraf dengan Allah dari segi cintanya.<br /><br />Firman Allah swt di dalam Al Quran, Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah... (Al Baqarah 2:165).<br />Dan di bahagian lain Allah swt berfirman, Katakanlah: 'Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara- saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul Nya dan (dari) berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.' Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At Taubah 9:24).<br /><br />Rasulullah saw telah bersabda, Sesiapa yang mempunyai tiga sifat ini telah merasai kemanisan iman. [Yang pertama] adalah bahawa dia mencintai Allah dan Rasul Nya lebih daripada dia mencintai sesuatu yang lain...." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).<br /><br />Ini adalah salah satu daripada aspek yang terpenting di dalam Islam, namun, atas sebab-sebab tertentu, ianya tidak wujud di dalam kehidupan ramai orang Islam. Mereka melaksanakan sesuatu di dalam Islam seolah-olah Islam itu merupakan satu tugasan bukannya atas rasa cinta kepada Allah swt. Apabila Allah swt memerintahkan kita supaya melakukan sesuatu, seperti menjadi saksi kepada keimanan itu, kita mesti menyedari bahawa perkara itu adalah disukai oleh Allah swt, lantas atas perasaan cinta kita kepada Allah swt, kita sepatutnya berasa sangat gembira untuk melaksanakan amalan yang disukai oleh Allah swt. Akan tetapi, seperti yang telah saya katakan, perasaan ini semakin menghilang daripada ramai orang-orang Islam masa kini<br /><br />syarat kelapan: menafikan ilah selain allah<br /><br />Walaupun ianya sangat jelas menerusi perkataan-perkataan di dalam kalimah Syahadah itu, ia masih kelihatan tidak jelas kepada kebanyakan orang yang membuat pengakuan Syahadah ini. Oleh itu, saya akan membincangkannya di sini.<br /><br />Di dalam surah al-Baqarah, Allah swt telah mengingatkan kita dengan jelas akan aspek Syahadah yang penting ini. Syahadah itu bukanlah semata-mata suatu Pengakuan tetapi ia adalah kedua-duanya, Pengakuan dan Penafian.<br /><br />Firman Allah swt, ...Kerana itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut (Syaitan dan apa sahaja yang disembah selain Allah swt) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus... (Al Baqarah 2:256).<br />Malah Rasulullah saw juga menjelaskan perkara ini apabila baginda menyatakan Sesiapa yang mengatakan bahawa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan menafikan segala yang disembah melainkan Allah, maka harta dan jiwanya dijaga dan perhitungan adalah dengan Allah (Hadis Riwayat Muslim).<br /><br />Walaupun syarat ini sepatutnya jelas sekali kepada sesiapa yang melafazkan kalimah Syahadah, kita masih boleh melihat Muslim yang melafazkan kalimah Syahadah tetapi kemudiannya melakukan amalan yang termasuk dalam maksud penyembahan untuk sesuatu selain daripada Allah swt. Kita boleh melihat mereka pergi ke kubur-kubur dan menyembah penghuninya. Mereka akan melaksanakan amalan-amalan peribadatan, bukan untuk Allah swt, tetapi untuk 'wali-wali' yang telah meninggal dunia itu. Syahadah jenis apakah yang dibuat oleh mereka ini? Adakah Syahadah mereka akan bermakna di Hari Perhitungan selagi mana mereka percaya bahawa amalan peribadatan boleh dilaksanakan untuk selain daripda Allah SWT?<br /><br />syarat kesembilan: setia padanya hingga akhir hayat<br /><br />Ini adalah satu kemestian untuk Syahadah itu bermakna kepadamu di akhirat nanti. Kita tidak boleh bergoyang kaki dan berharap pada apa yang kita lakukan pada masa lalu. Tidak, malah, Syahadah itu mestilah menjadi panji dirimu sehinggalah kematianmu.<br /><br />Rasulullah saw telah bersabda, Seorang lelaki menghabiskan masa yang lama dengan melakukan amalan-amalan ahli Syurga dan kemudiannya dia dia menamatkan amalannya dengan amalan ahli Neraka. Dan seorang lelaki menghabiskan masa yang lama dengan melakukan amalan-amalan ahli Neraka dan kemudiannya dia menamatkan amalannya dengan amalan ahli Syurga. (Hadis Riwayat Muslim).<br /><br />Dalam Hadis yang lain Rasulullah saw telah bersabda, Demi Dia yang tidak ada Ilah melainkan Nya, seorang dari kamu melakukan amalan-amalan Syurga sehingga hanyalah sedepa diantara dia dan Syurga dan kemudiannya buku itu (qada' dan qadar) menentukannya dan dia melakukan amalan-amalan ahli Neraka dan diapun memasukinya (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).<br /><br />Dan Firman Allah swt di dalam Al Quran, Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada Nya; dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (Ali Imran 3:102).<br /><br />kesimpulan pra syarat pengakuan keimanan<br />Saudara-saudaraku sekalian, inilah syarat-syarat Syahadah itu. Ini adalah aspek-aspek Syahadah yang perlu setiap dari kita lihat dalam diri kita dan bertanya pada diri kita, Adakah Syahadahku memenuhi syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan ini? Adakah aku melafazkannya dengan penuh keikhlasan, kejujuran dan rasa cinta pada Allah swt? Adakah aku melafazkannya berdasarkan maksudnya yang sebenar? Adakah aku benar-benar menafikan thoghut?....<br />Soalan-soalan ini perlu kita tanyakan pada diri kita sekarang, sebelum kita dihadapkan di hadapan Allah swt. Inshaallah, kita tanyakan soalan-soalan ini pada diri kita dan semoga kita mendapat semua jawapan yang tepat. Ataupun, jika kita melihat apa-apa kelemahan, kita akan berusaha untuk menghilangkan kelemahan itu. Mudah-mudahan, dengan rahmat Allah swt, di hari akhirat nanti, Syahadah kita akan menjadi kunci-kunci kita ke syurga dan pintu-pintu syurga akan terbuka luas untuk kita dan kita dapat hidup selama-lamanya dalam kenikmatan yang Allah swt kurniakan di syurga, dan Allah swt reda akan kita.<br /><br />Sekali lagi, soalnya bukanlah kita sekadar mengetahui akan syarat-syarat ini. Malah, kita boleh bertemu dengan ramai Muslim yang menghafal syarat-syarat ini, akan tetapi apibila dilihat akan amalan dan sikap mereka, jelas sekali syarat-syarat ini tidak membuahkan apa-apa kesan ke atas mereka. Ini bermakna, tidak kira sebaik mana dia mengetahui dan menghafal akan syarat-syarat ini, dia sebenarnya belum menyempurnakannya. Sesungguhnya, pengetahuannya itu akan menjadi saksi ke atasnya nanti kerana dia jelas sekali mengetahui akan syarat-syarat yang mesti disempurnakannya akan tetapi dia telah tidak menyempurnakannya semasa hidupnya.<br /><br />Wallahu'alam bis showab! <br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-59744869511634342102009-03-07T03:37:00.001-08:002009-03-07T05:17:03.997-08:00Menolak sekularisme1. Pengertian Sekularisme<br />Sekularisme (secularism) secara etimologis menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age). Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai oleh setan.*1)<br /><br />Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.*2)<span class="fullpost"><br /><br />Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai:<br /><br />“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.”<br /><br />(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan)<br /><br />Atau sebagai:<br /><br />“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education.”<br /><br />(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik).*3)<br /><br />Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud din ‘an al hayah), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.*4)<br /><br />Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu:<br /><br />Pertama, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, harus mengikuti ketentuan para gerejawan Katolik.<br /><br />Kedua, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.<br /><br />Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat.*5) Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.*6)<br /><br /><br />2. Sekularisme: Asas Ideologi Kapitalisme<br /><br />Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (ide dasar), yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme juga merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yaitu ide dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview/weltanschauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan qa’idah fikriyah, yakni sebagai basis pemikiran yang menjadi landasan bagi ide-ide cabangnya.<br /><br />Dalam kedudukannya sebagai qa’idah fikriyah ini, sekularisme menempati posisinya sebagai basis bagi ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas filosofis yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam ideologi kapitalisme (peradaban Barat), seperti demokrasi (sebagai sistem pemerintahan), kapitalisme (sebagai sistem ekonomi), liberalisme, dan sebagainya.*7)<br /><br />Sebagai qaidah fikriyah, kemunculan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme akan dapat dilacak kelahirannya dari sekularisme. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang menjadikan manusia mempunyai wewenang untuk membuat aturan hidupnya sendiri. Dengan perkataan lain, demokrasi menjadikan rakyat sebagai source of power (sumber kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), sekaligus sebagai souce of legislation (sumber penetapan hukum).*8)<br /><br />Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk). Dari kebebasan kepemilikan inilah, pada gilirannya, lahir sistem ekonomi kapitalisme.*9)<br /><br /><br />3. Kritik Atas Sekularisme<br /><br />Umat Islam wajib menolak sekularisme, paling tidak karena 4 (empat) alasan berikut, yaitu:<br /><br />Pertama, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal. Dengan kata lain, sekularisme tidak sejalan dengan akal (nalar) sehat manusia. tapi lebih didasarkan pada sikap jalan tengah.<br /><br />Kedua, sekularisme tidak sesuai dengan fitrah manusia, karena sekulerisme menempatkan manusia pada posisi Tuhan yang Maha berkuasa untuk mengatur kehidupan manusia yang sedemikian kompleks. Padahal manusia adalah makhluk yang lemah untuk bisa mengatur kehidupan manusia.<br /><br />Ketiga, sekularisme telah melahirkan berbagai ide yang gagal dalam praktik yang malah menimbulkan penderitaan pedih pada manusia, misalkan ide demokrasi dan ekonomi kapitalisme.<br /><br />Keempat, sekularisme bertentangan dengan Islam.<br /><br />Argumen pertama hingga ketiga, adalah berupa dalil-dalil yang rasional (dalil aqli). Sedang argumen keempat, adalah berupa dalil-dalil naqli (dalil syar’i).<br /><br />3.1. Sekularisme Tidak Memuaskan Akal<br /><br />Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Al Hamlah al Amirikiyah li Al Qadha` ‘ala Al Islam (1996) sekularisme sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang dihasilkan oleh logika sehat.<br /><br />Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian jalan tengah atau kompromistik, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 s/d ke-15 M), misalnya Thomas Aquinas, St. Agustine, Tertullian, dan St. Jerome, untuk menundukkan segala urusan kehidupan menurut ketentuan agama Katolik. Sedangkan yang kedua, adalah ide sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Tuhan dan agama. Mereka itu misalnya Machiavelli (w. 1527 ) dan Michael Mountaigne (w. 1592). Contoh lainnya adalah Nietzsche (w. 1778) yang menyatakan, “Orang liberal harus mengakui, bahwa tuhan telah mati (God is dead)”.*10) Ludwig Feurbach (w. 1872) misalnya, menyatakan bahwa, “God is man, and man is God.” (Tuhan itu sebenarnya adalah manusia, dan manusia itu adalah Tuhan). Feurbach juga menyatakan, “Religion is the dream of human mind.” (Agama adalah impian dari pikiran manusia).*11)<br /><br />Walhasil, ide sekularisme merupakan jalan tengah di antara dua sisi ide ekstrem tadi, yakni ide yang mengharuskan ketundukan pada agama secara mutlak, dan ide yang menolak eksistensi agama juga secara mutlak. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Jadi, sekularisme, bisa diumpamakan jalan tengah dari dua ide yang tidak mungkin dicari titik tengahnya. Misalkan, di satu sisi kita katakan, “Saat ini saya ada di ruang ini.” Sedang di sisi lain, “Saat ini saya tidak ada di ruang ini.” Mungkinkah ada jalan tengah di antara dua ide yang sangat bertolak belakang ini? Jika ada jalan tengahnya, jelas ide itu tidak masuk akal.<br /><br />Jadi, jelaslah bahwa sekularisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Maka dari itu, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal.<br /><br />3.2. Sekularisme Tidak Sesuai Fitrah Manusia<br /><br />Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul Islam (2001) mengatakan bahwa sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada manusia, akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya.<br /><br />Sebagai contoh ketidakmampuan manusia ini, bisa kita saksikan sistem hukum di Indonesia yang melahirkan banyak pertentangan dan kontradiksi. Di Indonesia diterapkan 3 sistem hukum,yaitu hukum adat, hukum sipil (warisan Belanda), dan hukum Islam. Akibat beragamnya sistem hukum ini, timbul banyak problem, antara lain adanya kontradiksi hukum positif dengan Syariah Islam. Hukum pidana (KUHP) peninggalan penjajah, falsafah yang mendasarinya sangat bertolak belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan kesusilaan, KUHP pasal 284 berbunyi: “Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana.” Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah (berstatus suami atau isteri). Maka, pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah (fornication), tidak melarang homoseksual, dan tidak melarang hubungan seksual dengan binatang (bestiality).*12)<br /><br />Kontradiksi ini lahir karena akal manusia dianggap hebat dan super sehingga berani menerapkan berbagai sistem hukum secara campur aduk, berasaskan sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang seharusnya mengakui kelemahannya, sehingga akhirnya mau berhukum kepada aturan dari Allah semata. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan dari manusia adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, sekularisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia.<br /><br />3.3. Sekularisme Melahirkan Ide Gagal Dan Membahayakan Manusia<br /><br />Sekularisme antara lain melahirkan ide demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam praktiknya secara empiris, kedua ide ini telah gagal. Tidak membawa kepada kebahagiaan dan kebaikan untuk manusia, tetapi justru menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang penderitaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Mari kita lihat data-datanya.<br /><br />A. Kegagalan Demokrasi<br /><br />Demokrasi yang merupakan anak kandung sekularisme, sebenarnya lebih banyak menyajikan ilusi dan tragedi yang mengerikan daripada kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Di AS sendiri, demokrasi telah menemui kegagalannya yang tragis.<br /><br />AS yang oleh Alexis de Tocqueiville sebagai “guru” demokrasi kini sangat jauh dari demokrasi. Harian AS USA Today (25/4/2003) lalu melaporkan, AS kini tak sepatutnya lagi mengklaim diri sebagai negara paling demokrastis. Mengapa? Karena berkaitan dengan invasi AS ke Irak, sejumlah kasus menunjukkan AS tidak demokratis justru di negaranya sendiri.*13) Sebagai catatan, demo yang menentang invasi AS itu hingga 15 Pebruari 2003 setidaknya mencapai 15 juta orang di 600 kota di seluruh dunia. Tapi semua upaya yang konon demokratis itu menemui kegagalan justru karena sikap AS yang mengabaikan aspirasi dunia seraya tetap ngotot untuk menghancurkan Irak.<br /><br />Yang lebih gila lagi, seperti dicatat Johan Galtung, intervensi AS ke Irak itu adalah yang ke-69 sejak 1945, dan yang ke-238 sejak Thomas Jefferson pada tahun 1804 mengawali perangnya terhadap kaum muslimin yang dulu disebut sebagai “perompak” dan kini disebut Libya. Sejak tahun 1945 itu tercatat 12 hingga 16 juta manusia terbunuh. Dan sejak tahun 1947, telah tewas sebanyak 6 juta jiwa karena ulah CIA.<br /><br />Dan itu belum berakhir, sebab Wakil Presiden Dick Cheney mengumumkan, masih akan ada perang-perang lain yang menurut data BBC akan mencapai 60 negara. JINSA (Institut Yahudi untuk Urusan Keamanan Nasional) di Washington memiliki rencana perubahan rezim pemerintahan di 22 negara Arab.*14)<br /><br />Itulah wajah nyata dari demokrasi. Ide demokrasi yang muluk-muluk seperti egalitarian (kesetaraaan), keadilan, toleransi, dan sebagainya hanyalah utopia. Demokrasi telah gagal. Gagal.<br /><br />B. Kegagalan Ekonomi Kapitalisme<br /><br />Kapitalisme sebagai sistem ekonomi juga merupakan anak kandung sekularisme. Prinsip-prinsip yang diajarkannya seperti kebebasan individu, persaingan bebas, mekanisme pasar, dan sebagainya ternyata telah menghancurkan dunia. Kalaupun ada yang untung, itu hanya dinikmati oleh mereka yang kuat. Sedangkan mayoritas manusia yang lemah, harus rela menderita dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan akibat kapitalisme. Hal ini bisa dibuktikan, baik di AS maupun di belahan bumi lainnya. Berikut sekilas data-datanya*15):<br /><br />-Kemiskinan dan Kesenjangan<br /><br />Tren kemiskinan semakin memburuk akibat kapitalisme. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar sehari meningkat dari 1,197 milyar jiwa pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar jiwa pada tahun 1997 (20% dari penduduk dunia). Sementara 1,6 milyar jiwa (25%) penduduk dunia lainnya hidup antara 1-2 dolar perhari. (The United Nations Human Development Report, 1999).<br /><br />Kesenjangan pendapatan antara 1/5 penduduk dunia di negara-negara kaya dengan 1/5 penduduk di negara-negara termiskin meningkat 2 kali lipat pada tahun 1960-1990 dari 30:1 menjadi 60:1. Pada 1998 meningkat menjadi 78:1. (The United Nations Human Development Report, 1999).<br /><br />Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan peningkatan jumlah rumah tangga tidak proposional pada tingkatan yang teramat kaya, tanpa distribusi bagi yang miskin… Dari 1988-1993, pendapatan 10% penduduk termiskin di dunia merosot lebih dari 1/4nya, sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya di dunia meningkat 8%. (Robert Wade, The London School of Economics, The Economist, 2001).<br /><br />Dua puluh tahun lalu, perbandingan pendapatan rata-rata di 49 negara terbelakang dengan pendapatan negara-negara terkaya adalah 1:87. Saat ini menjadi 1:98. (Kevin Watkins, International Herald Tribune, 2001).<br /><br />Total kekayaan orang-orang yang mempunyai aset minimal 1 juta dolar meningkat hampir 4 kali lipat pada 1986-2000 dari 7,2 trilyun dolar menjadi 27 trilyun dolar. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global dan bisnis dotcom saat ini, Merril Lynch memprediksikan bahwa kekayaan mereka meningkat 8% setiap tahunnya dan diperkirakan tahun 2005 mencapai 40 trilyun dolar. (Merril Lynch-Cap Gemini, 2001).<br /><br />Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 milyar dolar menjadi lebih dari 1 trilyun dolar. Aset 3 orang terkaya lebih besar dari gabungan GNP 48 negara terkebelakang. Jumlah milyuder meningkat 25% dua tahun terakhir menjadio 475 orang dengan nilai kekayaan lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia. (The United Nations Human Development Report, 1999).<br /><br />Sebanyak 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa, sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja. (The United Nations Human Development Report, 1999).<br /><br />-Kelaparan & Kekurangan Gizi<br /><br />Di seluruh dunia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat kurngnya kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang tidak memadai. (Shukor Rahman, Straits of Malaysia Times, 2001).<br /><br />Kelaparan disebabkan oleh kenyataan bahwa pengembangan perdagangan dunia lebih dititikberatkan pada negara-negara Utara (negara-negara maju), sementara perluasan utang lebih diarahkan ke negara-negara Selatan (negara-negara berkembang). (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).<br /><br />Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16%. Peningkatan tersebut belum pernah terjadi. (United Nations Food and Agriculture Organization, 1994).<br /><br />Pada tahun 1997, 78% anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan gizi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-negara yang mengalami surplus pangan. (United Nations Food and agriculture Organization, 1998).<br /><br />Sementara 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995 India mengekspor gandum dan tepung terigu dengan nilai $ 625 juta, beras 5 juta ton dengan nilai $ 1,3 milyar. (Institute for Food and Development Policy, Backgrounder, Spring 1998).<br /><br />Dewasa ini 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 milyar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit pun. (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).<br /><br />Pada tahun 1997, hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar dililit kelaparan. Sementara itu, pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak bisa memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. (US Departement of Agriculture, Food Insecurity Report, 1999).<br /><br />Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya diperkirakan bertambah besar hingga 3%, dari 1,1 milyar pada tahun 1998 menjadi 1,3 milyar orang pada tahun 2008. 2/3 penduduk Afrika Sub-Sahara dan 40% penduduk Asia akan mengalami kekurangan pangan pada tahun 2008. (US Departemen of Agriculture, Food Security Asessment, 1999).<br /><br />Setiap hari 11 ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari 800 juta menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70% di antara mereka adalah wanita dan anak-anak. (Shukor Rahman, World Food Program, New Staits of Malaysia Times, 2001).<br /><br />IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru ataupun rudal tetapi dengan wabah kelaparan. (Carlos Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).<br /><br />Itulah sekilas daya-data empiris tentang penderitaan umat manusia akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme. Masihkah kita percaya pada kapitalisme? Pada sekularisme?<br /><br />3.4.Sekularisme Bertentangan Dengan Islam<br /><br />Kebatilan sekularisme di samping dapat dibuktikan secara dalil aqli, seperti diuraikan sebelumnya, juga dapat didasarkan pada dalil naqli, yaitu ditinjau dari segi-segi berikut:<br /><br />A. Sekularisme Adalah Ide Kufur<br /><br />Sekularisme adalah ide kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah.*16) Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan. Allah SWT berfirman:<br /><br />“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 44).<br /><br />“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 60).<br /><br />B.Sekularisme Bertentangan Dengan Khilafah<br /><br />Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW:<br /><br />“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].*17)<br /><br />Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah. Abdurrahman Al Jaziri telah berkata:<br /><br />“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...”*18)<br /><br />Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang.<br /><br />Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah :<br /><br />[alaa innal kitaab was sulthoona sayaftariqooni falaa tufaariqul kitaaba]<br /><br />“Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an!” [HR. Ath Thabrani].*19)<br /><br />Sabda Rasulullah SAW:<br /><br />[latanqudhonna ‘urol islami ‘urwatan ‘urwatan fakullamaa intaqadhat ‘urwatun tasyabbatsan naasu billatii taliihaa fa-awwaluhunna naqdhon al hukmu wa aakhiruhunna ash sholaatu]<br /><br />“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim].*20)<br /><br />C. Umat Islam Menyerupai Kaum Kafir (tasyabbuh bi al kuffar)<br /><br />Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara). Disebutkan dalam Injil:<br /><br />“"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” (Matius 22 : 21).<br /><br />Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen-- juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regime), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain.*21)<br /><br />Namun bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara. Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi al kuffar).<br /><br />Sabda Rasulullah SAW:<br /><br />[man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum]<br /><br />“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut.” [HR. Abu Dawud].*22)<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits ini:<br /><br />“Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai (tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka...”*23)<br /><br />Dengan demikian, pada umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara.*24) (Nauzhu billah min dzalik!)<br /><br /><br />4. Kesimpulan<br /><br />Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa sekularime wajib ditolak oleh kaum muslimin, karena sekularisme tidak masuk akal, tidak sesuai fitrah manusia, melahirkan kemudharatan dalam praktiknya, serta bertentangan dengan Islam.<br /><br />Sekularisme adalah ide kufur yang wajib dihancurkan oleh kaum muslimin. Sekulerisme adalah thaghut yang kita telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Sekulerisme wajib dihapuskan dari muka bumi, dalam segala bentuk dan manifestasinya. [ ]<br /><br /><br />Catatan Kaki:<br /><br />1. Lihat Larry E. Shinner, “The Concept of Secularization in Empirical Research”, dalam William M. Newman, The Social Meanings of Religion, (Chicago : Rand McNally College Publishing Company, 1974), hal. 304-324.<br /><br />2. Lihat Eric S. Waterhouse, “Secularism”, Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. XI, (New York : Charles Sribner’s Sons Sons, 1921), hal. 347-350.<br /><br />3. Lihat “Islam Vs Secularism”, Al Jumuah, [The Friday Report], vol III, no. 10, (http://www.islaam.com.)<br /><br />4. Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah, 1980), hal. 73.<br /><br />5. Ahmad Al Qashash, Bab II “Falsafah Ah Nahdhah”, Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah, 1995).<br /><br />6. Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhamul Islam, 2001, hal.28.<br /><br />7. Ustadz Hafizh Shalih, “Al Aqidah wa Al Qa’idah Al Fikriyah”, An Nahdhah, (Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyah, 1988), hal. 64-88; Ahmad Athiyat, “Ar Ra`sumaliyah Mabda`” Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), hal.91-94.<br /><br />8. Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001, hal.27.<br /><br />9. Lihat Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990.<br /><br />10. Ahmad Athiyat, Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), hal. 121.<br /><br />11. Adnin Armas, Menelusuri Jejak Sekularisasi, hal. 1, makalah Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam, Jakarta, 27-29 Pebruari 2004.<br /><br />12. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 84; lihat juga Dadang Kusmayadi & Pambudi Utomo, “Hukum Indonesia Menghalalkan Zina” http://www.hidayatullah.com/2001/06/khusus1.shtml; Topo Santoso, “Nasib Kartini dan TKI”, Media Indonesia, Senin 13 Maret 2000, hlm. 8.<br /><br />13. Suparman & S. Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika, (Yogyakarta : UII Press, 2003), hal. ix.<br /><br />14. Ibid.<br /><br />15. Sumber Data : The International Forum on Globalization, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003).<br /><br />16. Muhammad Khayr Haikal, Al Jihad wal Qital fi Asy Siyasah Asy Syar’iyah, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), I/131.<br /><br />17. Hadits Shahih. Sahih Muslim, III/340, hadits. No. 1851.<br /><br />18. Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, V/308.<br /><br />19. Abdurrahman Al Baghdadi,. “Al Khulafa` Alladzina Hakamu Al ‘Alama fi Jami’i Ushuril Islam”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H / Januari 1995), hal. 14.<br /><br />20. Abdurrahman Al Baghdadi, “Dzikra Hadmil Khilafah Al Islamiyah : Taqwidhul Khilafah Al Islamiyah”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H / Januari 1996), hal.13.<br /><br />21. Yusuf Al Qaradhawi, Al Hulul Al Mustawradah wa Kayfa Ja`at ‘Ala Ummatina, hal. 113-114.<br /><br />22. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Lihat Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/175.<br /><br />23. Ali Belhaj, Ad Damghah Al Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah, hal. 19.<br /><br />24. Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/175.<br /><br />hayatulislam.net - Publikasi 25/04/2004<br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-85720634605231021432009-03-07T02:47:00.000-08:002009-03-07T02:48:58.778-08:00Tiada Khilafah Tanpa JihadSurat Terbuka Untuk HTI<br /><br />Hizbut Tahrir (HT) membajak persoalan Khilafah (seolah-olah yang bicara dan memperjuangkan Khilafah hanya HT) tetapi mereka bukan satu-satunya yang dakwah dan berjuang untuk mendirikan Khilafah. Bahkan, HT bukanlah kelompok utama berkaitan dengan persoalan Khilafah dewasa ini. Untuk itu, menentang kesalahan HT tidak berarti menentang Khilafah. 1<br />Mengapa Menulis Surat Terbuka Untuk HTI ?<br /><br />Pada tanggal 12 Agustus 2007 mendatang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional (KKI). Rencananya KKI akan menghadirkan pembicara dari Eropa, Australia, Palestina, Sudan, Jepang, dan Indonesia, juga tokoh-tokoh nasional dari NU, Muhammadiyah, MUI, Darut Tauhid, Menpora, dan Ormas-ormas Islam. Konferensi ini rencanaya akan digelar di Stadium Utama Gelora Bung Karno Jakarta, dan panitia menargetkan kegiatan ini akan dihadiri oleh 120.000 umat Islam. 2<br /><br /><span class="fullpost"><br />Islam adalah Nasehat. Sebagaimana hadits Nabi SAW. :<br />“Ad-dien adalah nasehat, kami katakan: untuk siapa? Beliau bersabda: untuk Allah, Kitab-Nya,Rasul-Nya dan pemimpin-pemimpin muslimin serta muslim umumnya.” (HR Muslim)<br /><br />Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan Imam Al Bukhari dan Imam Muslim :<br />“Dari Jabir bin Abdillah radliallahu 'anhu berkata: Aku membai’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mendirikan shalat, tegakkan zakat dan menasehati bagi setiap muslim.” (Mutafaq ‘alaih)<br /><br />Tidak diragukan lagi bahwasanya menerangkan kesalahan-kesalahan dalam urusan ad-dien dan menjelaskan secara terbuka tentang hal tersebut serta memberikan sanggahan terhadapnya adalah merupakan sebesar-besar nasihat bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan seluruh kaum muslimin, sebab dengan mendiamkan kesalahan tersebut agama manusia akan rusak dan seterusnya akan membawa kepada rusaknya dunia mereka dan akhiratnya.<br /><br />1 Jargon ini dikeluarkan oleh situs www.inside-ht.com yang merupakan situs kumpulan mantan (orang-orang yang keluar atau meninggalkan HT) syabab (anggota) dan petinggi HT dari seluruh dunia.<br /><br />2 Informasi akan diselenggarakannya KKI tersebar luas di situs-situs resmi HT bahkan diiklankan di beberapa media seperti HU Republika, dan lain-lain.<br /><br />Untuk alasan di atas, dan atas idzin dan kehendak-Nya pula, surat terbuka untuk HTI ini bisa kami tulis sebagai nasihat dan kritik kepada HTI khususnya dan juga umat Islam secara umum yang bercita-cita mulia menegakkan khilafah Islamiyyah di muka bumi ini. Menurut kami dalam mengemban cita-cita mulia menegakkan khilafah Islamiyyah banyak syubhat dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan HTI terutama dalam masalah pokok dan mendasar, yakni masalah tauhid dan jihad. Padahal, dua masalah pokok tersebut, yakni tauhid dan jihad adalah pilar utama penegakan khilafah Islamiyyah, sebagaimana yang nantinya akan kami jelaskan, Insya Allah.<br /><br />Kewajiban Menegakkan Khilafah<br /><br />Kaum muslimin bersepakat atas kewajiban beramal dalam rangka menegakkan Khilafah Rasyidah dan mengangkat pemimpin umum (Imam Al-‘Am) sebagai khalifah yang memimpin kaum muslimin di seluruh dunia.<br /><br />Rasulullah saw. Bersabda :<br /><br />“Siapa yang mati sedang tidak ada atasnya imam maka ia mati dengan mati jahiliyah.” (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, Syaikh Nashir berkata dalam At-Takhrij, “Isnadnya Hasan” : 1057).<br /><br />Beliau saw. Juga bersabda:<br /><br />“Siapa yang mencabut tangannya dari ketaatan maka dia bertemu Allah di hari kiamat seraya tidak memiliki hujjah, dan siapa yang mati sedang di lehernya tidak ada bai’at maka dia mati dengan mati jahiliyah.” (Muslim)<br /><br />An Nawawiy berkata dalam syarahnya terhadap shahih Muslim 12/205,<br /><br />“Mereka bersepakat bahwa wajib atas kaum muslimin untuk mengangkat khalifah.”<br /><br />Al Mawardy berkata dalam Al Ahkam As Sulthaniyyah,<br /><br />“Mengangkat imam bagi orang yang mampu menegakkannya di tengah umat adalah wajib dengan berdasarkan ijma.”<br /><br />Dari sebahagian hujjah di atas menunjukkan kepada kita bahwa menegakan khilafah saat ini begitu penting dan sangat wajib. Kewajiban ini dibebankan kepada semua orang yang dapat mengerahkan segala kekuatan demi tujuan besar ini, dengan catatan, sesuai kemampuannya.<br /><br />Alhamdulillah, sebagaimana kita ketahui HTI adalah salah satu (bukan satu-satunya) yang mengkonsentrasikan dirinya untuk menegakkan khilafah. Sayangnya, syi’ar khilafah dan khalifah yang diangkat HTI penuh dengan pemahaman yang buruk dan menyimpang yang mana pemahaman tersebut justru menghantarkan kepada kebalikan dari apa yang mereka serukan. Dalam mengangkat syi’ar khilafah HTI tidak meniti jalan-jalan syar’i yang shahih yang memungkinkan mereka dapat menerapkan syai’ar yang besar ini dalam dunia nyata!<br /><br />Memang, HTI benar-benar mengkonsentrasikan pembicaraan mereka pada topik khilafah dan eksistensinya dalam pelbagai kesempatan. Usaha semacam ini patut didukung, Insya Allah. Akan tetapi, pada saat yang sama mereka (HTI) telah membatasi usaha untuk menegakkan khilafah dengan batasan-batasan, dan syarat-syarat yang tidak ada dalilnya. Sehingga, pada hakikatnya mereka ini sebenarnya tidak menginginkan khilafah ini bisa berdiri. Jadi, percuma saja biarpun diadakan Konferensi Khilafah Internasional berkali-kali, tetap saja khilafah tidak bisa ditegakkan di dunia nyata! Kenapa, karena syarat-syarat yang HTI tetapkan untuk penegakkan khilafah adalah syarat yang rusak dan justru menjadi batu sandungan terhadap setiap usaha yang bertujuan menegakkan Daulahulah Islamiyyah, atau khilafah rasyidah di atas manhaj nubuwwah secara serius.<br /><br />Di antara syarat-syarat mereka yang rusak adalah peryataan mereka bahwa khilafah itu tidak mungkin bahkan tidak boleh datang kecuali lewat jalan tholabun nushrah (meminta perlindungan), dan siapa saja yang berjuang ke arah khilafah tanpa lewat jalan ini maka perjuangannya adalah batil dan tertolak.<br /><br />Pendapat ini menghantarkan mereka kepada persyaratan lain mereka yang juga batil, yaitu ucapan mereka yang masyhur : Tidak ada jihad kecuali setelah adanya khilafah, dan jihad apa saja sebelum adanya khilafah maka ia adalah batil dan tidak disyari’atkan.<br /><br />Selain itu, syubhat dan kebatilan mereka yang juga fatal bagai upaya penegakkan khilafah adalah dalam masalah tauhid. Padahal kita tahu bahwa tamkin, kemenangan, istikhlaf (pemberian kepercayaan untuk memimpin) dan keamanan serta kebaikan yang lain yang kita damba dan kita cari, berdiri di atas satu syarat, yaitu adanya penerapan tauhid yang shahih, yang disepakati salafus sholeh umat ini. Sementara itu HTI dalam upayanya menegakkan khilafah tidak mendasari dirinya dengan tauhid yang shahih, bahkan terjerumus ke dalam pemahaman tauhid yang batil, baik dari pemahaman Jahmiyyah, Asy’ariyyah, bahkan Mu’tazilah yang sesat.<br /><br />Insya Allah kami akan merinci dan membahas syubhat dan kesalahan-kesalahan HTI dalam dua masalah pokok tersebut, yakni masalah tauhid dan jihad dimana keduanya merupakan pilar utama penegakan khilafah Islamiyyah.<br />Pertama adalah Tauhid<br /><br />Penerapan tauhid tergolong sebab paling kuat untuk meraih kemenangan, peneguhan dien ini serta diperolehnya kekuasaan, kebalikannya juga seperti itu, karena diantara sebab terbesar kekalahan, kegagalan dan kehinaan adalah lenyapnya tauhid dan tidak terwujudnya hal tersebut.<br /><br />Allah swt. berfirman :<br /><br />“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS An Nur : 55)<br /><br />Ibnu Abbas ra berkata : Ketika Nabi saw. Mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya :<br /><br />“Sesungguhnya kamu akan mendatangi sebuah kaum dari kalangan ahlul kitab, maka hendaknya pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah agar mereka mengesakan Allah ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk melaksanakan sholat lima waktu.” (HR. Al Bukhari)<br /><br />Hadits ini menunjukkan bahwa tauhid yang diterima dengan cara mengikrarkan dua kalimat syahadat itu adalah kewajiban yang paling pertama, dan sesungguhnya khitob (perintah) yang berupa kewajiban-kewajiban dan syari’at-syari’at tidak terwujud kecuali setelah mengikrarkan keimanan dan tauhid, termasuk amal menegakkan khilafah.<br /><br />Apakah HTI telah merealisasikan hal tersebut, yakni menerapkan tauhid yang shahih (mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Ku), dalam manhaj pergerakannya, kemudian memohon kepada Allah ta’ala kemenangan, peneguhan dien ini serta kekuasaan ?<br /><br />Sayangnya, tauhid HTI bertolak belakang dengan tauhid salafus sholeh-ahlus sunnah wal jama’ah, khususnya dalam masalah-masalah penting dan menentukan. Dalam masalah al iman misalnya, HTI berpendapat bahwa iman itu adalah pembenaran yang pasti saja (tasdhiqul jazm), siapa saja yang mendatangkan pembenaran yang pasti maka dia itu muslim mu’min dan tergolong calon ahli surga. Pendapat ini tentu saja bukan berasal dari salafus sholeh-ahlus sunnah wal jama’ah, melainkan berasal dari firqah sesat kaum Jahmiyyah.<br /><br />Pendapat batil HTI tentang al iman ini berkonsekuensi tidak memungkinkannya untuk bersikap tegas dalam menentukan status para penguasa masa kini di negeri kaum muslimin dan mengakibatkan pula pembelaannya kepada bala tentara toghut pada masa sekarang. Terutama, yang ada di negeri-negeri kaum muslimin, karena masih menganggap mereka islam dan beriman (karena iman hanya pembenaran yang pasti saja), sehingga HTI membantah semua pendapat yang mengkafirkan bala tentara toghut itu.<br /><br />Pendapat batil ini juga berkonsekuensi pada kesahalan sikap al wala wal bara (kawan dan lawan) yang diterapkan oleh HTI. Padahal sebagaimana kita fahami, masalah al wala wal bara adalah masalah keimanan yang penting dan sangat menentukan dalam Islam, yakni menyangkut prinsip-prinsip yang pasti.<br /><br />Realita yang terjadi akibat ketidakjelasan prinsip-prinsip al wala wal bara (akibat ketidakjelasan definisi dan penerapan al iman) mengakibatkan HTI akhirnya bekerjasama dengan kaum sekuler maupun moderat dalam memperjuangkan khilafah bahkan dengan orang-orang murtad. Fenomena ini terjadi di mana pun keberadaan mereka, di Inggris, mereka bekerjasama dengan organisasi-organisasi sekuler seperti MCB, IFE, MAB dan sebagainya.<br /><br />DI negeri ini, banyak pertanyaan dari umat tentang kiprah dan sepak terjang HTI dalam memperjuangkan khilafah terutama ketika HTI bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan kufur dalam aksi-aksi demonstrasi (masiroh) yang banyak mereka lakukan sekarang ini, termasuk mengadakan KKI kali ini. Ketika hal tersebut ditanyakan, maka mereka menjawab bahwa dakwah sudah mencapai langkah-langkah yang lebih maju ke depan, dan hal itu (bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan murtad) merupakan langkah taktis dan strategis dakwah. Syar’i-kah langkah dakwah tersebut ? Pernahkah hal tersebut (berkerjasama atau ber wala dengan partai-partai sekuler dan murtad) dilakukan oleh Nabi saw. dan merupakan manhaj dakwah beliau ? Bukankah HTI selalu mengatakan bahwa dakwah mereka selalu mencontoh dakwah Rasulullah saw. dan tidak bergeser sedikit pun darinya ? Bukankah Allah SWT. berfirman :<br /><br />“Dan siapa saja yang tawalliy (ber- wala) kepada mereka di antara kalian maka sesungguhnya ia adalah termasuk golongan mereka.” (QS Al Maidah : 51)<br /><br />Selain masalah di atas, pendapat batil dan bertentangan yang sering dilontarkan oleh HTI adalah penolakannya dalam hadits-hadits ahad dalam masalah keimanan atau aqidah. Hal ini sudah masyhur di kalangan mereka dan banyak pula diketahui ummat, meski sering juga mereka bantah dengan perkataan bahwa mereka sebenarnya tidak menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah atau keimanan, hanya saja keimanan mereka terhadap hal itu tidak sampai pasti (jazm) alias tidak sampai 100 %. Hal ini tentu saja (menolak hadits ahad dalam masalah keyakinan) bukanlah ajaran Islam dan bukan pula darinya, akan tetapi berasal dari firqah Mu’tazilah yang sesat!<br /><br />Terhadap tauhid asma wa sifhat Allah, HTI melakukan tahrif dan takwil, seperti tangan Allah yang diartikan sebagai kekuatan atau kekuasaan.. Tentu saja pendapat ini juga bukan ajaran Islam dan bukan pula dari Islam, melainkan termasuk pemahaman ahlut ta’thil dan tahrif seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan yang lainnya.<br /><br />HTI juga mengikuti firqah Asy’ariyyah dalam masalah qadar (takdir), yakni mereka mengatakan bahwa ada dua wilayah bagi perbuatan manusia, yang pertama dalam kontrol manusia dan yang kedua di luar kontrol manusia (karena berada dalam kontrol Allah), Karena itu mereka memiliki elemen Jabariyyah dalam cara berfikir.<br /><br />Hal-hal di atas adalah sebagian saja dari penyimpangan-penyimpangan HTI dalam masalah tauhid. Tidak pada tempatnya jika diungkapkan secara rinci dan seluruhnya permasalahan tersebut. Dalam hal ini cukuplah pemaparan ringkas di atas menjadi bukti bahwa masalah penerapan tauhid yang merupakan sebab paling kuat untuk meraih kemenangan, peneguhan dien ini serta diperolehnya kekuasaan (QS An Nuur : 55), tidak bisa dipenuhi oleh HTI. Bahkan sebaliknya, prinsip-prinsip dan pandangan HTI dalam masalah-masalah tauhid yang prinsip dan mendasar menyelisihi prinsip dan pandangan salafus sholeh dari umat ini. Dengan demikian, konsekuensinya yang akan didapat HTI bukanlah kemenangan dan kemuliaan, melainkan kekalahan, kegagalan dan kehinaan pada diri ummat, akibat lenyapnya tauhid yang shahih dan tidak terwujudnya hal tersebut. Wallahu’alam!<br />Thalabun Nusrah dan Jihad<br /><br />Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, HTI telah menggunakan metode tholabun nushrah yang haq namun disimpangkan penerapannya sehingga menjadi sebuah kebatilan. Mereka selalu mengatakan bahwa satu-satunya metode untuk menegakkan khilafah adalah dengan jalan tholabun nushrah (meminta dukungan) yang mana dalil melakukan ini adalah mencontoh perbuatan Nabi saw. yang meminta dukungan untuk dien dan dirinya dari kabilah-kabilah dan para pemuka bangsa Arab.<br /><br />Bila dikatakan bahwa metode thalabun nushrah itu disyari’atkan, sehingga boleh bagi gerakan Islam melaluinya bila itu mungkin baginya dan mendapatkan jalan untuk itu, maka ini adalah pendapat yang shahih yang tidak ada cacat dan tidak ada perselisihan. Hanya saja, jika dikatakan bahwa thalabun nushrah adalah syarat utama tegaknya khilafah ; yaitu tidak boleh bagi umat menelusuri jalan lain untuk nushrah dien ini dan meninggikan kalimatnya selain jalan thalabun nushrah, maka ini adalah ucapan batil dari HTI dan tidak ada satu nash syar’i shahih pun baik penegasan maupun sindiran yang pernah diturunkan, tidak juga seorang ‘alim mu’tabar dari salaf dan khalaf pun mengatakannya.<br /><br />Dengan demikian peryataan mereka bahwa khilafah tidak mungkin bahkan tidak boleh datang kecuali lewat jalan tholabun nushrah adalah batil dan tertolak. Bahkan peryataan ini akan menghantarkan kepada kebatilan berikutnya, yakni ucapan masyhur mereka bahwa Tidak ada jihad kecuali setelah adanya khilafah. (Perhatikan peryataan-peryataan HTI ini dalam kitab mereka Manhaj Hizbit Tahrir Fit Taghyir, hal 25, dan lihat juga Majalah Al-wa’ie No. 81 Tahun VII, 1-31 Mei 2007, Rubrik : SOAL-JAWAB).<br /><br />Apa yang dilakukan Nabi saw. yakni melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan) menunjukkan kebolehan hal tersebut, bukan sebuah kewajiban, apalagi sampai menetapkan sebagai syarat sah untuk menegakkan kehidupan Islam dan Khilafah Rasyidah, sehingga menolak menggunakan jalan atau metode lain, jihad misalnya. Apalagi terbukti bahwa yang mendorong Nabi saw. meminta nushrah dari kabilah-kabilah dan suku-suku Arab adalah karena lemah dan jumlah yang sedikit yang tidak cukup untuk mengemban konsekuensi dan tanggung jawab dien ini.<br /><br />Tatkala sudah memiliki kemampuan dengan adanya pertolongan dari kaum Anshar kepada Nabi saw. dan diennya, maka tidak dikenal dari Nabi saw. bahwa beliau meminta nushrah setelahnya dari seorang pun selama-lamanya.<br /><br />Lalu apakah sama kondisi ketika itu yang mendorong Nabi saw. untuk thalabun nushrah dengan kondisi umat ini yang telah mencapai satu milyar muslim ? Atau apakah sama dengan HTI yang anggotanya telah mencapai ratusan ribu bahkan jutaan ? Jika Nabi saw. memiliki ratusan ribu pengikut—sebagaimana yang dimiliki HTI—apakah akan meminta pertolongan dan berupaya mendapatkannya di tengah kabilah-kabilah dan suku-suku Arab ?<br /><br />Alasan yang selalu digunakan oleh HTI untuk selalu bersembunyi di balik thalabun nusrah adalah bukan karena Rasulullah saw. dan para sahabat tidak mampu melakukan perlawanan secara fisik, tetapi karena beliau berpegang teguh pada perintah dan larangan Allah. Hal ini dikarenakan saat itu belum ada perintah untuk melakukan perlawanan (berperang), hingga sepanjang 13 tahun di Makkah Nabi saw. terus menerus melakukan aktivitas intelektual dan politik. Dan ini dikatakan sebagai karateristik dakwah Rasulullah saw. (lihat Majalah Al-wa’ie No. 81 Tahun VII, 1-31 Mei 2007, Rubrik : SOAL-JAWAB).<br /><br />Tentu saja alasan HTI di atas menjadi batil dan bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah sempurna turun, terutama tentang wajibnya jihad (apalagi) di zaman fitnah seperti ini. Jihad menjadi prioritas dan seseorang harus ambil bagian untuk memerangi musuh-musuh Islam. Bahkan, dalam beberapa keadaan jihad hukumnya fardhu ‘ain dan orang yang meninggalkan jihad yang berhukum fardhu ‘ain itu adalah dosa besar dan fasiq.<br /><br />Keadaan-keadaan yang mana pada saat itu jihad fardhu ‘ain itu ada 3 yaitu (Lihat Kitab Kedudukan Tauhid dan Jihad karya Syekh Abdul Qadir Abdul Aziz) :<br /><br />A. Apabila dua barisan (barisan orang beriman dan barisan orang kafir) saling bertemu dan<br />dua pasukan saling berhadapan. Hal ini berdasarkan firman Alloh ta’ala yang berbunyi:<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak bergabung dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Alloh, dan tempatnya adalah Neraka Jahannam dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS Al Anfal : 15-16)<br /><br />Dan firman Alloh:<br /><br />ِApabila kalian bertemu dengan musuh maka tetap teguhlah” (QS Al Anfal : 45)<br /><br />B. Apabila musuh menyerang suatu negeri tertentu, fardlu 'ain hukumnya bagi penduduk<br />negeri tersebut untuk memerangi musuh yang menyerang tersebut. Dalil atas wajibnya hal ini adalah juga ayat-ayat di atas karena disini juga terjadi pertemuan dengan orang-orang kafir, dan pertemuan dengan sebuah kelompok yang menyerang kaum muslimin.<br /><br />C. Apabila imam melakukan istinfar (memobilisasi) suatu kaum untuk berangkat berperang, maka mereka wajib berangkat bersamanya. Karena Alloh ta’ala berfirman:<br /><br />Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah untuk berperang di jalan Alloh!", kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?”<br /><br />Hingga firman Alloh ta'ala yang berbunyi:<br /><br />“Jika kamu tidak berangkat berperang, niscaya Alloh akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih”(QS At Taubah : 38-39)<br />Dan Sabda Nabi SAW:<br /><br />“Apabila kalian diperintahkan untuk berangkat berperang maka berangkatlah.” (Muttafaqun ‘alaih).<br /><br />Inilah kondisi-kondisi di mana pada saat itu jihad hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah. dan anda dapat lihat sendiri bahwa orang-orang yang tidak melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia diancam mendapatkan kemarahan dari Alloh ta’ala dan mendapatkan siksaan, sebagaimana disebutkan dalam firman Alloh ta’ala:<br /><br />… sungguh dia mendapat kemarahan dari Alloh dan tempat kembalinya adalah Jahannam…<br /><br />Dan firman Alloh:<br />Jika kalian tidak berangkat jihad niscaya Alloh akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih.<br /><br />Oleh karena di antara tanda-tanda dosa besar itu adalah disebutkannya ancaman di akherat, maka dengan demikian setiap orang yang tidak melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia berdosa besar karena dia diancam dengan siksaan, dan pelaku dosa besar itu adalah fasiq, sedangkan orang yang fasiq gugur sifat 'adalahnya (artinya; dia tidak dapat dipercaya lagi) baik 'adalahtur riwayah (kepercayaan untuk menjadi rowi) maupun 'adalatusy syahadah.<br /><br />Sayangnya, nash syar’i dan penjelasan yang jelas dan gamblang di atas bagi HTI masih disangkal lagi, dengan argumen syubhatnya yang masyhur bahwa Tidak ada Jihad Kecuali Bersama Khalafah.<br /><br />Peryataan ini adalah bukti yang kuat tentang syubhat dan penyimpangan HTI dalam masalah jihad. Peryataan ini juga menjadi bukti penolakan HTI terhadap landasan jihad fi sabilillah dan mempersiapkan kekuatan (I’dad) serta celaan mereka terhadap landasan (jihad) Islam, karena berulang-ulang HTI menyatakan bahwa mereka adalah hizbun siyasiyun (partai politik) yang tidak menggunakan senjata dan kekerasan.<br /><br />Hal ini menunjukkan HTI tidak mengimani kekerasan, dan lontaran-lontaran lainnya yang menunjukkan celaan terhadap jihad dan berlepas diri darinya. Akan tetapi, berlepas diri dari jihad secara terang-terangan dan secara frontal bisa mendatangkan efek negatif terhadap HTI, membuat kaum muslimin yang lurus imannya berang terhadap HTI dan hal ini akan membuka aurat-aurat dan rahasia HTI di hadapan orang lain. Maka dalam penjelasan mereka, mereka tetap meyakini jihad dan mengatakan bahwa hal itu adalah sebuah kewajiban, hanya saja mereka mengatakan untuk jihad ada porsinya sendiri dan saat ini satu-satunya jalan untuk menegakkan khilafah adalah dengan jalan aktivitas intelektual dan politik. (lihat Majalah Al-wa’ie No. 81 Tahun VII, 1-31 Mei 2007, Rubrik : SOAL-JAWAB).Begitulah caranya HTI menolak jihad dengan mengganti hal itu dengan berlepas diri dari kekerasan dan penggunaan kekuatan dan senjata serta segala yang masuk dalam makna-makna dan konsekuensi-konsekuensi jihad secara pasti.<br /><br />Syubhyat yang tidak kalah pentingnya yang dimiliki HTI dalam masalah jihad dan thalabun nushrah adalah pemutarbalikkan fakta dan memalsukan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah Ibnu Ash Shamit. Padahal, di dalam hadits shahih tersebut telah meriwayatkan Ubadah Ibnu Ash Shamit, ia berkata, Nabi saw. memanggil kami, maka kami membai’atnya di antara apa yang ia ambil janjinya dari kami adalah, ‘Kalian tidak akan merampas kekuasaan dari pemegangnya, kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang di sisi kalian ada bukti di dalamnya dari Allah’.”<br /><br />Dalam riwayat Muslim, “Mereka berkata, ‘Apa boleh kami memerangi mereka?’ Beliau bersabda, ‘Tidak, selama mereka masih shalat, tidak boleh selagi mereka menegakkan shalat di tengah kalian.’<br /><br />Hadits di atas secara nyata menunjukkan adanya kewajiban memberontak kepada imamul ‘am atau pemerintah dan memeranginya bila nampak darinya kekafiran yang nyata jelas dan tak terbantahkan, yang tidak mengandung potensi berpalingnya makna dan takwil.<br /><br />Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 7/13, “Bila muncul dari penguasa kekafiran yang nyata maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya bagi orang yang mampu.”<br /><br />Al Qadli ‘Iyadl berkata dalam Syarah Muslim, An Nawawi 12/229, “Ulama bersepakat bahwa kepemimpinan itu tidak sah bagi orang kafir, dan bila muncul padanya kekafiran maka ia lepas (dari satatus pemimpin), dan ia berkata, “begitu juga andaikata ia meninggalkan shalat dan ajakan kepadanya (adzan).<br /><br />HTI menyadari bahwa hadits ini memiliki landasan dalil yang kuat yang menggugurkan pendapatnya tentang pembatasan jihad dengan syarat adanya khalifah serta menyadari bahwa hal ini akan menyebabkan para pendukung mereka dari kalangan pemuda menjadi sadar akan kewajiban jihad dan akhirnya berlepas diri dari HTI. Maka HTI pun mencoba memutarbalikkan fakta dan memutarbalikkan dalil dengan mengatakan suatu pendapat yang tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari kalangan ulama yang mu’tabar.<br /><br />HTI mengatakan bahwa hadits ini memberikan keutamaan khuruj (memberontak) dengan kekuatan terhadap penguasa muslim ketika muncul kekafiran yang nyata (kufrun bawwah) padanya. Adapun penguasa kafir yang telah bercokol pemerintahannya di negeri kaum muslimin dan memerintah dengan undang-undang kafir dan kebejatan, maka tidak boleh memberontak dengan kekuatan, dan bentuk penguasa itu tidak dimaksudkan dengan hadits itu.<br /><br />Mustafa Kemal Attaturk misalnya, sebelum pemerintahan dan kekuasaannya bercokol sehari maka boleh memeranginya. Ada pun setelah sehari atau lebih kekuasaan kafirnya berjalan dan bercokol, maka tidak boleh memberontak terhadapnya dengan kekuatan. Dan hal seperti ini bisa diubah dan dilenyapkan lewat jalan thalabun nushrah saja; yaitu setelah khalifah tegak yang juga datang lewat jalan thalabun nushrah bukan dengan jalan yang lain. (lihat kitab mereka Manhaj Hizbit Tahrir Fit Taghyir hal 25 dan lihat Al Jihad wal Qital karya Doktor Haikal At Tahririy 1/137)<br /><br />Tentu saja pendapat ini batil dan tertolak. Pendapat ini muhdats (bid’ah) yang tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari para alim mu’tabar, sebuah pemahaman yang aneh yang tidak dikandung oleh makna hadits dan dilalahnya, serta tidak dikatakan seorang alim pun sebelum mereka.<br /><br />Pemahaman ini berarti pengakuan terhadap sahnya pemerintahan kafir atas kaum muslimin, yakni jika pemerintahan kafir memerintah negeri kaum muslimin dengan undang-undang kafirnya, maka umat Islam tetap tidak boleh memerangi mereka dan melenyapkan fitnahnya dari negeri kaum muslimin. Padahal Allah swt. telah berfirman :<br /><br />“Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang-orang kafir jalan atas orang-orang mukmin.” (QS An Nisa : 141)<br /><br />Dengan bahasa lain HTI mengatakan kepada kaum muslimin, “Kalian mesti menjadikan orang-orang kafir menjalankan pemerintahan atas kalian, kalian wajib menahan diri memerangi dan menghabisi mereka, janganlah merintangi kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan kekuatan sampai datang khalifah yang ditunggu lewat jalan thalabun nushrah!<br /><br />Jadi menurut HTI para penguasa masa kini di negeri kaum muslimin ini sebelumnya tidak pernah atau belum pernah menjadi muslim (walau sebentar) apalagi murtad dari keislamannya sehingga bisa dibawa kepadanya hadits Ubadah Ibnu Ash Shamit yang menunjukkan akan kewajiban memberontak terhadap para pemimpin kafir.<br /><br />Namun, mereka (para penguasa masa kini di negeri kaum muslimin) telah kafir sejak dilahirkan sampai mereka memegang kekuasaan, dan karena itu hadits Ubadah Ibnu Ash Shamit tidak mencakup mereka. Pendapat HTI yang semacam inilah yang digunakan untuk mempengaruhi umat padahal telah nyata syubhat dan kebatilannya. HTI sendiri bahkan bimbang dan tidak puas dengan pendapat tersebut.<br /><br />Hal ini dikarenakan (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya) HTI tidak memiliki pendapat yang jelas dan tegas tentang status penguasa negeri kaum muslimin saat ini. Sebaliknya, mereka justru secara tegas membela bala tentara toghut pada masa sekarang, bekerja sama dengan mereka, terutama yang ada di negeri-negeri kaum muslimin. Dengan demikian, bisa dipastikan HTI membantah semua pendapat yang mengkafirkan bala tentara toghut tersebut. Hal ini tidak aneh, dan diakibatkan karena syubhat dan kekeliruan HTI dalam masalah-masalah tauhid yang krusial sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu HTI terlihat lari dari konsekuensi-konsekuensi jihad yang diharuskan hadits ini.<br /><br />Dengan demikian, metode menegakkan khilafah yang ditawarkan oleh HTI berupa thalabun nushrah adalah kalimat haq yang dipelintir sehingga menjadi sebuah kebatilan. Karena thalabun nushrah menurut HTI adalah pengguguran kewajiban jihad saat ini dan lari dari konsekuensi-konsekuensi dan keharusan-keharusannya.<br /><br />Untuk itu mari kita tanyakan kepada HTI, seandainya ada orang (dan hal itu tidak sulit bagi Allah) yang memiliki seratus ribu pejuang dan mujahid, pada saat yang sama ia memiliki seluruh sebab-sebab materi dan maknawi yang memungkinkannya untuk mengumumkan penegakan khilafah rasyidah, apakah dikatakan terhadap orang seperti ini, “Anda tidak boleh mengumumkan khilafah Islamiyyah sampai Anda meminta pertolongan dari orang lain dan dari orang yang tidak seagama dengan Anda, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. saat menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab yang musyrik ?<br /><br />Bila HTI berkata, “Ya” berarti mereka telah menelantarkan kewajiban terbesar—setelah tauhid—padahal mereka mampu dan berkuasa untuk menghidupkan dan menegakkannya, disaat kondisi sangat membutuhkan akan penegakkannya. Pada titik ini, mereka telah menvonis diri mereka sendiri sebagai musuh khilafah, dan mereka pada hakekatnya tidak menginginkan khilafah tegak.<br /><br />Bila mereka mengatakan, “Tidak disyaratkan baginya meminta nushrah dari orang lain bila ia memiliki kekuatan yang pantas untuk mengumumkan khilafah…”,berarti dengan hal itu mereka telah merobohkan prinsip pokok mereka yang terbesar oleh diri mereka sendiri yang selama ini selalu dibela dengan kebatilan di dalamnya. Jadi HTI bagaimana pun jawabannya terhadap pertanyaan ini, tetap saja jatuh pada kesulitan, sebagai akibat pemikiran mereka sendiri.<br /><br />Disamping itu, metode thalabuh nushrah saat ini sangat tidak efektif disaat luasnya sistem yang dimiliki oleh dinas intelejen dan spionase yang menginduk kepada pemerintahan internasional, sehingga menjadikan metode ini mustahil dilaksanakan oleh gerakan Islam. Mereka tidak mungkin menawarkan dirinya terhadap individu-individu dan jama’ah-jama’ah (terutama jika individu-individu atau jama’ah-jama’ah ini adalah kafir) dan meminta mereka pertolongan dalam rangka berjuang untuk dien ini dan penegakkan khilafah Islamiyyah, kemudian ia tidak diciduk oleh dinas intelejen dan dilenyapkan selamanya.<br /><br />Dahulu, pihak yang mana Nabi saw. Mencari nushrah dari mereka adalah para pemilik kekuatan dan kekuasaan dari kalangan kuffar dan musyrikin, dimana beliau saw. meminta dari mereka dukungan dan masuk dalam dien ini secara bersamaan. Maka apakah HTI juga melakukannya seperti ini ?<br /><br />Menggalang umat dan mengumpulkan mereka terhadap tujuan tertentu seperti penegakkan khilafah tidaklah disebut nushrah dengan makna syar’i yang pernah dilakukan Nabi saw. Dan karenanya sesungguhnya penggalangan, pengumpulan, pengaorganisiran serta penyiapan itu adalah suatu hal, sedangkan thalabun nushrah adalah hal lain.<br /><br />Jadi, sebagaimana dikatakan jubir HTI sendiri, Ismail Yusanto dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (7/7) bahwa konferensi ini (KKI) sama sekali tidak dimaksudkan untuk unjuk kekuatan atau kebesaran, bukan pula untuk deklarasi partai apalagi deklarasi tegaknya khilafah. “Ini semata-mata sebagai medium bagi umat Islam Indonesia untuk mengokohkan komitmen terhadap syariah dan khilafah,” tegasnya.<br />Nasehat Untuk HTI<br /><br />“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan masehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”<br />(QS Al ‘Ashr : 1-3)<br /><br />Akhirnya, sebagaimana telah disampaikan di awal, menjelaskan syubhat dan penyimpangan HTI bukan berarti menentang kewajiban menegakkan khilafah, bahkan cita-cita mulia ini harus didukung penuh oleh seluruh komponen umat. Hanya saja, HTI sejak saat ini harus mulai mengubah metode batil mereka dalam upaya menegakkan khilafah, mengganti manhaj dan pemahaman aqidah mereka yang menyimpang kepada pemahaman tauhid dari salafus sholeh ummat ini. Selain itu, mereka juga harus menerapkan al wala wal bara yang shahih, tidak bekerjasama dan duduk-duduk dengan kelompok sekuler dan kuffar, kalau mereka tidak ingin menjadi “seperti mereka” sebagaimana Allah SWT. telah firmankan dalam Al-Qur’an.<br /><br />Selanjutnya, mereka harus berani mengakui kesalahan-kesalahan mereka kepada anggota mereka juga kepada umat, dan mengganti syubhat-syubhat dan penyimpangan yang selama ini mereka lakukan dengan membuat peryataan yang jelas tentang hal-hal yang sudah dibahas sebelumnya. Mudah-mudahan Allah SWT. memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada mereka hingga perjuangan menegakkan khilafah akan dilandasi dengan tauhid yang lurus dan tanpa meninggalkan jihad, Insya Allah.<br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5253826422996774933.post-40682796655398797242009-03-07T02:21:00.000-08:002009-03-07T02:30:41.143-08:00Syaikh Muhammad bin Abdul WahhabOleh: Uweis Abdullah<br /><br />Kepahlawanan dalam islam<br /><br />Kisah perjalanan diinul islam senantiasa di motori oleh para pahlawan yang mencurahkan seluruh kemampuan dengan penuh keikhlasan dalam rangka mempertahankan kemurnian agama islam. Diantaranya adalah Alib Arsalan, beliau adalah seorang panglima perang yang menghadapi pasukan Rumanus pemimpin Bizantium dengan jumlah pasukan sebanyak 60.000 pasukan yang ingin menghancurkan kaum muslimin. Saat itu kaum muslimin berada dalam keadaan cemas dan tidak mungkin untuk melarikan diri dari jihad. Terkumpullah jumlah kaum muslimin dengan jumlah hanya sekitar 15.000. Mereka semua menggunakan kain kafan berwarna putih dikarenakan pasrah terhadap kematian yang mungkin akan menjemput mereka. Hingga saat dimana pasukan rumanus mulai datang hingga debu-debu pun mengepul diatas angkasa dikarenakan jumlah pasukan yang sangat banyak, pasukan kaum musliminpun meriakkan takbir: Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar, Allah akan memenuhi janjinya, nemolong hamba-hambanya dan menghancurkan pasukan-pasukan dengan sendirinya. Para korabanpun bergelimpangan darah mengalir membasahi kafan-kafan berwarna putih sampai akhirnya terdengarlah teriakan ”Berita gembira wahai kaum muslimin sesungguhnya rumanus telah tertawan”. Saat itu kaum muslimin melakukan sujud syukur. Kemudian Alib arsalan berkata kepada Rumanus “ Bukankan telah aku tawarkan kepadamu harta, wilayah dan kerajaan agar engkau tidak mengganggu kaum muslimin?” Ia berkata: Benar. Lantas ditanya:”Kenapa engkau tidak mau menerimanya?” ia menjawab: karena aku mengira akan menghabisi pasukanmu dan menguasai kerajaanmu. Dikatakan kepadanya “akan tetapi saat ini Allah telah menghinakanmu, kira-kira menurutmu apa yang akan aku perbuat terhadapmu?”. Ia berkata: kalau engkau berkehendak bunuhlah aku, atau menyeretku dengan rantai, atau engkau menerima tebusan dariku. Kemudian Alib arsalan berjalan kecil lantas berkata: wahai rumanus maukan engkau berjanji kepadaku apabila aku melepaskanmu engkau tidak akan memerangi kaum muslimin selamanya?. Mendengar kata-kata itu rumanus mengalirkan air mata karena ia merasa akan selamat dari kematian, lantas ia berkata: bagimu janjiku wahai pemimpin islam. Kemudian alib arsalan berkata “pasukanku akan mengantarkanmu kewilayahmu wahai rumanus dan aku telah membekali untuk perjalanan pulangmu dengan uang sebesar 15.000 dinar.<span class="fullpost"><br /><br />Dari penggalan kisah di atas menggambarkan tentang kepahlawanan dalam sejarah islam yang sangat luar biasa. Sehingga Allah memenagkan kaum muslimin sebagai realisasi dari firmannya:<br /><br />وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ<br /><br />Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dalam perjuangan menegakkan diinul islam. Beliau menghabiskan masa hidupnya dalam rangka menyeru manusia kepada tauhid dan menopang da’wahnya dengan jihad. Beliau hidup dikalangan masyarakat yang banyak melakukan kesyirikan. Digambarkan bahwa pada saat itu telah banyak kuburan-kuburan yang disembah, batu-batu yang dikeramatkan, dan beristighatsah kepada para waliy. Dengan gigih beliau berjuang menyebatkan tauhid hingga Allah mengangkat bendera tauhid hampir diseluruh jazirah Arab.<br />Biografi syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab<br /><br />Nama beliau : Muhammad bin Abdul wahhab bin sulaiman bin aliy at-taymiy<br /><br />Lahir : Pada tahun 1115 hijriah atau 1703 masehi[1]. Tempat lahir beliau di daerah “Ainiyah” [2] sebuah desa yang terletak di yamamah najed, barat daya dari kota Riyadh, perjalanan antaranya dan Riyadh sekitar 70 km.<br /><br />Keturunanya : 1, husain. 2, Abdullah. 3, aliy, 4. Ibrohim. 5. Hasan<br /><br />Murid beliau : Hammad bin nashir bin utsman, Abdul aziz bin Abdullah Al-hushoin, Said bin Hajiy, Abdurrohman bin Najiy, Hammad bin Rasyid Al-Uraini, Muhammad bin sulthon al-usijiy, Abdurrahman bin khomis, Hasan bin abdullah bin iedan, Abdul Aziz bin Suwailim, Abdurrahman bin abdul muhsin, Abdurrahman bin naajiy.<br /><br />Wafat beliau : Beliau wafat pada hari senin bulan syawal 1206 hijriah, atau 1791 masehi, ketika berumur sekitar 91 tahun.<br /><br />Kondisi masyarakat pada Masa syaikh Muhammad bin Abdul wahhab<br /><br />Keadaan Najd sebelum Diserukannya da’wah syaikh Muhammad bin Abdul wahhab sangatlah tidak layak dikatakan islami. Mereka banyak yang menyembah kubur dan mengeramatkan bebatuan dan pepohonan. Diantara mereka juga ada yang mengagungkan para wali dan mempercayai sihir. Diantara pekuburan yang gunakan untuk kesyirikan pada saat itu diantanya adalah kuburan Zaid bin khattab di jabilah, kuburan Dhirar bin Azur di lembah ghubaira’, dan kuburan para sahabat t yang terdapat di dar’iyyah. Itu semua dijadikan tempat peribadatan oleh masyarakat awam pada masa itu. Adapun dari jenis pepohonan yang di keramatkan adalah pohon korma yang terkenal dengan sebutan “ فحول “. Mereka sering meminta berkah kepada pohon ini. Biasanya seorang wanita yang lambat mendapatkan jodoh mendatangi pohon korma ini sembari berdo’a : يا فحل الفحول أريد زوجا قبل الحول. Adapun batu yang terkenal pada saat itu adalah gua bintul amir yang diyakini bahwa Allah menutupnya untuk bintu amir saat menyelamatkan diri dari orang-orang fasik yang akan menodai kehormatannya. Masyarakat mendatanginya dengan mempersembahkan makanan dan daging. Adapun wali yang terkenal pada masa itu adalah “Taaj” manusia menjadikannya sebagai thagut yang mana manusia berdo’a dan bernadzar kepadanya[3]. Padahal pada masa itu sebenarnya juga banyak para ulama yang hidup dan menyerukan da’wah, namun mereka belum ditakdirkan mampu untuk merubah keadaan masyarakat yang demikian itu. Hal ini dikarenakan beberapa hal:<br /><br />1. Mereka tidak mempunyai backing yang memperkuat da’wah mereka<br /><br />2. Kurangnya kesabaran dikarenakan banyaknya cobaan di jalan Allah Y<br /><br />3. Kurangnya keilmuan mereka dalam rangka mengarahkan masyarakat denga cara yang tepat dengan kondisi mereka<br /><br />Da’wah Muhammad bin Abdul wahhab<br /><br />Bagi siapa yang mempelajari tarikh maka ia akan mendapati bahwa tidak akan dapat dipisahkan antara aqidah dan harokah. Hal ini dikuatkan dengan fakta sejarah Rasulullah yang mana beliau menerima wahyu dan kemudian menyeru manusia untuk bertauhid kepada Allah Y dan ketika telah tercipta Qoidah Shalabah kurang lebih selama 13 tahun Allah Y [4]. Demikan pula syaikh muhammad bin Abdul wahhab, setelah memperdalami ilmu diin, Kodisi masyarakat najed yang banyak terjadi kerusakan menggugah semangat beliau untuk memperbaharui keadaannya, kemudian membentuk komunitas yang akan medukung da’wahnya dengan kekuatan.<br /><br />Pertama kali beliau berkeinginan untuk menyebarkan da’wahnya secara terang-terangan beliau dilarang oleh orang tuanya dikerenakan kondisi yang sangat tidak mendukung dan dikhawatirkan banyak medapat penentangan dari masyarakat. Maka kemudian beliaupun mengarang kitab yang berjudul Kitaabut Tauhid yang menjadi landasan pemikiran beliau. Setelah ayahnya Abdul Wahhab meninggal dunia maka beliaupun mulai berda’wah secara terang-terangan. Awalnya beliau meminta dukungan dari pemimpin daerahnya Uyainah dan dengan dukungannya beliau berhasil melakukan 3 missi beliau yaitu: Menghancurkan Kijing yang ada di atas kuburan seperti diatas kuburan zaid bin khattab, kemudian menebang pohon yang dikeramatkan, kemudian merajan para pezina yang meyerahkan dirinya kepada beliau.<br /><br />Namun ternyata ada pihak yang tidak suka terhadap da’wah beliau, diantaranya adalah Sulaiman bin Muhammad bin Gharir. Ia menulis surat kepada penguasa uyainah dan mengancam akan memberhentikan gaji tahunannya, agar supaya mengusir Muhammad bin Abdul Wahhab dari Uyainah. Maka beliaupun menyuruh Muhammad bin abdul wahhab pergi kemana saja yang ia kehendaki. Maka beliaupun menuju dar’iyyah dan melanjutkan da’wahnya disana.<br /><br />Bertemu dengan Muhammad bin su’ud dab medirikan daulah suudiyah pertama pada taqhun 1744 H-1843 H<br /><br />Setibanya di dar’iyyah malalui perantara seseorang beliaupun dipertemukan dengan Muhammad bin Su’ud, dan terjadilah baiat antara keduanya untuk memperjuangkan da’wah. Beliaupun menyebarkan da’wahnya dana mengirim surat kepada para ulama dan penguasa yang ada di sekitarnya. Diantara mereka ada yang menerima dan ada pula yang menolak. Sebahagian mereka ada yang menampakkan permusuhan dan mengkafirkan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan menghalalkan darahnya. Maka beliaupun mengumumkan jihad difa’ terhadap ancaman yang akan datang dari para penentang da’wah. Setelalah beliau berda’wah sekitar dua tahun maka semakin banyaklah pengikutnya dan demikian pula banyak yang berdatangan dari pendukung beliau dahulu di uyainah. Beliaupun dan Muhammad bin suud menjadikan dar’iyyah menjadi pusat pergerakan di bidang agama, politik dan militer. Surat-suratpun bayak dilayangkan kepada para masyayikh yang berada di wilayah sekitarnya untuk meyeru kepada tauhin. Diantara mereka ada yang menolak yaitu penguasa Riyadh. Maka terjadilah peperangan antara dariyyah dan Riyadh selama kurang lebih 27 tahun. Tak ada satu tahunpun yang terlewatkan kecuali terjadi padanya peperangan. Hingga para syuhada pun banyak yang bergugurang disana dan Allah memberikan kemenangan terhadap pasukan alu su’ud. Dengan ditaklukkannya Riyadh maka semakin terbukalah pintu da’wah bagi para pemuka-pemuka wilayah tersebut. Sepeninggal Muhammad bin suud maka ia digantikan dengan anaknya yaitu Abdul aziz. Perlawanan dari pihak musuhpun mulai gencar dan bendera jihad di kibarkan oleh Abdul Aziz dan syaikh. Hingga beliau dapat menguasai yamamah, Qushoim, Qatar[5] dan bagian selatan dari irak. Akhirnya beliau Abdul Aziz ditikam saat beliau sedang melaksanakan shalat ashar di dariyyah. Dan sebelum itu saat beliau telah berkurang kekuatannya beliau membaiat anaknya yang bernama suud untuk meneruskan perjuangan tepatnya pada tahun 1788m. Kemudian beliau dapat menguasai makkah dan menyebarkan da’wah dan amar ma’ruf nahi mungkar disana.<br /><br />Beberapa waktu setelah itu para pemimpin utsmaniyahpun makin merasa geram dan menyiapkan tentara untuk menyerang dariyyah dari bashroh namun akhirnya kalah dan mereka berkumpul di daerah mesir. Dan tak lama setelah itu raja abdul aziz meninggal dunia dan digantikan dengan anaknya abdullah bin suud. Namun terjadilah kekisrusan pada saat itu dikarenakan saidara beliau faishal bin suud[6] beliau mengganggu kekuasaannya. Terpecahlah keluarga suud yang akhirnya memudahkan bagi pasukan turki untuk menguasai najd. Maka diutuslah panglima perang muhammad taushan untuk menyiapkan pasukan di mesir dan mereka berhasil menaklukkan madinah munawwarah dan juga makkah al mukarramah.<br /><br />Pada saat itu digambarkab bahwa seorang pemimpin utsmaniyyah yang bernama ibrohim basya yang tidak mempunyai sopan santun hadir di pengajian sulaiman bin abdullah[7] cucu syaikh. Kemudian ia bertanya dengan rada sombong semabari mengeluarkan alat musik dan bertanya kepada syaikh: apa pendapatmu tentang ini? Beliau menjawab: Haram dan tidak diperbolehkan mendengarnya. Maka kemudin ia mengeluarkan syaikh tersebut ke kuburan dan menembaknya disana dengan 5 peluru dan akhirnya beliau syahid. Setelah itu hancurlah daulah suudiyah dan dikuasai oleh daulah utsmaniyyah.<br /><br />Daulah su’udiyah yang kedua pada tahun 1238 H-1309 atau 1819-1890 M<br /><br />Salah satu anak keturunan dari muhammad bin suud adalah turkiy bin Abdullah bin Muhammad bin suud. Ia lari dari kekuasaan ibrohim basya dan menyendiri di sebuah padang pasir di najed. Ia muali kembali berusan mempesatukan ummat pada tahun 1230 dan menyebarkan da’wah dan akhirnya berubahlah jalur kekuasaan yang tadinya dari keturunan abdul aziiz bin suud berubah ke jalur Muhammad bin suud. Maka dari pihak keluaga Abdul aziz pun merasa iri dan akhirnya mereka mendidik masyari bin Abdurrahman bin abdul aziz dan berfikir untuk membunuh turkiy tersebut dan akhirnya terjadilah pembunuhan tersebut seusai beliau melaksanakan shalat jumah. Kemudian masyari mengangkat dirinya menjadi amir. Ketiak hal ini di ketahui oleh anak beliau yang bernama faishal bin turkiy maka beliua juga berusaha untuk menuntut darah ayahnya dan terbunuhlah masyariy. Maka setelah kekuasaan berada di tangan abdullah bin turkiy pemimpin mesir merasa khawatir akan hal tersebut dan mendidik orang dekat kerajaan dari yaitu keturunan dari kerajaan yang bernama kholid dan saudaru kandung faishal bin turkiy. Sedangkan Kholid memang kurang senang dengan pindahnya tampu kekuasaan ke tangan anak keturunan abdullah bin muhammad.<br /><br />Maka terjadilah maker yang akhirnya faishal bin turki menyerahkan kekuasaannya dan menyerahkan kepada kholid. Namun akhirnya para rakyat tidak menyukainya dan mengadakan pemberontakan dan mereka kembali berkumpul bersama faishal bin turkiy sang pemimpin yang mereka cintai. Namun akhirnya beliau meninggal dunia. Ketikan itu saudaranya yang yang bernama abdullah bin turkiy dan saudaranya muhammad berada di padang pasir sendangkan Abdurrahman anak ke empat dari faishal berada di Riyadh dan mengumumkan diri sebagai imam. Dan setelah itu ia menyerahakan kekuasaan kepada abdullah bin fhaishal atas dasar persaudaraan. Dalam keadaan semacam ini maka daulah turkiy kembali meyerang Riyadh dan akhirnya jatuhlah daulah suudiyah yang kedua setelah wafatnya abdullah bin faishal.<br /><br />Daulah suudiyah ke 3 hingga sekarang<br /><br />Saat diamana najed dikuasai oleh ibnu rasyid dan runtuhnya kerajaan suud. Maka muncullah seoran pemuda dari keturunan Abdurrahman bin faihal yang bernama abdul aziziz. Beliau tumbuh dengan keislaman dan di bawah bimbingan syaikh Abdullah bin Abdullathief. Maka suatu ketika abdul aziz bersama 40 pasukan menuju keistana kerajaan yang ditempati oleh salah seorang perdana menteri ibnu rasyid yang bernama ijlan. Ia memilih jalan yang tidak memungkinkan bagi para penggembala mengetahui kepergian mereka. Hingga sampai di suatu wilayah yang bernama dhol us’syi’bi mereka mengistirahatkan binatang kendaraan mereka dan meyuruh 30 orang untuk tetap tinggal disana tepatnya dirumah salah seorang saudari iparnya. Beliau bersama 10 orang menuju kediaman ijlan pada tengah malam dan megetuk pintunya. Istrinya pun bertanya siapa yang mengetuk pintu? Ia menjwah pesuruh kerajaan. Tidak mungkin sesungguhnya tidak ada yang mengetuk pintu pada malam hari melainkan menginginkan wanita dan keburukan. Mak iapun memaksa untuk masuk dan menodong istrinya, dan menanyai tetang suaminya. Kemudian dikhabarkan bahwa ia sedang berada di dalam istana dan akan keluar menjelang subuh. Ketika subuh tiba dan pintu istana terbuka maka di seranglah ijlah dan istana dapat di kuasai dan kembalilah kerajaan ke tangan keluarga suud yang kemudian di dukung oleh masyarakat najed.<br /><br />Tuduhan miring terhadap syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab<br /><br />Sebagaimana sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap ada kebenaran pasti akan ada pihak lain yang menjadi penentang, demikian pula denga beliau syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada beberapa tuduhan miring yang dilemparkan terhadap beliau.<br /><br /> 1. Mereka menuduh syaikh mengaku sebagai nabi<br /><br />hal ini dikerenakan menurut mereka bahwa syariat yang dibawa oleh syaikh adalah syari’at yang baru. Meskipun beliau tidak mengaku secara terang-terangan hal ini hanya dikerenakan khawatir banyak yang akan lari dari padanya.<br /><br /> 2. Khawarij<br /> 3. Takfir<br /> 4. Mengingkari syafaat Rasul r<br /> 5. Mengingkari karomah Auliya.<br /> 6. Hadits Najd Tanduk Setan<br /><br />عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاأَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُسْتَقْبِلٌ الْمَشْرِقَ يَقُولُ أَلَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَا مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ<br /><br />Sebenarnya yang dimaksud dalam hadits ini adalah Iraq, hal ini karena banyak dikuatkan dengan hadits lain dan perkataan para sahabat. Demikian pula dengan fakta sejarah bahwa awal fitnah pembunuhan umar, utsman, aliy adalah dari irak demikian pula dengan munculnya aliran-aliran sesat dari irak.<br /><br />Posisi beliau terhadap daulah utsmaniayah<br /><br />Ada sebahagian orang yang mengatakan bahwa beliau memecah belah jama’ah. Padahal beliau sangat memperhatikan tentang masalah ketaatan kepada pemimpin dan tidak di dapatkan satupun pernyataan yang jelas menyatakan bahwa beliua mengkafirkan daulah utsmaniyyah akan tetapi yang dikafirkan adalah suatu wilayah kecil yang berada di dekat turki yang telah nyata-nyata melakukan kesyirikan. Berkata syaikh Ajil An-Nasymiy: saya katakana dengan yakin bahwa tulisan-tulisan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak ada yang menyatakan secara terang-terangan tentang penentangannya terhadap Khilafah Utsmaniyyah.<br /><br />Dan beliau berkata juga: sesungguhnya khabar yang sampai kepada daulah utsmaniyyah tentang da’wah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah banyak rekayasanya. Hal ini menjadikan daulah Utsmaniyyah memusuhinya. Baik itu khabar yang datang dari para kedutaan yang ada di hijaz, Baghdad atau khabar yang di bawa oleh oran lain membawa khabar dari astanah.<br /><br />Kedudukan saudara beliua Sulaiman bin Abdul Wahhab.<br /><br />Sejak masa kecil beliau berdua memang suka bersaing dalam keilmuan. Hingga beranjak dewasa ternya Muhammad bin Abdul Wahhab yang lebih menonjol keilmuannya. Akhirnya saat syaikh telah masyhur di tengah masyarakat maka tumbuhlah rasa hasad dalam hati sang kaka. Ia pun menentang da’wah adiknya dan sempat menulis buku yang berjudul Fashlul khitob fi roddi ala Muhammad bin Abdul Wahhab, namun kemudian ini diganti dengan para musuh dengan judul “ As showa’iq al ilahiyyah fi raddi ala da’watil wahhabiyyah”. Sulaiman senantiasa menampakkan permusuhan terhadap da’wah yang beliau sampaikan. Namun akhirnya beliau mau bertaubat dan kembali kepada kebenaran.<br /><br />Pengaruh da’wah syaikh terhadap alam islamiy[8]<br /><br />Dengan perjuangan yang tak terkira akhirnya da’wah syaikh muhammad bin abdul wahhab berhasi merambah berbagai daerah diantaranya adalah:<br /><br />1. yaman<br /><br />Diantara syaik yang terkenal di sana adalah Muhammad bi Ismail as shan’aniy. Demikian pula syaikh Muhammad bin aliy as syaukaniy<br /><br />2. Hindia<br /><br />Diantara syaikh yang terkenal disana adalah Ahmad bin irfan al baryaliy<br /><br />3. Indonesia<br /><br />Pertama yang dimasuki adalah wilayah Sumatra sekitar tahun 1803 M. dan kemudian jawa dan setelah itu mereka banyak mengutus para thullabul ilmu yang berguru kepada muri-murid syaikh muhammad bin abdul wahhab<br /><br />4. turkistan<br /><br />5. china<br /><br />6. mesir<br /><br />Syaikh yang terkenal adalah rosyid ridha<br /><br />7. libya<br /><br />8. Al-jazair dan ke<br /><br />9. sudan<br /><br />[1]. Pada masa Utsmaniyaah: Ahmed III, Mahmud I, Utsman III, Mustafa III, Abdul Hamid I, Salim III,<br /><br />[2] Muhammad bin abdul wahhab da’watuhu wasiirotuhu, karya bin baz maktabah syamilah 1/ 16<br /><br />[3] Da’watu syaikh Muhammad bin abdul wahhab wa atsaruha fil alam al-islami, maktabah syamilah hal: 32<br /><br />[4] Da’wah muhammad bin abdul wahhab salafiyah la wahabiyyah, hal: 109<br /><br />[5] Ini terjadi 4 tahun sebelum wafatnya syaikh<br /><br />[6] Menurut az-zarkaliy<br /><br />[7] Pengarang buku taisirul azizil hamid<br /><br />[8] Cuplikan sebahagian dari buku da’wah syaikh muhammd bin abdul wahhab wa atsaruha fi alam islamiy<br /><br /><br /><br /></span>Uwais Abdullohhttp://www.blogger.com/profile/05736550777644547257noreply@blogger.com1