Sabtu, 06 November 2010

Penjelasan dan Aplikasi Tentang Hadits Iftiraqul Ummah

Berawal dari hadits iftiraqul ummah (perpecahan umat), memunculkan berbagai persepsi dalam menyikapi variansi kelompok yang ada ditengah-tengah kaum muslimin. Diantara mereka ada yang terkesan memaksakan kelompok tertentu sebagai satu-satunya komunitas yang mendapatkan jaminan selamat di antara sekian kelompok yang ada. Kemudian mereka berusaha untuk menyematkan ancaman kecalakaan dan neraka kepada komunitas selainnya. Di sisi lain ada juga yang terlalu longgar dalam memaknai hadits tersebut sehingga menafikan adanya aliran sesat selagi masih menisbatkan dirinya kepada islam meski hanya namanya saja.
Untuk mendudukkan hadits tersebut ke dalam realita kehidupan dengan aneka ragam kolompok ini, hendaknya kita menilai tidak hanya dari sudut pandang teks yang tertera di hadits dan kita ma'nai sesuai dengan kehendak kita. Sehingga yang dihasilkan hanyalah jutstifikasi terhap persepsi yang kita simpulkan dan kemudian mencari dalil sebagai penguat. Namun handaknya kita meneliti secara jeli hadits tersebut serta mengidintentifikasi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang maksud daripadanya.
Hadits yang menyebutkan tentang iftiraqul ummah menjadi 73 golongan adalah sebagai berikut:
إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
"Sesungguhnya bani israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya terancam masuk neraka kecuali satu. Dialah al-jama'ah."
Hadits ini atau yang makna dengannya juga tendapat pada beberapa kitab hadits diantaranya dalam Sunan ibnu Majah , Sunan abi Dawud , Musnad Ahmad , Sunan ad-Darimiy , As-syariah milik Al-ajuriy .
Hadits ini merupakan pengakhabaran dari Rasulullah saw tentang perpecahan yang akan terjadi pada tubuh kaum muslimin. Pengguna'an kata "ummah" memancing perbincangan para ulama tentang maknanya. Apakah yang dimaksud adalah ummatud da'wah (termasuk di dalamnya yahudi dan nasrani dan yang lainnya) yang menjadi obyek dakwah Rasulullah saw, atau yang dimaksud adalah ummatul ijabah (ummat islam secara khusus). Imam as-sindiy berkata: "yang dimaksud adalah ummatul ijabah, yaitu ahlul qiblah. Karena istilah ummah dinisbatkan kepada beliau shallalahu alaihi wasallam yang secara langsung dapat difahami sebagai ummatul ijabah.
Sedangkan seorang ulama, DR. Al-Buthiy bependapat bahwa yang dimaksud dengan ummah adalah ummatud da'wah. Ini berdasarkan dengan argumentasi bahwa Rasulullah saw menggunakan kata ummah secara umum. Kalau saja yang dimaksud dengan ummah adalah ummatul ijabah tentunya beliau akan menggunakan isitlah "sataftariqul muslimin". Ini maknanya bahwa yang dimaksud dengan ummah adalah ummatu da'wah. Kesimpulannya bahwa ummat yang di menjadi obyek dakwah rasulullah akan terpecah menjadi 73 agama. Dan jaminan bahwa yang selamat adalah hanya satu agama maknanya adalah agam islam dengan sekian sekte-sektenya.
Pendapat yang rajih adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh As-Sindiy dengan beberapa alasan: Pertama, bahwa di hadits yang lain Rasulullah menejelaskan bahwa yahudi dan nasraniy terpecah menjadi 71 golongan dan kemuadian Rasulullah menjelaskan pada waktu yang bersama'an bahwa ummatnya akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Ini maknanya bahwa yang dimaksud dengan ummat di hadits tersebut adalah ummatul ijabah yaitu islam. Alasan ke dua, bahwa hadits tersebut adalah sebagi bentuk pengakhabaran terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan perpecahan yang terjadi pada ummatud dakwah seperti yahudi dan nasrani sudah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dengan demikian yang lebih tepat untuk memaknai ummatiy adalah ummatul ijabah.
Adapun yang dimaksud dengan perpecahan dalam hadits tersebut adalah perpecahan dalam permasalahn yang bersifat ushul dan i'tiqad bukan dalam hal furu' (cabang) dan amaliyah. As-sindiy berkata "yang dimaksud adalah perpecahan mereka dalam perkara ushul dan i'tiqad bukan dalam hal furu' dan amaliyat. Karena dalam perkara furu' islam memberikan toleransi yang lebih luas dan hal tersebut masuk dalam ranah ijtihad para ulama. Sangat banyak kita dapatkan perbeda'an dalam hal furu' dan amaliyat terjadi dikalangan para ulama semenjak pada masa Rasulullah saw hingga saat ini. Di dalam Aunul ma'bud syarh sunan abiy Dawud disebutkan bahwa tidakalah termasuk dalam firaq madzmumah itu mereka yang berselisih dalam perkara cabang fiqih dalam pembahasan halal dan haram, namum yang dimaksud adalah mereka yang menyelisihi ahlulul haq dalam perkara ushul tauhid.
Adapun ma'na yang 72 di neraka bukanlah sebuah kepastian bahwa setiap personal dari mereka akan masuk kedalam neraka dan kekal di dalamnya. Karena 72 puluh dua golongan tersebut tidak keluar dari lingkup islam. Al khattabiy berkata: "(akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan) dalamnya tertadapat penjelasan bahwa kelompok-kelompok ini tidak keluar dari lingkup Diin. Kerena Nabi saw menyebut sebagai ummatnya. Meskipun diantara kaum muslimin ada yang munafiq yang mereka menampakkan islam dan menyembunyikan kekafiran. Atau diantara mereka ada yang menisbatkan diri kepada islam namun praktek amal mereka mengeluarkan mereka dari islam.
Jadi, setiap personal dari 72 pecahan tersebut tidak berarti masuk kedalam neraka semuanya. Namun ungkapan tersebut sebagai ancaman akan aqidah-aqidah menyeleweng yang akan menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Diantara mereka ada yang kekal di dalam neraka dan ada juga yang tidak kekal sesuai dengan tingkat kebid'ahan yang mereka lakukan, dan ada juga yang diampuni kesalahannya oleh allah swt. Ini sebagaimana pernyataan ibnu taymiyah: "sebagaimana kalau kita mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah swt (sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan kedzaliman, maka sesungguhnya mereka akan memakan api di dalam perut mereka) Qs. An-nisa': 10. maka tidak selayaknya bagi seseorang untuk mengatakan terhadap orang lain secara ta'yin (personal) bahwa dia di dalam neraka. Hal ini dikarenakan bisa jadi ia diampuni oleh Allah dengan kebaikan-kebaikannya yang mengahapuskan kesalahannya. Atau dengan musibah yang mengikisnya, atau Allah swt sendiri yang mengampuninya atau kemungkinan yang lain.
Lantas pernyataan "wahidah fil jannah" apakah setiap personal dari firqah najiah tidak akan masuk neraka? Syaikh Utsaimin menjawab bahwa diantara merka bisa jadi ada yang masuk neraka namun tadak kekal di dalamnya. Beliau juga memberikan gambaran tentang hal ini bahwa manusia terbagi menjadi empat kelompok: pertama: mubtadi' murni yang tidak mengerjakan sunnah satupun, mereka ini kekal di neraka tanpa dipungkiri lagi. Kedua: mubtadi' yang tercampur (dengan sunnah) maka mereka berhak masuk neraka dan tidak kekal di dalamnya. Ke tiga: seorang sunniy yang murni maka ia tidak berhak masuk neraka, kalaupun ia masuk neraka karena perbuatan maksiat maka mereka tidak kekal di dalamnya. Ke empat: suniiy yang tercampur (dengan bid'ah) "Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk" (Qs. At-Taubah: 102) maka mereka ini berhak masuk neraka namun tidak kekal di dalmnya.
Adapun kelompok yang selamat adalah "jama'ah", atau dalam redaksi hadits lain "ma ana alaihi wa ashabiy". As-Sindiy berkata: "sabdanya (al-jama'ah) adalah mereka yang sesuai dengan jama'ah sahabat dan mengambil aqidah mereka serta berpegang teguh dengan pola fakir mereka." Di dalam aunul ma'bud disebutkan: (al-jama'ah) adalah alhul qur'an dan hadits dan fiqh dan ahlul ilmi yang mereka sejalan dalam mengikuti jejak Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam setiap kondisi. Dan mereka tidak merusak dan merubahnya dan tidak pula menggantinya dengan pemikiran-pemikiran yang rusak.

Aplikasi hadits iftiraqul ummah
Banyak persepsi yang muncul dalam penerapan hadits iftiraq ini. Diantara mereka ada yang mencoba untuk menyematkan label 72 golongan tersebut kepada kelompok-kelopok tertentu. Dan disisi lain mereka berusaha untuk menggiring opini public bahwa satu-satunya kelompok yang selamat adalah kelompoknya sendiri. Padahal hadits tersebut sama sekali tidak mendukung pernyataan mereka tersebut. Rasulullah saw tidak menghususukan kelompok yang selamat tersebut untuk golongan tertentu dan menafikan kelompok yang lainnya.
Untuk mengukur suatu kelompok atau personal apakah ia masuk kedalam golongan yang selamat atau kelompok yang celaka hendaknya menggunakan timbangan al-qur'an dan sunnah. Sedangkan Al-qur'an dan Sunnah menyebutkan Al-Jama'ah atau Ma ana alaihi wa ashabiy sama sekali tidak menghususkan nama kelompok-kelompok tertentu. Maknanya siapa saja dari kaum muslimin yang terpenuhi padanya sifat kelompok tersebut maka ia berhak mendapatkan jaminannya. Bukan lantas memaksakan dalil untuk menghusus jaminan tersebut kepada komunitas tertentu dan menafikan yang lainnya.
Syaikhul islam Ibnu Taymiyah berkata tentang golongan yang selamat tersebut "Mereka adalah yang berpegang teguh dengan islam secara murni dan bersih dari penyimpangan. Mereka adalah ahlus sunnah yang tercakup di dalamnya As-Shiddiqun, Asy-syuhada, Ash-Shalihun. Dan termasuk pula di dalmnya para pembawa panji petunjuk, pelita di tengah kegelapan, dan orang-orang yang mempunyai budi pekerti yang luhur dan keutama'an, dan abdal: yaitu para imam yang kaum muslimin bersepakat atas petunjuk dan keilmuan mereka. Mereka adalah thaifah al-manshurah yang disebutkan dalam hadits (akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang senantiasa berada diatas kebenaran dan tidak akan mampu memberikan kecalakaan kepada mereka orang yang menghinakan mereka atau orang yang menyelisihi mereka sampi datangnya hari kiamat).
Dengan demikian kelompok yang selamat atau Firqah Najiah tersebut tersebar di kalangan seluruh kaum muslimin yang mereka meniti jejak Rasul dan para sahabatnya. Sehingga nampaklah kebathilan orang-orang yang menganggap bahwa hanya orang-orang yang bergabung bersama kelompoknya saja yang berhak mendapat julukan firqah najiah dan yang selainnya adalah kelompok yang celaka. Fudhail bin Iyadh berkata "seorang bertanya kepada imam malik, wahai abu Abdullah: siapakan Ahlus-Sunnah itu? Beliau menjawab, orang yang tidak memiliki laqob (julukan) yang diketahui. Tidak pula jahmiy, tidak rafidiy, tidak qadariy."
Imam Nawawi ketika menerangkan hadits Rasulullah saw (akan senantisa ada segolongan dari ummatku yang mereka berada diatas kebenaran): ini mengandung pengertian bahwa kelompok tersebut terpencar pada setiap komunitas kaum muslimin. Diantara mereka ada para pemberani yang senantiasa berperang, dan dianatara mereka ada fuqaha, demikian pula ahli hadits, dan orang-orang ahli zuhud, dan penyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan termasuk pula di dalamnya orang-orang selain mereka dan para ahli kebaikan".
Abdul akhir Hammad al-ghunaimiy pentadzib syarah aqidah thahawiyah, memberikan komentar ketika menyebutkan hadits rasulullah saw (diin ini akan senantiasa tegak dan berperang diatasnya segolongan dari kaum muslimin samapi datangnya hari kiama) sembari berkata: hal ini -wallahu a'lam- memberikan penngertian bahwa para mujahidin di jalan Allah adalah orang yang paling utama untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Oleh karena itulah syaikhul islam ibnu taymiyah berkata tentang Tar-tar dan kewajiban memeranginya (adapun sekelompok kaum muslimin yang berada di syam, dan mesir dan yang selainnya, maka mereka pada saat ini merupakan orang yang paling berhak untuk masuk dalam kategori thaifah manshurah yang disebutkan oleh nabi shallahu alaihi wasallam (akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang senantiasa berada diatak kebenaran dan tidak akan mampu memberikan kecalakaan kepada mereka orang yang menghinakan mereka atau orang yang menyelisihi mereka sampi datangnya hari kiamat) majmu fatawa: 28/ 531).

Referensi:
- Sunan Ibnu Majah, karya Abu abdillah Muhammad bin Yazid Ar-Rab'iy ibn Majah, penerbit Daarus salamah, cet. Pertama. Tahun 1420 H/ 1999 M.
- Sunan abi Dawud, karya Abu Dawud Sulaiman bin Al-asy Ats, As-sajastaniy, Penerbit Daru ibn hazm, cet. Pertama, tahun 1419 H/ 1998 M.
- Musnad Ahmad, karya Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, penerbit baitul afkar ad-dawliyah, cet tahun 1419 H/ 1998 M.
- Sunan Ad-darimiy, karya Abu Muhammad Abdullah bin Abdur Rahman bin Al Fadhl bin Bahram ad-Darimiy, penerbit Darul mughniy, cet. Pertama, tahun 1421 H/ 2000 M.
- Asy-syariah, karya Abu Bakar bin Muhammad bin Al husain Al-ajuriy, penerbit, muassah qurtubah, cet. Pertama, tahun 1416 H/ 1996 M.
- Syarah Sunan Ibnu Majah, karya Abul Hasan al-Hanafiy As-Sindiy, penerbit Darul ma'rifah, cet. Pertama, tahun 1416 H/ 1996 M.
- http://www.nokhbah.net
- Kitab Aunul Ma'bud, karya Muhammad Syamsul Haqqil Adzim Abadiy, penerbit daarul fikr, cet kedua, tahun 1399 H/ 1979 M
- Ma'alimus sunan, karya al-Khattabiy, penerbit Muhammad Raghib at-Tabbakh, cet pertama, tahun 1351 H/ 1932 M.
- Majmu' fatawa, penyusun Abdurrahman bin Muhammad bin qasim al-ashimiy, tahun cetakan 1418 H/1997 M
- http://muntada.islammessage.com
- Madarikut Tadrib Wataqribul masalik, karya Fudhail bin Iyadh, maktabah syamilah
- Syarah Muslim, karya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy, penerbit daarul kutub al-ilmiyah, cet pertama, thn 1421 H/ 2000 M
- Al Minhah al-Ilahiyah fi tahdzibi syarh aqidah at-thahawiyah, karya Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimiy, penerbit darus sahabah, cet. Pertama, tahun 1416 H/ 1995 M

Read More..

Al-Kufru Wat-Takfir

Kufur adalah salah satu hukum syar’i, sebagiamana halnya hukum perbudakan. Yang demikian ini ditinjau dari konsekwensi hukum yang terdapat pada keduannya. perbudakan mempunyai konskwensi sebagaima ia tidak boleh memegang kepemimpinan dan gugurnya sebagian kewajiban yang seharusnya dikerjakan oleh seorang merdeka. Demikian pulah halnya kufur mempunyai konskwensi sebagaimana kewajiban bara’ (berlepas diri) darinya dan halal darahnya. Vonis kafir adalah hak otoritas Allah swt semata sehingga tidak diperkenankan bagi hamba untuk menganggap sesuatu kafir tanpa didasarkan kepada dalil-dalil syr’i. Juga tidak sepantasnya menvonis kafir dikarenakan rasa dendam kepada orang yang lebih dahulu memvonis dirinya kafir. Sebagaimana tidak diperbolehkan membalas seseorang yang menzinahi keluarga kita lantas dibalas dengan menzinahi keluarganya juga.
Secara bahasa al-kufru bermakna sesuatu yang menghalangi dan menutupi. Sedangkan secara bahasa kufur bermakna: kebalikan daripada iman, yaitu tidak adanya keimanan kepada Allah swt dan rasulnya baik diikuti dengan takdzib (pendustaan) atau tidak diikuti dengannya. Bahkan keragu-raguan dan berpalin atau hasad atau kibr (sombong) atau mengikuti sebahagian hawa nafsu yang menghalangi diri untuk mengikuti risalah. Meskipun apabila hal tersebut diiringi dengan takdzib maka hal tersebut lebih besar kekurufannya dari yang lainnya.
Sebagaimana dalam pembahasan iman bahwa ia mencakup qoul dan amal, demikian juga Iman teridiri dari beberapa “syu’bah” bagian, yang masing-masing dari bagian tersebut merupakan bahagian dari iman. Derajat iman yang paling tinggi adalah kalimat laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanana. Diantara sekian bagian ada yang apabila ia hilang maka hilang pulalah keimanan, dan adapula yang dengan hilangnya hanya akan mengurangi keimanan. Demikian pulalah halnya dengan kekafiran mencakup perkataan dan perbuatan. Ia mempunyai cabang-cabang yang mana hal tersebut tercakup dalam seluruh kemaksiatan. Ada yang apabila ia dilakukan akan menyebabkan ia keluar dari islam dan ada juga yang apabila dilakukan hanya sampai kepada batas kufrun duuna kurfin.
Ada sebagian kelompok yang membatasi kekafiran sebatas dengan kekafiran yang bersumber dari hati belaka. Kekafiran ini sering diistilahkan dengan “juhud dan istihlal”. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan riwayat dari para ulama yang tidak membatasi kekafiran hanya dalam hal tersebut. Terlebih lagi bahwa amalan hati adalah perkara yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang itu sendiri dan Allah swt. Bisa jadi seseorang menampakkan sesutu namun apa yang bersemayam di dalam hatinya bertolak belakang dengan apa yang nampak darinya.
Mererka berhujjah dengan perkataan imam at-tahawi “la nukaffiru ahadan min ahlil qiblati bidzanbin yaf’aluhu ma lam yastahilluhu”. Namun pada hakikatnya apa yang diinginkan oleh beliau tidak sebagiaman pemahaman mereka yang membatasi kekafiran hanya dalam bentuk istihlal dan juhud. Karena yang dimasudkan oleh beliau adalah membantah orang-orang khawarij yang mengkafirkan setiap dosa besar. Syaikh abdul akhir al-ghunaimiy :ada sekelompok manusia yang mengatakan kami tidak mengkafirkan ahli qibalat seorangpun. Mereka menafikan takfir terhadap seluruh dosa meskipun pada hakikatnya diantara ahli qibalat ada yang munafiq yang mereka lebih kafir dibanding yahudi dan nasrani menurut kitab dan sunnah dan ijma. Demikian juga tidak ada perselisihan dikalangan kaum muslimin bahwa apabila ada seseorang menampakkan keingkaran terhadap kewajiban yang jelas dan mutawatir dan hal-hal yang diharamkan secara jelas dan mutawatir dan yang semisal dengannya maka mereka dimintai untuk taubat. Kalau mereka menolak maka dibunuh karena kekafiran dan kemurtadannya.
Pandanngan beberapa firqah dalam perkara kemaksiatan
* Khawarij: Menurut khawarij bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka.
* Menurut muktazilah: Mereka berada diantara iman dan kufur, namun diakhirat mereka sefaham dengan khawarij yaitu kekal di dalam neraka.
* Adapun murjiah : Mereka beranggapan bahwa pelaku dosa besar adalah semurna keimanannya.
Adapun menurut ahlus sunnah wal jama’ah bahwa pelaku dosa besar adalah mu’min dengan keimanannya dan pelaku fasiq dengan kemaksiatannya. Dan mereka berada dibawah kehendak allah apabila allah berkehendak maka akan disisksa dan apabila berkehendak akan diampuni.
Awal mula munculnya ketersesatan dalam perkara iniadalah persepsi bahwa iman hannyalah satu tingkatan. Syaikh safar hawali berkata: diatas dasar inilah orang-orang khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak disebut mukmin karena imannya hilang dengan melakukan dosa besar. Kemudian pecahan-pecahan mereka berselisih tentang makna kufur dan konskensi darinya. Kemudian orang-orang mu’tazilah bersepakat denganya akan tetapi ketika mereka menyadari bahwa penyamaan anatara kafir dan murtad dan pelaku zina dan pencuri seakan tidak bisa diterima oleh akal dan syar’i karena kenyataannya allah membedakan hukum masing-masing darinya di dunia dan akhirat maka mereka mengambil sikap “menafikan imannya namun juga tidak berani memasukkannya kedalam kategori kafir. Hingga muncullah istilah “al-manzilah baina manzilataini”. Namun dalah hukum akhirat mereka tetap sepakat degan khawarij.... Adapun murjia’ah, dengan tetap memegang prinsip yang sama (iman hanya satu tingkatan) mereka mendapatkan nash-nash dan logika yang menunjukkan tentang rusaknya pemahaman khawarij dan mu’tazilah.maka seluruh pecahan murjia’h bersepakat untuk mengeluarkan amal dari iman. Sehingga dengan demikian keyakinan bahwa iman hanyalah satu tingkatan tetap terselamatkan.
Bentuk-bentuk dosa yang merupakan kufur akbar
- Kekafiran dengan sebab perkataan dan perbuatan hati.
a. kekafiran dikarenakan perkataan hati.
- Kufur juhud wat takdzib (pengingkaran) sebagaimana firman Allah swt dalam Qs. Al-ankabut, 68.
Ada sedikit perbedaan antara juhud dan takdzib sebagaimana allah membedakannya di dalam firmannya
فإنهم لا يكبونك ولكن الظالمين بأيات الله يجحدون
Perbedaan antara takzib dan juhud adalah dari sisi umum dan khusus yaitu bahwasanya juhud adalah bagian dari takdzib. Juhud berasal lisan sedangkan takdzib bisa secara hati, lisan dan anggota badan. Oleh karena itulah sebagian ulama ada yang membedakan antara kufru takdzib dan kufrul juhud. Dan juga yang menganggap bahwa perbedaan anatara keduanya adalah, juhud merupakan pengingkaran yang disertai dengan perlawanan. Sebagaimana perkataan al-khafaji “perbedaan antara takdzib dan juhud bahwa yang pertama lebih kepada pengingkaran secara umum sedangkan yang kedua adalah pengingkaran setelah ia mengetahui hakikat sesuatu tersebut.
Tentang juhud ini syaikhul islam ibnu taymiyah berkata: barang siapa yang juhud terhadap suatu kewajiban yang jelas dan mutawatir, sebagaimana shalat liima waktu, pausa ramadhan, haji. Atu juhud terhadap pengaharaman perbuatan keji dan dzalim, khamer, judi, zina, dan yang lainnya. Demikian juga yang juhud terhadap sesuatu yang dihalalkan nampak dan mutawatir sebagaimana roti, daging, nikah, maka ia kafir dan murtad dan dimintai taubat. Dan apabila tidak mau bertaubat maka ia dibunuh.
- Kufur istihlal (menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah)
Makna daripada istihlal adalah meyakini sesuatu yang diharamkan oleh allah bahwa hal tersebut tidaklah diharamkan. Atau meyakininya sebagai sesuatu yang mubah. Perbedaannya dengan takdzib bahwa istihlal hanya berkenaan khusus dengan keyakinan dalam perkara penyelisihan sesuatu yang diharamkan dan diyakini sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Sedangkan takdzib lebih umum tidak hanya mencakup perkara i’tiqad dan tidak terkhusus dalam pembahasan menghalalkan sesuatu yang dilarang.
Tentang istihlal ini syaikhul islam ibnu taymiyah berkata: “diantara mereka ada yang istihlal terhadap persaudaraan dengan wanita yang sebenarnya bukan murhim dan berkhalwat dengannya, dengan anggapan bahwa hal tersebut akan mendatangkan berkah dalam perbuatan yang ia lakukan terhadapnya meskipun hal tersebut diharamkan secara syar’i....dst. mereke semua kafir menurut ijama kaum muslimin.
* adapun juhud atau istihlal terhadap sesuatu yang tidak dzahir (tidak jelas dimata orang awam) maka tidak bisa disamakan. Al-allamah ibnu wazir berkata: mutawatir terbagi menjadi dua jenis: mutawatir yang diketahui oleh orang secara umum dan diketahui pula oleh orang-orang khusus sebagaimana kalimat tauhid, rukun islam, maka orang bagi yang juhud terhadapnya dihukumi kafir. Yang/ kedua adalah sesuatu yang kemutawatirannya hanya diketahui oleh orang-orang khusus maka bagi orang awam yang istihlal terhadapnya tidak dianggap kafir dikerenakan hal tersebut belum sampai kepadanya.
- “syak” ragu terhadap salah satu dari hukum Allah swt atau apa yang dikhabarkan oleNya.
Syak yang dimaksud adalah dalam perkara ushuluddin. yaitu adalah keragu-ranguan antara dua kemungkinan. Sebagaiman orang yang tidak percaya terhadap kebenaran rasul dan juga tidak mendustaannya. Namun yang perlu digaris bawahi adalah perbedaan antar syak dan was wasah. Waswas adalah sesuatu yang terbersit dalam hati tanpa di minta-minta dan apabila ia menepisnya maka niscaya imannya akan kembali terang. Sedangkan syak ia sudah meninggalkan iman namun juga tidak mendustakannya.
Sebagaimana seseorang yang ragu akan kebenaran Rasulullah saw atau ragu terhadap hari kebangkitan, atau ragu terhadap kekafiran orang kafir baik yang kafir aslhi sebagai mana yahudi, atau kekafiran orang-orang yang sudah jelas diyakini kekafirannya sebagaimana bathiniyah. Syaikhul islam ibnu taymiyah berkata tentang bathiniyah : barang siapa yang ragu terhadap kekafiran mereka setelah mengetahui perkataan mereka dan memahami diinul islam maka ia kafir sebagaimana halnya orang yang ragu terhadap kekafiran orang-orang yahudi, nashraniy dan musyrikin.
Sebagaiamana firma allah swt Qs. Al-hujurat: 15
- Keyakinan tidak wajibnya mengikuti Nabi saw
- Syirik dalam perkara rububiyah. Seperti meyakini bahwa wali-wali mereka mengetahui perkara ghaib.
- Syirik dalam perkara uluhiyah. Seperti meyakini sesembahan selain allah.
b. kekafiran dikarenakan perbuatan hati.
- Berpaling dari diin Allah tidak mau mempelajarinya dan tidak mau beramal dengannya. Firman allah swt: as-sajadah: 22.
Al-qurtubi berkata bahwa yang dimaksud dengan i’rad adalah bitarkil qabul (tidak mau menerima).
i’radh mencakup tiga hal:
pertama, berkenaan dengan ilmu (qaulul qalbiy) dengan enggan untuk mendengarkan serta cuek terhadapnya.
Kedua, berkenaan dengan amal (amalul qalbiy dan jawarih) amalul qalbiy dengan tidak mau menerima dan patuh, amalul jawarih dengan menolak dan meninggalkan amal serta berpaling dari ketaatan.
Ketiga, berpaling dari hukum Allah dan berhukum kepadanya.
I’radh yang meyebabkan kafir dan i’radh yang tidak menyebabkan kafir.
Iradh yan menyebabkan kafir adalah i’radh terhadap ashlul iman. Baik itu i’radh taam (secar keseluruhan) untuk mempelajari pokok-pokok diin yang sebenarnya ia mampu mempelajarinya. Atau i’radh terhadap amal secara keseluruhan. (jinsul amal) atau berpaling dari hukum allah swt.
- Nifaq i’tiqadiy (Qs. Al-munafiqun, 4)
- Benci (al-bughdu) atau tidak menyukai (al-karahah) terhadap syariat Rasul saw.
Al-bughdu (benci) adalah kebalikan dari mahabbah. Sedangkan mahabbah adalah salah satu syarat lailaalha illallah. Ia adalah asal pondasi yang mendorong setiap amal perbuatan. (Qs. Muhammad: 9)
Bughdu dan Karahah menafikan amalan qalb ditinjau dari 2 sisi:
pertama, ia menghilangkan syarat mahabbah
kedua, meninggalkan qabul, inqiyad dan taslim karena itu semua merupakan buah dari mahabbah.
Namun perlu dibedakan antara mukrih i’tiqadiy dan mukrih tabi’iy. Mukrih i’tiqadiy adalah benci terhadap syariatnya, sebagaimana orang yang benci terhadap syariat Rasul. Adapun mukrih thabi’iy adalah benci karena tabiat kejiwaan sebagaimana qital (kurhun lakum) ikrah disini adalh berangkat dari tabiat manusia memang tidak menyukai sesuatu yang susah. Namun kebencian tersebut bukan terhadap syariatnya.
- Kufur iba’ (menolak) istikbar (sombong) dan imtina’ (menolak)
(qs. Al-Baqarah: 34)
Ini sebagaimana kekafiran iblis dan fir’aun. Menurut ibnul qayyim pada hakikatnya Mereka tidak juhud atau ingkar terhadap perintah Allah, hanya saja mereka menyikapinya dengan penolakan dan kesombongan. Nah, iba’ dan istikbar inilah yang menafikan inqiyad dan istislam yang merupakan asas dari amal qalbiy.
Adapun imtina’ yang tidak dibarengi dengan itstikbar, maka para para ulama mengatakan bahwa mereka wajib diperangi. Syaikhul islam ibnu taimiyah berkata: Ulama kaum muslimin bersepakat bahwa setiap thaifah yang mumtania’ah (menolak) salah satu dari syariat islam, yang dhahir dan mutawatir maka wajib untuk diperangi. Sampai diin ini hanya untuk allah swt semata.
Namun apakah peperangan tersebut didasari oleh kekafiran mereka atau tidak?
Dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Adapun syaikhul islam ibnu taymiyah lebih merajihkan memerangi mereka atas dasar murtad. Beliau berkata “adapun para sahabat, mereka tidak bertanya, apakah kamu berikrar atas wajibnya zakat atau apakah kamu juhud? Ini tidak pernah ditanyakan oleh sahabat. Bahkan as-shiddiq berkata “demi Allah kalau saja mereka menolak untuk membayar zakat yang mana mereka menunaikannya pada masa rasulullah saw maka niscaya saya akan membunuh mereka atasnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bolehnya memerangi adalah hanya atas dasar al-man’u (penolakan) tidak mesti harus juhud terhadapnya. Dan telah diriwayatkan pula bahwa sebagian kelompok ada yang berikrar atas kewajibannya namun mereka bakhil terhadapnya. Dengan demikian para khulafa’ur rasyidin mengambil sikap yang sama yaitu memerangi mereka. Dan mencela keturunan mereka dan mengambil harta mereka sebagai ghanimah, dan bersaksi bahwa merereka adalah penghuni neraka dan memberi julukan kepada mereka dengan julukan “ahlur riddah”.
Ada sebagian ulama yang mencoba untuk membedakan antara thaifah dan fardun (personal). adapun kalau mumtani’ itu adalah personal maka yang shahih adalah ia tidak dikafirkan kecuali yang terus menerus meninggalkan shalat. Kalau personal meninggalkan zakat maka diambil hartanya dengan paksa. Ini sebagaimana pernyataan ibnu rajab al-hambali di dalam jami’ul ulum wal hikam “adapun membunuh seseorang yang mumtani’ maka mayoritas ulama mengatakan ia dibunuh apabila imtina terhadap shalat. Ini adalah pendapat malik syafiiy dan ahmah dan abu ubaid. Adapun membunuh seorang mumtani’ terhadap zakat maka ada dua pendapat. Pertama mereka dibunuh dan ini merupaka pendapat yang masyhur dari imam ahamad. Dan mereka besandar kepada hadits ibnu umar (aku diperintah untuk memerangi manusia) dan pendapat kedua bahwa mereka tidak dibunuh dan ini adalah pendapat malik, syafi’i dan salah satu riwayat dari imam ahmad.
- Syirikul akbar dari perbuatan hati seperti mahabbah, iradhah dan qasdh.
• keterkaitan antara nawaqidh i’tiqadiyah dzhir. Perkara hati adalah sesuatu yang tersembunyi sehingga seseorang tidak bisa menghukumi berdasar kepada hati seseeorang. Namun kita menghukumi dengan dzahirnya. Perilaku dzahir adalah wujud dari apa yang ada di dalam bathin seseorang. Sebagaimana haditas rasulullah saw (إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ).
- kekafiran dengan sebab ucapan lisan
Dinatara ucapan-ucapan yang merupakan kekafiran adalah:
- Ucapan kekafiran dalam masalah tauhid:
a. dalam tauhid rububiyah:
- Perkataan tentang Qadamul Alam. Yaitu keyakinan bahwa tidak ada yang mendahului keberadaan alam. Tidak pula Allah swt, atau arsy dan yang lainnya. alam menurut mereka akan senantiasa kekal seperti apa adanya. Ucapan ini merupakan kekafiran karena berisi pengingkaran terhadap penciptaan allah swt terhadap alam semesta.
- Mencela dan menghina Allah swt dalam hal rububiyah.
b. Dalam tauhid asma’ was-shifat:
- Mengingkari shifat allah dengan ucapan. Seperti penamaan Allah dengan al-laata wal uzza. Juga mengatakan bahwa allah itu faqir, dan menyamakan allah dengan sifat makhluqnya.
c. Dalam tauhid uluhiyah:
- Mengucapkan doa istiqhatsah kepada arwah para wali-wali.
- Ucapan kekafiran dalam masalah nubuwah:
a. Mencela rasulullah saw dan nabi-nabi yang lainnya.
b. Mengaku menjadi nabi.
c. Mengingkari kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi.
- Ucapan kekafiran dalam masalah ghaib:
a. Terhadap malaikat dengan mengingkarinya.
b. Ingkar terhadap hari akhir berkenaan dengan kebangkitan ancaman-ancaman dan yang sejenisnya.
- Mengingkari salah satu dari hukum-hukum yang sudah umum ditenngah masyarakat.
- kekafiran karena sebab perbuatan jawarih (anggota badan)
- Amal kekafiran dalam perkara tauhid:
Yaitu syirik dalam beribadah dengan segala macam bentuknya.
- Berhukum dengan selain hukum Allah:
Hak tasyri’ adalah merupakan kekhususan rububiyah Allah swt. Sesuatu yang halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasulnya dan haram adalah apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya. Allah swt memberikan julukan kepada orang-orang yang berhukum dengan kuffar dengan dzalim dan dengan fasik.
Kapan berhukum dengan selai allah dianggap kafir akbar?
1. Bagi mereka yang membuat syariat selain apa yang diturunkan oleh Allah.
Sebagaimana firman allah swt Qs. As-syura 21, at-taubah 31. orang yan mentaati dengan sukarela disebut musrik ditinjau dari sisi ibadah ketaatan dari apa yang mereka syariatkan.
2. Juhud atau mengingkari hukum selain Allah swt.
Ibnu abbas berkata ketika menafsirkan firman allah swt Qs. A-maidah: 44 “barang siapa yang juhud terhadap apa yang diturunkan oleh allah adalah kafir. Dan pendapat ini dibenarkan oleh ibnu jarir at-thabari di dalam tafsir beliau. Juhud, baik itu disertai dengan berhukum dengan hukum selain allah swt atau sekedar juhud namun tidak disertai dengannya tetap dianggap kafir. Ini ditinjau dari sisi pengingkaran terhadap sesuatu perkara diin yang umum diketahui oleh seluruh kaum muslimin.
3. Mengutamakan hukum thagut diatas hukum Allah swt. (Qs. Al-maidah 5)
4. Menyamakan antara hukum allah dengan hukum thagut. (al-baqarah 22)
5. Memperbolehkan berhukum dengan sesuatu yang menyelisihi hukum allah dan rasulnya. atau menyakini bahawa berhukum kepada allah tidaklah wajib atau boleh memilihnya.
6. Tidak berhukum dengan hukum allah dengan iba’ dan imtina’.
7. Berhukum dengan hukum campuran dari berbagai sumber sebagaimana ilyasiq.
8. Orang yang menerima hukum tersebut dengan ridha. (Qs. An-Nisa 60-61)
Kapan berhukum kepada hukum selain allah dikatakan kufur asghar?
Yaitu ketika seorang qadhi behukum dengan selain hukum allah dalam kasus-kasus tertentu saja denan tetap meyakini bahwa berhukum kepada hukum allah adalah wajib. Dalam keadaan demikian maka mereka dinilai sebagai pelaku maksiat. Ibnu taymiyah berkata : “adapun bagi mereka yang beriltizam dengan hukum allah secara dzahir dan bathin akan tetapi ia bermaksiat dan mengikuti hawa nafsunya maka ini disamakan dengan orang yang melakukan kemaskiatan. Ibnul qayyim berkata “apabila ia meyakini kewajiban berhukum dengan hukum allah dalam perkata ini namun ia menyeleweng darinya karena kemaksiatan dengan tetap meyakini bahwa dirinya berhak mendapatkan hukuman maka hal ini disebut kufur asghar.
- I’radh taam dari agama allah tidak mempelajari dan mengamalkannya.
Yang dimaksud disini adalah i’rad tam (berpaling secara sempurna) terhadap jinsul amal. Adapun i’rad terhadap kewajiban secara parsial maka tidak semuanya bikafirkan.
- Membantu orang musrik dalam menghancurkan kaum muslimin.
Pembahasan ini berkaitan erat dengan al-wala wal bara’. Sebagaimana firma allah swt Qs. Al-maidah 83-84
- Amal kekafiran dalam masalah nubuwat.
Ini sebagaiman orang yang menghinakan mushaf.
Hal yang diperselisihkan dalam qauliyah dan amaliyah tentang kekafirannya.
- Mencela sahabat.
Ini diperselisihkan kerena mencela sahabat tidaklah dalam satu tingkatan. Namun bertingkat-tingkat. Yang dianggap mengkafirkan adalah:
1. Istihlal terhadap pencelaan sahabat. Karena ulama sepakat adalah adalah mereka.
2. Mencela seluruh sahabat atau mayoritas mereka. Dalam hal keagamaan dan adalah mereka. Sebagaiman memberikan julukan kafir, fasiq.
3. Mencela sahabat yang secara mutawatir diakui keutamaannya. Ini ditinjau dari sisi pengingkaran terhadap riwayat yang mutawatir. Ini sebagaimana orang-orang rafidhah yang mencela syaikhoin. Dalam perkara ini terjadi perselisihan dikalangan para ulama. Nash sebagian para ulama tidak mengkafirkan sebagaiman imam ahmad yang mengatakan bahwa ia dicambuk. Namun yang benar adalah perlu adanya perincian. Yang dimaksud tidak kafir adalah mencela bukan pada diin dan adalahnya namun pada perilakunya. Sebagaiman kasus khalif bin walid dan abdurrahman bina auf yang kemudian rasulullah mengingakan kepada khalid “لا تسبوا أصحابي
4. Qadzaf terhadap ummul mukminin aisyah, dan yang lainnya. Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan إن الذين يرمون المحضنات المؤمنات “ulama bersepakat bahwa orang yang mencelanya setelah turun ayat ini maka ia kafir karen menentang al-qur’an.
* secara umum mencela sahabat dianggap kafir karena beberapa alasan. 1, mendustakan al-qur’an 2, mencela sahabat sama dengan menganggap Allah Jahil, 3, mencela sahabat sama dengan mencela Rasulullah 4, mencela sahabat adalh mencela agama 5, mencela sahabat sama dengan mencela ummat muhammad padahal mereka adalah orang-orang terbaik dari ummat ini.
- Istihza kepada ulama dan orang-orang shaleh.
Ini terbagi menjadi 2 mencela karen bentuk tubuh atau akhlaqnya dan mencela karena kapasitas dirinya sebagai ulama. Yang pertama adalah kekafiran sedangkan kedua masuk dalam firma allah swt ( la yashkhar Qs. Al-hujurat: 11)
- Meninggalkan shalat.
Yang menjadi perselisihan dalam masalah ini adalah meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan. Imam ahmad menganggapnya kafir sedangkana abu hanifah, malik dan syafiie menganggapnya tidak kafir.
- Sihir.
Terjadi perselisihan di dalam masalah ini. Menurut imam abu hanifah, malik dan ahmad mereka kafir. Keculai sebagian dari pengikut hanafi ada yang membedakan kalau ia belajar untuk menjaga diri darinya bukan untuk meyakininya maka tidak kafir. Adapun menurut imam syafii beliau bependapat bahwa ada yang kafir dan ada yang tidak kafir. Yang kafir adalah apabila yang diucapkan adalah kekafiran yang sharih. Adapun apabila ucapannya tidak diketahui dan tidak berbahaya terhadap orang lain maka ia tidak kafir. Tapi kalau ternyata perbuatannya itu menyebabkan orang lain mati maka ia diqishas. Dari sini nampak kalau sebenarnya tidak ada perselisihan anatara mereka. Karena apa yang dikatakan oleh imama syafi’i sihir yang tidak mengakafirkan pelakunya pada hakikatnya bukan sihir sebagaimana pengertian ulama pada umumnya.

Dhawabitut takfir
Takfir terbagi menjadi dua yaitu takfir mutlaq dan takfir muayyan. Takfir mutlaq adalah menghukumi secara umum terhadap perbuatan terntentu yang merupakan kekafiran. Sedangkan takfi muayyan adalah menvonis secara pesonel orang-orang yang melakukan melakukan kakafiran. Dalam memvonis seseorang dengan kakafiran perlu memperhatikan rambu-rambu sebagai berikut:
1. Menghukumi sesuatu secara dzahir.
Maknanya seeorang tidak boleh menghukumi dengan prasangka sebagai mana yang dilakukan oleh sahabat usamah bin zaid yang membunuh orang mengucapkan syahadat. Dalam perkara ini rasulullah marah dan mengatakan “apakah engkau tidak belah dadanya sampai engkau ketahui ia benar-benar tulus mengucapkanny atau tidak”.
2. Berhati-hati dalam menta’yin kafir atas seseorang
Maknanya manhaj ahlus sunnah dalam takfir berada dalam posisi tengah-tengah dan adil antara belebih-lebihan yang dimotori oleh khawarij atau terlalu meremehkan sebagaimana murjiah.
3. iqamatul hujjah.
Maknanya bahwa tidak diperkenankan untuk mengkafirkan seseorang keculai hujjah telah ditegakkan atasnya. Qiyamul hujjah bagi orang kafir adalah kehadiran seorang rasul dan memungkinkan bagi mereka untuk mendengarkan seruannya. Sedangkan qiyamul hujjah bagi kaum muslimin adalah sampainya khabar tentang syariat yang dibawa oleh Rasul saw. Dan disyaratkan dalam qiyamul hujjah penjelasan yang sejelas-jelasnya. Namun ini bukan pada setiap perkara disyaratkan adanya qiyamul hujjah. Ia hanya disyaratkan pada persoalan yang bersifat khafiy (tersembunyi). Namun pada persoalan yang dzahir umum diketahui oleh kaum muslimin maka tidak disyaratkan qiyamul hujjah atasnya. Syaikh muhammad bin abdil wahhab berkata “adapaun persoalan takfir muayyan maka ia merupakan persoalan yang ma’lum diketahui. Ada perkataan-perkataan yang apabila diucapkan akan meyebabkan kafir. Maka bagi yang mengatakannya dihukumi kafir. Namun ada orang-orang tertentu yang apabila melakukan hal tersebut maka tidak bisa langsung divonis kafir hingga hujjah ditegakkan diatas mereka. Dan ini harus dilakukan pada perkara-perkara khafiyah yang dalilanya tidak diketahui oleh sebagian manusia... adapun kalau itu terjadi pada persoalan yang dhahir dan nampak atau sesuatu yang sudah umum diketahui oleh manusia maka kita tidak boleh tawaqquf dalam mengkafikannya.
Dan qiyamul hujjah mempunyai dua pengertian. Pertama, Sampainya hujjah secara umum tentang pokok-pokok ajaran islam. Kedua, sampainya hujjah secara tafshil terperinci. Maka seseorang tidak dapat dikafirkan sampai hujjah dalam perrsoalan yang terperinci itu sampai kepada dia.
Kamudian juga qiyamul hujjah berbeda-beda sesuai dengan tempat dan kondisi karena bisa jadi suatu masyakat belum tahu terhadap suatu perkara-perkara tertentu.
Diantara para ulama ada yan membedakan antara qiyamul hujjah dan fahmul hujjah. Yang menjadi syarat adalah qiyamul hujjah bukan fahmul hujjah. Orang-orang kafir tidak akan faham terhadap hujjah karen merka disifati (tuli bisu buta dan mereka tidak dan tidak berakal) namun demikian meski merek tidak bisa memahami kebenaran mereka tetap dikafirkan. Ini sebagaimana pendapat kebanyakan para ulama termasuk syaikh utsaimin dalam syarh kasyfus syubhat.
Syaikh muhammad bin abdil wahhab berkata “dan pokok peremasalahan adalah kalian tidak bisa membedakan antara qiyamul hujjah dan fahmul hujjah. Karena kebanyakan orang-orang kafir dan munafiq tidak memahami hujjah allah swt meskipun hujjah tersebut sudah tegak diatas mereka.
Namun perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan fahmul hujjah disini adalah timbulkan keyakinan akan benarnya syariat allah dan salahnya hujjah mereka. Sebagaiman pemahaman abu bakar dan umar ketika mendapatkan ayat-ayat allah. Karena pada hakikatnya orang-orang kafir dan munafiq ada yang tidak mungkin memahamai karena hatinya telah tertutup.
4. Hilangnya mawani’ takfir.
Apabila terdapat mawani takfir pada diri seseorang maka ia tidak bisa dikafirkan.
Mawaniut-takfir adalah sebagai berikut:
1. Al-jahlu.
Yang dimaksud dengan jahlu adalah kosongnya diri seseorang dari ilmu. Dan yang dimasud dengan udzur bil jahli dalam takfir adalah ketidak tahuan seseorang terhadap perkara yang ia lakukan. Pijakan dari udzur jahl ini adalah firman Allah swt Qs. Al-isra’ ayat ke 15 dan beberapa hadits Rasulullah saw diantarnya tentang seseorang yang berpesan kepada keluarganya agar mereka membakar jazahnya. Dengan harapan kelak Allah tidak akan mampu mengumpulkan jasadnya yang tercecer. Sebagian para sahabat juga ada yang jahil terhadap hukum tertentu sebagaiman mereka yang meminta untuk dibuatkan dzatu anwath namun demikian mereka tidak dikafirkan karena mereka belum mengetahui kalau hal tersebut adalah perbuatan kafir.
Ada sebagian ulama yang tidak menerima udzur bil jahli dalam perkara ushuluddin terutama kesyirikan. Diantara dalil yang mereka jadikan hujjah adalah firman Allah swt tentnag mitsaq Qs. Al-a’raf 172-173. Mereka juga berhujjah dengan hadits Rasulullah saw:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ فَيَقُولُ نَعَمْ فَيَقُولُ أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ أَنْ لَا تُشْرِكَ بِي شَيْئًا فَأَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي (رواه البخاري)
Mererka juga berhujjah dengan perkataan yang mereka anggap sebagai pernyataan tidak diterimanya udzur jahl dalam masalah takfir.
Jawaban bagi mereka yang menolak udzur bil jahli bahwa hujjah dalam ayat tersebut bukanlah hujjah mustaqillah, namun ia bersifat naqishah. Karena fungsi dari Rasul adal penyempurna dalam menegakkan hujjah yang bersifat naqishah tersebut. Dan di ayat lain Allah menjelaskan bahwa seorang tidak akan dihukum sampai tegak hujjah atasnya. Kalau tidak demikian apalah fungsinya rasul diutus?
Adapun mereka menukil pendapat para ulama kebanyak sesuatu yang bersifat (muhtamal) multi tafsir. Karena kalau kita mencermati pendapat ulama yang mengatakan tidak ada uzur jahl tenyata dipembahasan lain ulama tersebut justru menganggap udzur bil jahli sebagai mawani takfir. Ini sebagaiman syaikh muhmmad bin abdil wahab yang dianggap menolak udzur jahil. Padahal di dalam ad-dhurar as-tsunniyah beliau tidak mengakafirkan sebagian oran yang menyembah kuburan karena kejahilan mereka.
Dan udzul bil jahl ini bersifat relativ sesuai dengang keadaan orang yang ia berada di dalamnya.
2. Al- kahta’
Yang dimaksud dengan khata’ disini adalah kesalahan seseorang dalam malakukan suatu kekafiran tanpa disengaja. Ini sebagaiman kisah seoran musafir yang kehilangan onta. Saat ia telah putus asa onta itu kembali dengan seperti sedia kala. Karena begit gembiranya ia maka ia berkata “allahumma anta abdiy wa ana rabbuka”. Dalam keadaan demikian maka tidak boleh seseorang divonis kafir.
Allah swt berfirman:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا (البقرة 286)
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجة)
3. At-takwil
Takwil adalah memalingkan makna dari yang dzahir kepada makna lain yang tekandung dalam lafadz tersebut karena adanya dalil yang menunjukkan akan hal itu dan adanya qarinah yang kurang memungkinkan untuk dibawa kepada makna yang sebenarnya.
Yang dimaksud dengan takwil dalam mawani takfir ini adalah terceburnya diri seseorang kepada kekufuran dikarena kerancuan dalam memahami hal tersebut dan tidak ada niatan dalam hatinya untuk menceburkan diri kepada kakafiran. Ini dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap nash-nash syar’i dengan tidak ada maksud untuk menyelisihi akan tetapi ia benar-benar yakin kalau sikapnya tersebut adalah suatu kebenaran.
Syaikhul islam ibnu taymiyah berkata “akan tetapi tidak setipa orang yang mukhti’ dikafirkan. Diantaranya apabila ia salah dalam takwil atau taqlid”.
Namun tidak semua takwil dapat dikategorikan sebagai mawani’ dalam takfir. Apabila kesalahan dalam takwil tersebut adalah persoalan yang ashluddin yaitu beribadah kepada allah swt dan menerima syariatnya karena hal ini merupakan inti dari syahadatain. Dan tidak akan diterima syahadat seseorang apabila ia terjerumus dalam kerancuan dalam masalah ini. Inilah sebabnya mengapa para ulama sepakat atas kafirnya orang-orang bathiniyah dan takwilnya tidak dianggap. Karena ushul madzhab mereka adalah kafir terhadap allah swt dan tidak beribadah kepada allah dan mencampakkan syariat islam.
4. Al-ikrah
Ikrah terbagi menjadi dua:
a. Ikrah mulji’
Ikrah mulji adalah ancaman berupa pembunuhan atau menciderai anggota tubuhnya atau dipukul yang akan membinasakannya atau menghancurkan semua hartanya yang mana ia tidak mempunyai pilihan lain untuk menyeamatkan dirinya.
b. Ikrah ghairu mulji’
Ikrah ghairu mulji’ adalah ancaman selain pada diri atau anggota badan sebagaiman seseorang diancam akan diikat, atau sebagian hartanya akan diambil. Ini hanya mengorbankan keridhaan akan tetapi ia masih ada pilihan untuk memilih sabar.
Syarat-syarat ikrah adalah sebagai berikut:
- Pengancam mempunyai kemampuan untuk melakukan ancamannya dan yang diancam tidak mampu untuk membela diri meski melarikan diri.
- MENURUT persangkaan kuat yang dipaksa apabila ia menolak ia benar-banar akan mendapatkan ancaman tersebut.
- Susutu yang diancam tersebut akan delakukan dengan segera atau waktu yang sangat dekat sekali. Atau sang pengancam sebagaimana kebiasaan dia pasti akan akan melakukan ancaman teerebut.
- Tidak ada kemungkinan bagi ornag yang diancam untuk menghindari dari hal tersebut.
Dalil ikarah adalah firman Allah swt dalam Qs. An-nahl: 106
Dalam ayat tersebut menjelaskan kasus seorang yang dipaksa untuk melakukan kekafiran dengan ucapan. Lantas apakan perbuatan juga mendapatkan udzur dalam ikrah?
Perbuatan jawarih sama halnya dengan ucapan atas keumaman ayat tentang ikarah. Adapun amalan hati maka tidak ada yang bisa memaksa hati untuk melakukan sesuatu, sehingga tidak ada udzur ikarah pada amalan hati.
5. Taqlid
Dalam hal ini ibnul qayyim berkata “adapun ahli bid’ah dari kalangan ummat islam namun mereka menyelisihi dalam sebagian perkara ushul maka mereka bermacam-macam. Pertama, jahil yang muqallid yang tidak memiliki bashirah maka mereka ini tidak bis dikafirkan tidak difasiqqan tidak ditolak persaksiannya apabial tidak memungkinkan bagi dirinya untuk mempelajari petunjuk. Mereka dihukumi sama denga firman allah:
المستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلاً فأولئك عسى الله أن يعفو عنهم وكان الله عفوّاً غفوراً“
Referensi:
Nawaqidul iman al-qauliyah wal-amaliyah, abdul aziz bin Muhammad bin aliy alu abdul lathif.
Kitabut tauhid, syaikh shaleh fauzan
Majmu’ fatawa ibnu taymiyah, Abdurrahman bin qasin al-ashimiy
Al-minhah al-ilahiah, abdul akhir ahmad al-ghunaimiy
Dzahiratul irja. DR. Safar bin abdirrahman al hawaliy
Nawaqidul iman al-I’tiqadiyah wa dhawabitu takfir inda ahlis sunnah
Turuqul hakimiyah karya ibnu qayyim
manhaj ibnu taymiyah fi mas’alati takfir, DR abdul majid bin salim bin abdullah al-masy abiy.
Dhawabitu takfir inda ahlis sunnah wal jama’ah, abdullah bin muhammad al-qarniy
Syarh kasyfus syubhat, syaikh shalih al-utsaimin
Read More..
Minggu, 02 Mei 2010

Asal Muasal Bangsa Yahudi

Kalau kita menilik sejarah, yahudi adalah anak keturunan dari nabi ibrahim. Pada saat di Mesir, Ibrahim mendapatkan hadiah dari Fir’aun seorang budak wanita yang bernama Hajar. Dan dari Hajar beliau mendapatkan Ismail yang kemudian dibawa oleh Ibrahim ke Mekah.
Sementara dari Sarah, Ibrahim mendapatkan Ishaq pada usianya yang menginjak 100 tahun setelah 14 tahun kelahiran Ismail. Kemudian Ishaq menikah dengan Rifqo binti Batwail di usia 40 tahun dan Ibrahim pada saat itu masih hidup. Dari Batwail ini, beliau mendapatkan anak kembar yang bernama ‘Aishu dan Ya’qub.
Allah memberikan kepada Ya’qub 12 orang anak, yaitu : Ru'aubin, Syam’un, Luwa, Yahudza, Yusakhir, Zabulun, Yusuf, Benyamin, Dan, Naftali, Jad dan Asyir. Mereka semua bertempat tinggal di palesitna daerah fadan aram menggembala domba. Ketika yusuf dibuang ke dalam sumur dan dipungut oleh kafilah dagang sehingga ia menjadi bendaharawan di kerajaan mesir maka yusufpun mengajak ayah dan seluruh saudaranya untuk bertempat tinggal di mesir. Dengan demikian maka bani israil pada saat itu berpindah tempat tinggal di mesir .
Pada masa nabi musa, fir'aun banyak melakukan kedzaliman terhadap manusia. Ia memerintahkan untuk menyembelih seluruh anak laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan. Pada saat inilah allah mengutus nabi musa dan harun untuk berdakwah kepadanya. Namun beliau berdua mendapat perlawanan dan akhirnya melarikan diri bersama pengikutnya dari kalangan bani israil kedaerah palestina setelah melewati lautan yang terbelah.
Namun sebelum memasuki palestina, nabi musa mendapati kaum yang sangat kuat dari keturunan al Haitsaniyin, al Fazariyin dan al Kan’aniyin dan yang lainnya. Musa pun memerintahkan para pengikutnya untuk memasukinya serta memerangi mereka namun mereka semua enggan dan tidak mau menuruti perintah nabinya sehingga Allah menyesatkan mereka semua selama 40 tahun.
Pada masa 40 tahu didalam kesesatan ini Musa dan Harun meninggal dunia sehingga kepeminpinan Bani Israil dipegang oleh Yusa’ bin Nuun yang kemudian berhasil menundukkan Baitul Maqdis.
Setelah orang-orang Bani Israil menetap di Palestina, mereka mengalami tiga masa secara berturut-turut :
1. Masa Kehakiman; dimana kebanyakan keturunan mereka mengembalikan segala putusan dari perkara yang diperselisihkan diantara mereka kepada satu orang hakim. Masa ini berlangsung hingga sekitar 400 tahun.
2. Masa Menjadi Raja; sebagaimana firman Allah swt didalam surat al Baqoroh ayat 246 – 252. Allah menjadikan Thalut sebagai raja, kemudian Daud dan Sulaiman as.
3. Masa Perpecahan; yaitu pada masa setelah Sulaiman as terjadi perselisihan antara Rahbi’an bin Sulaiman dengan Yarbi’an bin Nabat. Kemudian Rahbi’an dan keturunan Yahudza serta Benyamin mendirikan negara yang bernama Negara Yahudza yang dinisbahkan kepada Yahudza dari keturunan Daud dan Sulaiman. Ibu kota negara ini di Baitul Maqdis.
Sedangkan Yarbi’an bin Nabath dengan 10 keturunan yang tersisa mendirikan negara Israil di sebelah Palestina bagian utara dengan ibu kotanya adalah Nablus. Merekalah orang-orang yang kemudian dinamakan dengan Syamir yang dinisbahkan kepada gunug di sana yang bernama Syamir.
Pada tahun 722 SM, negara Israil jatuh ke tangan orang-orang Asyuri dibawah pimpinan raja mereka yang bernama Sarjun sedangkan negara Yahuza jatuh ke tangan orang-oang Fira’unah pada tahun 603 SM.
Pada kira-kira tahun 586 SM Bukhtanshar (Nebukat Nashar), raja Babilonia berhasil menduduki Palestina dan mengusir orang-orang Fira’unah serta menghancurkan negara Yahudza dan memenjarakan orang-orang Yahudi serta membawanya ke Babilonia, yang kemudian dikenal dengan ‘Tawanan Bailonia’
Pada tahun 538 SM, raja Parsia yang bernama Kursy berhasil menaklukan Babilonia sehingga melepaskan para tawanan Yahudi dan sebagian dari mereka kembali lagi ke Palestina.
Pada tahun 135 SM, orang-orang Romawi pada masa kepemimpinan Adryan berhasil memadamkan revolusi yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga menghancurkan negeri. Orang-orang Romawi berhasil mengusir mereka (Yahudi) dari sana dan menjadikan mereka terpecah-pecah di berbagai tempat di bumi.
Ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَن يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ()وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الأَرْضِ أُمَماً مِّنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ()
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa Sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksa-Nya, dan Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al A’raf : 167 – 168)
Pada saat Palestina dibawah kekuasan Romawi ini, Allah swt mengutus Isa as sebagai Rasul kepada Bani Israil, sebagaimana firman Allah swt “Seorang rasul kepada Bani Israil” yang mengajak mereka untuk memperbaiki berbagai kerusakan. Seruan ini disambut oleh sebagian orang-orang Yahudi. Dan orang-orang Yahudi terpecah menjadi dua, sebagaimana diberitakan Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونوا أَنصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ فَآَمَنَت طَّائِفَةٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَت طَّائِفَةٌ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ
'Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana 'Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir. maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang." (Qs. As-Shaf : 14)
Golongan yang pertama adalah orang-orang Nasrani sedangkan yang kedua adalah Yahudi.
Para tukang tenung dan ulama Yahudi mendatangi Raja Romawi agar menangkap dan membunuh Isa as yang kemudian permintaan ini disambut oleh raja, namun Allah swt mengangkat Isa dan menggantikannya dengan orang yang mirip dengannya yang kemudian disalib, firman Allah swt :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِيناً
dan karena ucapan mereka : "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah ", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa. ( Qs. An-Nisa: 157)
Sekitar tahun 620 M, masa ketika Rasulullah Muhammad saw melaksanakan Isra’ Mi’raj ke Sidratul Muntaha, para sahabat menceritakan bahwa Rasulullah sempat melaksanakan shalat di masjid Al’Aqsha. Namun18 tahun kemudian ketika akhirnya pasukan Muslim berhasil menaklukan Syam termasuk Yerusalem, keadaan masjid ini sama sekali tidak terawat. Penguasa Romawi sebagai penguasa terakhir daerah tersebut menjadikan reruntuhan masjid / kuil sebagai tempat pembuangan sampah. Sampai-sampai ketika Sang Khulafaul Rashidin, Umar bin Khatab datang mengunjungi lokasi tersebut, diceritakan bahwa ia tidak dapat melewati lokasi masjid disebabkan begitu tingginya tumpukan sampah yang mengitarinya. Tidak diketahui sejak kapan persisnya rumah ibadah tersebut runtuh dan tidak lagi dipergunakan sebagai tempat peribadatan.
Kemudian pada awal abad ke10 M, terjadi perselisihan antar penduduk Yerusalem. Padahal selama hampir4 abad dibawah kekuasaan kekhafilahan kota tersebut aman bagi seluruh pemeluk agama, baik Islam, Nasrani maupun Yahudi. Hal ini memicu ketegangan hingga akhirnya meletuslah Perang Salib ( The Crusaders ) yang diprovokasi oleh Paus Urban yang ketika itu berkedudukan di Perancis Selatan. Menempuh perjalanan yang sangat jauh pasukan ini secara sadis dan membabi buta menyerang Yerusalem dan sekitarnya. Namun tampaknya pihak Salib tidak menyadari bahwa sesungguhnya ada yang memanfaatkan situasi tersebut, yaitu orang-orang Yahudi. Mereka diam-diam menyusup kedalam pasukan Salib. Tujuan mereka bulat, yaitu disamping mencari Tabut yang telah lama hilang juga merebut Yerusalem untuk kemudian mendirikan kembali kuil atau Haekel Solomon. Pasukan Yahudi ini dikenal dengan nama Knight Templar.
Dalam Perang yang berlangsung berkali-kali selama hampir200 tahun, Pasukan Salib nyaris tidak pernah menang. Pada akhirmya pihak Salibpun menyerah dan kembali ke negaranya, sebagian besar ke Perancis selatan. Namun di tempat tersebut, para Knight Templar berprilaku buruk, rasis dan sering melanggar janji. (Ini pula salah satu penyebab, mengapa pada masa Rasulullah orang-orang Yahudi diusir dari Madinah.). Lebih dari itu, pihak gereja melihat bahwa mereka telah melakukan penyimpangan ajaran Kristen. Akhirnya merekapun diusir bahkan sebagian harus menerima hukuman bakar sebagai hukum yang umum berlaku ketika itu. Namun mereka tidak putus asa. Mereka segera membentuk kelompok rahasia yang merupakan cikal bakal organisasi berpengaruh di dunia, yaitu Freemason. Tujuan mendesak mereka adalah mencari tanah kosong, tempat yang aman agar mereka bebas bertindak dan berprilaku. Dan tanah itu adalah tanah suku Indian, yaitu benua Amerika sekarang ini. Di kota New York inilah kaum Yahudi menancapkan kuku-kukunya dengan kuat. Untuk mencari dukungan, baik materi maupun spirit, juga sekaligus mengaburkan niat sejati mereka, mereka kemudian mencampur-adukkan ajaran Yahudi dan Kristen. Perjanjian baru dan perjanjian lama digabung menjadi satu. Mereka menyebut diri sebagai Yahudi Kristen (Kristen Zionis). Dalam perjalanannya kelompok ini terus berkembang membentuk organisasi-organisasi elite. Tujuan utama mereka satu, yaitu kembali ke tanah yang ’dijanjikan’, tanah rakyat Palestina, demi mendirikan kembali negara Israel Raya plus Haekelnya, dengan ibu kota, Yerusalem!
Rencana panjang yang disusun secara amat matang ini mulai membuahkan hasilnya pada tahun 1917, yaitu pada era pasca Perang Dunia I dengan adanya Perjanjian Balfour. Dengan dikalahkannya kerajaan Islam – Ottoman oleh pihak sekutu, maka Inggris memberikan dukungan bagi berdirinya negara Zionis di tanah Palestina yang sebelumnya termasuk wilayah kekuasaan Ottoman. Dukungan ini baru terealisasi pada tahun 1948.
Tahapan yahudi masuk ke palestina
Kedatangan rombongan-rombongan yahudi ke palestina dibagi sama zionis dalam tahap-tahap:
1. Tahun 1882-1903 sekitar 25.000 Yahudi.
2. Tahun 1905-1914 sekitar 40.000. di sini mereka mulai membentuk pola interaksi komunitas, institusi manyarakat, dan basis ideologis bagi negara Yahudi. Mereka juga mendirikan Kibbutz (pemukiman batas kaum yahudi). Sementara itu zionis menawarkan sultan Abdul Hamid II untuk menjual Palestina kepada mereka dengan imbalan penghapusan hutang khalifah dan uang dalam jumlah besar. Tapi sungguh indah jawaban yang di ucapkan oleh khalifah “aku lebih memilih memisahkan dagingku dari tubuhku sendiri daripada memisahkan palestina dari tubuh kaum muslimin…”.
3. Ketika Inggris berhasil menguasai Palestina. Deklarasi Belfour (2 November 1917) mengundang lebih banyak Yahudi ke Palestina, yakni tahun 1919-1923 berjumlah 35.000 orang.
4. Aliyah keempat tahun 1924-1931 sekitar 82.000.
5. Aliyah kelima tahun 1932-1938, diprovokasi Holocaustnya Hitler, datang sekitar 217.000 Yahudi ke Palestina. Israel kemudian berpaling ke Amerika mencari dukungan untuk mendirikan negara israel. Israel diproklamirkan oleh Theodore Hertzl tanggal 14 mei 1948.
Mengapa mereka memilih palestina?
Beberapa klaim Yahudi atas palestina sehingga mereka menjatuhkan pilihan untuk menetap di Palestina :
1. Klaim religius : mereka mengatakan bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan buat mereka (the blessed land) setelah sekian lama berdiaspora ke seluruh penjuru dunia.
2. Klaim bahwa secara historis mereka adalah pemilik sah dari Palestina.
3. Palestina mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya adalah :
 Tempat tinggalnya manusia pertama
 Tempat di turunkannya semua agama samawi
 Tempat dimana peradaban-peradaban kuno muncul
 Jembatan aktifitas komersial
 Tempat penyusupan ekspedisi militer di sepanjang era sejarah yang berbeda, di antaranya peradaban Babilonia, Asyiria, Al Hethyaan, Persia, Yunani, dan Romawi. Masing-masing pernah menduduki tanah Palestina.
 Palestina jantung dunia Arab dan Islam

Referensi:
Al-bidayah wan-nihayah, karya Ibnu katsir
Qasashul anbiya, karya Abdul Wahhab An-najjar
Al-Yahud tarikhun wa aqidatun, karya DR. Kamal sa'fan
Mujazu tarikhil yahud, karya DR, Mahmud Abdurrahman qaddah
www.eramuslim.com
www.cahayasiroh.com
Read More..
Selasa, 06 April 2010

Cerdas Berdiskusi

“Tidaklah aku berdiskusi dengan orang lain
kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lesannya.”
(Imam Syafi’i)
Berbicara tentang perbedaan, tentu tidak ada di antara kita yang dapat lepas darinya. Sebab, perbedaan merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindarkan. Oleh karenanya, perbedaan perlu disikapi secara bijak. Acapkali salah dalam menyikapi perbedaan hanya menghasilkan perselisihan dan permusuhan. Perbedaan tidak lagi mendatangkan rahmat, namun berubah menjadi laknat. Lantas bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada?
Dalam menyikapi hal ini, kita dapat mencoba untuk mempertemukan dua belah pihak dalam rangka melakukan tabayyun (klarifikasi), saling menasehati, atau diskusi. Usaha tersebut dapat berupa pertemuan intens antara kedua belah pihak atau diskusi terbuka yang dihadiri oleh semua orang. Tujuannya adalah untuk mencari titik temu.
Forum ini kirannya akan banyak mendatangkan manfaat sebagaimana yang dikatakan oleh Al Barbahari: “Mengadakan majelis untuk saling menasehati akan membuka pintu kebaikan. Adapun bermajelis untuk berdebat hanya akan menutup pintu kebaikan.”
Tentunya dalam pertemuan ini ada beberapa adab yang perlu dijaga oleh kedua belah pihak. Agar nantinya tujuan awal untuk mendapatkan titik temu dapat dicapai. Kalaupun tidak tercapai, pertemuan tersebut tidak meninggalkan bekas luka akibat perbedaan. Di antara adab tersebut adalah:
1. Ikhlas
Dalam semua perkara yang dilakukan seorang muslim, niatan ikhlas haruslah terwujud. Tak terkecuali ketika berdiskusi. Karenanya, sedari awal tujuan diskusi terbuka ditujukan ikhlas karena Allah dan menemukan jalan yang paling benar. Bukan untuk menunjukkan yang kalah ataupun yang menang. Atau untuk unjuk kecerdasan dan wawasan yang dimiliki. Terlebih, hanya ingin mengundang decak kagum serta pujian para pendengar. Na’udzubillah min dzalik.
Pun, ketika diskusi berlangsung jangan sampai keikhlasan ternodai karena enggan untuk mengakui kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Tak jarang hal ini terjadi disebabkan rasa malu karena tengah berada di hadapan publik. Di sinilah keikhlasan akan diuji.
Alangkah indah perkataan Imam Syafi’i: “Aku tidak pernah khawatir dari manakah kebenaran tersebut ada. Apakah dari diriku ataukah dari lawan bicaraku.” Ucapan tersebut bukan saja sebagai pemanis bibir. Tetapi betul-betul berasal dari kesucian hati yang menjadi identitas diri.
2. Adil dan Obyektif
Selanjutnya, diskusi haruslah disandarkan pada ilmu. Tentunya sebelum diskusi berlangsung, masing-masing pihak mempersiapkan materi yang akan didiskusikan. Jangan berdiskusi dalam perkara yang tidak dikuasai dengan baik. Jangan pula hanya berdasar pada akal belaka. Sehingga diskusi yang berlangsung hanya sekadar debat kusir yang tak ada kunjung akhirnya.
Obyektif juga berarti tidak ta’assub (fanatik) terhadap pendapat tertentu yang jelas-jelas salah. Kadang fanatik dapat membutakan mata hati seseorang yang menyebabkan dirinya kehilangan obyektifitas dalam menilai sesuatu. Oleh sebab itu Ibnu taimiyah mengingatkan: “Diskusi tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai dengan sikap adil.”
Pada prinsipnya, kebenaran tidaklah terpatok kepada seseorang. Tetapi yang menjadi tolok ukur adalah kebenaran itu sendiri. Sehingga kita dapat menilai dengan obyektif siapa yang berada di atas kebenaran dan siapa yang berada di atas kebatilan. Ali bin Abi Thalib pernah bertutur:
اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ , وَ لاَ تَعْرِفِ اْلحَقَّ بِالرِّجَالِ
“Ketahuilah kebenaran, niscaya kamu akan mengetahui siapa yang berada di atasnya. Karena kamu tidak akan mengetahui kebenaran dengan menjadikan seseorang sebagai patokan!”
3. Santun Bertutur kata
Bagaimanapun juga, mereka yang berbeda pendapat dengan kita adalah seorang muslim. Sudah barang tentu hak-hak dia sebagai seorang muslim harus tetap dipenuhi. Walaupun di sisi lain mereka berbeda pendapat dengan kita. Salah satunya adalah dengan santun dalam bertutur kata dan menjaga suara ketika berbicara. Jangan sampai meninggikan suara.
Apabila berada di atas kebenaran mengapa harus meninggikan suara? Sedangkan apabila berada di atas kebatilan, masih pantaskah meninggikan suara? Kadang, seseorang yang meninggikan suara berada di pihak yang salah. Dengan begitu, dia ingin menunjukkan dirinyalah yang benar. Sedangkan yang berada di atas kebenaran akan memiliki pembawaan tenang ketika menyampaikan argumennya. Sebab dia yakin dirinyalah yang benar. Walaupun tak selamanya keadaan ini berlaku.
Hal inilah yang kadang terlupakan. Akibatnya, pendengar lebih terkesima dengan mereka kepada yang memiliki pembawaan tenang walaupun pendapat tersebut salah. Padahal, dengan menjaga suara seseorang lebih mampu menguasai suasana diskusi dan emosi. Apa yang disampaikan pun lebih mengena di hati pendengarnya.
4. Tidak Terbawa Emosi
Pada awal diskusi mungkin setiap pihak mampu menjaga emosi. Namun seiring dengan perbedaan yang tak kunjung mencapai titik temu kadang emosi mulai menghampiri. Maka ketika marah diperturutkan hanya akan membawa kepada keburukan. Oleh karenanya para salaf mewanti-wanti setiap diskusi dari sifat ini. Ibnu Abbas bertutur: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa. Sesungguhnya bermajelis dengan mereka hanya akan menyakitkan hati.”
Lagipula diskusi yang dicampuri dengan emosi tidak akan mendatangkan manfaat. Malah yang ada hanyalah permusuhan dan perpecahan antara kedua belah pihak. Inilah yang diperingatkan oleh Ibrohim An Nakho’i: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlu hawa, sesungguhnya bermajelis dengan mereka menghilangkan cahaya keimanan, menghilangkan wajah kebaikan, dan mewariskan permusuhan di hati orang-orang mukmin.”
Apabila orang lain tidak sependapat denganmu, maka janganlah marah. Jangan pula kamu paksakan pendapatmu kepada dirinya. Walaupun pendapat itulah yang benar. Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Umar sekitar seratus permasalahan. Namun tidak ada di antara mereka yang memaksakan pendapat antara satu dan yang lainnya. Tidak pula mereka marah.
5. Menjadi pendengar yang baik
Diskusi bukanlah pembicaraan satu pihak layaknya ceramah. Tetapi, diskusi merupakan pembicaraan dua pihak. Untuk itu setiap pihak haruslah mendengarkan lawan bicaranya. Sebab, pembicara cerdas adalah yang mempu menjadi pendengar yang baik.
Jangan sampai memotong pembicaraan meskipun membuat kurang nyaman telinga pendengar. Baik karena ingin mengintrupsi, membantah, atau karena sebab lainnya. Hal ini dapat membuat pembicara bimbang dan lupa apa yang akan disampaikan. Sebaiknya ia harus memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan.
Dengan begitu, mereka juga akan mendengarkan dengan seksama apabila kita berbicara. Sebab, menjadi tabiat manusia akan mereka menaruh hormat kepada yang memperhatikan omongannya.
Para ulama banyak menyebutkan adab berdiskusi di antaranya mempersilahkan pihak lain untuk menyampaikan argumennya. Jangan memotong perkataan pihak lain hingga paham maksud perkataan tersebut. Hendaknya dia menunggu pihak yang sedang berbicara hingga menyelesaikan perkataannya. Yang seperti ini lebih mempermudah untuk menerima kebenaran dan kembali dari kesalahan.
Cukup di forum
Adakalanya perbedaan tak dapat disatukan. Masing-masing pihak masih sama seperti sedia kala. Maka apabila hal ini terjadi tidaklah mengapa. Namun yang harus dijaga adalah persatuan. Jangan sampai perbedaan tersebut terbawa hingga ke luar forum yang mengakibatkan permusuhan.
Mungkin perkara ini sering diremehkan. Akibatnya banyak yang salah dalam menyikapinya. Bukan saja oleh orang awam. Mereka yang telah bergumul dengan dunia ilmu juga tidak lepas dari “fitnahnya”. Tak pelak, ada di antara mereka yang tidak mau lagi bersilaturahmi. Semua berawal dari tidak adanya titik temu di forum diskusi. Karenanya, cukuplah perseteruan yang terjadi hanya di forum diskusi.
Mengapa kita tidak mencoba untuk memahami alasan saudara muslim lainnya. Tidak dengan turut menyalahkan mereka karena berbeda pendapat dengan kita. Toh, hal yang diperselisihkan hanyalah permasalahan ijtihadiyah yang para ulama masih berselisih tentangnya.
Setiap orang mempunyai seribu alasan untuk berbeda pendapat. Tapi setiap orang sebenarnya juga memiliki sejuta alasan untuk bisa saling mengerti akan perbedaan tersebut. Kita boleh saja tetap berpegang teguh dengan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Namun, tidak kemudian menyalahkan orang lain yang berselisih pendapat dengan kita. Lebih-lebih memaksakan pendapat yang kita yakini kebenarannya. Boleh jadi pendapat tersebut cocok untuk kita dan tidak tepat bagi orang lain. Wallahu muwaffiq ila aqwamis sabiil.

Bahan bacaan:
- Fie Ushulil Hiwar, An Nadwah al Alamiah Li Syabab al Islami (WAMI), Cetakan keempat, 1415 H/ 1994 M.
- Fiqhul Ikhtilaf Qodhiyatul Khilaf al Waqi’ baina hamlatisy Syariah, Abu Amru/ Majdi Qosim, Darul Iman, Cetakan pertama 1421 H/ 2000 M.
- Al Khilaf baina al ulama, Muhammad bin Sholih bin Muhammad al Utsaimin, Maktabah syamilah.
- Al khilaf asbabuhu wa adabuhu, Aidh Al Qorni, Maktabah syamilah
- Al Hawa wa Atsaruha fil khilaf, Abdullah Al Ghunaiman, maktabah syamilah
- Adabul hiwar wa qowaidul ikhtilaf, Amru bin Abdullah Kamil, maktabah syamilah
- Adabul Hiwar wa Afaquha fi As Sunnah al Muthohharoh, Dr. Abdus Salam Hamdan Al Lauh, Maktabah Syamilah.




Read More..
Kamis, 18 Februari 2010

Mengharap Berkah Menuai Dosa

Fenomena tabarruk bukanlah suatu hal yang tabu lagi di lingkungan kita. Mulai dari mencari berkah terhadap orang-orang yang dianggap shaleh, sampai pada segundukan tanah yang tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, ada diantara mereka yang mencari berkah kepada binatang dengan memperebutkan kotorannya. Meski perbuatan ini tidak bisa diterima secara akal sehat, namun begitulah kenyataan yang merebak lingkungan kita. Bahkan perbuatan ini telah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang mereka.Pada dasarnya tujuan mereka baik yaitu mencari keberkahan. Namun dikarenakan kejahilan mereka hingga bukannya berkah yang didapat tapi justru dosa dan kemurkaan dari Allah. Mereka mengaharapkan sesuatu namun tidak menapaki jalan yang menuju kepadanya. Pepatah arab mengatakan:
تَرْجُوا النِّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا... إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ
"engakau merharapkan keberhasihlan namun tidak menuju jalan kepadanya.. sesungguhnya bahtera itu tidak akan berlayar diatas daratan".
Tidak selamanya keinginan akan terwujud, terlebih ketika seseorang salah dalam meniti jalan yang seharusnya ia tempuh. Demikian juga halnya mereka yang ingin mendapatkan keberkahan namun tidak meniti jalan yang diajarkan oleh syar'i. kerena pada hakikatnya tabaruk itu terbagi menjadi dua, yaitu tabarruk yang diperbolehkan dan tabarruk yang dilarang. Sudah barang tentu bahwa perbuatan yang dilarang tidak akan menghantarkan seseorang pada keberhasilan namun justru sebaliknya.
Tabarruk yang diperbolehkan adalah, mengambil berkah kepada Rasulullah saw pada saat baliau masih hidup. Adapun sepeninggal beliau maka bertabarruk kepada kuburannya merupakan perbuatan bid'ah yang diharamkan. Tabarruk semacam ini pernah dilakukan oleh para sahabat rasulullah saw. Mereka berebut sisa minuman Rasulullah saw bahkan berebut keringat beliu yang wangi. Sedangkan tabarruk yang banyak dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini adalah tabarruk yang diharamkan. Sebagaiman mereka yang berebut dengan sisa makanan dan minuman para kiyai, dan kuburan-kuburan yang mereka anggap keramat terlebih lagi seekor kerbau yang tidak mempunyai akal.
Lantas bagaimanakan seharusnya seseorang mencari berkah pada saat ini? Padahal rasulullah saw telah wafat? Menurut saya, keberkahan hidup tidak hanya didapatkan dengan cara-cara seperti di atas. Karena sebenarnya cukuplah seseorang beriman dan mengerjakan segala aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt maka ia akan mendapatkan keberkahan di dunia dan akhirat. Bukankah allah telah menjanjikan keberkahan hidup bagi orang beriman dalam firmanNya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (Qs. Al-Araf: 96)
Read More..
Senin, 15 Februari 2010

Ladang Jihad Tebuka di Yaman

Oleh: Uweis Abdulloh
Yaman merupakan satu Negara termiskin di semenanjung arab. Namun demikian, kemiskinan tidaklah menjadikan ciut nyali kaum muslimin yang mendominasi daerah tersebut. Justru kondisi yang sulit menjadikan mereka tahan banting dan siap mengahadapi segala tantangan yang terjadi. Lebih dari itu, yaman merupakan daerah dimana para pejuang islam banyak dilahirkan. Ini sangatlah mempengaruhi kepribadian kaum muslimin yang mewarisi jiwa kepahlawanan para pendahulu mereka.
Terbukti saat terjadinya serangan 11 september dan yaman menyatakan diri bergabung dalam agenda "war on terrorism". Berbagai macam cara yang ditempuh otoritas yaman untuk memberangus gelora jihad kaum muslimin tak kunjung berhasil. Bahkan preseden Ali Abdullah Shaleh, demi untuk melancarkan titah amerika tersebut harus merogoh kas Negara untuk membeli persenjataan dari Rusia seharga 1 miliar dolar AS. Persenjataan tersebut terdiri dari pesawat tempur MiG-29, helikopter, tank T-80 dan T-72, dan beberapa kendaraan tempur lainnya.
Bukan warga yaman kalau mudah ditaklukkan. Begitulah kenyataan yang harus dihadapi oleh otoritas munafik Yaman. Segala tindakan yang mereka lancarkan justru membangkitkan semangat jihad kaum muslimin. Menurut pernyataaan wakil persiden Abdur-Rab Manshur Hadi, Tercatat sejak tahun 2005 sekitar 16.000 warga yang dicuragai terlibat jaringan Al-Qaeda diusir dari yaman. Pasukan keamanan juga menangkap ratusan orang Afghanistan Arab dan Mahasiswa asing di sekolah-sekolah keagamaan yang tidak terdaftar. Namun itu semua tak membuat mereka jera dan justru menyambutnya dengan berbagai perlawanan.
Pertempuran tak terelakkan lagi dan menelan korban dari dua belah pihak. Media islam arrahmah.com melansir, Selasa, 18 Safar 1431 / 02 Februari 2010 bahwa bentrokan yang terjadi antara kaum muslimin dan polisi keamanan yaman di daerah jaar, abyan menewaskan sekitar 4 orang polisi. Pada kesempatan lain mujahidin menyerang kedutaan besar AS di San'a, ibukota Yaman, dengan bom mobil dan roket, menewaskan 16 orang. Korban-korban yang tewas itu mencakup 10 Polisi Yaman, empat warga sipil, termasuk seorang India, dan dua mujahidin.
Situasi yaman yang kian memanas mengharuskan para ulama untuk turun tangan mengobarkan jihad ditengah-tengah kaum muslimin. Sekelompok ulama terkenal Yaman memperingatkan bahwa mereka akan menyerukan jihad jika Amerika Serikat mengirimkan tentaranya untuk memerangi Al-Qaeda di Yaman. Para ulama besar tersebut berjumlah sekitar 15 orang diantaranya adalah Abdul Majid Az-Zindaniy. Beliau berkata "Jika sebuah negeri Muslim mendapat serangan militer, pemuda Muslim berkewajiban untuk melakukan jihad dan memerangi para agresor tersebut."
Di sisi lain terbukanya ladang jihad di yaman disambut hangant oleh harakah jihad ternama di Shamalia. Dialah As-Shabab yang baru saja mengumumkan dirinya bergabung kedalam tandzim Al-Qaedah dan menyatakan siap untuk dipimpin oleh Usamah bin Laden. Seorang Petinggi As-Shabaab Sheikh Mukhtar Robow Abu Mansour menyatakan akan berangkat ke Yaman untuk memerangi musuh Allah. Beliau berkata "Kami katakan kepada saudara-saudara Muslim kami di Yaman bahwa kami akan melintasi perairan antara Yaman dan Somalia untuk mencapai tempat Anda, untuk membantu Anda melawan musuh Allah." Pada kesempatan lain beliau berkata " Saya menyerukan kepada pemuda di tanah Arab untuk bergabung dan bertempur di sana."
Read More..

Perbedaan Antara Jihad dan Qital

Oleh: uweis abdullah

Membedakan antara jihad dan qital membutuhkan kejelian. Ketika seseorang terlalu bebas dalam memperluas ma’na jihad akan terjerumus kepada pemahaman bahwa setiap amal asalkan membutuhkan kesungguhan adalah jihad. Pemahaman ini akan membuahkan sikap peremehan terhadap jihad yang sebanarnya. Dan sebaliknya ketika seseorang telalu sempit mema’nai jihad akan menggap bahwa pertempuran dalam arti “battle” itu sajalah yang dimaksud dengan jihad. Sehingga dalam melakukan suatu tindakan kurang memperhatikan hal-hal yang medukung keberlangsungan itu semua. Memang secara bahasa, jihad tersebut sangatlah umum mencakup seluruh amal shaleh yang didalamnya ada usaha dan kesungguhan. Namun secara urf dan syar’ie penyebutan kata jihad sangat identik dengan peperangan dalam artian yang luas yaitu “War”. Demikian juga definisi jihad yang sering dikemukakan oleh para ulama memang cenderung kepada qital. Namun pada hakikatnya yang dimaksud adalah peperangan yang tidak sekedar pertempuran “battle”. Melainkan perang secara umum mencakup segala aspek usaha yang mendukung tegaknya kalimatullah.

Dengan mencermati definisi jihad secara jeli dan praktek lapangan dalam sejarah umat islam, maka kita akan mendapatkan perbedaan antara jihad dan qital. Meski perbedaan yang dimaksud bukanlah perbedaan yang bertentangan “ikhtilafut tadhadh”. Melainkan perbedaan dalam ruang lingkup yang bersifat mikro dan makro. Dengan kata lain, bahwa jihad lebih umum daripada qital, dan Qital adalah bahagian daripada jihad. Perbedaan tersebut dapat dianalisa dari dua sudut pandang. Yaitu sudut pandang definisi, dan praktek lapangan dalam sejarah umat islam.

Perbedaan dalam tinjauan definisi.
Definisi jihad:
Secara etimologi (bahasa) jihad adalah:
الْمُبَالَغَة وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِي الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ.
(bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala daya dan kemampuan baik dari perkataan maupun perbuatan) .
Secara terminology jihad dima’nai sebagai berikut:
Penyebutan kata-kata jihad didalam al-qur’an diklasifikasikan menjadi dua:
Penyebutan jihad pada ayat-ayat makkiyah lebih cenderung kepada ma’na lughawi seperti firman Allah:
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ (العنكبوت:6)
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri”.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (العنكبوت: 69)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.
Adapun penyebutan kata-kata jihad di dalam ayat-ayat madaniyah cenderung kepada ma’na qital dalam pegertian luas. Sebagaimana firman Allah swt:
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ (النساء:95)
“Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya”.
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (التوبة: 41)
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah”.
Adapun definisi para ulama tentang jihad secara syari’ adalah sebagai berikut:
Madzhab hanafiy:
الْجِهَادُ هُوَ الدُّعَاءُ إلَى الدِّينِ الْحَقِّ وَالْقِتَالُ مَعَ مَنْ امْتَنَعَ عَنْ الْقَبُولِ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ
“jihad adalah menyeru kepada diin yang haq dan memerangi ketika terjadi penolakan dengan jiwa dan harta”
Madzhab malikiy:
قَالَ ابْنُ عَرَفَةَ قِتَالُ مُسْلِمٍ كَافِرًا غَيْرَ ذِي عَهْدٍ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ
Berkata ibnu arafah: “perangnya muslim terhadap orang kafir yang tidak terikat perjanjian dalam rangka meninggikan kalimat Allah swt”.
Madzhab syfi’iy:
القتال في سبيل الله مأخوذ من المجاهدة، وهي المقاتلة في سبيل الله
“perang di jalan Allah diambil dari kata al-mujahadah yaitu peperangan di jalan Allah”
hambaliy:
قِتَالُ الْكُفَّارِ
“memerangi orang kafir”
Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa jihad mecakup beberapa hal:
1. Adanya usaha untuk I’la’u kalimatillah dengan mengorbankan nyawa dan harta
2. Menyeru untuk masuk atau tunduk kepada dinul islam
3. Di dalamnya terdapat qital
Definisi Qital:
Secara bahasa qital adalah:
Qital diambi dari kata قَاتَلَ-يُقَاتِلُ قِتَالًا وقِيْتَالًا, yang apa bila ditambah هُ
berma’na: (حَارَبَهُ وعَادَاهُ) “memerangi dan memusuhinya”
Secara istilah adalah:
Penyebutan qital dalam mempunyai ma’na pertempuran yang berujung kepada kemenangan atau kekalahan. Sebagaimana firman Allah:
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (النساء: 74)
“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”
firmannya juga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa”.(Qs. At-taubah: 123)
Dan jihad secara istilah adalah:
الْحَرْبُ والْمُدَافَعَةُ بِالسلَاحِ
“peperangan dan perlawan dengan senjata”
Syeit khattab berkata “ma’na qital dalam islam adalah: memerangi musuh dalam rangka menjaga kebebasan penyebaran da’wah, dan melakukan rukun islam, dengan tetap menjaga etika-etika dalam peperangan”.
Kesimpilan dari ma’na qital adalah:
1. Terjadinya pertempuran pada dua pihak, yang berujung pada kemenangan atau kekalahan.
2. Penyebutan qital mencakup jalan yang benar dalam artian fi sabilillah dan jalan yang salah. Tergantung tujuannya dan prakteknya.
3. Qital dalam lingkup fi sabilillah khusus menjuru kepada pertempuran dan hanya merupakan bahagian dari rangkaian jihad. Sebagaimana pernyataan syeit khattab bahwa ma’na qital adalah dalam rangka menjaga penyebaran da’wah, sedangkan da’wah itu sendiri merupakan rangkaian dari jihad namun tidak termasuk dalam qital.
Kesimpulan perbedaan antara jiha dan qital:
1. jihad: umum mencakup usaha I’la’u kalimatillah
Qital: bagian daripada usaha menegakkan kalimatullah
2. jihad: tidak selalu dengan pertempuran
Qital: intinya adalah pertempuran
3. jihad: penyebutannya identik dengan usaha I’la’u kalimatillah
Qital: penyebutannya mempunyai ma’na yang relative tergantung apa tujuan perang tersebut.

Perbedaan pada praktek lapangan dalam sejarah islam
Praktek jihad dalam sejarah islam sangatlah luas mencakup seluruh rangkaian usaha dalam menegakkan kalimat Allah. Sedangkan qital adalah pertempuran yang terjadi antara kaum muslimin dan orang-orang kafir dalam rangkaian jihad untuk menegakkan kalimat allah subhanahu wata’ala.
Oleh karenanyalah rasulullah saw pada setiap kali melancarkan jihad, meberikan tugas masing-masing kepada para sahabat. Tidak semua dari mereka terjun didalam pertermpuran. Diantara mereka ada yang menjaga madinah sebagaimana mereka yang disuruh menetap pada perang tabuk untuk menjaga madinah dan menjaga keluarga rasulullah saw. Seluruh rangkaian usaha dalam meninggikan kalimat allah yang saling kuat mengutkan antara satu dan lainnya inilah merupakan praktek jihad dalam sejarah islam.
Dalam usaha pembebasan Makkah sendiri rasulullah saw sangatlah berusaha untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah. Beliau membuat strategi jihad yang yang mampu mengalahkan kaum musrikin dengan meminimalkan pertempuran. Pada malam harinya rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar masing-masing mereka menyalakan obor. Sehingga dengan banyaknya obor menyala yang mencapai sepuluh ribu menjadikan ciutnya nyali kaum musyrikin. Mereka menganggap pasukan kaum muslimin sangatlah besar dan tidak ada pilihan lain kecuali menyerah tanpa perlawanan.
Demikian pula dalam perang tabuk. Rasulullah tidak hanya mengandalkan pertempuran dalam melancarkan jihad. Namun beliau banyak bermain pada sisi politik dengan mengadakan perjanjian degan Qabilah-qabilah setempat. Beliau mengadakan perjajian dengan penduduk “Ailah” , “Jarba”, dan “Daumatul jandal”. Sehingga dengan permainan politik inilah orang-orang romawi mengalami kekacauan dan kekalahan tanpa pertempuran.

Tela’ah ktitis definisi ulama kontemporer tentang jihad
Sebahagian ulama dalam beberapa buku menyebutkan kalimat jihad seakan membatasi hanya terbatas dengan Qital. Sebagaimana yang banyak di ungkapkan dengan istilah (إذا أطلقت كلمة الجهاد فهو قتال ) apabila kalimat jihad disebutkan secara mutlak maka ma’nanya adalah Qital . Ungkapan ini perlu difahami dengan cermat dalam kondisi apa penulis sedang mengungkapkan dan apa maksud dari ungkapan tersebut.
Penulis mengungkapkan istilah ini dalam keadaan mengcounter pemahaman keliru sebagaimana yang tersebut dalam muqddimah makalah ini. Yaitu pemahaman yang terlalu bebas dalam memperluas ma’na jihad sehingga setiap amal asalkan terdapat padanya kesusah payahan maka dianggap sebagi jihad yang sebenarnya. Pemahaman ini akan menihilkan Qital dalam rangkaian jihad.
Adapun dalil yang biasa digunakan untuk membatasi jihad hanya sebatas qital, juga perlu difahami secara cermat. Seperti misalnya hadits dari amru bin abasah tentang seorang yang bertanya kepada rasulullah tentang isalam, iman, hijrah, jihad. Ketika orang itu bertanya kepada rasulullah:
وَمَا الْجِهَادُ قَالَ أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيتَهُمْ
“apakah jihad itu? Beliau menjawab: engkau memerangi orang kafir apabila menemuinya”.
Hadits di atas dan yang senada dengannya, tidaklah menunjukkan (الحصر) pembatasan bahwa hanya qital dalam artian “battle” saja. Jadi kurang tepat untuk dijadikan hujjah bahwa jihad hanyalah Qital. Ungkapan hadits di atas lebih cenderung mirip dengan ungkapan (من الملاؤئكة؟ قال: جبريل) siapakan malaikat itu? Ia menjawab: jibril. Jawaban ini benar, namun bukan pembatasan bahwa malaikan itu hanya satu, yaitu jibril. Namun masih banyak malaikat-malaikat lainnya.
Terlebih lagi argumentasi bahwa jihad tidak dibatasi hanya dengan qital dikuatkan dengan sunnah fi’liyyah yang tersebut dalam sejarah pembebasan makkah. Rasulullah sangat berusaha menghindari Qital . Lantas dengan tidak adanya Qital apakah pembebasan makkah tidak dianggap sebagai jihad?. Begitu juga penaklukan wilayah-wilayah yang akhrnya menyerah tanpa terjadi Qital apakah tidak disebut sebagai jihad?.
Sebagai penutup, kalau saja benar ada pendapat ulama yang hanya membatasi jihad hanya dengan Qital, maka penulis katakan definisi itu bukanlah ijma para ulama. Sebagaimana definisi jihad yang di ungkapkan oleh ulama madzhab hanafi bahwa da’wah untuk menyeru orang kafir masuk ke dalam agama islam merupakan jihad.
الْجِهَادُ هُوَ الدُّعَاءُ إلَى الدِّينِ الْحَقِّ وَالْقِتَالُ مَعَ مَنْ امْتَنَعَ عَنْ الْقَبُولِ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ
“jihad adalah menyeru kepada diin yang haq dan memerangi ketika terjadi penolakan dengan jiwa dan harta”
Sehingga dengan demikian pendapat seorang ulama tidak bisa menggugurkan pendapat ulama lain tanpa di landasi dalil dri nash yang jelas.
Wallahu a’lam bis shawab

Referensi:
lisanul arab
Al-Inayah syarhul hidayah, syamilah
Mauhibul jalil fi syarhi muskhtashori syaikhil jalil, syamilah
I’anatut thalibin, syamilah
Syarh muntahal iradat, syamilah
Al-munjid fi lughah
Mu’jam lughatil fuqaha, syamilah
Ar-rasul al-qo’id
Al-jihad wal-qital fis siyasah as-syar’iyah
Ar-rahiqul makhtum
Read More..